Disusun oleh:
Kelompok 4B
Nama Anggota:
Bunga Loverdha (P17120018008)
Dyah Wulandari (P17120018012)
Nadia aulia (P17120018027)
Rosy Maylinda (P17120018033)
Kelompok
2
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................4
1.2 Tujuan penulisan.......................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................................6
2.1 Definisi........................................................................................................................................6
2.2 Anatomi Fisiologi System Persarafan (tarwoto, aryani ratna, wartonah, 2009)...................7
2.3 Etiologi & Factor Resiko.........................................................................................................13
2.4 Manifestasi Klinis....................................................................................................................14
2.5 Patofisiologi..............................................................................................................................16
2.6 Pemeriksaan Diagnostic..........................................................................................................18
2.7 Penatalaksanaan Medis...........................................................................................................18
2.8 Komplikasi...............................................................................................................................19
2.9 Asuhan Keperawatan..............................................................................................................20
BAB III.....................................................................................................................................................30
KESIMPULAN........................................................................................................................................30
1.1 KESIMPULAN........................................................................................................................30
1.2 SARAN.....................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................32
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang adalah masalah neurologic yang relatif di jumpai. Diperkirakan bahwa 1 dari 10
orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. Kejadian kejang pada
manusia terjadi pada dua puncak usia yaitu pada dekade pertama kehidupan dan setelah usia
60 tahun. Kejang disebabkan oleh gangguan pada aktivitas listrik, di satu atau seluruh area
otak. Gangguan tersebut dapat dipicu oleh penyakit di otak, atau kondisi lain yang secara
tidak langsung memengaruhi fungsi otak. Kejang dapat terjadi akibat lepasnya muatan
paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang mudah terpicu
sehinggamenganggu dari fungsi otak. Namun kejangdapat terjadi di jaringan otak normal di
bawah kondisi patologik tertentu seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit
(Murti, Andriastuti. dkk. 2014).
Kejang sendiri jika berlangsung singkat jarang menimbulkan kerusakan. Tetapi, kejang dapat
merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan seperi gangguan
metabolism, infeksi intrakranium, gejala putus obat, intoksikasi obat, ensefalopati hipertensi,
tetanus dan sebagainya. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang sering kali
ditandai dengan kontraksi otot, yang disertai gerak menyentak pada seluruh tubuh. Namun
sebenarnya, gejala kejang tidak selalu seperti itu. Penderita kejang bisa saja hanya
menunjukkan tatapan mata yang kosong. Diperkirakan bahwa 10% orang akan mengalami
paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka. (Health Sciences Journal. 2016.
Universitas Tadaluko)
Jenis kejang yang sering terjadi adalah kejang demam yang sering menyerang usia balita
sampai anak-anak. Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh. Sifat bangkitan dapat membentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Apabila anak sering mengalami kejang demam akan mengganggu kerja sel dengan
mengakibatkankerusakan pada neuron. Di Indonesia dilaporkan angka kejadian kejang
demam 3-4% yakni pada tahun 2012-2013 dari anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun.
Berdasarkan data WHO 2012 kejang demam 80% terjadi di negara-negara miskin dan 3,5-
4
10,7% terjadi di negara maju. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5
tahun. Kejadian kejang demam di Amerika serikat, Amerika Selatan, dan Eropa barat
diperkirakan 2-4% dari seluruh kelainan neurologis pada anak. Dalam 25 tahun terakhir.
Risiko epilepsi di kemudian hari pada kejang demam sederhana hanya 1-2%.17Pada kejang
demam kompleks, risiko menjadi epilepsi adalah 5-10%. (Health Sciences Journal. 2009.
