Anda di halaman 1dari 34

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SYSTEM


PERSYARAFAN: KEJANG
Pembimbing: Bara Miradwiyana, SKp., MKM

Disusun oleh:
Kelompok 4B
Nama Anggota:
Bunga Loverdha (P17120018008)
Dyah Wulandari (P17120018012)
Nadia aulia (P17120018027)
Rosy Maylinda (P17120018033)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN


JAKARTA I
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat,
petunjuk dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN GANGGUAN SYSTEM PERSARAFAN: KEJANG” ini telah selesai
disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Gawat Darurat.
Tak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak – pihak yang telah membantu
dalam menyusun makalah ini, terutama kepada ibuBara Miradwiyana, SKp., MKMselaku dosen
pembimbing, yang telah membimbing kami sehingga makalah ini telah selesai disusun.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu kami meminta maaf dan tentunya juga mengharapkan kritik dan saran
yang membangun.Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan bagi para pembaca.
                                                                                                           

Jakarta, 30 Juli 2020

Kelompok

2
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................4
1.2 Tujuan penulisan.......................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................................6
2.1 Definisi........................................................................................................................................6
2.2 Anatomi Fisiologi System Persarafan (tarwoto, aryani ratna, wartonah, 2009)...................7
2.3 Etiologi & Factor Resiko.........................................................................................................13
2.4 Manifestasi Klinis....................................................................................................................14
2.5 Patofisiologi..............................................................................................................................16
2.6 Pemeriksaan Diagnostic..........................................................................................................18
2.7 Penatalaksanaan Medis...........................................................................................................18
2.8 Komplikasi...............................................................................................................................19
2.9 Asuhan Keperawatan..............................................................................................................20
BAB III.....................................................................................................................................................30
KESIMPULAN........................................................................................................................................30
1.1 KESIMPULAN........................................................................................................................30
1.2 SARAN.....................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................32

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang adalah masalah neurologic yang relatif di jumpai. Diperkirakan bahwa 1 dari 10
orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. Kejadian kejang pada
manusia terjadi pada dua puncak usia yaitu pada dekade pertama kehidupan dan setelah usia
60 tahun. Kejang disebabkan oleh gangguan pada aktivitas listrik, di satu atau seluruh area
otak. Gangguan tersebut dapat dipicu oleh penyakit di otak, atau kondisi lain yang secara
tidak langsung memengaruhi fungsi otak. Kejang dapat terjadi akibat lepasnya muatan
paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang mudah terpicu
sehinggamenganggu dari fungsi otak. Namun kejangdapat terjadi di jaringan otak normal di
bawah kondisi patologik tertentu seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit
(Murti, Andriastuti. dkk. 2014).
Kejang sendiri jika berlangsung singkat jarang menimbulkan kerusakan. Tetapi, kejang dapat
merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan seperi gangguan
metabolism, infeksi intrakranium, gejala putus obat, intoksikasi obat, ensefalopati hipertensi,
tetanus dan sebagainya. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang sering kali
ditandai dengan kontraksi otot, yang disertai gerak menyentak pada seluruh tubuh. Namun
sebenarnya, gejala kejang tidak selalu seperti itu. Penderita kejang bisa saja hanya
menunjukkan tatapan mata yang kosong. Diperkirakan bahwa 10% orang akan mengalami
paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka. (Health Sciences Journal. 2016.
Universitas Tadaluko)
Jenis kejang yang sering terjadi adalah kejang demam yang sering menyerang usia balita
sampai anak-anak. Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh. Sifat bangkitan dapat membentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Apabila anak sering mengalami kejang demam akan mengganggu kerja sel dengan
mengakibatkankerusakan pada neuron. Di Indonesia dilaporkan angka kejadian kejang
demam 3-4% yakni pada tahun 2012-2013 dari anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun.
Berdasarkan data WHO 2012 kejang demam 80% terjadi di negara-negara miskin dan 3,5-

4
10,7% terjadi di negara maju. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5
tahun. Kejadian kejang demam di Amerika serikat, Amerika Selatan, dan Eropa barat
diperkirakan 2-4% dari seluruh kelainan neurologis pada anak. Dalam 25 tahun terakhir.
Risiko epilepsi di kemudian hari pada kejang demam sederhana hanya 1-2%.17Pada kejang
demam kompleks, risiko menjadi epilepsi adalah 5-10%. (Health Sciences Journal. 2009.
Universitas Muhammadiyah Ponorogo)
Status epileptikus juga merupakan kondisi emergensi di bidang neurologi yang berkaitan
dengan tingginya angka kematian dan kecacatan jangka panjang. Status epileptikus
merupakan kondisi yang sering tidak terdiagnosis, padahal kondisi tersebut merupakan
kondisi yang dapat mengancam jiwa. (Diagnosis and Management of Nonconvulsive Status
Epilepticus. Malang Neurology Journal. 2017)
Di Indonesia sampai saat ini belum ada data insidens yang pasti karena banyak penderita
epilepsi yang tidak terdeteksi atau tidak mengunjungi pusat kesehatan. Penderita epilepsi ini
sebagian akan mengalami status epileptikus. Empat puluh persen anak penderita epilepsi
mengalami status epileptikus sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita epilepsi
mengalami status epileptikus sebagai gejala pertama epilepsy. (Hukor Kemenkes RI, 2017)
Kejang merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosa secara
dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih
parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat dituntut
untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan
keperawatan kepada keluarga dan pasien, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu
kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada
kejang adalah: mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma,
mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi
kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya

