Anda di halaman 1dari 8

REVIEW TM 4

FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap
obat yaitu absorpsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi (ADME),
sehingga sering juga diartikan sebagai nasib obat dalam tubuh. Dalam arti sempit,
farmakokintik khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan
metabolitnya di dalam dan jaringan berdasarkan perubahan waktu.
Tubuh kita dianggap sebagai seuatu ruangan besar yang terdiri dari beberapa
kompartemen (bagian) berisi cairan, dan antar kompartemen tersebut dipisahkan oleh
membran sel. Kompartemen yang terpenting dalam tubuh adalah saluran lambung-usus,
sistem peredaran darah, ruang ekstra sel (diluar sel, anta r jaringan), ruangan intra sel (di
dalam sel), dan ruang cerebrospinal (sekitar otak dan sumsum tulang belakang).
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses yang berlangsung cukup
rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase yaitu :
1. Fase farmasetik, adalah fase yang meliputi waktu hancurnya bentuk sediaan obat,
melarutnya bahan obat sampai pelepasan zat aktifnya kedalam cairan tubuh. Fase ini
berhubungan dengan ketersediaan farmasi dari zat aktifnya dimana obat siap
diabsorpsi.
2. Fase farmakokinetik, adalah fase yang meliputi semua proses yang dilakukan tubuh,
setelah obat dilepas dari bentuk sediaannya yang terdiri dari absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi.
3. Fase farmakodinamik, fase pada saat obat telah berinteraksi dengan reseptor dan siap
memberikan efek farmakologi, sampai efek farmakologi diakhiri.
Proses kerja obat yang dibahas dalam bidang farmakokinetik ini secara berurutan
adalah absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi keterangan untuk masing-masing
proses tersebut akan diterangkan sebagai berikut :
1. Absorpsi (A)
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian obat ke dalam
sirkulasi sistemik (pembuluh darah). Bergantung pada cara pemberiannya, tempat
pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru-paru, otot. Hal
terpenting untuk diperhatikan adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini
tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang
sangat luas, yakni 200 m2 (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan
mikrovili). Kecepatan absorpsi obat tergantung :
a. Kelarutan
Untuk dapat diabsorpsi harus dapat melarut, untuk sediaan padat sebaiknya
diminum dengan cairan yang cukup untuk membantu kelarutan obat
b. pH
Derajat keasaman atau kebasaan jika zat berada dalam bentuk larutan, obat terlarut
dapat berupa ion atau non ionik. Bentuk non ionik lebih mudah larut dalam lemak
sehingga lebih mudah menembus membran karena sebagian besar membran sel
tersusun dari lemak. Kecepatan obat menembus membran dipengaruhi oleh pH
obat dalam larutan dan pH dari lingkungan obat berada.
c. Tempat absorbsi
Berada pada kulit, membran mukosa, lambung, usus halus
d. Sirkulasi darah
Pemberian sub lingual akan lebih cepat diabsorpsi dibanding sub kutan karena
sirkulasi di sub kutan lebih sedikit.
Proses absorpsi obat melewati membran sel terbagi menjadi :
a. Difusi pasif
Sebagian besar obat diabsorpsi secara difusi pasif, maka sebagai barier absorpsi
adalah membran sel epitel saluran cerna yang halnya semua membran sel tubuh
kita merupakan lipid bilayer. Dengan demikian agar dapat melintasi membran sel
tersebut molekul obat harus mempunyai kelarutan dalam lemak. Kebanyakan obat
merupakan elektrolit lemah, yaitu asamn lemah atau basa lemah. Dalam air
elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Derajat ionisasi obat
bergantung pada konstanta ionisasi obat (pKa) dan pada PH larutan dimana obat
berada. Pada difusi pasif hanya bentuk non ion yang mempunyai kelarutan lemak
yang dapat berdifusi, sedangkan bentuk ion tidak dapat berdifusi karena tidak
mempunyai kelarutan lemak.
b. Transpor aktif
Merupakan transport yang difasilitasi oleh pembawa. Karakteristik dari transport aktif
adalah pemindahan obat melawan gradien konsentrasinya dimana obat dengan
konsentrasi rendah dibawa ke daerah dengan
c. Difusi terfasilitasi
Merupakan transport yang difasilitasi oleh pembawa. Perbedaan dengan transport
aktif adalah obat bergerak melalui gradien konsentrasi (dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah) sehingga tidak memerlukan energi.
d. Transport vesikular
Adalah proses penelanan partikel atau zat terlarut oleh sel. Pinositosis dan
fagositosis adalah bentuk dari transport vesikular. Selama proses pinositosis dan
fagositosis membran sel mengelilingi material dan menelan, melepaskan disisi
lainnya. Transport vesikuler digunakan antara lain untuk protein berukuran besar.
e. Pore transport
Molekul yang sangat kecil seperti urea, air dan gula dapat dengan cepat menembus
membran bila membran memiliki pori-pori.
f. Pembentukan ion pair
Obat yang bersifat elektrolit kuat atau molekul yang terionisasi kuat, dengan pKa
yang ekstrim dapat menembus membran dengan membentuk ikatan dengan
molekul dengan muatan yang berlawanan sehingga muatan keseluruhan netral.
Kompleks netral ini berdifusi dengan lebih mudah melewati membran.
Absorpsi saluran pencernaan meliputi kecepatan dan jumlah. Dipengaruhi oleh
formulasi farmasetik termasuk bentuk sediaan, pKa dan kelarutan obat dalam lemak
disamping pH, flora bakteri, dan aliran darah dalam organ pencernaan (meliputi usus
besar, usus halus, usus 12 jari dan lambung). Setelah obat bebas masuk ke peredaran
darah, kemungkinan mengalami proses –proses sebagai berikut :
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan
menimbulkan respon biologis.
4. Obat mengalami metabolisme
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan

