Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN An.

W
DENGAN DIAGNOSIS MEDIS MALFORMASI ANORECTAL
DENGAN FISTEL RECTOVAGINA
DI BANGSAL CENDANA 4 RSUP DR. SARDJITO
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Anak
Pembimbing:
DR. Atik Badiah

Disusun oleh :
Skolastika Winda Sinaga P07120218011

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
A. Pengertian
Malformasi anorektal (MAR) merupakan malformasi septum urorektal secara
parsial atau kompleks akibat perkembangan abnormal hindgut, allantois dan duktus
Mulleri. Malformasi anorektal merupakan spektrum penyakit yang luas melibatkan
anus dan rektum serta traktus urinarius dan genitalia.
Malformasi anorektal adalah salah satu kelainan kongenital berupa anus
imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata adalah kelainan kongenital tanpa
anus atau dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten diakibatkan
karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia, dan traktus digestivus
tidak terjadi. Konsensus international yang diadakan di Wingspread (1984)
menghasilkan klasifikasi Wingspread yang membedakan malformasi anorektal pada
laki-laki dan perempuan menjadi 3 golongan yaitu letak tinggi, letak intermediet dan
letak rendah. Pengklasifikasian diperlukan sebagai dasar terapeutik dan prognosis.
Malformasi anorektal terjadi setiap 1 dari 4.000 - 5000 kelahiran. Malformasi
ini lebih sering terjadi pada pria dan pria dua kali lebih banyak mengalami malformasi
anorektal letak tinggi. Penelitian di India membuktikan dari 100 pasien didapatkan 51
orang laki-laki dan 49 orang perempuan dengan letak tinggi pada laki-laki sebesar
80,39 %. Kelainan kongenital ini sering diikuti defek tambahan. 40% - 70% penderita
mengalami satu atau lebih defek tambahan dari sistem organ lainnya. Defek urologi
adalah yang tersering, diikuti defek vertebra, ekstremitas dan sistem kardiovaskular.
Kelainan yang sering terjadi pada pria adalah anus imperforata dengan fistula
rektouretra, diikuti fistula rektoperineum, kemudian fistula rektovesika atau bladder
neck . Fistula rectobladderneck terjadi 10 % dari pasien pria. Pada wanita kerusakan
yang sering terjadi adalah defek rektovestibuler, fistula kutaneusperinea dan persisten
kloaka. Lesi ini merupakan malformasi berspektrum luas dimana rektum, vagina, dan
traktus urinarius bertemu dan bersatu membentuk satu saluran. Manajemen malfomasi
anorektal pada periode neonatal penting karena dapat menentukan masa depan pasien.
Keputusan terpenting adalah apakah diperlukan kolostomi dan diversi urin untuk
mencegah sepsis atau asidosis metabolik.

Embriologi Hindgut
Kloaka pada saat embrio merupakan suatu rongga yang membuka hindgut, tailgut,
allantois dan saluran mesonefrikum. Kloaka pertama kali dibentuk pada sekitar usia
kehamilan 21 hari, bentuk kloaka menyerupai huruf U, dengan bagian anterior dari
kloaka adalah allantois sedangkan bagian posterior dari kloaka adalah hindgut.
Kloaka dibatasi oleh septum yang dibentuk oleh plika Rathke hingga menyatu dengan
membran kloaka. Pada saat usia kehamilan 6 minggu mulai terbentuknya rongga
urogenital anterior dan rongga anorektal posterior. Terjadinya proses perubahan yang
cepat dari tuberkulum genital akan menyebabkan perubahan bentuk kloaka ke bagian
posterior. Pada usia kehamilan 7 minggu membran kloaka akan rusak sehingga
terbentuknya dua bukaan yaitu pada saluran urogenital dan pada saluran anus. Otot-
otot yang mengelilingi rectum berkembang pada saat yang sama yaitu pada usia
kehamilan enam dan tujuh minggu. Pada minggu ke sembilan usia kehamilan, semua
struktur sudah mulai terbentuk. Namun, pada tahap ini pembentukan genetalian
eksterna laki-laki atau perempuan belum terjadi.

