Anda di halaman 1dari 10

SELAMETAN DALAM MENGIRINGI KEHIDUPAN

BERMASYARAKAT DESA BESOWO

Ahmad Arjun Afwan

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar Sarang


Email : arjunafwan21@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini mengambil topik kebudayaan yang berbasis Islam yang
terdapat dilingkukan penulis, tepatnya di Desa Besowo. Mengambil
pembahasan mengenai salah satu tradisi atau ritual yang sangat melekat pada
budaya Jawa terkhusus budaya yang selalu mengiringi keseharian masyarakat
di desa Besowo, yakni slametan. Mengetahui bahwa masyarakat Besowo
adalah salah satu masyarakat yang sangat antusias terhadap ritual ini dan selalu
melakukannya bahkan tidak hanya pada peristiwa tertentum namun juga
dilakukan setiap beberapa bulan. Hal ini tidak lain karena faktor latar belakang
desa Besowo yang terkenal dengan kepercayaanya yang sangat tinggi terhadap
keberadaan makhluk tak kasat mata yang selama ini selalu menyertai di
kehidupan kita. Terlebih desa Besowo juga terkenal dengan sebutan desa
penjual Genderuwo, salah satu makhluk halus yang dipercaya dapat menjadi
penjaga di wilayah wilayah tertentu. Sedangkan tujuan dipilihnya tema ini
adalah untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya tradisi selametan di
desa Besowo. Penelitian ini secara umum bersifat kualitatif dengan menyajikan
data dari hasil penelitian lapangan, observasi dan pengumpulan data dari
narasumber. Penulis juga menyajikan beberapa data dari referensi tekstual
sebagai sarana penguat asumsi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai kebudayaan yang ada di daerah penulis sehingga dapat
menjadi saran keterbukaan wawasan bagi pembaca.

Kata kunci : selametan, tradisi, hajat

1
A. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang terdiri dari berbagai pulau, hal
ini menyebabkan Indoensia diisi dengan berbagai macam suku dan budaya
yang menjadikan Indonesia sangat kaya akan tradisi. Setiap darah pasti
memiliki keunikan tradisi masing-masing, dapat berupa tradisi yang
menyangkut hal-hal berbau agama bisa juga tradisi yang murni berasal dari
leluhur atau nenek moyang. Mau tidak mau kelestarian budaya Indonesia harus
senantiasa di jaga agar tidak hilang begitu saja, salah satu wujud menjaga
kelsetarian tersebut secara tidak disadari adalah dengan selalu menjalankan
praktek tersebut.
Tradisi yang menyangkut hal-hal berbau agama biasanya adalah tradisi
yang berkembang atas sikap akulturasi budaya yang masuk ke Indoneisa.
Budaya yang dimaksud adalah pengaruh dari agama-agama yang masuk ke
Indonesai, yang populer di Indonesia dan terkhusus di daerah Jawa biasanya
adalah agama Hindu dan Islam. Namun pengaruh ajaran Hindu lebih awal
masuk sehingga kemudian budaya yang ada adalah campuran dari sisa-sisa
budaya Hindu yang dibalut dengan keislaman.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal yang menunjukkan adanya unsur
Hindu dalam budaya Jawa seperti adanya bangunan masjid yang terdapat
arsitektur Hindu dan simbol kerucut pada tumpeng yang diambil dari budaya
Hindu. Kemudia Islam datang dan membalut itu semua menjadi budaya yang
baru yang masih ada hingga sekarang dan menyebar di berbagai daerah dan
terjadilah perkembangan masing-masing.
Salah satunya adalah tradisi yang ada di desa Besowo, meskipun secara
luas tradisi ini tidak hanya dilakukan di desa Besowo tetapi juga di penjuru
tanah Jawa, namun intensitas yang dilakukan di desa Besowo bisa jadi lebih
tinggi dari daerah lain. Dengan alasan inilah kemudian penulis mengangkat
pembahasan mengenai selametan yang ada di desa Besowo.
B. Pembahasan
Di desa Besowo, ritual slametan sangatlah kental dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Slametan sendiri menurut Cliffor Geertz adalah sebuah
upacara kecil, formal, tidak dramatis dan terdapat beberapa rahasia-rahasia

