Anda di halaman 1dari 11

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Perkembangan PLTU Di Indonesia

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan salah satu andalan


pembangkit tenaga listrik yang merupakan jantung untuk kegiatan industri. Salah
satu bahan bakar PLTU adalah batubara. PLTU yang beroperasi di indonesia,
pada tahun 1962 dengan kapasitas 25 MW, suhu 500 0C, tekanan 65 kg/cm2, boiler
masih menggunakan pipa biasa dan pendingin generator dilakukan dengan udara.
Kemajuan pada PLTU yang pertama, boiler sudah dilengkapi pipa dinding dan
pendingin generator memanfaatkan hidrogen, kapasitas daya PLTU tercapai
hingga 25 MW. Apabila dayanya ditingkatkan menjadi menjadi 100-200 MW,
boiler-nya perlu dilengkapi super heater,economizer dan tungku tekanan.

2.2 Pengertian Fly ash

Fly ash merupakan material yang memiliki ukuran butir yang halus,
berwarna keabu-abuan yang terbawa bersama gas buang melalui cerobong (stack)
dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara. Fly ash yang dihasilkan dari suatu
power plant dari suatu daerah dengan daerah lain berbeda dengan tergantung pada
tipe dan kandungan mineral didalam batubara, suhu dari pembakaran batubara,
jenis tungku pembakaran dan proses pembakarannya.

2.3 Proses Terbentuknya Fly ash

Proses dari pembentukan fly ash dari skema proses pembakaran PLTU
dapat dilihat dari gambar 2.1 berikut ini :

4
Sumber: https://imambudiraharjo.wordpress.com, 2009.

Gambar 2.1 Skema PLTU Batubara

Batubara yang berasal dari stockyard diangkut ke bungker menggunakan


belt conveyor. Kemudian batubara dikeringkan terlebih dahulu dengan udara yang
disedot dari luar dan dipanaskan dengan menggunakan air heater. Dari bungker,
batubara dimasukkan ke dalam pelumat untuk digerus sampai ukuran lebih kecil
dari 200 mesh. Batubara yang telah halus dan kering dicampurkan dengan udara
primer dan disemprotkan ke dalam tungku pembakaran. Di dalam tungku
pembakaran ini dipasang beberapa pipa yang didalamnya diisi air murni. Air ini
akan berubah menjadi uap sampai bertekanan tinggi akibat panas yang berasal
dari pembakaran batubara. Sebagai hasil sampingan dari pembakaran batubara
terbentuklah gas buangan (flue gas), ash atau debu dan partikel-partikel lainnya.
Ash terbagi menjadi dua yaitu bottom ash dan fly ash. Bottom ash yaitu ash yang
tidak terbakar sempurna yang kemudian ditampung ke dalam hopper yang
dipasang dibawah tungku pembakaran. Sedangkan fly ash akan bergerak ke
atmosfer bersama dengan gas buang melalui cerobong.

2.4 Metode Produksi Fly Ash

Fly ash dihasilkan dari sisa pembakaran batubara. Sistem pembakaran


batubara yang menghasilkan fly ash antara lain :

5
2.4.1 Fluidized Bed Combustion(FBC)/ Pembakaran lapisan mengambang
Pada pembakaran dengan metode ini, batubara diremuk terlebih dulu
dengan menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25 mm.
Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan
menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang sehingga
membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan
menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi
batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik
dan mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi
bahan bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode
pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada pembatasan yang khusus
untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan
kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun
dapat dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika
batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di
permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain
kelebihan di atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk
batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat diperkecil
dan dibuat kompak.
Suhu pembakaran berkisar antara 850 – 900℃ sehingga
kadar thermal NOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu, dengan mekanisme
pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total dapat lebih
dikurangi lagi.
Dalam metode ini proses desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan
proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu
kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara kemudian secara bersamaan
dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses pembakaran, akan
bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat). Selain untuk
proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media untuk fluidized

6
bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa pemanas (heat exchanger tube)
yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.

Sumber: https://imambudiraharjo.wordpress.com, 2009.

Gambar 2.2 Boiler FBC


2.4.2 Fixed bed combustion/ Pembakaran lapisan tetap
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses
pembakarannya. Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu
yang tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum sekitar 30 mm. Selain itu,
karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang digunakan,
maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke
dalam batubara tersebut. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar
abu yang terlalu rendah adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara
dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling fire
grate) pada stoker boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit, lapisan abu tidak
akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga pembakaran akan langsung
terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada bagian
tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler
ini adalah sekitar 10 – 15%. Adapun tebal minimum lapisan abu yang
diperlukan untuk pembakaran adalah 5 cm.
Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly
ash jumlahnya sedikit, hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian
dengan upaya seperti pembakaran NOx dua tingkat, kadar NOx dapat

7
diturunkan hingga sekitar 250 – 300 ppm. Sedangkan untuk menurunkan
SOx, masih diperlukan tambahan fasilitas berupa alat desulfurisasi gas buang.