5
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan umum
Makalah ini dibuat untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan konsep
asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan gangguan sistem
persarafan kejang
1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa mampu memberikan gambaran mengenai:
1. Definisi dari gangguan sistem persarafan kejang
2. Etiologi, manifestasi klinis, dan patofisiologi dari kejang
3. Pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan kejang pada kondisi gawat
darurat
4. Asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien kejang mulai dari pengkajian,
penentuan diagnosa, intervensi prioritas dan implementasi serta evaluasi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang adalah episode aktivitas listrik abnormal di otak. Seperti sakit kepala, kejang
lebih merupakan gejala daripada penyakit. Tiga kategori kejang yang paling umum adalah
generalisasi, fokal/ kejang parsial, dan status epileptikus. Frekuensi kejang sedikit lebih
tinggi pada pria daripada wanita, dengan insiden puncak pada mereka yang berusia di atas 65
tahun. Kejang dapat menyebabkan kelainan fisiologis termasuk hipoksia dan apnea,
hipertermia sementara, hipoglikemia, dan asidosis. (Hammond & Zimmermann, 2012)
1. Kejang Umum (generalized)
Ada dua jenis kejang umum — kejang absen (petit mal) dan kejang tonik klonik (grand
mal). Kejang umum dapat melibatkan kedua belahan otak. Kejang umum melibatkan
kehilangan kesadaran dan dapat disertai dengan gerakan tonik-klonik bilateral. (Howard
& Steinmann, 2009)
a. Kejang absen biasanya terjadi pada anak-anak usia 4 hingga 12 tahun dan
cenderung berjalan dalam keluarga. Episode ditandai dengan penghentian
aktivitas secara tiba-tiba dengan kehilangan kesadaran sesaat, durasinya kurang
dari 15 detik, dan dapat disertai dengan otomatisme. Pasien kembali ke garis dasar
segera setelah kejang. (Howard & Steinmann, 2009)
b. Kejang tonik-klonik dimulai dengan hilangnya kesadaran mendadak diikuti oleh
kontraksi tonik utama kelompok otot besar. Lengan dan kaki memanjang dengan
kaku saat orang itu jatuh ke tanah. Jeritan melengking mungkin mendahului
peristiwa itu. Selama fase tonik, orang tersebut mengalami apneik, pupil melebar
dan tidak responsif, dan terjadi inkontinensia usus dan kandung kemih. Individu
juga dapat menggigit lidahnya. Selama fase klonik berat, kontraksi otot ritmik
terjadi. Hiperventilasi, berkeringat banyak, takikardia, dan air liur berlebihan
dengan buih biasanya ada. Fase postiktal terjadi setelah otot rileks. Napas dalam
dan tingkat kesadaran tertekan hadir. Orang yang terbangun bingung dengan
keluhan sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan. Ada amnesia umum mengenai

7
kejadian tersebut, dan orang tersebut dapat tidur berjam-jam sesudahnya.
(Howard & Steinmann, 2009)
2. Kejang parsial
Kejang parsial atau fokal melibatkan salah satu belahan otak. Kejang parsial
terbatas pada satu bagian tubuh tertentu dan dapat digolongkan lebih sederhana atau
kompleks. Status mental pasien tidak terpengaruh dalam kejang parsial sederhana,
sedangkan pada kejang parsial kompleks ada kehilangan kesadaran. Kejang parsial dapat
terdiri dari aktivitas motorik fokal, gejala sensorik somatik, atau gangguan pada
penglihatan, pendengaran, bau, atau rasa pasien. Aktivitas motorik fokal dapat terjadi
pada area tertentu atau dimulai pada satu area dan berlanjut ke area sekitarnya secara
terorganisir (kejang jacksonian). Gejala sensorik somatik termasuk kesemutan atau mati
rasa. (Howard & Steinmann, 2009)
Kejang parsial dapat terjadi dengan kejang umum sekunder. Aktivitas kejang
berasal secara lokal dan berkembang sampai seluruh tubuh terlibat. Ada hilangnya
kesadaran terkait. Kejang parsial sering terlihat pada orang dewasa dan umumnya kurang
responsif terhadap perawatan medis. (Howard & Steinmann, 2009)
3. Status Epileptikus
Status epilepticus (SE) adalah kondisi yang mengancam jiwa, SE didefinisikan secara
tradisional sebagai aktivitas epilepsi selama 30 menit yang terus berlangsung atau kejang
tanpa pemulihan di antaranya. Pada tahun 2015, Satuan Tugas International League
Against Epilepsy (ILAE) mengusulkan untuk mendefinisikan SE sebagai aktivitas tonik-
klonik bilateral yang berlangsung lebih dari 5 menit, SE absence dan SE fokal merupakan
kejang yang terjadi lebih dari 10 menit. (Leitinger, M., Trianka, E., dkk, 2019)
Pasien dalam status epileptikus mengalami serangkaian kejang berturut-turut (tanpa
kondisi normal antara) atau satu kejang terus menerus yang berlangsung lebih dari 5
menit yang tidak sembuh secara spontan dan tidak responsif terhadap pengobatan
tradisional. Situasi ini merupakan keadaan darurat medis yang membutuhkan intervensi
segera. Asidosis yang dihasilkan, hipoglikemia, hiperkalsemia, kerusakan otot, dan
disfungsi otonom berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
(Hammond & Zimmermann, 2012)
8
Kejang adalah gejala dari masalah yang mendasari daripada diagnosis independen.
Didefinisikan sebagai fungsi neuron abnormal karena pelepasan neuron yang berlebihan atau
tidak sinkron dalam otak, kejang diklasifikasikan sebagai parsial, umum, atau tidak
terklasifikasi. Kejang tidak terklasifikasi adalah kejang yang tidak termasuk dalam kategori
lain. Manifestasi kejang mencerminkan area otak di mana neuron dilepaskan. Kejang sering
digambarkan oleh fase-fase seperti preiktal, prodromal, aura, postiktal, tonik, klonik, dan
atonik. (Howard & Steinmann, 2009)
Manajemen kejang tergantung pada jenis dan durasi aktivitas kejang. Kebanyakan kejang
sembuh sendiri dan tidak memerlukan intervensi segera. Perawatan awal berfokus pada
mempertahankan patensi jalan napas dan pencegahan cedera selama kejang. Terapi oksigen
harus dimulai dan akses intravena diperoleh. Tingkat glukosa harus segera diperiksa karena
hipoglikemia dapat menyebabkan kejang. Pengobatan tambahan tergantung pada jenis kejang
dan penyebab yang mendasarinya. (Howard & Steinmann, 2009)
Kejang terjadi sebagai akibat dari aktivitas listrik di otak yang tiba-tiba berlebih yang
menghasilkan pelepasan neuron abnormal dalam jaringan otak. Jenis kejang yang dialami
seseorang tergantung pada area otak tempat aktivitas ini terjadi. Kejang grand mal yang
menghasilkan gerakan tonik-klonik berulang adalah yang paling sering terlihat dalam
keadaan darurat. Kejang epilepsi digolongkan parsial atau umum. Kejang parsial melibatkan
bagian otak, sedangkan kejang umum melibatkan seluruh otak. Dimungkinkan kejang parsial
untuk menjadi umum jika aktivitas epilepsi menyebar ke seluruh otak. (Crouch, Chartes,
Dawood & Bennet, 2009)