2
kecil di dalamnya.1 Slametan memang sangat wajar dilakukan dalam
mengiringi kehidupan masyarakat Jawa yang hingga kini masih tetap
dilestarikan. Di desa Besowo sendiri masyarakat sekitar tidak hanya menyebut
ritual ini dengan sebutan selametan saja, akan tetapi terkadang juga disebut
dengan istilah bancakan.
Ada setidaknya satu keluarga di sebuah kelompok rukun tetangga yang
setiap bulan bahkan melakukan satu kali upacara slametan. Dalam budaya
Jawa memang slametan bisa dilakukan untuk mengiri banyak hal. Menurut
Geertz, slametan bisa dilakukan untuk mengiringi beberapa hal seperti
kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen,
ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa,
khitanan dan permulaan suatu rapat politik.2
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari narasumber yang
melakukan ritual slametan rutin setiap bulan, mengatakan bahwa ia melakukan
slametan dalam rangka untuk memperoleh keselamatan setiap bulannya. Selain
itu narasumber juga berasumsi bahwa melakukan slametan setiap bulan dapat
melancarkan usaha maupun masalah yang sedang dihadapi.
Teknis dari slametan yang narasumber lakukan biasanya meliputi
beberapa hal sebagai berikut. Pertama, empunya hajat biasanya akan
mengumpulkan beberapa orang dilingkup tetangga guna melakukan slametan,
tidak begitu banyak orang yang ikut dalam upacara ini, biasanya hanya diikuti
oleh tiga hingga lima orang termasuk sang pemimpin slametan. Peserta yang
mengikuti slametan biasanya tidak hanya orang dewasa saja, melainkan juga
ada beberapa momen slametan yang hanya diikuti oleh anak-anak saja.
Kedua, empunya hajat biasanya akan mengawali hajatan dengan
melakukan sambutan dan pidato ringan dengan menggunakan bahasa Jawa
Kromo Inggil, atau bahasa Jawa dengan tingakat kesopanan yang paling
tinggi. Dalam melakukan pidato atau sambutan biasanya empunya hajat akan
membeberkan maksud dari slametan yang dilakukan dan kemudian
mempersilahkan kepada pemimpin slametan untuk membacakan doa.

1
Cliffor Geertz, Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, Terjemah,
(Depok: Komunitas Bambu, 2013), 3.
2
Ibid, 3.

3
Ketiga, peserta hajatan kemudian dipersilahkan untuk mengambil
suguhan atau hidangan yang telah dispersiapkan, kemudian membungkusnya
untuk dibawa pulang, dan ketika akan pulang biasanya peserta hajatan akan
mengatakan sebuah kalimat “kabul kajate” yang apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia berarti “semoga hajat yang dimaksud dapat terkabul.”
Hidangan yang disajikan dalam acara slametan ini cukup sederhana,
yakni nasi, telur rebus, urap (sambal yang terbuat dari parutan kelapa yang
dicampur dengan potongan daun singkong yang sudah di kukus), bubur merah
dan tidak lupa jajanan pasar, namun terkadang juga jajanan ciki3 yang biasa
dijual di warung-warung.
Selain hajatan yang dilakukan rutin setiap bulan oleh sebuah keluarga, di
desa Besowo juga rutin dilakukan slametan bulanan yang dilakukan di tempat-
tempat tertentu. Di Besowo rutin dilakukan slametan di tempat penambangan
pasir, hal ini sejurus dengan apa yang disampaikan Geertz dalam bukunya yang
menjelaskan bahwa slametan dilakukan berkenaan dengan acara atau momen
tertentu, salah satunya adalah hal yang berhubungan dengan pabrik atau
tambang ini.
Slametan yang dilakukan di proyek ini secara teknis tidak jauh beda
dengan slametan yang biasa, peserta slametan sendiri di dominasi oleh orang
dewasa yang bekerja di proyek tersebut dan biasanya dipimpin oleh tokoh
agama atau modin. Slametan dilakukan guna mendapat kelancaran di dalam
proyek dan terhindar dari mara bahaya, karena seperti yang kita tahu bahwa
masyarakat jawa sangat kental dengan kepercayaannya dengan terhadap
makhluk halus, terlebih di desa Besowo yang terkenal dengan mahkluk
astralnya Genderuwo.
Slametan yang dilakukan di proyek ini memiliki hidangan yang berbeda
dengan slametan yang biasa. Hidangan yang digunakan pada prosesi slametan
biasa adalah seperti yang telah dipaparkan di atas, sedangkan hidangan yang
digunakan dalam slametan proyek biasanya berisikan ayam jantan kampung
utuh yang dipanggang, biasa disebut dengan ayam ingkung, dan timabah
dengan lauk-pauk seperti urap, telur rebus, acar, tempe kering dan mi goreng.
3
Ciki adalah sebuatan untuk makanan ringan yang biasa dijual di warung-warung dan biasa dibeli
oleh anak-anak.

