PENGERTIAN AGAMA
Agama memiliki istilah lain yaitu religion dalam bahasa Eropa, religio atau religi
dalam bahasa Latin, dan din dalam bahasa Arab. Dari istilah-istilah tersebut di
Indonesia sendiri lebih populer dengan istilah agama. Dalam bahasa sangsekerta
“agama” berasal dari a yang berarti tidak dan gam yang berarti pergi. Sehingga kata
tersebut berarti tetap ditempat atau tidak pergi. Akan tetapi dalam jiwa kerohaniannya
definisi agama ialah dharma atau kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan
kehidupan manusia.
Pengertian agama dapat melahirkan bermacam-macam definisi atau arti. Oleh
karena itu agar kita memiliki pengertian yang luas, perlu disajikan beberapa pengertian
dari bermacam-macam agama yang ada. Definisi agama sendiri sangat ditentukan oleh
sudut pandang yang berbeda-beda, maka tidak mengherankan kalau dapat menimbulkan
bermacam-macam rumusan atau pengertian.
Istilah “agama” yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari lingkungan
keagamaan Hindu dan Budha. Agama mengandung arti tradisi sakral mengenai ajaran
dan ritual-ritual. Karena istilah ini digunakan oleh beberapa aliran yang berbeda, maka
dari sinilah agama sendiri tidak dapat disimpulkan adanya suatu hakekat umum
dibelakang kenyataan agama-agama atau ajaran serta ritus yang berbeda beda.
Sedangkan religion atau religi, menurut Olaf Schuman berasal dari kata religare
yang berarti “mengikat kembali”. Menurut Sidi Gazaliba agama berasal dari kata gam,
yang kemudian mendapat awalan dan akhiran a sehingga menjadi a-gam-a. Gam
memiliki arti pergi dan setelah mendapat awalah dan akhiran a memiliki arti menjadi
jalan. Agama sendiri ialah peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja.
Ada pendapat lain juga yang mengatakan bahwa agama tersusun dari dua kata a yang
berarti tidak dan gam yang berarti pergi, jadi agam diartikan tidak pergi, tetap ditempat,
diwarisi turun temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian.
Adapun agama atau al-din menurut Quraish Shihab, dari bahasa Arab terdiri dari
huruf dal, ya, dan nun. Dari huruf-huruf ini bisa dibaca dengan dain yang belarti hutang,
dan dengan din yang mengandung arti agama ialah menguasai, menundukkan, patuh,
kebiasaan dan hari kiamat. Ketiga arti tersebut sama-sama menunjukan adanya dua
pihak yang berbeda. Pihak pertama berkedudukan lebih tinggi, berkuasa, ditakuti, dan
disegani oleh pihak kedua. Dan begitu pun menurut Harun Nasution bahwa din dalam
bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Agama memang membawa peraturan-
peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi.
Sedangkan agama menurut terminologinya, agama, din dan religi adalah sistem
credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar
manusia dan satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggap Yang
Mutlak, menurut Endang Saifuddin. Menurut pendapat lain yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Ahmad Tafsir mendefinisikan agama sebagai suatu peraturan tentang tata cara
hidup lahir bathin. Dan menurut E. B . Taylor mendefinisikan agama sebagai
kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spritual.Sedangkan menurut Yenger, ahli
sosiolog Amerika dengan definisi fungsionalnya, mengatakan bahwa agama merupakan
sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam
kehidupan manusia.
Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah yang diungkapkan diatas ialah ikatan.
Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.Ikatan
ini mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-
hari. Dari semua itu Harun Nasution menyimpulkan definisi- definisi agam sebagai
berikut;
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus
dipatuhi
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pda suatu
bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar
diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan ghaib
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban kewajiban yang diyakini bersumber pada
suatu kekuatan ghaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbuldari perasaan lemah dan perasaan
taku terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui rasul-Nya
Menurut Abuddin Nata ada tiga alasan perlunya manusia terhadap agama, yakni:
Pertama, latar belakang fitrah manusia. Ditegaskan dalam ajaran Islam bahwa agama
adalah kebutuhan manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Rum (30:30).