9
Sumber :Pathophysiology of disease : an introduction to clinical medicine, 8th edition
2.2 Anatomi Fisiologi System Persarafan(tarwoto, aryani ratna, wartonah, 2009)
Sistem persarafan dan sistem hormonal merupakan bagian-hagian tubuh yang saling
berkomunikasi dan saling berhubungan.Sistem ini mempunyai kemampuan untuk
mengkoordinasi, menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan
sekitarnya. Secara ringkas sitem persarafan dibagi atas dua bagian, yaitu
1. Sistem Saraf Pusat (SSP): SSP terdiri atas otak dan medula spinalis.
2. Sistem Saraf Tepi (SST): SST terdiri atas neuron aferen dan eferen, sistem saraf
somatis (SSS) serta neuron sistem saraf otonom/viseral (SSO)
A. Mikrostruktur Sistem Saraf dan Fungsi
1. Sel Neuroglia
Kurang lebih 40% dari struktur dan otak dan medula spinalis tersusun dari sel
neuroglia. Sel ini berfungsi sebagai sel pendukung, proteksi dari sel-sel tubuh dan sel
neuron. Sel-sel neuroglia diantaranya terdiri dari astroglia, epindyma. microglia dan
oligodenroglia.
Tipe Sel Astroglia mempunyai fungsi memberikan makanan pada struktur
neuron, pembentuk kerangka dan kapiler neuron. Bagiandari sawar pembuluh darah
otak. Tipe sel oligodendroglia berfungsi sama seperti sel Schwan pada saraf perifer,
membentuk lapisan mielin di akson pada CNS, Tipe sel Ependyma berfungsi

10
memproduksi cairan serebro spinalis, banyak terdapat pada pleksus choroid dan
sistem ventrikel, dan Microglia berfungsi banyak terdapat pada white matter fagosit.

2. Neuron
Neuron merupakan unit fungsional sel saraf dengan bentuk yang berbeda
beda, berfungsi sebagai penerus stimulus atau respon. Struktur neuron dibagi menjadi
tiga bagian besar yait Cell Body Dendrit dan Axon. Denrit dan Axon disebut serabut
saraf.
Dendrit adalah serat pendek seperti sikat yang melekat pada bagian sel luar
Mempunyai cabang-cabang serat yang pendek dan banyak. Informasi pertama kali
diterima oleh denrit yang kemudian dilanjutkan ke sel body saraf dan ke axon. Badan
sel terdiri atas nukleus, nukleolus. badan nissl dan organel-organel lain seperti
mitokondria, apartus golgi, lisosom. Axon adalah satu percabangan dari sel saraf yang
keluar dari badan sel yang berfungsi sebagai penghantar informasi dari badan sel ke
axon terminal (synpatic knobs). Setiap sel saraf memiliki satu axon dengan panjang
yang bervariasi. Axon dilapisi/diselubungi oleh lapisan tipis lipid-protein yang
disebut mielin. Lapisan mielin tidak seluruhnya melapis axon tetapi membentuk
nodus ranvier Serabut saraf yang kaya dengan mielin disebut serabut mielin dan
merupakan penyusun utama white matter/substansia putih pada susunan saraf pusat.

11
Sedangkan yang tidak bermielin banyak terdapat pada gray matter/substansia abu-abu
pada susunan sarat pusat.

3. Sinap
Informası dan komunikasi dan sel sarat terjadi karena adanya proses listrik
dan kimia. Hantaran impuls dan neuron satu ke yang lain melalui sinap. Sinap adalah
tempat/titik pertemuan antara neuron satu dengan neuron yang lainnya dan ke otot.
Struktur dari sinap terbagı atas presinap yaitu pada bagian axon terminal sebelum
sinap celah sinap yaitu ruang diantara pre dan post sinap dan post sinap pada bagian
denrit Pada celah sinap terdapat senyawa kimia yang bertungsi menghantarkan impuls
yang disebut neurotansmitter. Neurotransmitter mem punyai sifat eksitasi
(meningkatkan impuls) misalnya asetikolin norepinefrin dan inhibisi (menghambat
impuls) misalnya Gamma Aminobutyric Acid (GABA) pada jaringan otak dan glisin
pada medula spinalis. Proses dimana impuls sarat dihantarkan melalui sinaps disebut
transmisi sinap.

4. Impuls Saraf
Serat saraf dan jaringan otot merupakan jaringn eksitabel yang mamu
menghantarkan signal kimia dan listrik dalam tubuh. Kemampuan hantara tergantung
pada keutuhan lingkungan intra dan ekstra sel saraf. Dalam keadaan istirahat sel saraf
mempunyai keseimbangan gradien konsentrasi ion dimana pada intrasel bermuatan
negatif , dan ekstrasel bermuatan positit (+) Elektrolit yang berperan dalam proses

12
terjadinya impuls adalah Kalium (K+) dan natrium (Na-) Adanya pom Na +
menimbulkan perbedaan konsentrasi dalam sel pa K+ saraf. Perbedaan ion pada
membran neuron disebut potensial membran istirahat yang besarnya 70 mv di jantung
dan sel skeletal -90mv Pada keadaan istirahat sel saraf tidak menghantarkan impuls
Membran sel yang mempunyai muatan listrik/impuls sarat disebut Potensial aksi.
Peningkatan muatan positit akan menimbulkan arus listrik dari 70 mv menajdi + 30
mv keadaan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi terjadi di sepanjang serat saraf
Setelah depolarisasi gerakan ion natnum kembali seperti semula, keadaan ini disebut
repolarisasi.