Universitas Muhammadiyah Ponorogo)
Status epileptikus juga merupakan kondisi emergensi di bidang neurologi yang berkaitan
dengan tingginya angka kematian dan kecacatan jangka panjang. Status epileptikus
merupakan kondisi yang sering tidak terdiagnosis, padahal kondisi tersebut merupakan
kondisi yang dapat mengancam jiwa. (Diagnosis and Management of Nonconvulsive Status
Epilepticus. Malang Neurology Journal. 2017)
Di Indonesia sampai saat ini belum ada data insidens yang pasti karena banyak penderita
epilepsi yang tidak terdeteksi atau tidak mengunjungi pusat kesehatan. Penderita epilepsi ini
sebagian akan mengalami status epileptikus. Empat puluh persen anak penderita epilepsi
mengalami status epileptikus sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita epilepsi
mengalami status epileptikus sebagai gejala pertama epilepsy. (Hukor Kemenkes RI, 2017)
Kejang merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosa secara
dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih
parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat dituntut
untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan
keperawatan kepada keluarga dan pasien, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu
kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada
kejang adalah: mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma,
mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi
kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya
5
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan umum
Makalah ini dibuat untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan konsep
asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan gangguan sistem
persarafan kejang
1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa mampu memberikan gambaran mengenai:
1. Definisi dari gangguan sistem persarafan kejang
2. Etiologi, manifestasi klinis, dan patofisiologi dari kejang
3. Pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan kejang pada kondisi gawat
darurat
4. Asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien kejang mulai dari pengkajian,
penentuan diagnosa, intervensi prioritas dan implementasi serta evaluasi.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang adalah episode aktivitas listrik abnormal di otak. Seperti sakit kepala, kejang
lebih merupakan gejala daripada penyakit. Tiga kategori kejang yang paling umum adalah
generalisasi, fokal/ kejang parsial, dan status epileptikus. Frekuensi kejang sedikit lebih
tinggi pada pria daripada wanita, dengan insiden puncak pada mereka yang berusia di atas 65
tahun. Kejang dapat menyebabkan kelainan fisiologis termasuk hipoksia dan apnea,
hipertermia sementara, hipoglikemia, dan asidosis. (Hammond & Zimmermann, 2012)
1. Kejang Umum (generalized)
Ada dua jenis kejang umum — kejang absen (petit mal) dan kejang tonik klonik (grand
mal). Kejang umum dapat melibatkan kedua belahan otak. Kejang umum melibatkan
kehilangan kesadaran dan dapat disertai dengan gerakan tonik-klonik bilateral. (Howard
& Steinmann, 2009)
a. Kejang absen biasanya terjadi pada anak-anak usia 4 hingga 12 tahun dan
cenderung berjalan dalam keluarga. Episode ditandai dengan penghentian
aktivitas secara tiba-tiba dengan kehilangan kesadaran sesaat, durasinya kurang
dari 15 detik, dan dapat disertai dengan otomatisme. Pasien kembali ke garis dasar
segera setelah kejang. (Howard & Steinmann, 2009)
b. Kejang tonik-klonik dimulai dengan hilangnya kesadaran mendadak diikuti oleh
kontraksi tonik utama kelompok otot besar. Lengan dan kaki memanjang dengan
kaku saat orang itu jatuh ke tanah. Jeritan melengking mungkin mendahului
peristiwa itu. Selama fase tonik, orang tersebut mengalami apneik, pupil melebar
dan tidak responsif, dan terjadi inkontinensia usus dan kandung kemih. Individu
juga dapat menggigit lidahnya. Selama fase klonik berat, kontraksi otot ritmik
terjadi. Hiperventilasi, berkeringat banyak, takikardia, dan air liur berlebihan
dengan buih biasanya ada. Fase postiktal terjadi setelah otot rileks. Napas dalam
dan tingkat kesadaran tertekan hadir. Orang yang terbangun bingung dengan
keluhan sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan. Ada amnesia umum mengenai
7
kejadian tersebut, dan orang tersebut dapat tidur berjam-jam sesudahnya.