B. Etiologi
Etiologi malformasi anorektal masih belum diketahui pasti. Penyebabnya
diduga multifaktor termasuk berhubungan dengan keturunan, dimana kejadiannya
sangat tinggi pada anggota keluarga dengan autosomal dominan, yaitu 1:100.
Kromosom 7q39 mempunyai tiga lokus atau gen penting yang menyebakan terjadinya
malformasi anorektal, diantaranya: gen SHH, N2 dan HLXB9. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa mutasi pada HLXB9 berhubungan dengan kejadian malformasi
anorektal. Beberapa sindrom seperti Townes-Broks sindrom, Currarino’s sindrom dan
Pallister-Hall sindrom juga berhubungan dengan kejadian malformasi anorektal.
Terdapat juga sumber yang mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan
oleh:
a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot
dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin
tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak
diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan
dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang
sekitar 25% - 30% dari bayi yang mempunyai sindrom genetik,
abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk
menderita atresia ani (Price, Sylvia 2005).
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal
dengan pasien trisomi 21 ( Down's syndrome). Hal ini menunjukkan bahwa mutasi
dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan malformasi anorektal
atau dengan kata lain etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik.
Selain hal-hal diatas, beberapa faktor risiko yang diduga dapat menyebabkan
terjadinya atresia ani diantaranya yaitu :
a. Pemakaian alkohol oleh ibu hamil
Pemakaian alkohol oleh ibu hamil bisa menyebabkan sindroma alkohol pada
janin dan obat-obat tertentu yang diminum oleh ibu hamil juga bisa menyebakan
kelainan bawaan.
b. Penyakit Rh
Hal ini terjadi jika ibu dan bayi memiliki faktor Rh yang berbeda, keadaan yang
demikian terjadi jika pasangan suami istri mempunyai jenis/tipe resus yang
berbeda biasanya ibu memiliki Rh (-) dan ayah memiliki Rh (+), sehingga bayi
yang dikandung ibu memiliki Rh(+)
c. Teratogenik
Teratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau
meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan. Radiasi, obat tertentu dan racun
merupakan teratogen. Secara umum, seorang wanita hamil sebaiknya :
Mengkonsultasikan dengan dokternya setiap obat yang dia minum, berhenti
merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, tidak menjalani pemeriksaan
rontgen kecuali jika sangat mendesak.
d. Infeksi
Infeksi pada ibu hamil juga bisa merupakan teratogen. Beberapa infeksi selama
kehamilan yang dapat menyebabkan sejumlah kelainan bawaan diantaranya,
yaitu:
1) Sindroma rubella kongenital, ditandai dengan gangguan penglihatan atau
pendengaran, kelainan jantung, keterbelakangan mental dan cerebral palsy.
2) Infeksi toksoplasmosis, pada ibu hamil dapat menyebabkan infeksi mata yang
bisa berakibat fatal, gangguan pendengaran, ketidakmampuan belajar,
pembesaran hati atau limpa, keterbelakangan mental dan cerebral palsy.
3) Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya
sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, dapat menyebabkan
kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta
kematian bayi.
4) Sindroma varicella kongenital, disebabkan oleh cacar air dan bisa
menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan
bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih
kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.
e. Gizi
Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari teratogen,
tetapi juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik. Salah satu zat yang penting
untuk pertumbuhan janin adalah asam folat . Kekurangan asam folat dapat
meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya.
Karena spina bifida bisa terjadi sebelum seorang wanita menyadari bahwa dia
hamil, maka setiap wanita usia subur sebaiknya mengkonsumsi asam folat
minimal sebanyak 400 mikrogram/hari.
f. Faktor fisik pada rahim
Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan
pelindung terhadap cedera. Jumlah cairan ketuban yang abnormal dapat
menyebabkan atau menunjukkan adanya kelainan bawaan. Cairan ketuban yang
terlalu sedikit dapat mempengaruhi pertumbuhan paru-paru dan anggota gerak
tubuh atau dapat menunjukkan adanya kelainan ginjal yang memperlambat
proses pembentukan air kemih. Penimbunan cairan ketuban terjadi jika janin
mengalami gangguan menelan, yang dapat disebabkan oleh kelainan otak yang
berat (misalnya anensefalus atau atresia esofagus).
g. Faktor genetik dan kromosom
Faktor genetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan bawaan.
Beberapa kelainan bawaan merupakan penyakit keturunan yang diwariskan
melalui gen yang abnormal dari salah satu atau kedua orang tua. Gen adalah
pembawa sifat individu yang terdapat di dalam kromosom setiap sel di dalam
tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau cacat, bisa terjadi kelainan bawaan.
h. Usia
Semakin tua usia seorang wanita ketika hamil (terutama diatas 35 tahun) maka
semakin besar kemungkinan terjadinya kelainan kromosom pada janin yang
dikandungnya.