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa beragama sudah menjadi fitah manusia. Dijelaskan
oleh Muzayyin Arifin bahwa komponen-komponen potensial fitrah adalah :
a. Kemampuan dasar untuk beragama Islam. Faktor ini merupakan inti beragama
manusia. Muhammad Abduh, Ibn Qayyim, Abu A’la Al-Maududi, Syyaid
Quttub berpendapat bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama
Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah. Factor
keturunan psikologis orang tua merupakan aspek dari kemampuan dasar itu.
b. Mawahib (bakat) dan qabiliyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu
kepada keimanan kepada Allah SWT. Dengan adanya bakat dan kecenderungan
untuk beriman kepada Allah maka “fitrah” telah mengandung komponen
psikologis yang merupakana keimanan tersebut. Karena bagi seorang mukmin
iman merupakan elan vitale (daya penggerak utama) untuk selalu mencari
kebenaran hakiki dari Allah.
c. Naluri dan kewahyuan. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, fitrah dapat
dilihat dari dua sisi. Pertama dari segi naluri pembawaan manusia atau sifat-sifat
Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan yang kedua, dilihat dari
segi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya.
Ketiga, tantangan manusia. Karena dalam kehidupan ini akan banyak sekali
tantangan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Tantangan tersebut berupa
hawa nafsu dan upaya-upaya menusia yang sengaja berupaya memalingkan manusia
dari Tuhan. Untuk itu beragama dan taat beragama sangat penting untuk kita miliki.
Pengaruh yang ketiga adalah sebagai penawar bagi tekanan jiwa. Tekanan jiwa yang
dimaksudkan seperti sedang gelisah, stress, atau gundah gulana. Dalam kehidupan ini
mau tidak mau ataupun suka tidak suka kita harus tetap menjalaninya. Kehidupan ini
mengandung penderritaan-penderitaan, kesedihan, kegagalan, kehilangan, kepahitan,
dan kekecewaan sebagaimana adanya kegembiraan, kebahgaiaan, keceriaan, dan
keberhasilan. Oleh karena itu keyakinan keagamaan menciptakan dalam diri manusia
kekuatan dan keyakinan untuk tetap bertahan dan dapat menjelmakan kepahitan dalam
rasa manis. Seseorang yang beriman akan mengetahui bahwa segala sesuatu di dunia ini
berada dalam syatu pola aturan tertentu. Sehingga ia akan yakin bahwa dalam suatu
kesulitan aka nada jalan meskipun sebelumnya jalan tersebut nampak mustahil. Untuk
itu keyakinan keagamaan dan ketaatan terhadap agama itu sendiri diperlukan gai setiap
individu.
C. UNSUR-UNSUR AGAMA
Dengan pemahaman yang terbentuk dari berbagai istilah terkait “agama” diatas,
lantas menunjukkan bahwa setiap agama memiliki unsur-unsur yang sama dan identik.
Unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama itu antara lain adalah sebagai berikut:
[14]
1. Kekuatan gaib: manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib
itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu manusia harus mengadakan
hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat
diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat
tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud.
Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari
akan hilang pula.
3. Respons yang bersifat emosional dari manusia. Respon itu biasa mengambil
bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitive, atau
perasaan cinta, seperti yang etrdapat dalam agama-agama monoteisme.
Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam
agama-agama primitive, atau pemujaan yang terdapat adalam agama-agama
monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu juga mengambil bentuk cara hidup
tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4. Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam
bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan dan
dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Terkait unsur pertama yang ada dalam agama, yakni kekuatan gaib, Prof. Rasjidi
mengkritik bahwa dalam Islam seorang mukmin tidak hanya percaya kepada kekuatan
gaib tetapi pada alam gaib yang tidak terjangkau oleh panca indra. Lebih dari itu Allah
dalam Islam, bukan sekedar sebuah kekuatan. Ia merupakan oknum atau zat yang
memiliki sifat-sifat tertentu yang menunjukkan superioritasnya. Dengan demikian Allah
bukan sekedar sebuah kekuatan melainkan pemilik kekuatan itu sendiri.
Pada bagian kedua, Harun berupaya menekankan bahwa kesejahteraan manusia
tergantung pada adanya hunungan dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Menurut
Rasjidi, ungkapan ini memberi kesan bahwa kekuatan gaib yang bersangkutan bersifat
autoritatif, sebab menghajatkan agar manusia menyesuaikan diri untuk menghadapi
kekuatan gaib yang bersangkutan. Hal ini merupakan gambaran umum yang biasa
disampaikan oleh kesarjanaan Barat dalam memandang fenomena yang disebut agama.
Selanjutnya agama dianggap sebagai genus yang memiliki spesies-spesies yang
bermacam-macam.
Islam dalam pandangan Rasjidi, justru menunjukkan bahwa sikap manusia
terhadap Allah bukan sekedar cinta melainkan juga takut yang diwujudkan dalam
penggunaan kata khasyah dan khauf. Jadi sikap takut bukan hanya terdapat dalam
agama primitif saja tetapi jelas bisa ditemukan dalam Islam. Meski demikian konsep
takut dalam Islam jauh lebih tinggi dan lebih halus dari takut dalam agama primitif.
