Bertolak dari deskripsi masalah ini, sebenarnya jika ditelisik ulang, dalam hal
mengidolakan seseorang atau tokoh, kita boleh-boleh saja memiliki tokoh idola
dengan syarat tidak keluar dari ketentuan-ketentuan hukum Islam. Karena pada
dasarnya, sosok yang di idolakan bisa memberikan pengaruh positif, meskipun tidak
jarang juga ia memberikan pengaruh negatif, tergantung karakteristik sosok yang kita
idolakan. Namun, yang menjadi problem terbesar, jika tindakan ini lebih memilih
meniru atau mengidolakan sosok yang memberikan pengaruh negtif terhadap pola
kehidupan kita.
Kita sendiri sebagai umat Islam, dianjurkan untuk meneladani akhlak
Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam atau tokoh Muslim lain, sekiranya dengan
hal tersebut, pada akhirnya akan berpengaruh baik bagi muslim itu karena akan
memberi motivasi dan semangat dalam melakukan kebaikan atau ibadah.
Menanggapi dari apa yang telah diuraikan dalam deskrpsi, maka perlu kiranya
untuk mengetahui pon-poin penting yang tentu ada dalam suatu masalah, kiranya
masalah tersebut bisa dipecahkan dengan begitu matang dan komperhensif. Oleh
karenanya, penulis dalam tulisan ini mencoba untuk menjelaskan poin-poin yang
tentu harus kita ketahui dari deskripsi masalah tersebut.
Pertama, Tasyabbuh sendiri seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir dalam
kamusnya, memberikan artian sebagai meniru atau menyerupai, bahkan Ibnu Mundzir
mengartikannya sebagai “fitnah”, karena dengan perilaku tersebut, suatu kaum atau
kelompok akan menganggap suatu yang tidak benar masuk kedalam kebanaran,
sehingga akan membawa mereka terhadap tindakan yang sebenarnya tidak dihalalkan
1
.
Kedua, Hukum dari perilaku tasyabbuh seorang Muslim dengan orang yang
kafir, banyak dari segi nash yang melarangnya, baik itu bersumber dari al-Qur’an
maupun hadits nabawiy, misalnya QS. Al-Maidah ayat 48:
Ketiga, meski kedua ayat di atas, dengan tegas melarang kaum muslim untuk
meniru atau tasyabbuh dengan orang kafir, namun jika diteliti ulang, ada tasyabbuh
yang diperkenankan bagi para muslin kepada orang kafir, yang tentunya hal tersebut
1
Abdullah Ali Kabir, dkk, Fahāris Lisānu al-Arab li Ibn Manzhūr (t.tp.: Dar al-Ma’arif, t.th) 349-350.
2
Suhail Ḥasan ‘Abdu al-Ghafar, Al-Sunan wa Al-Āthār fī al-Nahyi ‘An al-Tasyabbuh bī al-Kuffār
(Riyadl: Dar al-Salaf, 1995), 35.
3
Abi Fida` Isma’il Ibn Umar Ibn Kathir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm (Beirut: Dar Ibn Khazm, 2000),
626, 181.
memiliki kriteria atau syarat diperbolehkannya perilaku tersebut. Diantara syarat atau
batasan seorang muslim boleh bertasyabbuh dengan kafir antara lain:
4
Suhail Ḥasan ‘Abdu al-Ghafar, Al-Sunan wa Al-Āthār fī al-Nahyi ‘An al-Tasyabbuh bī al-Kuffār, 58-
59.
5
Ibid., 37.