4
Adanya ayam ingkung ini jelas memiliki maksud tersendiri, sangat jelas bahwa
ayam memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat jawa
terutama ayam kampung.
Lebih lanjut mengenai ayam ingkung dijelaskan oleh Nurul Sukma
Lestari dan Kresensia Ektyani Nautiska Pratami dalam penelitian mereka yang
dimuat dalam Jurnal Cipta: Jurnal Sains Terapan Pariwisata volume 3, nomor
3, tahun 2018, yang menjelaskan bahwa ayam ingkung adalah ayam jantan
utuh yang dimasak dengan keadaan kaki dan kepala yang diikat sedemikian
rupa sehingga menyerupai keadaan orang yang sedang bersujud,4 yang
bermakna reminder bagi manusia agar senantiasa bersujud dan mengingat
kepada sang pencipta.
Kemudian tidak hanya dari maknanya yang menyiratkan keadaan orang
yang sedang bersujud, namun juga menyimbolkan tiga sifat buruk laki-laki,
yang sebab inilah ayam ingkung diikat tiga agar sifat buruknya tidak keluar.
Kemudian makna lain yang dapat diambil dari ayam ingkung ini sendiri adalah
wujud dari persembahan bagi para leluhur yang telah bersemayam.
Selain slametan yang biasa dilakukan setiap bulan, di desa Besowo juga
ada ritual slametan yang biasa dilakukan di hari tertentu, seperti slametan yang
hanya dilakukan ketika masuk bulan suro, atau biasa disebut dengan suronan.
Dalam islam sendiri perayaan 1 Muharram sudah tidak asing lagi, bahkan hal
ini dibolehkan dengan alasan untuk mengenang hijrahnya umat islam dari
Makkah menuju Madinah. Seperti yang kita tahu bahwa penanggalan Hijriyah
ditandai pertama kalinya ketika umat islam Hijrah dair Mekkah menuju
Madinah. Selain itu dalam Islam juga disunnahkan untuk membaca doa akhir
tahun dan awal tahun ketika memasuki 1 Suro. Hal inilah yang kemudian
dibawa oleh para ulama islam terdahulu ke tanah Jawa yang kemudian diserap
sebagai budaya suronan seperti yang setiap tahun diperingati.
Tradisi suronan yang biasa dilakukan di desa Besowo sendiri biasanya
dilakuakn di suatu tempat tertentu, seperti makam, situs-situs spiritual dan
percabangan jalan (perempatan atau simpang lima dan lebih banyak). Teknis
dari jenis slametan ini diikuti oleh banyak peserta yang saling membawa
4
Nurul Sukma Lestari, Kresensia Ektyani Nautiska Pratami, “Ayam Ingkung Sebagai Pelengkap
Upacara Adat di Bantul Yogyakarta”, Jurnal Cipta, Vol. 03, No. 03, 2018, 309.

5
sajian atau tumpeng sendiri-sendiri, kemudian mereka berkumpul pada salah
satu tempat yang telah disebutkan tadi, sembari dibacakan doa oleh pemimpin
acara atau modin, sesaat setelah pemimpin doa selesai membaca doa masing-
masing peserta yang membawa tumpeng lantas mengambil pucuk kerucut dari
tumpeng dan membuangnya. Biasanya peserta suronan diikuti oleh anak-anak
hingga orang tua, sehingga tak ayal hal ini menjadi ajang saling lempar
tumpeng.
Makna dari mengambil pucuk tumpeng ini adalah sebagai wujud tolak
balak atau keinginan agar terhindah dari musibah dan mara bahaya yang akan
datang, karena seperti yang kita tahu bahwa suro adalah bulan yang jatuh
diurutan pertama dalam penanggalan bulan, dalam Islam biasa disebut dengan
Muharram. Dengan dilakukannya ritual suronan ini bertujuan agar sang Maha
Kuasa dapat mengampuni dosa yang telah lalu dan membuka lembaran tahun
yang baru dengan selamat dan bahagia.
Berbicara mengenai tumpeng, jenis hidangan agaknya sudah lazim
ditemui di penjuru Nusantara, tidak hanya Jawa dan sekitarnya tetapi juga
berada di negara lain yakni Malaysia. Tumpeng adalah hidangan simbolis yang
biasanya dipakai dalam sebuah acara atau peringatan sebuah peristiwa yang
biasanya sangat penting di suatu daerah atau suatu keluarga. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, tumpeng adalah nasi yang dihidangkan dalam bentuk
seperti kerucut, dilengkapi dengan lauk-pauk (untuk selamatan dan
sebagainya). Dalam suatu sumber ada yang mengatakan bahwa tumpeng
merupakan tradisi yang diambil dari kebudayaan masyarakat Hindu, hal ini
dapat dilihat dari bentuk kerucut yang tersemat pada tumpeng yang kemudian
menjadi sebuah ciri khas. Namun menurut sebuah studi lebih lanjut,
menyebutkan bahwa sebenarnya tumpeng sudah ada bahkan sebelum masa
Hindu-Buddha, hal ini berdasarkan dari Thesis yang ditulis oleh Islamika,
berdasarkan buku karangan Samidi Khalim yang berjudul Islam dan Spiritual
Jawa, menjelaskan bahwa Tumpeng was existed in Java since at ancient era i.e
since Javanese society was exist (pre HinduismBuddhist).5 Berdasarkan dengan
gagasan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa tumpeng sudah ada sebelum
5
Islamika, The Meaning of Tumpeng in Javanese Islam (A Semiology Analysis on Tumpeng Using
Roland Barthes’s Theory), Universitas Islam Walisongo, Thesis, 2016, 42.