Sumber: https://imambudiraharjo.wordpress.com, 2009.

Gambar 2.3 Stoker Boiler

2.4.3 Pulverized Coal Combustion(PCC)/Pembakaran batubara serbuk


Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal
pulverizer (coal mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74μm),
kemudian bersama – sama dengan udara pembakaran disemprotkan ke boiler
untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara
yang digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging,
sifat fauling, dan kadar air (moisture content). Batubara yang disukai
untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan HGI
(Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%,
serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode
PCC ini akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari bottom ash sebanyak
15% dan sisanya berupa fly ash.

8
Sumber: https://imambudiraharjo.wordpress.com, 2009.

Gambar 2.4 Boiler PCC

Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran


batubara serbuk dan udara ke dalam boiler dikurangi sehingga pengapian
bahan bakar dan pembakaran juga melambat. Hal ini dapat menurunkan suhu
pembakaran, yang berakibat pada menurunnya kadar thermal NOx.
Sedangkan untuk desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan
yaitu alat desulfurisasi gas buang.

2.5 Klasifikasi Fly Ash

Klasifikasi fly ash didasarkan pada kadar senyawa kimia


(SiO2+Al2O3+Fe2O3), kadar CaO (high calcium dan low calcium), dan kadar
karbon (high carbon dan low carbon).

Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu fly ash kelas
F, dan kelas C. Perbedaan utama dari kelas F dan kelas C adalah banyaknya
calcium, silika, aluminium, dan kadar besi.

2.5.1 Fly ash kelas F


Fly ash kelas F merupakan fly ash yang mengandung CaO < 10%
yang dihasilkan dari pembakaran batubara antrasit atau bituminus. Fly ash

9
kelas F disebut juga Low-calcium fly ash, yang tidak mempunyai sifat
cementitious dan mempunyai sifat pozzolanic. Sifat cementitious(sifat
mengikat)dapat diperoleh dengan menambahkan quick lime, hydrated lime,
atau semen.Kandungan fly ash kelas F antara lain:

a. Kadar (SiO2+Al2O3+Fe2O3) > 70%,


b. Kadar CaO <10%
c. Kadar karbon (C) berkisar antara 5%-10%

Sumber : lauwtjunnji.weebly.com, 2012.

Gambar 2.5 Fly Ash Tipe F

2.5.2 Fly ash kelas C

Fly ash kelas C merupakan fly ash yang mengandung CaO diatas 10%
yang dihasilkan dari pembakaran batubara lignit atau subbituminus. Fly ash
kelas F disebut juga High-calcium fly ash,karena kandungan CaO yang cukup
tinggi. Selain itu, fly ash kelas C mengandung sifat pozzolan dan sifat
cementitious. Kandungan yang terkandung dalam fly ash jenis ini antara lain

a. Kadar (SiO2+Al2O3+Fe2O3) >50%


b. Kadar CaO ≥ 10%
c. Kadar karbon (C) sekitar 2%

10
Sumber : lauwtjunnji.weebly.com, 2012

Gambar 2.6 Fly Ash Tipe C

Tabel 2.1 Kandungan senyawa pada fly ash berdasarkan ASTM C168

Senyawa Kelas F Kelas C


SiO2 55 40
Al2O3 26 17
Fe2O3 7 6
CaO 9 24
MgO 2 5
SO3 1 3
sumber : https://www.fhwa.dot.gov/pavement/recycling/fach01.cfm

2.6 Karakteristik Fly Ash

Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisik dan sifat kimia dari fly ash
antara lain tipe batubara, kemurnian batubara, tingkat penghancuran, tipe
pemanasan dan operasi, metoda penyimpanan dan penimbunan.

2.6.1 Sifat fisik


a. Bentuk partikel
Fly ash umumnya terdiri dari partikel padat yang berbentuk bulat dan
sebagian merupakan partikel bulat yang berongga serta partikel bulat yang
berisi partikel-partikel bulat lain yang lebih kecil. Bentuk partikel fly ash
dapat diamati dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM).
Penggambaran SEM memperlihatkan bahwa partikel ash tampak lebih berat
dan terang dibandingkan dengan partikel karbon yang banyak terdapat dalam

11
fly ash. Semakin kecil partikel fly ash maka bentuknya akan semakin bulat
(spherical).

Sumber : lauwtjunnji.weebly.com, 2012.