B. Struktur Dan Fungsi Medula Spinalis


Medula spinalis terdiri dari korda jaringan saraf yang terletak dalam kolumna vertebra
dan memanjang dan medula batang otak sampai ke area vertebra lumbal pertama. Fungsi
utama medula spinalis yang terkait dengan aktivitas dan refleks tubuh dan menstransmisi
impuls ke dalam otak melalui traktus asenden dan desenden.
Medula spinalis mengandung gray matter (sel neuron tubuh) berbentuk seperti huruf
H dan terbuat oleh white matter (axion bermielin). White matter dibagi menjadi kolumna
posterior, lateral dan anterior sedangkan baglan grey matter terbagi di bagian posterior,
intermedialateral dan anterior. Pada posterior gray matter merupakan tempat penerimaan
sensorik dan sensorik bagian intermediolateral (T1-L2 3) tempat keluarnya serabut
simpatik, reseptor sensorik viseral dan serabut motorik viseral. Bagian anterior grey
matter adalah tempatkeluarnya lowr motor neuron.
C. Saraf Spinal
Sebanyak 31 pasang saraf tulang belakang berasal dari segmen yang berbeda dari
sumsum tulang belakang. Sebanyak 8 pasang dari servikal, 12 pasang bagian thorakal, 5
pasang lumbal, 5 pasang sakral dan 1 pasang bagian kogsigeal.

2.3 Etiologi & Factor Resiko


Berdasarkan (Crouch, Chartes, dkk, 2009) etiologi dari kejang adalah:
13
1. Epilepsi
2. Stroke
3. Gangguan metabolisme
4. Hipertensi pada kehamilan
5. Putus alkohol
6. Overdosis barbiturat, kokain, atau benzodiazepin
7. Trauma neurologis sebelumnya
Berdasarkan type nya penyebab dari kejang menurut (Borchers, A. A., 2015) adalah:
1. Kejang Absence : epilepsy idiopatik
2. Kejang tonik-klonik:
 Penyebab medis: abses otak, tumor otak, eklampsia, radang otak, epilepsy,
trauma kepala, ensefalopati hepatic, hipoglikemia, hiponatremia,
hipoparatiroidisme, ensefalopati hipoksia, neurofibromatosis, stroke
 Penyebab lain: keracunan arsenic, efek GI, overdosis barbiturate, tes
diagnostic, narkoba
3. Kejang parsial komplek: abses otak, trauma kepala, ensefalitis simpleks herpes
4. Kejang parsial sederhana: abses otak, tumor otak, trauma kepala, stroke

2.4 Manifestasi Klinis


Berdasarkan (Crouch, Chartes, dkk, 2009) tanda dan gejala kejang secara umum adalah:
1. Gejala
a. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat
menjelang kejang— klien akan merasakan perasaan, mencium bau, atau suara
tertentu sebelum terjadi kejang.
b. Demam dan / atau tremor.
2. Tanda-tanda
a. Kejang kronis — kejang tonik-klonik.
b. Respirasi yang dalam.
c. Kemungkinan sianosis.
d. Suhu naik.
14
e. Inkontinensia.
Manifestasi klinis berdasarkan type dari kejang menurut (Borchers, A. A., 2015):
1. Kejang absence, menghasilkan automatisme seperti memukul bibir berulang,
sentakan pada mata, menjatuhkan benda yang sedang dipegang.
2. Kejang tonik-klonik
 Fase tonik: apneu, pupil melebar, inkontinensia usus dan kandung kemih,
pasien menggigit lidah
 Fase klonik: kontraksi otot ritmik, hiperventilasi, berkeringat banyak,
takikardia, air liur berlebih
 Fase postictal: napas dalam, pasien mulai sadar, bingung, sakit kepala, nyeri
otot, dan kelelahan, klien tidak ingat apa yang telah terjadi selama kejang.
3. Kejang parsial komplek: halusinasi, déjà vu, pasien ketakutan, cemas, memukul bibir,
melakukan tindakan yang tidak pantas seperti membuka pakaian, terjadi automatisme,
perubahan suasana hati.
4. Kejang parsial sederhana:
 Fase tonik: kontraksi pada jari, sudut mulut, dan kaki
 Fase klonik: kontraksi menyeba ke otot lain di sisi tubuh yang sama, lalu
bergerak ke atas lengan atau kaki dan akhirnya menyebar ke seluruh sisi
tubuh.
 Fase postictal: pasien mungkin menglaami kelumpuhan Todd pada anggota
tubuh yang terkena, dan akan sembuh dalam 24 jam.

15
Factor Predisposisi
Hipoksia, Keracunan, Kelainan Genetic, Trauma/Cidera Kepala, Tumor & Abses, Pembengkakan Sel, Demam