6
masa Hindu-Buddha, jadi kurang tepat apabila tumpeng mengisyaratkan
perbuatan ‘kotor’ karena menyerupai dengan budaya agama lain.
Selain hidangan utama yang selalu ada saat acara slametan lain, slametan
jenis ini juga memiliki hidangan unik, yakni bubur suro. Bubur suro adalah
sebutan untuk bubur yang hanya ada ketika bulan suro, yang isinya adalah
bubur nasi yang diberikan berbagai macam topping, antara lain: sambal kelapa,
teri, mie goreng, sambel gebel, daging ayam, telur dan lain-lain.
Selametan yang dilakukan pada saat bulan suro yang lain adalah
selametan yang dilakukan di sebuah makam salah satu keluarga tokoh
masyarakat. Teknis selametan jenis ini biasanya hanya diikuti oleh keluarga
yang memiliki hubungan dengan mereka yang bersemanyam di makam, dan
dipimpin oleh modin. Hidangan yang disajikan juga tidak jauh beda degan
selametan yang lain, yang berbeda hanya peserta saja yang tidak melibatkan
orang lain. Dilihat dari teknisnya yang dilakukan pada bulan suro, dapat
diambil kesimpulan bahwa selametan ini dilakukan bertujuan untuk
memperingati mereka yang telah meninggal dan mendoakannya agar tenang di
kehidupan yang kekal.
Selain slametan yang dilakukan dengan cara memberikan suguhan di
atas, ada lagi slametan yang hanya diikuti oleh anak-anak, dan tidak
menyertakan suguhan-suguhan atau hidangan seperti di atas. Slametan jenis ini
biasanya adalah slametan yang dilakukan ketika ada seseorang yang baru
membeli kendaraan, bisa sepeda, motor atau mobil.
Teknis dari slametan jenis ini biasanya diikuti oleh anak-anak, dan tanpa
menyertakan hidangan namun diganti dengan air dan uang. Pemiliki barang
biasanaya akan memimpin sendiri prosesi slametan dan akan memberikan
sambutan dan doa yang disimak oleh anak-anak. Kemudian ketika doa telah
usai dipanjatkan barulah sang pemiliki kendaraan akan menyiramkan air yang
diisi dengan uang koin ke motor atau kendaraan yang baru dibeli, hal ini tak
ayal menjadi ajang anak-anak untuk saling bersaing mengumpulkan uang koin
tersebut. Jenis slametan ini menyiratkan bahwa manusia harus selalu bersyukur
terhadap pemberian Sang Pencipta, dan salah satu wujud dari bersyukur adalah