(Howard & Steinmann, 2009)
2. Kejang parsial
Kejang parsial atau fokal melibatkan salah satu belahan otak. Kejang parsial
terbatas pada satu bagian tubuh tertentu dan dapat digolongkan lebih sederhana atau
kompleks. Status mental pasien tidak terpengaruh dalam kejang parsial sederhana,
sedangkan pada kejang parsial kompleks ada kehilangan kesadaran. Kejang parsial dapat
terdiri dari aktivitas motorik fokal, gejala sensorik somatik, atau gangguan pada
penglihatan, pendengaran, bau, atau rasa pasien. Aktivitas motorik fokal dapat terjadi
pada area tertentu atau dimulai pada satu area dan berlanjut ke area sekitarnya secara
terorganisir (kejang jacksonian). Gejala sensorik somatik termasuk kesemutan atau mati
rasa. (Howard & Steinmann, 2009)
Kejang parsial dapat terjadi dengan kejang umum sekunder. Aktivitas kejang
berasal secara lokal dan berkembang sampai seluruh tubuh terlibat. Ada hilangnya
kesadaran terkait. Kejang parsial sering terlihat pada orang dewasa dan umumnya kurang
responsif terhadap perawatan medis. (Howard & Steinmann, 2009)
3. Status Epileptikus
Status epilepticus (SE) adalah kondisi yang mengancam jiwa, SE didefinisikan secara
tradisional sebagai aktivitas epilepsi selama 30 menit yang terus berlangsung atau kejang
tanpa pemulihan di antaranya. Pada tahun 2015, Satuan Tugas International League
Against Epilepsy (ILAE) mengusulkan untuk mendefinisikan SE sebagai aktivitas tonik-
klonik bilateral yang berlangsung lebih dari 5 menit, SE absence dan SE fokal merupakan
kejang yang terjadi lebih dari 10 menit. (Leitinger, M., Trianka, E., dkk, 2019)
Pasien dalam status epileptikus mengalami serangkaian kejang berturut-turut (tanpa
kondisi normal antara) atau satu kejang terus menerus yang berlangsung lebih dari 5
menit yang tidak sembuh secara spontan dan tidak responsif terhadap pengobatan
tradisional. Situasi ini merupakan keadaan darurat medis yang membutuhkan intervensi
segera. Asidosis yang dihasilkan, hipoglikemia, hiperkalsemia, kerusakan otot, dan
disfungsi otonom berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
(Hammond & Zimmermann, 2012)
8
Kejang adalah gejala dari masalah yang mendasari daripada diagnosis independen.
Didefinisikan sebagai fungsi neuron abnormal karena pelepasan neuron yang berlebihan atau
tidak sinkron dalam otak, kejang diklasifikasikan sebagai parsial, umum, atau tidak
terklasifikasi. Kejang tidak terklasifikasi adalah kejang yang tidak termasuk dalam kategori
lain. Manifestasi kejang mencerminkan area otak di mana neuron dilepaskan. Kejang sering
digambarkan oleh fase-fase seperti preiktal, prodromal, aura, postiktal, tonik, klonik, dan
atonik. (Howard & Steinmann, 2009)
Manajemen kejang tergantung pada jenis dan durasi aktivitas kejang. Kebanyakan kejang
sembuh sendiri dan tidak memerlukan intervensi segera. Perawatan awal berfokus pada
mempertahankan patensi jalan napas dan pencegahan cedera selama kejang. Terapi oksigen
harus dimulai dan akses intravena diperoleh. Tingkat glukosa harus segera diperiksa karena
hipoglikemia dapat menyebabkan kejang. Pengobatan tambahan tergantung pada jenis kejang
dan penyebab yang mendasarinya. (Howard & Steinmann, 2009)
Kejang terjadi sebagai akibat dari aktivitas listrik di otak yang tiba-tiba berlebih yang
menghasilkan pelepasan neuron abnormal dalam jaringan otak. Jenis kejang yang dialami
seseorang tergantung pada area otak tempat aktivitas ini terjadi. Kejang grand mal yang
menghasilkan gerakan tonik-klonik berulang adalah yang paling sering terlihat dalam
keadaan darurat. Kejang epilepsi digolongkan parsial atau umum. Kejang parsial melibatkan
bagian otak, sedangkan kejang umum melibatkan seluruh otak. Dimungkinkan kejang parsial
untuk menjadi umum jika aktivitas epilepsi menyebar ke seluruh otak. (Crouch, Chartes,
Dawood & Bennet, 2009)
9
Sumber :Pathophysiology of disease : an introduction to clinical medicine, 8th edition
2.2 Anatomi Fisiologi System Persarafan(tarwoto, aryani ratna, wartonah, 2009)
Sistem persarafan dan sistem hormonal merupakan bagian-hagian tubuh yang saling
berkomunikasi dan saling berhubungan.Sistem ini mempunyai kemampuan untuk
mengkoordinasi, menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan
sekitarnya. Secara ringkas sitem persarafan dibagi atas dua bagian, yaitu
1. Sistem Saraf Pusat (SSP): SSP terdiri atas otak dan medula spinalis.
2. Sistem Saraf Tepi (SST): SST terdiri atas neuron aferen dan eferen, sistem saraf
somatis (SSS) serta neuron sistem saraf otonom/viseral (SSO)
A. Mikrostruktur Sistem Saraf dan Fungsi
1. Sel Neuroglia
Kurang lebih 40% dari struktur dan otak dan medula spinalis tersusun dari sel
neuroglia. Sel ini berfungsi sebagai sel pendukung, proteksi dari sel-sel tubuh dan sel
neuron. Sel-sel neuroglia diantaranya terdiri dari astroglia, epindyma. microglia dan
oligodenroglia.