C. Klasifikasi
Ada beberapa kalsifikasi malformasi anorektal, pertama kali di keluarkan oleh
Wingspread 1984, kemudian klasifikasi Pena 1995 dan klasifikasi krickenbeck 2005.

Tabel 1. Klasifikasi Malformasi Anorektal Berdasarkan Wingspread 1984


MALE FEMALE
High (Tinggi)

Agenesis anorektal Agenesis


anorektal Dengan: Dengan:
1. Rectoprostatic uretrhal fistula 1. Rectovagina fistula
2. Tanpa fistula 2. Tanpa fistula
3. Atresia recti 3. Atresia recti
Intermediate (Tengah)

Rectobulbar urethral fistula Rectovestibular fistula


Agenesis ani Rectovaginal fistula
Tanpa fistula Agenesis ani
Tanpa fistula
Low (Rendah)

Fistula anocutaneus Fistula anovestibular


Stenosis ani Fistula
anocutaneus
Stenosis ani
Rare malformations Cloaca Malformations

Rare malformations
Tabel 2. Klasifikasi Malformasi Anorektal Berdasarkan Pena (1995)

Male Female
Fistula Perineal (cutaneus) Fistula Perineal
Fistula Rectouretra Fistula
vestibular Bulbar
Prostatic
Fistula Rectovesica Persisten cloaca
<3 cm common channel
>3 cm common channel
Anus imperforata tanpa fistula Anus imperforata tanpa
fistula Atresia rectum Atresia rectum

Tabel 3. Klasifikasi Malformasi Anorektal Berdasarkan Krickenbeck (2005)

Major Clinical Group Rare/regional variants


Fistula Perineal (cutaneus) Pouch colon
Fistula Retrouretra Atresia/stenosis recti
- Bulbar Fistula rectovaina
- Prostatic Fistula H-tipe
Fistula Rectovesica Lainnya
Fistula vestibular
Tanpa fistula
Stenosis Ani

Klasifikasi Krickenbeck Berdasarkan Prosedur Tindakan Operasi


Prosedur Tindakan Operasi
Perineal operation

- Anterior sagittal approach


- Sacroperineal approach
- Posterior sagittal anorectoplasty
- Abdominosacroperineal pull-through
- Abdominoperineal pull-through
- Laparoscopic-assisted pull-through

Gambar 1. Malformasi anorektal dengan fistula rektouretra pada laki-laki.


(A) Fistula rektouretrobulbar; (B) Fistula rektouretroprostatik; (C) Fistula rektovesika

Gambar 2. Malformasi anorektal dengan fistula pada perempuan.


(A) Fistula rektovestibular; (B) Kloaka anomali.

