Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makna Pendidkan dan Pendidikan Islam Multikultural


Pendidikan multikultural terdapat beragam definisi menurut beberapa pendapat para ahli.
Andersen dan Cusher mengartikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan mengenai
keragaman kebudayaan.366

Muhaemin el Ma’haddi berpendapat pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai


pendidikan keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.367

Paradigma multikultural memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi dan respek
terhadap budaya dan agama orang lain (the others). Atasdasar ini maka penerapan
multikultural menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan
menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan
perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadaap kenyataan kemajemukan,
pluralitas bangsa, baik dalam dan etnis, agama, budaya hingga orientasi politik, bisa mereduksi
berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.368

367Muhaemin El-Ma’hady dalam www. re-searchengines.com.

368Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai


Problem Sosial, (Yogyakarta: Ptistaka Pelajar, 2006), h.

Paulo Freire mendefinisikan pendidikan multikultural bukan menara gading yang berusaha
menjauhi realitas sosial dan budaya. Melainkan pendidikan multikultural mampu menciptakan
tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan suatu kelas sosial sebagai akibat dari kekayaan dan kemakmuran yang
diperolehnya.369 Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan
keragaman populasi sekolah, sepertituntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang mencakup seluruh peserta didik tanpa membedakan
kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan keyakinan agama.
Pendidikan Islam multikultural adalah sikap menerima kemajemukan ekspresi budaya manusia
dalam memahami pesan utama agama, terlepas dari rincian anutannya. Basis utamanya
dieksplorasi dengan melandaskan pada ajaran Islam, sebab dimensi Islam menjadi dasar
pembeda sekaligus titik tekan dari konstruksi pendidikan ini. Penggunaan kata pendidikan Islam
tidak dimaksudkan untuk menegasikan ajaran Islam saja, karena pendidikan Islam sarat dengan
ajaran yang menghargai dimensi pluralis multikultural.370

369Paulo Freire, Pendidikan Pembebasan (Jakarta: LP3S, 2000)

370Ngainun Nairn dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan aplikasi,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 41

2.2 Pendidikan dan Perubahan Sosial


Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup
sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbeda-an antara keadaan sistem tertentu dalam
jangka waktu berlainan.Berbicara tentang perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjjadi
setelah jangka waktu tertentu; kita berurusan dengan perbedaan keadaan yang diamati antara
sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu.

Untuk dapat menyatakan perbedaannya, ciri-ciri awal unit analisis harus diketahui dengan
cermat—meski terus berubah (Strasser & Randall, 1981: 16).

Jadi konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada waktu
berbeda; dan (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama. Contoh definisi perubahan sosial
yang bagus sebagai berikut:

Perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu
kesatuan. (Hawley, 1978: 787)

Perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut
pengamatan: apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan
keadaan sistem sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul
sebagai kom-binasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen seperti berikut:

Unsur-unsur pokok (misalnya: jumlah dan jenis individu, serta tin-dakan mereka).

Hubungan antar-unsur (misalnya: ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antar-


individu, integrasi).
Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya: peran pekerjaan yang dimainkan oleh
individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial).
Pemeliharaan batas (misalnya: kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota
sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekrutmen dalam organisasi, dan
sebagainya).

Subsistem (misalnya: jumlah dan jenis seksi, segmen, atau divisi khusus yang dapat dibedakan).

Lingkungan (misalnya: keadaan alam atau lokasi geopolitik).

Terciptanya keseimbangan atau kegoncangan, konsensus atau pertikaian, harmoni atau


perselisihan, kerja sama atau konflik, damai atau perang, kemakmuran atau krisis, dan
sebagainya, berasal dari sifat saling memengaruhi dari keseluruhan ciri-ciri sistem sosial yang
kompleks itu.

Bila dipisah-pisah menjadi komponen dan dimensi utamanya, teori sistem secara tidak langsung
menyatakan kemungkinan perubahan berikut:

Perubahan komposisi (misalnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota
satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi
gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok).

Perubahan struktur (misalnya, terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, munculnya


ikatan persahabatan, terbentuknya kerja sama atau hubungan kompetitif).

Perubahan fungsi (misalnya, spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi
keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasikan oleh sekolah atau universitas).

Perubahan batas (misalnya, penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok oleh
kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan demokratisasi keanggotaan,
dan penaklukan).

Perubahan hubungan antarsubsistem (misalnya, penguasaan rezim politik atas organisasi


ekonomi, pengendalian keluarga dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintah totaliter).

Perubahan lingkungan (misalnya, kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya wabah atau virus
HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional).