Tipe Sel Astroglia mempunyai fungsi memberikan makanan pada struktur
neuron, pembentuk kerangka dan kapiler neuron. Bagiandari sawar pembuluh darah
otak. Tipe sel oligodendroglia berfungsi sama seperti sel Schwan pada saraf perifer,
membentuk lapisan mielin di akson pada CNS, Tipe sel Ependyma berfungsi
10
memproduksi cairan serebro spinalis, banyak terdapat pada pleksus choroid dan
sistem ventrikel, dan Microglia berfungsi banyak terdapat pada white matter fagosit.
2. Neuron
Neuron merupakan unit fungsional sel saraf dengan bentuk yang berbeda
beda, berfungsi sebagai penerus stimulus atau respon. Struktur neuron dibagi menjadi
tiga bagian besar yait Cell Body Dendrit dan Axon. Denrit dan Axon disebut serabut
saraf.
Dendrit adalah serat pendek seperti sikat yang melekat pada bagian sel luar
Mempunyai cabang-cabang serat yang pendek dan banyak. Informasi pertama kali
diterima oleh denrit yang kemudian dilanjutkan ke sel body saraf dan ke axon. Badan
sel terdiri atas nukleus, nukleolus. badan nissl dan organel-organel lain seperti
mitokondria, apartus golgi, lisosom. Axon adalah satu percabangan dari sel saraf yang
keluar dari badan sel yang berfungsi sebagai penghantar informasi dari badan sel ke
axon terminal (synpatic knobs). Setiap sel saraf memiliki satu axon dengan panjang
yang bervariasi. Axon dilapisi/diselubungi oleh lapisan tipis lipid-protein yang
disebut mielin. Lapisan mielin tidak seluruhnya melapis axon tetapi membentuk
nodus ranvier Serabut saraf yang kaya dengan mielin disebut serabut mielin dan
merupakan penyusun utama white matter/substansia putih pada susunan saraf pusat.
11
Sedangkan yang tidak bermielin banyak terdapat pada gray matter/substansia abu-abu
pada susunan sarat pusat.
3. Sinap
Informası dan komunikasi dan sel sarat terjadi karena adanya proses listrik
dan kimia. Hantaran impuls dan neuron satu ke yang lain melalui sinap. Sinap adalah
tempat/titik pertemuan antara neuron satu dengan neuron yang lainnya dan ke otot.
Struktur dari sinap terbagı atas presinap yaitu pada bagian axon terminal sebelum
sinap celah sinap yaitu ruang diantara pre dan post sinap dan post sinap pada bagian
denrit Pada celah sinap terdapat senyawa kimia yang bertungsi menghantarkan impuls
yang disebut neurotansmitter. Neurotransmitter mem punyai sifat eksitasi
(meningkatkan impuls) misalnya asetikolin norepinefrin dan inhibisi (menghambat
impuls) misalnya Gamma Aminobutyric Acid (GABA) pada jaringan otak dan glisin
pada medula spinalis. Proses dimana impuls sarat dihantarkan melalui sinaps disebut
transmisi sinap.
4. Impuls Saraf
Serat saraf dan jaringan otot merupakan jaringn eksitabel yang mamu
menghantarkan signal kimia dan listrik dalam tubuh. Kemampuan hantara tergantung
pada keutuhan lingkungan intra dan ekstra sel saraf. Dalam keadaan istirahat sel saraf
mempunyai keseimbangan gradien konsentrasi ion dimana pada intrasel bermuatan
negatif , dan ekstrasel bermuatan positit (+) Elektrolit yang berperan dalam proses
12
terjadinya impuls adalah Kalium (K+) dan natrium (Na-) Adanya pom Na +
menimbulkan perbedaan konsentrasi dalam sel pa K+ saraf. Perbedaan ion pada
membran neuron disebut potensial membran istirahat yang besarnya 70 mv di jantung
dan sel skeletal -90mv Pada keadaan istirahat sel saraf tidak menghantarkan impuls
Membran sel yang mempunyai muatan listrik/impuls sarat disebut Potensial aksi.