2. Distribusi (D)
Setelah proses absorpsi, obat masuk ke dalam pembuluh darah untuk selanjutnya
ditransportasikan bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi menuju tempat kerjanya.
Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh :
a. Distribusi fase pertama
Terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik
misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
b. Distribusi fase kedua
Jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas
misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak
Kecepatan distribusi dipengaruhi :
a. Permeabilitas membran kapiler terhadap molekul obat, karena membran sel
sebagian besar terdiri dari lemak maka obat yang mudah larut dalam lemak juga
akan mudah terdistribusi.
b. Aliran darah.
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ
berdasarkan jumlah aliran darah. Organ dengan aliran darah terbesar adalah
jantung, hepar, dan ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak,
dan otot lebih lambat. Pemberian berulang yang terlalu cepat berpotensi
menyebabkan akumulasi dan potensial menimbulkan toksis.
c. Ikatan obat dengan protein plasma.
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat
atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya
obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi
bila >80% obat terikat protein.
Obat yang terikat oleh protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh
tubuh. Ikatan obat dengan protein plasma merupakan ikatan reversibel, maka jika
obat bebas telah masuk kedalam jaringan menyebabkan obat yang terikat protein
akan menjadi bebas sehingga distribusi berjalan terus sampai habis. Obat yang
dapat menembus membran adalah obat dalam bentuk bebas (tidak terikat oleh
protein plasma), maka kuat lemahnya ikatan obat dgn PP akan mempengaruhi
distribusi.
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan
lemah (ikatan hidrofobik, van der waals, hidrogen dan ionik). Ada beberapa macam
protein plasma:
1. Albumin: mengikat obat asam dan obat netral (misal steroid) serta bilirubin dan
asam-asam lemak.
2. Alpha glikoprotein : mengikat obat basa
3. CBG (corticosteroid binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid
4. SSBG (Sex steroid binding globulin) khusus mengikat hormon kelamin
d. Hambatan fisiologi tertentu seperti abses atau kanker
Organ yang mendapat suplai darah lebih banyak (hati, ginjal, jantung) akan
menerima obat dalam jumlah banyak dibandingkan dengan yang perfusi darahnya
sedikit (tulang, jaringan yang kontraksi atau pada abses)
e. Variasi kecepatan dan jumlah darah disuatu lokasi

3. Metabolisme (M)
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah reaksi perubahan zat kimia dalam
jaringan biologi yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolitnya. Obat dapat
dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu : a) menjadi metabolit inaktif kemudian
diekskresikan; dan menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan
dimetabolisme lanjutan. Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian
setelah dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme obat terutama di hati,
yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat
metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah: dinding usus, ginjal, paru, darah, otak,
dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat di eksresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan ini umunya obat diubah dari aktif menjadi inaktif, tapi sebagian berubah
menjadi lebih aktif (prodrugs), kurang aktif, atau menjadi toksis. Reaksi metabolisme
terdiri dari 2 fase :
1. Reaksi fase I
Terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis yang mengubah senyawa lipofil
menjadi senyawa yang mempunyai gugus fungsional (lebih polar ) seperti: OH;
NH2; COOH dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif. Tujuannya
adalah agar senyawa lebih mudah mengalami proses perubahan selanjutnya. Hasil
metabolisme fase 1 mungkin akan mempengaruhi efek farmakologinya.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim Cytochrom
P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma hati. Enzim ini juga terdapat di GI. CYP
berperan penting dalam metabolisme zat endogen seperti steroid, lemak, dan
detoksifikasi zat eksogen. Ada juga metabolisme fase 1 yang tdk menggunakan
CYP seperti pada oksidasi katekolamin, histamin dan etanol.
2. Reaksi fase II
Merupakan konjugasi (penggabungan) antara obat dengan substrat endogen
yaitu: asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dengan akibat
obat menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif secara
farmakologi. Terjadi jika zat belum cukup polar setelah mengalami fase 1, terjadi
pada zat yang sangat lipofil.
Reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidase oleh enzym UDP-
glukoroniltransferase (UGT) yang terutama terjadi dalam mikrosom hati, dan
jaringan ekstrahepatik. Untuk zat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2,
SH, dan COOH mungkin tidak perlu mengalami reaksi fase 1 untuk dimetabolisme
fase II. Zat dapat mengalami metabolisme fase II terlebih dahulu sebelum
mengalami metabolisme fase 1.
Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu :
a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan
menghasilkan senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respon biologis (bioaktivasi).
b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif,
kemudian diekskresikan (bioinaktivasi).
c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik.