7
dengan melakukan sedekah yang kemudian direalisasikan salah satunya dengan
cara slametan itu sendiri.
Selain beberapa jenis selametan yang sudah penulis paparkan di atas
sebenarnya masih ada banyak jenis selametan yang biasa dilakukan oleh
masyarakat di desa besowo, seperti selametan ketika akan masuk panen, seusai
masa panen, ketika mengganti nama, kematian, kelahiran dan lain-lain. akan
tetapi jenis selametan tersebut juga dirasa sangat umum dilakukan diberbagai
daerah lain.
Membahas mengenai slametan tidak lengkap rasanya tanpa membahas
mengenai sosok yang biasa memimpin jalannya ritual, selain sang pemilik
hajat itu sendiri. Seperti yang telah dipaparkan di atas ahwa pemimpin hajatan
biasanya adalah empunya hajat sendiri, namun bisa juga digantikan oleh orang
lain seperti tokoh masyarakat, tokoh agama dan modin. Masyarakat jawa
mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah modin atau mbah modin. Ini
merupakan sebuah gelar yang disematkan oleh masyarkat terhadap tokoh
agama yang memiliki integritas dalam memimpin acara-acara keagamaan.
Kepada salah satu modin yang penulis mintai keterangan menyebutkan
bahwa ia mendapatkan gelar modin melalui pemerintahan desa, yang
sebelumnya ia menjalani tes sebagai perangkat desa dan kemudian
mendapatkan jabatan sebagai salah satu anggota bidang Kesra. Akhirnya ia
mendapatkan mandat dari modin yang lama karena sudah memasuki usia senja.
Berdasarkan data yang penulis kumpulkan dan pelajari, tradisi selametan
dapat dianalogikan sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah
memberi kenikmatan, selain itu juga wujud dari permintaan keselamatan. Hal
ini dapat dipahami dari teknis ritual selametan yang melibatkan banyak orang
dan adanya sajian-sajian tertentu untuk dibagi-bagikan kepada orang lain.
Kemudian juga analisis mengenai kebolehan praktik selametan dan
hubungannya dengan ritual keislaman. Dengan mengacu kepada data yang
penulis peroleh, dapat diartikan bahwa ritual selametan berkaitan erat dengan
budaya keislaman, yang terdapat banyak unsur islami di dalamnya, seperti
adanya filosofi ayam ingkung dan tumpeng. Selain itu, poin penting yang dapat
diambil adalah keterikatan erat masyarakat Besowo terhadap tradisi selametan

8
yang bahkan dilakukan dalam mengiringi hal-hal kecil. Analisis berikutnya
juga berkaitan dengan faktor yang menyebabkan masyarakat Besowo begitu
kental dengan tradisi selametan, mengingat warga di Besowo sangat
mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan metafisika, sehingga tak ayal
tradisi semacam selametan selalu tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari.
C. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan penulis di atas dapat
dipahami berdasarkan beberapa poin penting. Pertama, selametan memiliki
nilai dan arti yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat tanah Jawa,
terlebih di desa Besowo. Hal ini dapat ditunjukkan dari intensitas yang tinggi
mengenai banyaknya hal yang dibarengi dengan ritual selametan. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat besowo jelas sangat kental dengan tradisi
selametan hingga selalu melakukannya disetiap kejadian. Kemudian selain
biasa disebut dengan selametan, ritual ini juga biasa disebut oleh masyarakat
sekitar dnegan istilah bancakan.
Kedua, selain hanya dilakukan di hari-hari tertentu dan dalam upacara
tertentu saja, ternyata selametan juga bisa dilakukan setiap bulan seperti yang
telah penulis paparkan di atas. Menurut penulis sendiri hal ini tidaklah
bermasalah asal dibarengi dengan niatan untuk bersedakah antar sesama
manusia. Tidak ada salahnya jika manusia ingin saling berbagi kepada
sesamanya meskipun dilandasi dengan rasa meminta perlindungan terhadap
Tuhan dan menghormati roh-roh halus yang mendampingi manusia.
Ketiga, ritual selametan biasanya dilakukan dengan menyajikan berbagai
jenis makanan dan hidangan, ada beberapa hidangan wajib yang harus dipenuhi
ketika melakukan selametan, dan salah satu yang paling tinggi urutannya
dalam hierarki hidangan selametan adalah ayam ingkung atau ayam kampung
jago yang dibakar utuh dan diikat tiga kali sebagai perwujudan orang sujud.
Kemudian ada juga tumpeng, sajian yang berisikan nasi kerucut dan lauk-pauk
yang memiliki makna penting dalam keberlangsungan ritual selametan.
Keempat, poin yang terakhir ini menyangkut praktik dari slametan,
jalannya ritual selametan selalu dipimping oleh orang tertentu, bisa tuan orang
atau pemiliki hajat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Berdasarkan

9
pemaparan di atas ada pula sosok lain, yakni modin atau masyarakat biasa
memanggilnya mbah modin.

10

Anda mungkin juga menyukai