Peningkatan muatan positit akan menimbulkan arus listrik dari 70 mv menajdi + 30
mv keadaan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi terjadi di sepanjang serat saraf
Setelah depolarisasi gerakan ion natnum kembali seperti semula, keadaan ini disebut
repolarisasi.
15
Factor Predisposisi
Hipoksia, Keracunan, Kelainan Genetic, Trauma/Cidera Kepala, Tumor & Abses, Pembengkakan Sel, Demam
2.5 Patofisiologi
Gangguan Pada Neuron/ Sel-Sel Syaraf
3
Ketidaksinkronan Impuls
KEJANG
Parsial Umuma
Metabolism Meningkat
RESIKO CIDERA Reflek Menelan Menurun
18
2.7 Penatalaksanaan Medis
Pemberian tata laksana pada pasien kejang harus disesuaikan dengan pasien secara
individual karena jenisnya beragam dan bedanya penyebab kejang serta perbedaan dalam
efektivitas dan toksititas obat. Apabila penyebab kejang disebabkan oleh gangguan
metabolism seperti ketidak seimbangan glukosa atau elektrolit serum maka terapi ditujukan
untuk memulihkan gangguan metabolism dan mencegah kekambuhan. Perlu di ingat bahwa
tidak semua pasien kejang memerlukan terapi obat dan pemilihan pemakaian obat didasarkan
oleh berbagai factor, namun tata laksana terhadap kejang tersebut sangat penting di lakukan
apabila kejang berlangsung sering, kronik, berat , berkepanjangan dan dimulai pada usia
muda yang berhubungan dengan stagnansi perkembangan individu tersebut, penurunan
kognitif dan intelektual, diskriminasi, cedera induced kejang dan menganggu aktivitas
pasien. (Arif & Hirsch, 2008)
Tata laksana terhadap kejang/epilepsy yang dilakukan menurut Arif & Hirsch, 2008 melalui:
1. Cari tahu penyebab kejang
2. Obat-obat antiepilepsi berupa:
Berikut merupakan obat pada kejang generalisasi tonik klonik dan parsial :
a. Lini pertama diberikan karbamazepin dan valproate,
b. Lini kedua diberikan topiramat, lamotrigine, gabapentin, etosuksimid,
primidone, fenobarbital, fenitoin, tiagabin, zonisamid dan levitirasetam.
Berikut merupakan obat pada kejang absence, tipe obat ini menghambat thalamic
Ca2+ T-type current berupa:
a. Lini pertama diberikan etosuksimid, asam valproate, lamotrigine.
b. Lini kedua diberikan diet ketogenic, klonazepam, asetozolamid.
3. Obat-obat antikonvulsan
19
Sumber: Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine, 8th edition
4. Terapi penyebab dari kejang
5. Terapi antiepilepsi tambahan berupa pemberian ketogenic dan hormone.
2.8 Komplikasi
Menurut artikel medilineplus, 2018 Komplikasi yang mungkin timbul pada kejang dapat
berupa:
a. Menghirup makanan atau air liur ke paru-paru selama kejang, yang dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi
b. Cidera karena jatuh, benjolan, gigitan sendiri, mengemudi atau mengoperasikan
mesin saat kejang
c. Kerusakan otak permanen (stroke atau kerusakan lainnya)
d. Efek samping dari obat-obatan
22
c. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan
berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon
pasien. Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi:
1) Alert (sadar lingkungan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya
karena kondsi klien tidak sadar.
2) Respon verbal (menjawab pertanyaan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat atau tim
medis lainnya saat melakukan pengkajian.
3) Rangsang pada nyeri (Pain)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap rangsangan nyeri yang
diberikan dengan cara menekan pada jari kaki atau jari tangan.
4) Tidak berespon (U)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri
ketika dicubit dan ditepuk wajahnya, karena klien tidak sadar.
d. Primery survey
1) Airway (jalan nafas) Adanya sumbatan jalan nafas sehingga
menyebabkan klien sulit bernafas.
2) Breathing (pola nafas)
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun cepat, peningkatan sekresi
mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien
mengalami apneu, kebutuhan oksigen dan energi meningkat untuk
kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan penurunan tekanan darah
sehingga terjadi gangguan pertukaran oksigen dan CO2 dalam darh yanga
menyebabkan akral dingin, sianosis, dan hilangnya kesadaran.