2.5 Patofisiologi
Gangguan Pada Neuron/ Sel-Sel Syaraf
3

Pelepasan Energy Elektrokimia

Lepasnya Muatan Listrik Yang Berlebihan Di Neuron Syaraf Pusat

Pelepasan Impuls Abnormal Secara Mendadak Dan Berlebih Di Otak

Ketidaksinkronan Impuls

Penurunan Kesadaran Gerakan Fisik Yang Tidak Teratur

KEJANG

Parsial Umuma

Kesadaran Menurun Aktivitas Otot Meningkat

Metabolism Meningkat
RESIKO CIDERA Reflek Menelan Menurun

Kebutuhan O2 Menurun Suhu


Tubuh ↑
Aspirasi

BERSIHAN JALAN NAPAS TIDAK EFEKTIF HIPERTEMI


Terjadinya Metabolism Anaerob Dispneu

POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF


NYERI
16
Berdasarkan (Pathophysiology of Seizures, 2017) hal termudah yang dapat
dibayangkan pada saat terjadinya kejang adalah adanya badai petir di malam musim
panas yang hangat. Dimana dapat terlihatnya semburan petir secara acak dan cepat di
seluruh langit. Neuron di otak terlihat seperti ini selama episode kejang
Kejang disebabkan oleh pelepasan paroksismal/pelepasan yang sering terjadi
dalam waktu yang singkat dari kelompok neuron, yang muncul akibat eksitasi /
rangsangan berlebihan atau hilangnya daya hambat. Unit kunci neurotransmisi adalah
sinapsis, dan komponen fundamental dari sinapsis adalah saluran ion. Dengan demikian,
penyebab kejang bermuara pada kerusakan saluran ion.
Neuron adalah sel saraf, yang berkomunikasi melalui potensi membran. Ion
positif dan negatif dalam keseimbangan yang berada di dalam dan di luar neuron
menentukan apakah neuron sedang istirahat atau bekerja (yaitu mengirim pesan). Ion
adalah pembawa pesan kimiawi dengan muatan positif atau negatif yang menyebabkan
sinyal listrik dikirim oleh otak. Sebuah neuron berada pada potensi membran istirahat
ketika muatan di dalam sel lebih negatif daripada di luar. Ketika sebuah neuron sedang
bekerja, ada perubahan keseimbangan ion positif dan negatif lalu pesan elektrokimia
dikirim, yang menyebabkan tubuh secara sukarela atau tidak sengaja bergerak,
merasakan, atau berperilaku. Jadi, neuron adalah pembawa pesan elektrokimia di dalam
tubuh.
Selama episode kejang, potensi membran neuron diubah dengan cara yang
berlebihan sehingga menyebabkan neuron menjadi hipersensitif atau terlalu aktif karena
rangsangan atau peristiwa pemicu tertentu. Seperti yang telah kita bahas, penyebab
kejang bisa diketahui atau tidak diketahui.
Pemicu dari kejang disebabkan oleh aktivasi kanal kalsium yaitu masuknya kalsium
yang akan membuka kanal kation spesifik dan menyebabkan depolarisasi massif atau
depolarisasi besar (masuknya ion Na+ secara berlebih kedalam sel) yang di akhiri dengan
repolarisasi yaitu pembukaan kalsium yang akan mengaktivasi kanal kalium dan klorida.
Depolarisasi massif dapat di hambat oleh magnesium dan Kanal NMDA
normalnya juga di blok oleh Magnesium. Akibat dari penghambatan ini terjadi aktivitas
pengeluaran konsentrasi kalium ke luar membrane sel sehingga terjadi hippomagnesium.
17
Tidak hanya itu Pada Dendrit di bagian sel pyramidal juga terjadi depolarisasi
akibat glutamate. Glutamat bekerja pada saluran kation kalsium pada kanal AMPA.
Namun pada kasus terjadinya depolarisasi massif maka akan terjadi aktivasi kanal AMPA
sehingga terjadinya penipisan blok magnesium, sehingga terjadi defisiensi magnesium.
Defisiensi magnesium dan depolarisasi massif mengakibatkan aktivasi kanal NMDA yang
mengakibatkan masuk nya Ca2+ kedalam sel neuron.
Peningkatan Ca2+ yang akan dihambat oleh magnesium akan menghasilkan defiseinsi
magnesium dan peningkatan konentrasi ion K+ di membrane sel yang akan dikirim keluar sel.
Peningkatan ini dapat menyebabkan penurunan ion Na+ dan K+ di dalam sel sehingga akan
terjadi penurunan O2 di dalam sel yang menyebabkan hipoksia jaringan serebral sehingga dapat
terjadinya penurunan kesadaran dan kejang.
Normalnya depolarisasi di akibatkan karena pengurangan dari neuron inhibitor
yaitu GABA yang menghambat aktivasi Kalium dan kanal klorida. GABA adalah bentuk
dari glutamate dekarboksilase yang merupakan sebuah enzim yang dibutuhkan piridoksin
atau B6 sebagai kofaktor. Defisiensi dari vitamin B6 juga dapat menyebabkan terjadinya
kejang.

2.6 Pemeriksaan Diagnostic


Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa seizure menurut (latha ganti, 2018) adalah:
a. CT / MRI digunakan untuk memberikan gambaran yang jelas pada otak. Pemindaian
ini memungkinkan untuk melihat kelainan seperti aliran darah yang tersumbat atau
tumor atau hidrosefalus
b. Tes laboratorium:
 FBC/ pemeriksaan darah lengkap untuk melihat terjadi nya sepsis
 EUC (electrolit, urea, creatinine)
 Kalsium / Magnesium / Fosfat (CMP/ comprehensive metabolic panel) untuk
mendapatkan informasi terkait status ginjal, hati, elektrolit, serta keseimbangan
asam/basa, gula darah termasuk protein dalam darah.
 Skrining toksikologi untuk menguji obat, racun

18
2.7 Penatalaksanaan Medis
Pemberian tata laksana pada pasien kejang harus disesuaikan dengan pasien secara
individual karena jenisnya beragam dan bedanya penyebab kejang serta perbedaan dalam
efektivitas dan toksititas obat. Apabila penyebab kejang disebabkan oleh gangguan
metabolism seperti ketidak seimbangan glukosa atau elektrolit serum maka terapi ditujukan
untuk memulihkan gangguan metabolism dan mencegah kekambuhan. Perlu di ingat bahwa
tidak semua pasien kejang memerlukan terapi obat dan pemilihan pemakaian obat didasarkan
oleh berbagai factor, namun tata laksana terhadap kejang tersebut sangat penting di lakukan
apabila kejang berlangsung sering, kronik, berat , berkepanjangan dan dimulai pada usia
muda yang berhubungan dengan stagnansi perkembangan individu tersebut, penurunan
kognitif dan intelektual, diskriminasi, cedera induced kejang dan menganggu aktivitas
pasien. (Arif & Hirsch, 2008)
Tata laksana terhadap kejang/epilepsy yang dilakukan menurut Arif & Hirsch, 2008 melalui:
1. Cari tahu penyebab kejang
2. Obat-obat antiepilepsi berupa:
Berikut merupakan obat pada kejang generalisasi tonik klonik dan parsial :
a. Lini pertama diberikan karbamazepin dan valproate,
b. Lini kedua diberikan topiramat, lamotrigine, gabapentin, etosuksimid,
primidone, fenobarbital, fenitoin, tiagabin, zonisamid dan levitirasetam.
Berikut merupakan obat pada kejang absence, tipe obat ini menghambat thalamic
Ca2+ T-type current berupa:
a. Lini pertama diberikan etosuksimid, asam valproate, lamotrigine.
b. Lini kedua diberikan diet ketogenic, klonazepam, asetozolamid.
3. Obat-obat antikonvulsan

19
Sumber: Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine, 8th edition
4. Terapi penyebab dari kejang
5. Terapi antiepilepsi tambahan berupa pemberian ketogenic dan hormone.