2.3 Penyeragaman Pendidikan


Filsuf politik, Donny Gahral Adian (2004), melihat pelaksanaan demokrasi di Indonesia hanya
berjalan pada tahap prosedural, belum sampai pada tahap yang substansial. Demokrasi bukan
sekadar transformasi prosedural, tapi substansial. Demokrasi yang bersifat prosedural tidak
mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena ia hanya terikat pada aturan-aturan
formal yang berlaku. Bahkan demokrasi prosedural dapat menjadi alat penindasan hukum
mayoritas otoriter yang berwatak sektarianisme. Donny melihat ada upaya-upaya dan
kecenderungan mengarah pada politik sektarianisme yang otoriter dan diperjuangkan melalui
prosedur demokrasi. Banyaknya UU yang anti keragaman. Ini juga berarti upaya penyeragaman.
Sedangkan penyeragaman adalah suatu tindakan yang otoriter.

Cara berkampanye dengan menggunakan demagogi-demagogi yang mengidentifikasikan suatu


kelompok lebih mulia dari kelompok yamg lain berdasarkan argumentasi keyakinan yang
fundamental. Oleh karena itu, jalan hidup kelompok yang lebih mulia harus diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Gawatnya, demagogi politik sektarian lebih mudah
mendapatkan massa. Kita melihat di tengah-tengah kita penghancuran tempat ibadah,
penolakan terhadap orang lain karena agama / keyakinan yang berbeda, pemaksaan ideologi
suatu kelompok terhadap ideologi negara atas nama demokrasi, semakin tingginya arogansi
kedaerahan serta menipisnya rasa ketidaksetiakawanan. Dan lebih mengkhawatirkan lagiuntuk
beberapa kasus, untuk mendapatkan dukungan rakyat, ada keperpihakan pemerintah pada
mayoritas walaupun melanggar konstitusi Negara.

Hal yang diuraikan tersebut mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan
multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas
diantara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Hal ini juga
memberi spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada
peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Dengan
implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti,
menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat
penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan
dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan
kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan
sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural
disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin,
ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga
pendidikan pemerintah maupun swasta. Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi
perhatian dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut
menjelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

2.4 Pendidikan Islam Pluralis-Multikultural


Indonesia merupakan negara dan bangsa yang menganut keanekaragaman agama. Terdapat
enam agama yang diakui oleh negara,yaitu Islam, Khatolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan
Konghucu. Indonesia memperkenalkan slogan Bhinneka Tunggal Ika untuk menunjukkan
5keragaman suku, ras, dan agama.406 Bahkan prinsip keagamaan terdapat dalam pancasila sila
pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendidikan agama Islam berbasis multikultural
merupakan sesuatu hal yang sangat relevan. Jika ingin mengaitkan multikulturalisme dengan
agama, maka haruslah terlebih dahulu memahami agama dan relevansinya dengan realitas
multikultural.407 Pendidikan multikultural merupakan usaha edukatif yang diarahkan untuk
dapat menanamkan nilai-nilai kebersamaan kepada para peserta didik dalam lingkungan yang
berbeda baik ras, etnik, agama, budaya, nilai-nilai dan ideologi.408James Banks mendefinisikan
pendidikan multikultural merupakan ide, gagasan, gerakan, pembaharuan pendidikan.
Rangkaian penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis
dalam kehidupan, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu,
kelompok dan negara.409

Sangkot Sirait menyebutkan pendidikan Islam multikultural sebagai sistem pengajaran yang
lebih memusatkan perhatian kepada ide-ide dasar Islam yang membicarakan betapa
pentingnya memahami dan menghormati budaya dan agama orang lain.410 Pendidikan Islam
multikultural sebagai proses pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan
keadilan,berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian,
sertamengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman berdasarkan Al-
Qur’an dan hadis.411

Secara normatif, Al-Qur’an menegaskan manusia diciptakan dengan latar belakang yang
beragam. Seperti dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat5 13 dijelaskan, Sesungguhnya Allah
SWT telah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Allah
SWT jadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia di atara manusia di sisi Allah SWT ialah manusia yang paling bertakwa.412

406 Lasijan. Multikultural dalam Pendidikan Islam. Jurnal TAPI. 10. 2. 2014, h. 128

407Kasinyo Harto, Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural


(Jakarta: PT. Rajawal Press, 2014), h. 60.

