Anda di halaman 1dari 3

Kelas 4A

Mengidolakan orang non-Muslim

Tanggapan : dalam KBBI kata idola mulanya bermakna orang, gambar,


patung, dan sebagainya yang menjadi pujaan, seiring berjalannya waktu kata ini
mengalami penghalusan makna yang mana pada masa sekarang kebanyakan dimaknai
dengan  “tokoh yang dikagumi”, “panutan” atau “pujaan”. Dalam bahasa Arab juga
‫ المحبوب‬berarti yang dicintai/idola.

Ketika seseorang dikategorikan sebagai idola, banyak orang berbondong-


bondong ikut mengidolakannya, terkadang dengan alasan yang benar-benar sepele
atau bahkan tanpa alasan sama sekali. Misalnya, ada yang rela menyaksikan
pertandingan sepakbola berjam-jam, menonton drakor, k-pop, dll. Masalah biasanya
bermula ketika pengidolaan sudah mengarah ke fanatisme. Untuk konteks
pengidolaan, titik fanatisme dimulai ketika seseorang mengidolakan sesuatu
sedemikan rupa sehingga muncul pembenaran terhadap sikap apapun dari sang tokoh
idola. Tak jarang, gaya hidup sang idola yang biasanya muda, kaya, cantik atau
tampan, serta terkenal, ini menjadi idaman bagi para penggilanya.

Para pemuja idola sering membayangkan dirinya sebagai sang tokoh dan
berlaku meniru sosok idolanya. Penampilan dan gaya hidup dari model rambut, cara
berdandan, dan bahkan perilakunya dijiplak dan diikuti. Ketika sang idola melakukan
kesalahan fatal dalam bersikap, seribu alasan dan pembenaran justru bukan datang
dari mulut idola, tetapi dari para pendukung setianya, yang seolah telah dibutakan
dari kenyataan.

Menanggapi deskripsi masalah, jawaban kami adalah tidak ada batasan-


batasan tertentu, dikarenakan semua bentuk kekaguman (mahabbah) pada orang non-
Muslim, hukumnya haram menurut mayoritas ulama. Bahkan bisa kufur apabila
mahabbah tersebut karena kekafiran mereka. Namun ada sebagian ulama yang
berpendapat, bahwa hal tersebut adalah makruh, kecuali mahabbah atau kecondongan
karena kekafiran mereka, maka haram.

Dengan catatan mengagumi atau mengidolakan non-Muslim dihukumi mubah


apabila bersifat Iḍṭirārī (perasaan yang timbul secara spontanitas tanpa disertai usaha)
atau pengidolaannya hanya terbatas pada sisi skill atau kelebihan yang dimiliki sang
idola dan tetap membenci atau ingkar terhadap kekafiran atau kemaksiatan.
1

1
Abdullah ibn Umar al-Bayḍāwi, Tafsir al-Bayḍāwi, (Beirut :Dār Iḥya` al-Turāth al-‘Arabī), 3:151.
2
Sulaiman al-Bujairami, Bujairami ‘Ala al-Khatīb, (Beirut: Dār al-Fikr, 2008), 4:291-292.
3
Al-Qalyūbī dan ‘Umairah, Ḥāshiyatān  Qalyūbī wa ‘Umairah ‘ala Sharh al-Mahalli ‘ala Minhāj al-
Ṭālibīn, (Mesir: Musṭafa al-Bābī al-Ḥalbī), 4:235

Anda mungkin juga menyukai