D. Patofisiologi
Anus dan rektum berasal dari embriologi yang di sebut kloaka.
Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral bangunan ini membentuk septum urorektum
yang memisahkan rektum di sebelah dorsal dari saluran kencing di sebelah vintal.
Kedua sistem (rectum dan saluran kencing) menjadi terpisah sempurna pada umur
kandungan minggu ke 7, pada saat yang sama, bagian urogenital yang berasal dari
kloaka sudah mempunyai lubang eksternal, sedangkan bagian anus tertutup oleh
membran yang baru terbuka pada kehamilan minggu ke 8. Malformasi anorektal
terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional.
Kelainan dalam perkembangan proses-proses ini pada berbagai stase menimbulkan
suatu spektrum anomali, kebanyakan mengenai saluran usus bawah dan bangunan
genitourinaria dan bagian rektum kloaka menumbulkan fistula.
Malformasi anorektal terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal
pada kehidupan embrional. Menifestasi klinis di akibatkan adanya obtruksi dan
adanya fistula. Obtruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan,
muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorsi sehingga terjadi asidosis hipperchloremia, sebaliknya feses
mengalir ke arah truktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Keadaan ini
biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita
90 % dengan fistula ke vagina (revtovagina) atau perineum (rektovestibular).

E. Pathway

F. Manifestasi Klinik
Dalam penegakan diagnosis malformasi anorektal adalah dengan melakukan
pemeriksaan yang menyeluruh meliputi poin-poin seperti berikut:
1. Mengetahui usia gestasi, berat badan lahir, suhu, warna kulit, menangis, respirasi,
ada atau tidaknya riwayat jaundice, distensi abdomen, keadaan hidrasi dan anomali
kongenital lainnya, melakukan pemeriksaan untuk menentukan jenis dan sifat
anomali.
2. Melakukan pemeriksaan untuk menentukan jenis dan sifat anomali.
3. Ada atau tidak adanya anomali organ lain yang terkait. Malformasi anorektal
biasanya disertai dengan anomali organ lain yang meliputi kelainan pada tulang
belakang, anorektal, jantung, trakeoesofagus, ginjal dan saluran kemih serta
ekstremitas.

5.1 Laki-Laki
Adanya garis tengah yang terbentuk diantara kedua bokong, penonjolan
anal dimple dan keluarnya mekonium melalui fistula di bagian anterior dari
sfingter menunjukkan keadaan fistula perineal. Terkadang juga dapat disertai
dengan adanya gambaran skin bridge, bucket handle atau midline raphe yang
ketiganya akan membentuk gambaran white atau black ribbon (Gambar 3) dari
subepitelial mekonium.
Pada keadaan lain, adanya gambaran flat bottom tanpa disertai fistula
perineal namun ditemukan adanya mekonium didalam urin maka keadaan ini
menunjukkan adanya fistula di rektouretra. Kesimpulan mengenai ada atau
tidaknya fistula tidak dapat ditegakkan hanya dengan pemeriksaan fisik saja.
Namun untuk memastikannya harus dilakukan observasi selama 24 jam segera
setelah kelahiran. Jika setelah 24 jam masih belum dapat dipastikan apakah ada
mekonium didalam urin maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan cross-
table lateral radiograph abdomen dan pelvis dengan posisi prone untuk
menegakkan diagnosis apakah terdapat fistula rektouretra atau tidak. Sebuah
marker radiopak ditempatkan di lubang anus untuk memperkirakan jarak antara
usus yang dilatasi dengan lubang anus.
Gambar 3. Fistula rektoperineal dengan subepitelial mekonium yang mencapai scrotal
raphe.

5.2 Perempuan
Pada anak perempuan, malformasi anorektal dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan perineum. Normalnya, ada tiga saluran yang terlihat yaitu dibagian
anterior terdapat uretra kemudian vagina, keduanya terletak di dalam vestibulum
dan dibagian posterior terdapat anus. Bila anus tidak berada diposisi normalnya
maka keadaan ini menunjukkan adanya fistula perineal. Jika ketiga saluran ini
terlihat di vestibulum maka keadaan ini menunjukkan adanya fistula vestibular
(Gambar 2a dan Gambar 4). Jika hanya terlihat dua saluran saja, menggambarkan
keadaan yang jarang yaitu fistula rektovagina atau atresia rektum. Dan bila hanya
terlihat satu saluran maka disebut dengan kloaka (Gambar 2b). Namun bila tidak
ditemukan adanya mekonium yang keluar setelah 24 jam kelahiran menunjukkan
suatu keadaan malformasi anorektal tanpa fistula.
Gambar 4.
Penampilan dari malformasi anorektal dengan fistula rektovestibular.

G. Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia
b. Infeksi saluran kemih berkepanjangan
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
d. Komplikasi jangka panjang :
1) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasinya sigmoid)
2) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet training.
3) Fistula kambuhan (karena tegangan di area pembedahan dan infeksi)

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Invertogram
Wangensteen dan Rice pertama kali menjelaskan mengenai kegunaan radiography
invertion pada tahun 1930 untuk menunjukkan jarak antara gas bubble dalam usus
terminal dengan perineum. Invertogram pada posisi lateral dengan pinggul sedikit
difleksikan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai adanya anomali.
Marker yang dijadikan tanda untuk menentukan adanya anomali yaitu Pubis
Coccyx Line (PC Line) dan I point (Puncak ischium) yang ada hubungannya
dengan gambaran dark air shadow pada usus terminal. Apabila dark air shadow
melewati I point, menunjukkan anomali letak rendah, sedangkan jika dark air
shadow melewati PC line tetapi belum mencapai I point maka menunjukkan
anomali intermediate. Namun bila gambaran dark air shadow belum mencapai PC
Line maka menunjukkan anomali letak tinggi.
2. Prone Cross-Table Lateral View
Bayi dalam posisi genupectoral yaitu badan telungkup dengan pinggul tertekuk
kearah atas selama 3 menit. Radiografi prone lateral yang berpusat di trochanters
mayor yang memiliki beberapa keuntungan yaitu posisi yang nyaman untuk bayi
dibandingkan dengan invertogram.

Gambar 5. Teknik pemeriksaan


Cross-table lateral radiograph. (A) Meletakkan sebuah ganjalan di bawah pinggul bayi
untuk mengangkat bokong agar memungkinkan perpindahan udara kearah superior
dari rektum; (B) Gambaran Cross-table lateral.
3. Pemeriksaan Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG telah digunakan untuk mengetahui jarak dari pouch hingga
perineum (pouch perineal distance). Hal ini dapat dilakukan melalui transperineal
atau infracoccygeal. Apabila melalui Infracoccygeal dapat langsung menunjukkan
puborectalis dengan gambaran hypoechoic berbentuk U (U-shaped band).(4)
4. Computer Tomography Scan (CT-Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Computer Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pelvis
digunakan untuk mengevaluasi keadaan struktur otot dasar panggul dan pouch
sebelum dan sesudah operasi. Pemeriksaan ini juga dapat menentukan lokasi fistula
dengan tepat serta hubungannya dengan otot dasar panggul. MRI dan CT juga
digunakan untuk menilai perkembangan struktur otot dasar panggul dari berbagai
jenis prosedur operasi. MRI dianggap unggul dari CT karena menggambarkan
jaringan lunak dengan lebih baik dan kurangnya radiasi.

(Diagram : penanganan atresia ani pada bayi laki-laki)


(Diagram : penanganan atresia ani pada bayi perempuan)