408Kasinyo Harto, Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2012), h.29

409Yaya Suryana dan A. Rusdiana, Pendidikan Multikultural, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015),
h.196
410Sangkot Sirait, Antologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Idea Press, 2010), h. 169

411Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah terhadap Kurikulum


Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.196

412Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi. Ibid., QS Al-Hujurat ayat 13

2.5 Demokratisasi Pendidikan

Sebelum membahas lebih jauh mengenai demokrasi pendidikan, penulis menganggap penting
untuk mengetahui sekilas tentang ideologi pendidikan di mana terdapat arus besar yang saling
mempengaruhi dunia pendidikan saat ini. Ideologi besar itu adalah: Konservatifisme,
Liberalisme, dan Kritisisme.

Pertama, Konservatif adalah aliran yang berangkat dari aliran filsafat perenialisme dan
esensialisme. Konsep-konsep dasar tentang pendidikan cenderung statis (eksklusif), dan
cenderung mempertahankannilai-nilai normatif yang telah mapan (status quo). Pendidikan
tidak lebih hanyalah transfer nilai untuk kemudian dijadikan pedoman hidup.69

Kedua, Liberal berangkat dari filsafat rasionalisme Rene Deskrates yang membawa pintu
pencerahan (aufklarung) saat itu. Filsafat rasionalis ini membawa pengakuan kembali atas
kebebasan, dan pengakuan atas manusia (humanisasi). Dalam masa ini ada tiga aspek yang
menjadi jargon utama yaitu: Individualisme, Rasionalisme dan Empirisme yang ketiganya
merupakan ciri utama era modern pasca pencerahan.70

Ketiga, Kritis yaitu paradigma yang digagas oleh tokoh Paulo Freire. Pendidikan Kritis (critical
pedadogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua
aktifitas pendidikan.

Visi dari pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, ekonomi, kultural, dan politik yang lebih luas. Aliran ini dalam
diskursus pendidikan disebut juga dengan aliran kiri, karena orientasi politiknya berlawanan
dengan mazhab liberal dan konservatif.71

Demokrasi merupakan gabungan dua kata yaitu demos dan kratosyang dalam term politik yaitu
kekuasaan berada pada rakyat, yang memihak rakyat dan bukan semata-mata hanya
kekuasaan. Selanjutnya demokrasi pendidikan secara bahasa berarti sistem pendidikan yang
berada pada rakyat atau kebutuhan rakyat. Demokrasi pendidikan merupakan
69 Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa,
(Yogyakarta:Pinus Book Publisher, 2008), hal. 67.

70 Ibid., hal 72.

71 M. Agus Nuryatno, Mazhab…., hal.1.

suatu sistem pendidikan yang menolak adanya masalah-masalah pendidikan seperti


domestifikasi, pembodohan, pendidikan elitis dan lain sebagainya yang sifatnya merugikan bagi
siswa atau peserta didik. Kebijakan pendidikan yang tidak memihak pada peserta didik seperti
halnya Ujian Nasional penulis anggap sebagai pembodohan karena tidak tepat sasaran serta
tujuannya, yang terjadi adalah menghalalkan segala cara demi sebuah kelulusan sekolah yang
tidak jarang menyeret guru dan siswa untuk berbohong pada oknum-oknum tertentu.

Dari pengertian secara bahasa di atas, Demokrasi pendidikan menurut H.A.R. Tilaar adalah
memberikan kesempatan yang sama untuk seluruh rakyat sesuai dengan bakatnya masing-
masing untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas,72 yang secara umum mempunyai
fungsi politik dan kebudayaan. Dalam fungsi politik, pendidikan nasional tentunya untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme yang sehat pada setiap sikap dan cara berfikir anak.
Sedangkan secara kebudayaan adalah untuk menumbuhkan rasa bangga atas kepemilikan
suatu budaya nasional sebagai identitas bangsa.73 Nasionalisme ini seakan hilang jika
disandingkan dengan Indonesia sekarang, hal-hal yang berkaitan dengan sejarah bangsa sudah
mulai tidak dihiraukan. Padahal ketika dilihat pelajaran sejarah bangsa sangat membantu sekali
bagi peserta didik untuk lebih menjiwai bangsanya sendiri, tanpa harus ikut dengan bangsa lain.

72 H.A.R. Tilaar, Kekuasaan…., hal. 7.

73 H.A.R. Tilaar, Manajemen…., hal. 203.

Demokrasi pendidikan mempunyai empat prinsip yang harus dipegang, yaitu:

a. Pengakuan atas hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan.

b. Suatu sistem pendidikan yang terbuka

c. Pendidikan untuk seluruh rakyat

d. Tujuan pendidikan adalah manusia yang cerdas dan bermoral.74

74 H.A.R. Tilaar, Kalaedoskop…., hal. 1110.

Anda mungkin juga menyukai