Anda di halaman 1dari 3

Mengidolakan Non-Muslim Bisa Saja Tasyabbuh bi al-Kuffar

Bertolak dari deskripsi masalah ini, sebenarnya jika ditelisik ulang, dalam hal
mengidolakan seseorang atau tokoh, kita boleh-boleh saja memiliki tokoh idola
dengan syarat tidak keluar dari ketentuan-ketentuan hukum Islam. Karena pada
dasarnya, sosok yang di idolakan bisa memberikan pengaruh positif, meskipun tidak
jarang juga ia memberikan pengaruh negatif, tergantung karakteristik sosok yang kita
idolakan. Namun, yang menjadi problem terbesar, jika tindakan ini lebih memilih
meniru atau mengidolakan sosok yang memberikan pengaruh negtif terhadap pola
kehidupan kita.
Kita sendiri sebagai umat Islam, dianjurkan untuk meneladani akhlak
Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam atau tokoh Muslim lain, sekiranya dengan
hal tersebut, pada akhirnya akan berpengaruh baik bagi muslim itu karena akan
memberi motivasi dan semangat dalam melakukan kebaikan atau ibadah.
Menanggapi dari apa yang telah diuraikan dalam deskrpsi, maka perlu kiranya
untuk mengetahui pon-poin penting yang tentu ada dalam suatu masalah, kiranya
masalah tersebut bisa dipecahkan dengan begitu matang dan komperhensif. Oleh
karenanya, penulis dalam tulisan ini mencoba untuk menjelaskan poin-poin yang
tentu harus kita ketahui dari deskripsi masalah tersebut.

Seperti yang sedikit diulas diatas, pada dasarnya perilaku mengidolakan


seseorang ataupun tokoh dalam Islam tidak ada batasannya, yakni perilaku tersebut
diperbolehkan Islam dengan tanpa adanya hukum pasti yang melarangnya. Namun
jika perilaku mengidolakan-nya tersebut terjadi antara muslim yang mengidolakan
seorang kafir, terlebih hal tesebut menyeret seorang muslim kedalam ranah yang lebih
jauh, seperti menyebabkan seorang muslim melakukan tindakan yang bisa dikatakan
sebagai perilaku meniru (tasyabbuh) apa saja yang diidolakannya dari seorang
idolanya, yang dalam hal ini seorang kafir, maka perlu kiranya tinjauan ulang atas
dasar masalah tersebut.

Pertama, Tasyabbuh sendiri seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir dalam
kamusnya, memberikan artian sebagai meniru atau menyerupai, bahkan Ibnu Mundzir
mengartikannya sebagai “fitnah”, karena dengan perilaku tersebut, suatu kaum atau
kelompok akan menganggap suatu yang tidak benar masuk kedalam kebanaran,
sehingga akan membawa mereka terhadap tindakan yang sebenarnya tidak dihalalkan
1
.

Hampir senada dengan pendapat di atas, Syaikh al-Imam Muhammad bin


Muhammad Najmuddin al-Ghaziy al-Syafi’i, dalam sebuah kitab yang ditulis oleh
Suhail Ḥasan ‘Abdu al-Ghafar mendefinisikan tasyabuh sendiri sebagai Istilah atas
berpindahnya seeorang yang meniru terhadap orang yang ditirunya (idola), yang
berdasar pada keadaan, perilaku, sifat seseorang yang ia tiru (diidolakan).2

Kedua, Hukum dari perilaku tasyabbuh seorang Muslim dengan orang yang
kafir, banyak dari segi nash yang melarangnya, baik itu bersumber dari al-Qur’an
maupun hadits nabawiy, misalnya QS. Al-Maidah ayat 48:

...ِّ‫ْحق‬ ِ ‫واَل َتتَّبِع أ َْهواءهم ع َّما ج‬...


َ ‫اء َك م َن ال‬
َ َ َ ْ َُ َ ْ َ

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan


kebenaran yang telah datang kepadamu.”(QS. Al Maidah: 48)
Dan surat al-Baqarah ayat 104:

‫يم‬ِ ‫اعنَا وقُولُوا انْظُرنَا واسمعوا ولِ ْل َكافِ ِرين َع َذ‬


ِ ِ َّ
ٌ ‫اب أَل‬
ٌ َ َ َُْ َ ْ َ ‫آمنُوا اَل َت ُقولُوا َر‬
َ ‫ين‬
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah katakan kepada Muhammad


“Raa’ina”,tetapi katakanlah “Undzurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang
kafir siksaan yangpedih.” (QS. Al Baqarah: 104)
Kedua ayat diatas, seperti yang dijelaskan oleh beberapa Mufassir ternama
seperti Ibnu Katsir, menafsirkan ayat tersebut sebagai dalil atau petunjuk bahwa Allah
telah melarang hamba-hambanya yang beriman, untuk meniru atau menyerupai orang-
orang kafir dalam perkataan maupun perbuatan mereka.3

Ketiga, meski kedua ayat di atas, dengan tegas melarang kaum muslim untuk
meniru atau tasyabbuh dengan orang kafir, namun jika diteliti ulang, ada tasyabbuh
yang diperkenankan bagi para muslin kepada orang kafir, yang tentunya hal tersebut

1
Abdullah Ali Kabir, dkk, Fahāris Lisānu al-Arab li Ibn Manzhūr (t.tp.: Dar al-Ma’arif, t.th) 349-350.
2
Suhail Ḥasan ‘Abdu al-Ghafar, Al-Sunan wa Al-Āthār fī al-Nahyi ‘An al-Tasyabbuh bī al-Kuffār
(Riyadl: Dar al-Salaf, 1995), 35.
3
Abi Fida` Isma’il Ibn Umar Ibn Kathir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm (Beirut: Dar Ibn Khazm, 2000),
626, 181.
memiliki kriteria atau syarat diperbolehkannya perilaku tersebut. Diantara syarat atau
batasan seorang muslim boleh bertasyabbuh dengan kafir antara lain:

 Perilaku yang ditiru muslim, hendaknya bukanlah termasuk kedalam


kebiasaan dan syiar yang membedakan antara mereka dengan si muslim
 Hal atau perilaku yang ditiru tersebut hendaknya bukanlah termasuk kedalam
ajaran mereka.
 Tindakan meniru atau penyerupaan ini tidaklah ada kaitannya dengan ranah
syariat Islam, dengan artian perbedaan ini tidak menjurus ke masalah syari’at.
 Tindakan tasyabbuh ini tidak dilakukan di saat hari raya mereka berlangsung.
 Penyerupaan ini hanya sesuai pada keperluan yang diinginkan dan sesuai
dengan maslahat yang ada.4
Dari batasan yang telah uraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
tindakan tasyabbuh atau meniru orang kafir terdapat jenis macamnya. Ada yang
diperbolehkan ada juga yang tidak diperbolehkan atau dilarang5.

4
Suhail Ḥasan ‘Abdu al-Ghafar, Al-Sunan wa Al-Āthār fī al-Nahyi ‘An al-Tasyabbuh bī al-Kuffār, 58-
59.
5
Ibid., 37.

Anda mungkin juga menyukai