2.8 Komplikasi
Menurut artikel medilineplus, 2018 Komplikasi yang mungkin timbul pada kejang dapat
berupa:
a. Menghirup makanan atau air liur ke paru-paru selama kejang, yang dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi
b. Cidera karena jatuh, benjolan, gigitan sendiri, mengemudi atau mengoperasikan
mesin saat kejang
c. Kerusakan otak permanen (stroke atau kerusakan lainnya)
d. Efek samping dari obat-obatan

2.9 Asuhan Keperawatan


A. PENGKAJIAN
a. Keadaan Umum
Pada kasus epilepsia terjadi pelepasan aliran listrik yang berlebihan disel neuron
saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, sehingga pada
pengkajian gawat darurat kondisi umum klien tergolong sakit berat, sakit berat
b. Penggolongan sesuai Triage
20
Status Epileptikus adalah keadaan kejang yang berlangsung lama dan bisa
menyebabkan penderitanya mengalami penurunan kesadaran. Kondisi ini
tergolong gawat dan perlu penanganan medis darurat karena dapat menyebabkan
kerusakan otak dan berakibat fatal. Namun tidak semua kejang termasuk kedalam
zona merah atau urgent, berikut penggolongan triage kejang :
Hasil Pengkajian Pertimbangan Keperawatan
1. Kritis Resusitasi
- Apnea atau gangguan pernapasan - Rujuk untuk perawatan segera
parah - Staf di samping tempat tidur
- Pulseless - Mobilisasi tim resusitasi
- Tidak responsif - Banyak sumber daya yang
- Status epileptikus dibutuhkan
- Pucat, mengeluarkan keringat, dan
pusing atau lemah
2. Resiko tinggi Emergency
- Status mental berubah - Jangan tunda pengobatan
- Sejarah cedera kepala - Beri tahu dokter
- Kehamilan: eklamsia - Berbagai studi atau prosedur
- Overdosis atau keracunan diagnostik
- Tiba-tiba kelemahan, - Konsultasi yang sering
ketidakmampuan untuk - Pemantauan terus menerus
bergerak - Jika banyak pasien dengan
- satu sisi tubuh, kesulitan gejala serupa atau
berbicara - dicurigai terpapar agen WMD,
- Kecurigaan yang kuat terhadap mulai
paparan agen WMD - prosedur dekontaminasi, sesuai
- dan bergejala rencana fasilitas
- Sakit kepala parah - Lihat lampiran Q, Agen Biologi
- Kejang pertama kali / Kimia
- Kelesuan yang terus menerus - Agen
21
dan tidak biasa
3. Risiko sedang Urgent
- Sakit parah - Rujuk untuk perawatan sesegera
- Demam 101,4 ° F mungkin
- Penghentian alkohol atau obat- - Mungkin memerlukan beberapa
obatan secara tiba-tiba studi diagnostik atau
- konsumsi pada pengguna kronis - Prosedur
- Kejang yang sering terjadi saat - Pantau perubahan kondisi
minum antikonvulsan - Jika tanda vital tidak normal,
- obat-obatan pertimbangkan Level 2
- Sakit kepala
- Kekakuan nuchal
- Sejarah kejang dan penggunaan
yang tidak konsisten
- obat-obatan atau penggunaan
alkohol yang berlebihan
4. Risiko rendah Semi Urgent
- Nyeri sedang - Kaji ulang sambil menunggu,
- Riwayat kanker, diabetes, atau sesuai protokol fasilitas
- imunosupresi - Tawarkan ukuran kenyamanan
- Riwayat kejang dan keluar dari - Mungkin memerlukan studi
pengobatan atau prosedur diagnostik
sederhana
5. Risiko sangat rendah Non Urgent
- Sejarah kejang psikosomatis - Kaji ulang sambil menunggu,
- Riwayat kejang dan sesuai protokol fasilitas
kewaspadaan serta orientasi - Tawarkan ukuran kenyamanan
setelahnya - Mungkin perlu pemeriksaan
- bangun dari kejang saja

22
c. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan
berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon
pasien. Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi:
1) Alert (sadar lingkungan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya
karena kondsi klien tidak sadar.
2) Respon verbal (menjawab pertanyaan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat atau tim
medis lainnya saat melakukan pengkajian.
3) Rangsang pada nyeri (Pain)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap rangsangan nyeri yang
diberikan dengan cara menekan pada jari kaki atau jari tangan.
4) Tidak berespon (U)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri
ketika dicubit dan ditepuk wajahnya, karena klien tidak sadar.
d. Primery survey
1) Airway (jalan nafas) Adanya sumbatan jalan nafas sehingga
menyebabkan klien sulit bernafas.
2) Breathing (pola nafas)
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun cepat, peningkatan sekresi
mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien
mengalami apneu, kebutuhan oksigen dan energi meningkat untuk
kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan penurunan tekanan darah
sehingga terjadi gangguan pertukaran oksigen dan CO2 dalam darh yanga
menyebabkan akral dingin, sianosis, dan hilangnya kesadaran.