Gambar 2.7 Electron Microscope


b. Kehalusan (Fineness)
Tingkat kehalusan disebut juga dengan luas permukaan fly ash yang
umumnya berkisar 300 m2/kg-500m2/kg dengan batas bawah 200 m2/kg dan
batas atas 700 m2/kg. Tingkat kehalusan dipengaruhi oleh perbedaan
distribusi ukuran butir dan banyaknya spongy minerallic particles di dalam
fly ash.
c. Ukuran partikel
Ukuran partikel fly ash bervariasi mulai yang lebih kecil dari 1 μm
(micrometer) sampai yang lebih besar dari 100 μm (beberapa literatur
menyebutkan ukuran 0,5 μm - 300 μm), dengan sebagian besar partikel
berukuran kurang dari 20 μm. Umumnya hanya sekitar 10% sampai 30%
ukuran partikel fly ash lebih besar dari 50 μm. Dalam 1 μm sama dengan
0,001 mm.
d. Spesific gravity
Spesific gravity fly ash bervariasi antara 1,6-3,1.
e. Massa jenis
Massa jenis fly ash dalam kondisi loose berkisar 540-860 kg/m3 dan
dalam kondisi dipadatkan dengan penggetaran kemasan pada umumnya
berkisar 1.120-1.500 kg/m3.
f. Pozzolanic activity

12
Pozzolanic activity merupakan kemampuan komponen silika dan
alumina dari fly ash untuk bereaksi dengan calcium hydroxide jika
ditambahkan air untuk menghasilkan highly cementitious water insoluble
products. Pozzolanic activity ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
fineness, unsur yang tak berbentuk (amorphous matter), komposisi kimia dan
minerl serta karbon yang tidak terbakar atau LOI (Loss on Ignition) dari fly
ash.
g. Warna
Fly ash berwarna abu-abu hingga hitam tergantung pada jumlah
karbon yang tidak terbakar dalam abunya. Semakin cerah warnanya akan
semakin rendah kandungan karbonnya. Fly ash kelas C berwarna lebih terang
bila dibandingkan dengan kelas F yang warnanya lebih gelap. Hal ini
dikarenakan jumlah karbon yang tidak terbakar di dalam fly ash kelas C lebih
sedikit daripada kelas F. Warna fly ash dipengaruhi oleh waktu pembakaran
pada tungku pembakaran yang menggunakan batubara. Apabila warna fly ash
semakin muda maka hasil pembakaran semakin sempurna dan mutunya
semakin baik.

2.6.2 Sifat Kimia


Fly ash mengandung unsur kimia antara lain silika (SiO2), alumina
(Al2O3), ferooksida (Fe2O3), kalsium oksida (CaO), magnesium oksida
(MgO), titanium oksida (TiO2), alkalin (N2O dan K2O), sulfur trioksida (SO3),
pospor oksida (P2O5) dan karbon. Kandungan bahan berbahaya yang ada
dalam fly ash antara lain arsenic, berilium, boron, cadmium, chromium,
cobalt, lead, mangan, merkuri, selenium, strontium, thalium, vanadium dan
dioksin serta senyawa PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon). Selain itu,
sifat kimia fly ash sangat dipengaruhi oleh jenis batubara yang digunakan.
Tabel berikut menunjukkan komponen kimia yang terkandung dalam fly ash
dari berbagai macam batubara yang ada.

Tabel 2.2 Komposisi kimia fly ash dari beberapa jenis batubara

13
Komponen (%) Bituminus Subbituminus Lignit
SiO2 20-60 40-60 15-45
Al2O3 5-35 20-30 20-25
Fe2O3 10-40 4-10 4-15
CaO 1-12 5-30 15-40
MgO 0-5 1-6 3-10
SO3 0-4 0-2 0-10
Na2O 0-4 0-2 0-6
K2O 0-3 0-4 0-4
Sumber : Haryadi,Gunawan Dwi, 2006

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa fly ash yang berasal dari
batubara jenis sub-bituminus dan lignit (fly ash tipe C) mempunyai
kandungan alumina, calcium oxide dan magnesium oxide lebih banyak bila
dibandingkan dengan fly ash yang berasal dari jenis bituminus (fly ash tipe F).
Sedangkan fly ash tipe F memiliki kandungan silika dan iron oxide yang lebih
banyak dibandingkan tipe C.

2.7 Perkembangan Electrostatic Presipitator

Pengontrolan partikulat dari hasil proses industri merupakan masalah


penting yang berkembang sejak awal abad ke-19. Teknologi Electrostatic
Presipitator ditemukan oleh Frederick Cattrell dan telah digunakan sejak tahun
1900-an. Instalasi pertama Electrostatic Presipitator berhasil dalam menangkap
asam sulfat. Kemudian dilanjutkan pada industri semen untuk menangkap debu
klinker dan debu semen. Setelah itu digunakan pada industri pengolahan batubara
yang menggunakan boiler. Sejak tahun 1920 desain awal Electrostatic
Presipitator terus berkembang seperti yang dikenal sampai saat ini seiring dengan
adanya pengetatan aturan lingkungan. Electrostatic Presipitator sangat efektif
sebagai pengendali partikulat terutama yang berukuran kurang dari 10-20μm
(dominan pada ukuran sub mikron). Pada sebagian besar aplikasinya ESP
memiliki efisiensi pengumpulan partikulat sebesar 80-99,9% (Lawrence K, 2005).

14

Anda mungkin juga menyukai