I. Penatalaksanaan
Manajemen awal bayi baru lahir yang lahir dengan anomali anorektal sangat
penting dan dua pertanyaan penting yang harus terjawab selama 24 sampai 48 jam
kehidupan. Pertanyaan pertama apakah ada anomali lain yang terkait sehingga dapat
mengancam hidup sehingga bayi harus ditangani dengan segera? Kedua, haruskah
bayi menjalani tindakan kolostomi atau tidak.
Keputusan untuk dilakukannya anoplasty pada beberapa saat setelah bayi lahir
atau tidak dan menentukan perlu atau tidaknya tindakan kolostomi ditentukan
berdasarkan hasil dari pemeriksaan fisik bayi, keadaan perineum, dan perubahan yang
terjadi selama 24 jam pertama setelah kelahiran. Mekonium biasanya tidak terlihat di
perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal sampai 16 – 24 jam. Distensi
abdomen tidak akan terjadi selama beberapa jam pertama kelahiran, oleh karena itu
diperlukan tekanan intraabdominal yang tinggi untuk mendorong mekonium keluar
melalui fistula. Hal ini dikarenakan bagian paling distal dari rektum dikelilingi oleh
struktur-struktur otot sehingga rektum kolaps dan kosong. Oleh karena itu, keputusan
perlu atau tidaknya dilakukan tindakan kolostomi atau anoplasty harus menunggu
selama 16 – 24 jam kelahiran sehingga tampak adanya bukti secara klinis.

7.1 Letak Tinggi


Malformasi anorektal pada bayi laki-laki dapat dievaluasi melalui inspeksi
perineum. Kolostomi atau operasi definitif sebaiknya tidak dilakukan sebelum 24
jam pertama kelahiran. Dikarenakan untuk mendorong mekonium keluar melalui
fistula membutuhkan tekanan intralumen yang cukup sehingga diperlukan
evaluasi selama 24 jam. Pemeriksaan Cross-table lateral X-Ray dapat dilakukan
bila mekonium tidak tampak di perineum. Bila hasil menunjukkan gambaran gas
rektum diatas coccyx maka dilakukan tindakan kolostomi, begitupun bila
ditemukan adanya flat bottom maka dilakukan tindakan kolostomi.
Malformasi anorektal pada bayi perempuan bila dalam pemeriksaan Cross-
table lateral X-Ray didapatkan letak rektum yang tinggi maka dilakukan tindakan
kolostomi.
7.2 Letak Rendah
Malformasi anorektal pada bayi laki-laki dapat dievaluasi melalui inspeksi
perineum. Bila didapatkan adanya fistula perineal maka dilakukan tindakan
anoplasty. Bila tidak ditemukan adanya fistel maka dilakukan Cross-table lateral
X-Ray bila didapatkan gambaran gas rektum melewati tulang coccyx tanpa
disertai dengan anomali organ lain maka keadaan ini dinamakan malformasi
anorektal dengan letak rendah dan dilakukan tindakan Posterior Sagittal
Anorectoplasty (PSARP) dengan atau tanpa tindakan kolostomi.
Malformasi anorektal pada bayi perempuan yang setelah dilakukan
pemeriksaan Cross-table lateral X-ray didapatkan gambaran gas rektum melewati
tulang coccyx maka dilakukan tindakan primary repair dengan atau tanpa
kolostomi.
J. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian Pre Operatif
a) Pemeriksaan Fisik
1) Daerah perineum
Inspeksi dengan cermat derah perineum secara dini untuk mencapai
hubungan fistula ke kulit untuk menemukan muara anus ektropik atau
stenatik untuk memperbaiki bentuk luar jangka panjang untuk melihat
adanya meconium untuk melihat adanya garis hitam yang menentukan letak
fistel dan terapi segeranya.
2) Abdomen
Memeriksa tanda-tanda obtruksi usus (perut kembung). Amati adanya
distensi abdomen. Ukur lingkar abdomen. Dengarkan bising usus (4
kuadran). Perkusi abdomen. Palpasi abdomen (mungkin kejang usus). Kaji
hidrasi dan status nutrisi. Timbang berat badan tiap hari. Amati muntah
proyektif (karakteristik muntah).
3) Tanda-tanda Vital
Ukur suhu badan (umumnya terjadi peningkatan). Ukur frekuensi
pernafasan (terjadi takipnea atau dyspnea). Ukur nadi (terjadinya takikardi).
4) Observasi manifestasi malformasi anorektal
a) Pemeriksaan colok dubur pada anus yang tampak normal, tapi bila
tidak dapat masuk lebih 1 – 2 cm berarti terjadi atresia rectum.
b) Pemeriksaan dengan kateter untuk membedakan fistel uretra dan vistel
vesika.
Pengkajian Post Operatif :
1) Kaji integritas kulit
2) Amati tanda-tanda infeksi
3) Amati pola eliminasi dan keadaan umum pasien

2. Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada atesia ani:
1. Gangguan kerusakan integritas kulit b.d faktor mekanis (gesekan)
2. Gangguan rasa nyaman b.d. efek samping terapi
3. Risiko infeksi b.d. efek prosedur invasif
4. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik
5. Inkontinensia fekal b.d. pascaoperasi pullthrough dan penutpan kolostomi
6. Defisit nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan,
mencerna makanan
7. Defisit pengetahuan b. d. kurang terpapar informasi

3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Intervensi (NIC)

1. Gangguan kerusakan integritas kulit Observasi :


b.d faktor mekanis (gesekan) Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
Terapeutik :
- Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama
periode diare
- Gunakan produk sesuai jenis kulit
Edukasi :
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

2. Gangguan rasa nyaman b.d. efek Observasi :


samping terapi Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri
Terapeutik :
Berikan teknik nonfarmakologis untk mengurangi rasa
nyeri
Edukasi :
Anjurkan teknik nonfarmakologis untk mengurangi rasa
nyeri
3. Risiko infeksi b.d. efek prosedur Observasi :
invasif Monitor tanda dan gejala infrksi lokal dan sistemik
Terapeutik :
Pertahankan teknik aspetik pada pasien berisiko tinggi
Edukasi :
Ajarkan cara memeriksa luka atau luka operasi
4. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik Observasi :
Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri
Terapeutik :
Berikan teknik nonfarmakologis untk mengurangi rasa
nyeri
Edukasi :
Anjurkan teknik nonfarmakologis untk mengurangi rasa
nyeri
5. Inkontinensia fekal b.d. pascaoperasi Observasi :
pullthrough dan penutupan Identifikasi perubahan frekuensi defekasi dan konsistensi
kolostomi feses
Terapeutik :
- Berikan celana pelindung/ pembalut/popok, sesuai
kebutuhan
- Hindari makanan yang menyebabkan diare
Edukasi :
Anjurkan mencatat karakteristik feses
6. Defisit nutrisi: kurang dari Observasi :
kebutuhan tubuh b.d - Identifikasi status nutrisi
ketidakmampuan menelan, mencerna - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
makanan - Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik :
Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
Edukasi :
Anjurkan diet yang diprogramkan
7. Defisit pengetahuan b. d. kurang Observasi :
terpapar informasi - Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
- Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan
menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
Terapeutik :
- Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
- Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi :
- Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi
kesehatan
- Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
- Ajarkan strategi yang dapat dignakan untuk
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat

DAFTAR PUSTAKA
1. Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of
Rare Diseases. 2007;2(33).

2. Bhargava P, Mahajan JK, Kumar A. Anorectal malformations in


children. Journal Indian Association Pediatric Surgery. 2006;11(3):136-9.

3. Peña A, Levitt MA. Anorectal Maformations in Pediatric Surgery


Ed.6th Volume 1. Grosfeld JL, O'Neill JJA, Fonkalsrud EW, Coran AG,
editors. New York: Elsevier; 2006.

4. Gangopadhyay AN, Pandey V. Anorectal malformations. Journal of


Indian Association of Pediatric Surgeons. 2015;20(1):10-5.

5. Wakhlu AK. Management of Congenital Anorectal Malformation.


Pediatric Surgery. 1995;32.

6. Levitt MA, Peña A. Imperforate Anus and Cloacal Malformations


Chapter 35 in Ashcraft's Pediatric Surgery Ed 6th. Holcomb GW, Murphy
PJ, Ostile DJ, editors. New York: Elsevier; 2014.

7. Levitt MA, Peña A. Anorectal Malformations Chapter 64 in


Fundamentals of Pediatric Surgery. Mattei P, editor. New York: Springer;
2011.

Anda mungkin juga menyukai