4. Ekskresi (E)
Ekskresi obat artinya eliminasi atau pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar
obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat juga dapat dibuang melalui
paru-paru, ekskrokin (keringat, ludah, payudara), kulit dan traktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau
bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan 3 (tiga) proses, yakni:
a. Filtrasi glomerulus
Obat yang tidak terikat pada PP akan mengalami filtrasi glomerulus masuk ke
tubulus. Glomerulus Filtration Rate (GFR) adalah 125 ml/menit atau 20% dari renal
plasma flow (RPF) yang besarnya 600 ml/menit. Dipengaruhi oleh ukuran partikel,
bentuk partikel, dan jumlah pori di glomerulus.
b. Reabsorpsi tubulus
Setelah obat sampai di tubulus kebanyakan akan mengalami reabsorpsi ke sirkulasi
sistemik kembali, terutama untuk zat non polar atau bentuk non ion. Untuk
mengurangi reabsorpsi tubulus dapat dilakukan dengan memanipulasi pH urin untuk
meningkatkan derajat ionisasi.
c. Sekresi tubulus
Obat yang tidak mengalami filtrasi glomerulus dapat masuk ke tubulus melalui
sekresi di tubulus proksimal. Sekresi di tubuus merupakan proses transport aktif jadi
memerlukan energi dan karier.
Hal-hal lain terkait farmakokinetik adalah sebagai berikut :
a. Waktu paruh (T ½)
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang
dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolisme dan
ekskresi. Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus
diberikan. Obat yang T 1/2 panjang mengalami frekuensi pemakaian relatif jarang
karena durasi obat relatif panjang. Dosis obat pada pasien gangguan ginjal dan hepar
dikurangi karena eliminasi obat dapat diperlambat.
b. Onset, puncak, dan durasi kerja obat
Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Waktu
onset ini sangat tergantung pada rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak
adalah waktu dimana obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam plasma. Setelah tubuh
menyerap semakin bayak obat, maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin
meningkat sehingga mencapai konsentrasi puncak respon. Durasi kerja obat adalah
lama waktu obat menghasilkan suatu efek terapi atau efek farmakologis.

Adapun parameter farmakokinetik yaitu:


1. Bioavailabilitas
Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur
pemberian tertentu masuk/mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif.
Hal ini dapat terjadi karena untuk obat-obat tertentu tidak semua yang diabsorpsi dari
tempat pemberiannya akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme
oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral atau pada hati pada lintasan
pertamanya. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first
pass metabolisme/first pass elimination) .
2. Kliren total
Kliren (C) adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau volume plasma
yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (volume/waktu). Kliren total adalah jumlah
kliren dari berbagai organ seperti hepar, ginjal, empedu, paru-paru dll, namun demikian
kliren total sudah cukup jika diwakili dari jumlah hepar ditambah dengan kliren ginjal.
Ro (mg/menit)
CL=
Cp(mg/ml)

Ketrangan :
Ro= kec. Obat dibersihkan dari dalam tubuh
Cp= kadar obat dalam plasma.
3. Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam
kadar plasma. Semakin besar nilai Vd, maka semakin luas distribusinya. Jika nilai Vd >
volume cairan tubuh berarti ditribusi obat terkonsentrasi pada jaringan tertentu.
F xD
Vd=
C
Keterangan :
F= bioavaliabilitas
D= Dosis obat
C= kadar obat dalam plasma
Volume distribusi (Vd) bukanlah volume yang sebenarnya tapi hanya volume semu
yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Noviani, N., Nurilawati, V. 2017. Farmakologi. Jakarta: Pusat Pengembangan Sumber Daya
Manusia Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan.

Nila, A., Halim, M. 2013. Dasar-dasar Farmakologi 2 Kelas X Semester 2. Jakarta: Direktorat
Pembinaan SMK

Anda mungkin juga menyukai