23
4) Disability
Setelah dilakukan Airway, Breathing, dan Circulation selanjutnya dilakukan
adalah memeriksa status neurologi harus dilakukan yang meliputi:
 Tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS adalah skala yang penting untuk evaluasi pengelolaan jangka pendek
dan panjang penderita trauma. Pengukuran GCS dilakukan pada secondery
survey, hal ini dapat dilakukan jika petugas memadai.
 Penilaian tanda lateralisasi: pupil (ukuran, simetris dan reaksi terhadap
cahaya, kekuatan tonus otot (motorik). Pemeriksaan pupil berperan dalam
evaluasi fungsi cerebral. Pupil yang normal dapat digambarkan dengan
PEARL (Pupils, Equal, Round Reactive to Light) atau pupil harus simetris,
bundar dan bereaksi normal terhadap cahaya.
5) Exposure
Buka pakaian penderita untuk memeriksa cedera agat tidak melewatkan
memeriksa seluruh bagian tubuh terlebih yang tidak terlihat secara sepintas.
Jika seluruh tubuh telah diperiksa, penderita harus ditutup untuk mencegah
hilangnya panas tubuh. Walaupun penting untuk membuka pakian penderita
trauma untuk melakukan penelaian yang efektif, namun hipoteria tidak boleh
dilupakan dalam pengelolaan penderita trauma.
6) Foley Cateter
Pemasangan foley cateter adalah untuk evaluasi cairan yang masuk. Input
cairan harus dievaluasi dari hasil output cairan urin. Output urine normal
 Dewasa: 0.5 cc/kg bb/jam
 Anak: 1 cc /kg bb/jam
 Bayi: 2 cc/kg bb/jam
Namun pemasangan cateter tidak dapat dipasang pada penderita dengan
adanya hematoma skrotum, perdaraha di OUE (Orifisium Uretra External),
dan pada Rektal Touch (RT) posisi prostat melayang/tidak teraba.
7) Gastic Tube

24
Pemasangan kateter lambung dimaksudkan untuk mengurangi distensi
lambung dan mencegah aspirasi jika terjadi muntah sekaligus mempermudah
dalam pemberian obat atau makanan. Kontraindikasi pemasangan NGT
adalah untuk penderita yang mengalami fraktur basis crania atau diduga
parah, jadi pemasangan kateter lambung melalui mulut atau OGT.
8) Heart Monitor / EKG Monitor
Dapat dipasang untuk klien yang memiliki riwayat jantung ataupun pada
kejadian klien tersengat arus listrik.

Secondary survey
a.Riwayat pasien
 S (sign and symptom) : Terjadi kejang yang berulang, klien tidak
sadar dengan lingkungan.
 A (allergies): kaji apakah pasien ada riwayat alergi.
 M (Medication): kaji riwayat pengobatanya pasien.
 P (Pentinant past medical histori): kaji riwayat penyakit dahulu
pasien.
 L (Last oral intake solid liquid): kaji kejadian sebelumnya.
 E (Event leading to injuri ilmes): hal yang telah terjadi selama
cidera
b. Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan
tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot, akral dingin. sianosis.
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter
25
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak
 Test diagnostik
a. CT / MRITes laboratorium:
i. FBC/ pemeriksaan darah lengkap untuk melihat terjadi nya sepsis
ii. EUC (electrolit, urea, creatinine)
iii. Kalsium / Magnesium / Fosfat (CMP/ comprehensive metabolic panel)
untuk mendapatkan informasi terkait status ginjal, hati, elektrolit, serta
keseimbangan asam/basa, gula darah termasuk protein dalam darah.
iv. Skrining toksikologi untuk menguji obat, racun

26
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnose keperawatan berdasarkan SDKI, 2017
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
ditandai dengan sputum yang berlebih, dispneu, gelisah, pola napas berubah,
sianosis.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis ditandai
dengan dipsneu, penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang
pola napas abnormal
3. Risiko cedera ditandai dengan penurunan kesadaran, hipoksia jaringan, kegagalan
mekanisme pertahanan tubuh
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Rencana keperawatan berdasarkan SIKI, 2018 dan SLKI, 2018
N Tujuan Intervensi
o
Dx
1. Setelah dilakukan intervensi selama 1x Manajemen Jalan Napas
24 jam maka bersihan jalan napas Observasi
membaik dengan kriteria hasil: - Monitor pola napas
1. Dispneu menurun - Monitor bunyi napas
2. Gelisah menurun Terapeutik
3. Produksi sputum menurun - Pertahankan kepatenan jalan napas
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisikan kepala klien sebaiknya miring
untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Berikan minum hangat setelah klien sadar
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
Kolaborasi
- Berikan oksigen, jika perlu
2. Setelah dilakukan intervensi selama 1x Pemantauan Respirasi
24 jam maka pola napas Observasi
membaik dengan kriteria hasil: - monitor irama, kedalaman, dan upaya napas
27
1. Dispneumenurun
- monitor adanya sumbatan jalan napas
2. Penggunaan otot bantu
- Auskultasi bunyi napas
napas menurun
Terapeutik
- pantau respirasi klien secara teratur
3. Pemanjangan fase ekspirasi
- posisikan klien miring untuk mengeluarkan
menurun
sekret
4. Frekuensi dan kedalaman napas
Kolaborasi
membaik
- Berikan oksigen, jika perlu
5. Tekanan ekspirasi daninspirasi
Membaik
3. Setelah dilakukan intervensi selama Pencegahan Cidera
1x24jam maka tingkat cedera menurun Observasi
dengan kriteria hasil : - Identifikasi kebutuhan keselamatan
1. Ketegangan otot menurun - Monitor perubahan status
2. gangguan kognitifmenurun keselamatan lingkungan
3. Frekuensi napasmembaik Terapeutik
4. TD normal 120/80 mmHg, nadi - Jauhkan klien dari benda-benda yang
60-100x/menit, RR16-
berbahaya
20x/menit
- Sosialisasikan kepada pasien dan keluarga
dengan lingkungan ruangrawat
- Pastikan bel dan telepon mudah dijangkau
- Pertahankan posisi tempat tidur di posisi
terendah saat digunakan
- Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda
dalam keadaanterkunci
- Diskusikan kepada keluarga yang menjaga
pasien
- Tingkatkan frekuensi observasi
dan pengawasan pasien
Edukasi
- Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh
28
ke pasien dankeluarga
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antikonvulsan
jika perlu

Manajemen kejang
Obsservasi
- Monitor karakeristik kejang
Terapeutik
- Baringkan pasien agar tidak jatuh
- Baerikan alas empuk dibawah kepala
- Longgarkan pakaian, terutama bagian leher
- Dampingi selama periode kejang
- Catat durasi kejang
Edukasi
- Anjurkan keluarga tidak menggunakan
kekerasan untuk menahan gerakan pasien
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antikonvulsan secara
intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih
terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2
masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan
dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum
juga berhenti dapat diberikan fenobarbital
atau paraldehid 4 % secara intravena.