23
4) Disability
Setelah dilakukan Airway, Breathing, dan Circulation selanjutnya dilakukan
adalah memeriksa status neurologi harus dilakukan yang meliputi:
Tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS adalah skala yang penting untuk evaluasi pengelolaan jangka pendek
dan panjang penderita trauma. Pengukuran GCS dilakukan pada secondery
survey, hal ini dapat dilakukan jika petugas memadai.
Penilaian tanda lateralisasi: pupil (ukuran, simetris dan reaksi terhadap
cahaya, kekuatan tonus otot (motorik). Pemeriksaan pupil berperan dalam
evaluasi fungsi cerebral. Pupil yang normal dapat digambarkan dengan
PEARL (Pupils, Equal, Round Reactive to Light) atau pupil harus simetris,
bundar dan bereaksi normal terhadap cahaya.
5) Exposure
Buka pakaian penderita untuk memeriksa cedera agat tidak melewatkan
memeriksa seluruh bagian tubuh terlebih yang tidak terlihat secara sepintas.
Jika seluruh tubuh telah diperiksa, penderita harus ditutup untuk mencegah
hilangnya panas tubuh. Walaupun penting untuk membuka pakian penderita
trauma untuk melakukan penelaian yang efektif, namun hipoteria tidak boleh
dilupakan dalam pengelolaan penderita trauma.
6) Foley Cateter
Pemasangan foley cateter adalah untuk evaluasi cairan yang masuk. Input
cairan harus dievaluasi dari hasil output cairan urin. Output urine normal
Dewasa: 0.5 cc/kg bb/jam
Anak: 1 cc /kg bb/jam
Bayi: 2 cc/kg bb/jam
Namun pemasangan cateter tidak dapat dipasang pada penderita dengan
adanya hematoma skrotum, perdaraha di OUE (Orifisium Uretra External),
dan pada Rektal Touch (RT) posisi prostat melayang/tidak teraba.
7) Gastic Tube
24
Pemasangan kateter lambung dimaksudkan untuk mengurangi distensi
lambung dan mencegah aspirasi jika terjadi muntah sekaligus mempermudah
dalam pemberian obat atau makanan. Kontraindikasi pemasangan NGT
adalah untuk penderita yang mengalami fraktur basis crania atau diduga
parah, jadi pemasangan kateter lambung melalui mulut atau OGT.
8) Heart Monitor / EKG Monitor
Dapat dipasang untuk klien yang memiliki riwayat jantung ataupun pada
kejadian klien tersengat arus listrik.
Secondary survey
a.Riwayat pasien
S (sign and symptom) : Terjadi kejang yang berulang, klien tidak
sadar dengan lingkungan.
A (allergies): kaji apakah pasien ada riwayat alergi.
M (Medication): kaji riwayat pengobatanya pasien.
P (Pentinant past medical histori): kaji riwayat penyakit dahulu
pasien.
L (Last oral intake solid liquid): kaji kejadian sebelumnya.
E (Event leading to injuri ilmes): hal yang telah terjadi selama
cidera
b. Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan
tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot, akral dingin. sianosis.
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter
25
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak
Test diagnostik
a. CT / MRITes laboratorium:
i. FBC/ pemeriksaan darah lengkap untuk melihat terjadi nya sepsis
ii. EUC (electrolit, urea, creatinine)
iii. Kalsium / Magnesium / Fosfat (CMP/ comprehensive metabolic panel)
untuk mendapatkan informasi terkait status ginjal, hati, elektrolit, serta
keseimbangan asam/basa, gula darah termasuk protein dalam darah.