1. Pendekatan Historis
2. Pendekatan Psikologis
3. Pendekatan Sosiologis
4. Pendekatan Fenomenologis
1. Pendekatan Historis
Hampir semua studi ilmiah terhadap agama-agama mensyaratkan adanya
beberapa pengetahuan tentang sejarah. Maka pendekatan sejarah untuk
mengkaji agama tidaklah unik atau tidak khas dalam perhatiannya
terhadap ketelitian atau terhadap sejarah suatu agama. Ia adalah khas
karena anggapan dasar, bahwa jika sesorang ingin memahami atau
menjelaskan agama, orang itu harus tahu sejarah asal-usulnya. Arti
agama dapat dijumpai dalamsejarahnya dan tugas besar dari pendekatan
ini adalah mengikuti jejak tradisi agama kembali pada asalnya.
Studi tentang asal-usul agama telah mencapai puncaknya dengan
lahirnya teori evolusi dan teori antropologi yang terdapat dalam karya-
karya sarjana besar: Tylor,Muller, Frazer, dan Schmidt, dan studi
terhadap agama-agama menjadi identic dengan studi tentang evolusi
kemanusiaan.
Menurut Tylor, Sejarah Agama adalah rekor dari perkembangan
rasionalitas. Agama dapat dikembalikan kepada asal-usulnya, yaitu
animisme, tingkatan terendah agama, atau tingkatan pertama agama.
Agama berkembang melalui beberapa tingkatan mulai dari animism ke
naturalism terus ke politeisme langsung ke monoteisme dan metafisik.
Masing-masing urutan tingkat semakin rasional dan semakin abstrak, dan
tingkat yang paling akhir/tinggi mencapai puncaknya pada ilmu dan etika
Barat.
Problem dasar dari pendekatan ini adalah bahwa suatu penjelasan
tentang sebuah agama yang hidup tidak akan pernah sempurna atau
berakhir. Selalu ada hari esok yang bias membawa perubahan, dan usaha
merujukkan kembali agama keaslinya akan selalu tetap bersifat rabaan.
2. Pendekatan Psikologis
3. Pendekatan Sosiologis
Perbedaan antara pendekatan psikologis dengan pendekatan
sosiologis terhadap agama dapat ditemukan dalam asumsi-asumsinya
mengenai kehidupan agama itu sendiri. Studi-studi psikologis terhadap
agama menekankan fungsi agama sebagai proyek sisimbolis dari konflik
kejiwaan atau stress kejiwaan yang tidak disadari. Sedang dari
pandangan sosiologis, agama adalah symbol yang mencerminkan
kehidupan social.
Menurut Durkheim, sejarah agama bukanlah sejarah yang tanpa
makna, palsu, dan khalayan. Agama adalah sebuah manifestasi simbolik
dari masyarakat. Terdapat banyak sekali kenyataan dalam kehidupan
sosial, dan agama adalah salah satu dari fakta yang nyata itu. Oleh sebab
itu, agama tidak bias diteliti terpisah dari kehidupan bersama. Karena
agama adalah sungguh-sungguh merupakan fenomena sosial, maka studi
agama berarti studi tentang kenyataan sosial.
4. Pendekatan Fenomenologis
Kebanyakan ahli fenomenologi menganggap semua pendekatan
semacam itu sebagai mereduksi agama menjadi semata-mata aspek sejarah, atau
aspek social atau aspek kejiwaan.
Menurut pendekatan ini, agama adalah sebuah ekspresi simbolik tentang
yang suci, maka tugas pendekatan ini adalah mendeskripsikan, mengintegrasikan
atau menyusun tipologi dari semua data yang diperoleh dari seluruh agama
dunia. Sakralatau Suci, menurut pandangan ini adalah suatu realitas yang
transenden dan metafisik, yang sering disebut juga Whooly Other, Ultimate
Reality, Absolute, berada di luar waktu dan sejarah. Otto, van der Lecuw, Eliade,
dan Krintensen, adalah tokoh-tokoh tangguh dalam bidang ini.
E. PENGGOLONGAN AGAMA
1. Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas dapat disimpulkan bahwa agama itu merupakan
kebutuhan bagi setiap manusia. Karena agama merupakan sebuah ikatan yang
harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia agar kita selamat dunia dan akhirat.
Untuk itu kita semua sebagai mahkluk sosial harus memiliki satu agama untuk
menjadi pedoman daam menjalankan kehidupan kita.
2. Saran
Perlunya pembaca mencari pengetahuan lebih lanjut tentang agama agar
pembaca lebih mengetahui agama secara keseluruhan.
Daftar Pustaka