29
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan yang dilakukan untuk pasien dengan kejang yang utama
adalah mencegah terjadi nya cidera pada pasien, memastikan kepatenan jalan napas klien,
mengurangi tingkat nyeri, mengurangi rasa cemas.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Setelah dilakukan tindakan keperawatan hasil yang diharapkan adalah:
1. Mempertahankan jalan napas efektif yang dapat dilihat dari kemampuan bernapas
secara normal dan tidak terdapat sumbatan pada jalan napas serta gelisah yang
menurun, tingkat kesadaran menigkat
2. Mempertahankan pola napas efektif yang dapat dilihat dari kemampuan untuk
bernapas, frekuensi, irama, dan kedalaman napas normal, tidak ditemukan hipoksia,
serta paru mampu mengembang dengan baik.
3. Kejang berkurang/menghilang
4. Tidak terjadinya cedera, dilihat dari tidak adanya ketegangan otot, frekuensi napas
yang membaik, hasil tekanan darah, jumlah nadi dan pernapasan yang normal serta
stabil

30
BAB III
KESIMPULAN
1.1 KESIMPULAN
Kejang adalah episode aktivitas listrik abnormal di otak. Seperti sakit kepala, kejang
lebih merupakan gejala daripada penyakit. Tiga kategori kejang yang paling umum
adalah generalisasi, fokal, dan status epileptikus. Frekuensi kejang sedikit lebih tinggi
pada pria daripada wanita, dengan insiden puncak pada mereka yang berusia di atas 65
tahun. Kejang dapat menyebabkan kelainan fisiologis termasuk hipoksia dan apnea,
hipertermia sementara, hipoglikemia, dan asidosis. (Hammond & Zimmermann,
2012). Kejang merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera.
Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk
menghindari komplikasi yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang
sering. Untuk itu tenaga perawat dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi
keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan
pasien, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu
dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara
bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah:
mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari
trauma,mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif,
memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan
kebutuhan penanganannya.

1.2 SARAN
Kami berharap akademik dapat menyediakan sumber buku mengenai masalah kejang
dengan tahun dan penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam
pembuatan laporan ini dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama dengan
pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori. Kami menyadari bahwa
penulisan makalah ini masih banyak yang perlu diperbaiki, maka dari itu kami
menghimbau agar pembaca dapat menambahkan referensi dari sumber lain. Kami juga
berharap kapada seluruh mahasiswa keperawatan untuk dapat meningkatkan
31
pengetahuan, pemahaman serta keterampilan dalam proses keperawatan kebutuhan
dasar dalam hal ini pasien dengan gangguan sistem persarafan kejang, dimana hal
tersebut menjadi sangat penting untuk memberikan asuhan keperawatan yang optimal

32
DAFTAR PUSTAKA
Arif H, Hirsch LJ. 2008. Treatment of status epilepticus. Semin Neurol ;28(3):342-54
Arifuddin, Adhar. Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam Di Ruang Perawatan Anak
Rsu Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 2 No. 2, Juli 2016: 1-72. Program
studi kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan Universitas tadulako
Briggs, J.K.; Grossman, V.G.A. 2011. Emergency Nursing: 5-Tier Triage Protocols. Lippincott
Borchers, A. A. (2015). Handbook of signs & symptoms.Philadelphia : Wolters Kluwer
Crouch OBE R, Charters A, Dawood M, Bennett P, eds. 2009. Oxford Handbook of Emergency
Nursing. Oxford, UK: Oxford University Press;
https://oxfordmedicine.com/view/10.1093/med/9780199203499.001.0001/med
9780199203499. (Accessed July 28, 2020)
Ganti, L. and Goldstein, J., 2018. Neurologic Emergencies. Cham: Springer International
Publishing.
Hammond, B.B; Zimmermann, P.G. (2012). Sheehy's Manual of Emergency Care. 7th edition.
UK:Elsevier Health Sciences
Howard, P.K; Steinmann, R.A. (2009). Sheehy's Emergency Nursing: Principles and Practice.
6th edition. Philadelphia : Mosby Elsevier
https://medlineplus.gov/ency/article/000694.htm diakses pada 30 juli 2020 pukul 19:44
Hukor kemenkes. 2017.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.01_.07-MENKES
367-2017_ttg_Pedoman_Pelayanan_Kedokteran_Tata_Laksana_Epilepsi_Anak_.pdf
diakses pada 14 agustus 2020
In McPhee, S. J., & In Hammer, G. D. (2019). Pathophysiology of disease: An introduction to
clinical medicine, 8th edition. New York, N.Y: McGraw-Hill Education LLC.
Leitinger, M., Trinka, E., Giovannini, G., Zimmermann, G., Florea, C., Rohracher, A., ... &
Kuchukhidze, G. (2019). Epidemiology of status epilepticus in adults: a population‐based
study on incidence, causes, and outcomes. Epilepsia, 60(1), 53-62.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/epi.14607 diakses pada 14 agustus 2020
Murti, Andriastuti. Cetakan pertama 2014. Current Evidences in Pediatric Emergencies
Management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

33
Pathophysiology of Seizures. (2017, October 31). Retrieved from
https://study.com/academy/lesson/pathophysiology-of-seizures.html. diakses pada
tanggal 11 agustus 2020
PPNI (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Indicator Diagnostic
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Pramesti, F. A., Husna, M., Kurniawan, S. N., & Rahayu, M. (2017). DIAGNOSIS AND
MANAGEMENT OF NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS (NCSE). Malang
Neurology Journal, 3(1), 30-38.
Ria, Indah. dkk.Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Media Videoterhadap Pengetahuan Ibu
Dalam Pencegahankejang Demam Balita. Health Sciences Journal vol. 3 No. 1. April
2019. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. New York: Thieme; 2000 hal. 338-339

34

Anda mungkin juga menyukai