iv. Skrining toksikologi untuk menguji obat, racun
26
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnose keperawatan berdasarkan SDKI, 2017
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
ditandai dengan sputum yang berlebih, dispneu, gelisah, pola napas berubah,
sianosis.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis ditandai
dengan dipsneu, penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang
pola napas abnormal
3. Risiko cedera ditandai dengan penurunan kesadaran, hipoksia jaringan, kegagalan
mekanisme pertahanan tubuh
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Rencana keperawatan berdasarkan SIKI, 2018 dan SLKI, 2018
N Tujuan Intervensi
o
Dx
1. Setelah dilakukan intervensi selama 1x Manajemen Jalan Napas
24 jam maka bersihan jalan napas Observasi
membaik dengan kriteria hasil: - Monitor pola napas
1. Dispneu menurun - Monitor bunyi napas
2. Gelisah menurun Terapeutik
3. Produksi sputum menurun - Pertahankan kepatenan jalan napas
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisikan kepala klien sebaiknya miring
untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Berikan minum hangat setelah klien sadar
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
Kolaborasi
- Berikan oksigen, jika perlu
2. Setelah dilakukan intervensi selama 1x Pemantauan Respirasi
24 jam maka pola napas Observasi
membaik dengan kriteria hasil: - monitor irama, kedalaman, dan upaya napas
27
1. Dispneumenurun
- monitor adanya sumbatan jalan napas
2. Penggunaan otot bantu
- Auskultasi bunyi napas
napas menurun
Terapeutik
- pantau respirasi klien secara teratur
3. Pemanjangan fase ekspirasi
- posisikan klien miring untuk mengeluarkan
menurun
sekret
4. Frekuensi dan kedalaman napas
Kolaborasi
membaik
- Berikan oksigen, jika perlu
5. Tekanan ekspirasi daninspirasi
Membaik
3. Setelah dilakukan intervensi selama Pencegahan Cidera
1x24jam maka tingkat cedera menurun Observasi
dengan kriteria hasil : - Identifikasi kebutuhan keselamatan
1. Ketegangan otot menurun - Monitor perubahan status
2. gangguan kognitifmenurun keselamatan lingkungan
3. Frekuensi napasmembaik Terapeutik
4. TD normal 120/80 mmHg, nadi - Jauhkan klien dari benda-benda yang
60-100x/menit, RR16-
berbahaya
20x/menit
- Sosialisasikan kepada pasien dan keluarga
dengan lingkungan ruangrawat
- Pastikan bel dan telepon mudah dijangkau
- Pertahankan posisi tempat tidur di posisi
terendah saat digunakan
- Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda
dalam keadaanterkunci
- Diskusikan kepada keluarga yang menjaga
pasien
- Tingkatkan frekuensi observasi
dan pengawasan pasien
Edukasi
- Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh
28
ke pasien dankeluarga
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antikonvulsan
jika perlu
Manajemen kejang
Obsservasi
- Monitor karakeristik kejang
Terapeutik
- Baringkan pasien agar tidak jatuh
- Baerikan alas empuk dibawah kepala
- Longgarkan pakaian, terutama bagian leher
- Dampingi selama periode kejang
- Catat durasi kejang
Edukasi
- Anjurkan keluarga tidak menggunakan
kekerasan untuk menahan gerakan pasien
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antikonvulsan secara
intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih
terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2
masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan
dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum
juga berhenti dapat diberikan fenobarbital
atau paraldehid 4 % secara intravena.
29
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan yang dilakukan untuk pasien dengan kejang yang utama
adalah mencegah terjadi nya cidera pada pasien, memastikan kepatenan jalan napas klien,
mengurangi tingkat nyeri, mengurangi rasa cemas.
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Setelah dilakukan tindakan keperawatan hasil yang diharapkan adalah:
1. Mempertahankan jalan napas efektif yang dapat dilihat dari kemampuan bernapas
secara normal dan tidak terdapat sumbatan pada jalan napas serta gelisah yang
menurun, tingkat kesadaran menigkat
2. Mempertahankan pola napas efektif yang dapat dilihat dari kemampuan untuk
bernapas, frekuensi, irama, dan kedalaman napas normal, tidak ditemukan hipoksia,
serta paru mampu mengembang dengan baik.
3. Kejang berkurang/menghilang
4. Tidak terjadinya cedera, dilihat dari tidak adanya ketegangan otot, frekuensi napas
yang membaik, hasil tekanan darah, jumlah nadi dan pernapasan yang normal serta
stabil
30
BAB III
KESIMPULAN
1.1 KESIMPULAN
Kejang adalah episode aktivitas listrik abnormal di otak. Seperti sakit kepala, kejang
lebih merupakan gejala daripada penyakit. Tiga kategori kejang yang paling umum
adalah generalisasi, fokal, dan status epileptikus. Frekuensi kejang sedikit lebih tinggi
pada pria daripada wanita, dengan insiden puncak pada mereka yang berusia di atas 65
tahun. Kejang dapat menyebabkan kelainan fisiologis termasuk hipoksia dan apnea,
hipertermia sementara, hipoglikemia, dan asidosis. (Hammond & Zimmermann,
2012). Kejang merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera.
Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk
menghindari komplikasi yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang
sering. Untuk itu tenaga perawat dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi
keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan
pasien, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu
dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara
bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah:
mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari
trauma,mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif,
memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan
kebutuhan penanganannya.
1.2 SARAN
Kami berharap akademik dapat menyediakan sumber buku mengenai masalah kejang
dengan tahun dan penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam
pembuatan laporan ini dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama dengan
pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori. Kami menyadari bahwa
penulisan makalah ini masih banyak yang perlu diperbaiki, maka dari itu kami
menghimbau agar pembaca dapat menambahkan referensi dari sumber lain. Kami juga
berharap kapada seluruh mahasiswa keperawatan untuk dapat meningkatkan
31
pengetahuan, pemahaman serta keterampilan dalam proses keperawatan kebutuhan
dasar dalam hal ini pasien dengan gangguan sistem persarafan kejang, dimana hal
tersebut menjadi sangat penting untuk memberikan asuhan keperawatan yang optimal
32
DAFTAR PUSTAKA
Arif H, Hirsch LJ. 2008. Treatment of status epilepticus. Semin Neurol ;28(3):342-54
Arifuddin, Adhar. Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam Di Ruang Perawatan Anak
Rsu Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol. 2 No. 2, Juli 2016: 1-72. Program
studi kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan Universitas tadulako
Briggs, J.K.; Grossman, V.G.A. 2011. Emergency Nursing: 5-Tier Triage Protocols. Lippincott
Borchers, A. A. (2015). Handbook of signs & symptoms.Philadelphia : Wolters Kluwer
Crouch OBE R, Charters A, Dawood M, Bennett P, eds. 2009. Oxford Handbook of Emergency
Nursing. Oxford, UK: Oxford University Press;
https://oxfordmedicine.com/view/10.1093/med/9780199203499.001.0001/med
9780199203499. (Accessed July 28, 2020)
Ganti, L. and Goldstein, J., 2018. Neurologic Emergencies. Cham: Springer International
Publishing.
Hammond, B.B; Zimmermann, P.G. (2012). Sheehy's Manual of Emergency Care. 7th edition.
UK:Elsevier Health Sciences
Howard, P.K; Steinmann, R.A. (2009). Sheehy's Emergency Nursing: Principles and Practice.
6th edition. Philadelphia : Mosby Elsevier
https://medlineplus.gov/ency/article/000694.htm diakses pada 30 juli 2020 pukul 19:44
Hukor kemenkes. 2017.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.01_.07-MENKES
367-2017_ttg_Pedoman_Pelayanan_Kedokteran_Tata_Laksana_Epilepsi_Anak_.pdf
diakses pada 14 agustus 2020
In McPhee, S. J., & In Hammer, G. D. (2019). Pathophysiology of disease: An introduction to
clinical medicine, 8th edition. New York, N.Y: McGraw-Hill Education LLC.
Leitinger, M., Trinka, E., Giovannini, G., Zimmermann, G., Florea, C., Rohracher, A., ... &
Kuchukhidze, G. (2019). Epidemiology of status epilepticus in adults: a population‐based
study on incidence, causes, and outcomes. Epilepsia, 60(1), 53-62.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/epi.14607 diakses pada 14 agustus 2020
Murti, Andriastuti. Cetakan pertama 2014. Current Evidences in Pediatric Emergencies
Management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
33
Pathophysiology of Seizures. (2017, October 31). Retrieved from
https://study.com/academy/lesson/pathophysiology-of-seizures.html. diakses pada
tanggal 11 agustus 2020
PPNI (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Indicator Diagnostic
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Pramesti, F. A., Husna, M., Kurniawan, S. N., & Rahayu, M. (2017). DIAGNOSIS AND
MANAGEMENT OF NONCONVULSIVE STATUS EPILEPTICUS (NCSE). Malang
Neurology Journal, 3(1), 30-38.
Ria, Indah. dkk.Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Media Videoterhadap Pengetahuan Ibu
Dalam Pencegahankejang Demam Balita. Health Sciences Journal vol. 3 No. 1. April
2019. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. New York: Thieme; 2000 hal. 338-339
34