Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR

“DISTRIBUSI TERLARUT ANTARA DUA PELARUT YANG”


TIDAK BERCAMPUR

DiajukanUntukMemenuhiTugasLaporanPraktikum Kimia Fisika

DisusunOleh:
Kelompok 1 (A3)

Wan Rafli NIM. 190140063


QurratiAyunin NIM. 190140072
FarraDhina NIM. 190140083
IrfansyahSiregar NIM. 190140088
DindaHumaira NIM. 190140092
Sinta Morina NIM. 190140101
Fatnia NIM. 190140108

LABORATORIUM TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2021
ABSTRAK

Bila dua macam pelarut yang tidak bercampur dimasukkan kedalam sebuah
bejana, maka akan terlihat suatu batas yang menunjukkan bahwa kedua pelarut itu
tidak saling bercampur. Distribusi adalah penyebaran aktivitas zat terlarut yang
dilarutkan dalam dua pelarut yang tidak saling melarutkan. Koefisien distribusi
didefenisikan sebagai suatu perbandingan ke larutan suatu zat (sampel) didalam dua
pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur. Percobaan ini bertujuan untuk
menentukan konsentrasi kesetimbangan suatu zat terlarut terhadap dua pelarut yang
tidak bercampur, dan menentukan derajat disosiasi zat terlarut dalam pelarut
tersebut. Pada percobaan yang dilakukan, larutan yang di gunakan adalah asam
asetat dengan konsentrasi 1,15 N dan 2,4 N sebanyak 25 ml yang dicampurkan
dengan kloroform masing-masing 25 ml untuk tiap konsentrasi dimasukkan
kecorong pemisah setelah terbentuk 2 lapisan, lapisan air yang mengandung asam
asetat diambil dan dititrasi dengan NaOH 1 N. NaOH untuk titrasi CH3COOH awal
diperoleh nilai rata-rata 0,65 ml untuk 1,15 N dan 0,75 ml untuk 2,4 N sedangkan
NaOH untuk titrasi CH3COOH sisa akstrasi diperoleh nilai 0,25 ml untuk 1,15 N
dan 0,55 ml untuk 2,4 N.

Katakunci : Distribusi, koefisien distribusi, konstanta kesetimbangan,, derajat


disosiasi, kloroform.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 JudulPraktikum : Distribusi zat terlarut antara dua pelarut yang


tidak bercampur
1.2 PelaksanaPraktikum : 1. Wan Rafli NIM. 190140063
2. QurratiAyunin NIM. 190140072
3. FarraDhina NIM. 190140083
4. IrfansyahSiregar NIM. 190140088
5.Dinda Humaira NIM. 190140092
6. Sinta Morina NIM. 190140101
7. Fatnia NIM. 190140108

1.3 TujuanPraktikum : Untuk menentukan kosntanta kesetimbangan suatu


zat terlarut terhadap dua pelarut yang tidak
bercampur, dan menentukan derajat disosiasi zat
terlarut dalam pelarut tersebut
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Larutan


Larutan adalah sedian cair yang mengandung bahan kimia terlarut, kecuali
di nyatakan lain pelarut di gunakan air suling. Larutan adalah campuran homogen
dua zat atau lebih yang saling melarutkan dan masing masing zat penyusunnya tidak
dapat di bedakan lagi secara fisik. Larutan terdiri dari zat pelarut dan terlarut.
Larutan campuran heterogen adalah suatu campuran terdapat molekul molekul
atom , ion-ion dan zat atau lebih di sebut campuran, karena susunannya dapat di
ubah-ubah. Campuran homogen kerena komponen-komponen penyusunnya telah
kehilangan fisiknya dan susunannya sangat seragam sehingga tidak di amati. Faktor
mempengaruhi larutan suatu zat antara lain adalah tekanan dan suhu. Kelarutan zat
padat dan cairan tidak berpengaruh oleh tekanan, sedangkan kelarutan gas akan
bertambah apabila tekanan di perbesar.

Ada dua cara menstandarkan larutan yaitu:

1. Pembuatan langsung larutan dengan melarutkan suatu zat murni dengan


berat tertentu, kemudian diencerkan sampai memperoleh volume tertentu
secara tepat. Larutan ini disebut larutan standar primer, sedangkan zat yang
kita gunakan disebut standar primer.

2. Larutan yang konsentrasinya tidak dapat diketahui dengan cara menimbang


zat kemudian melarutkannya untuk memperoleh volum tertentu, tetapi dapat
distandartkan dengan larutan standar primer, disebut larutan standar
sekunder.

2.2 Hukum Distribusi

Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tak-dapat-campur, maka pada suatu temperatur
yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang
konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini tidak bergantung
pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah
dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperature (Dogra,
1990).
Bila suatu zat terlarut tidak saling bercampur maka akan membentuk 2 fasa
dan diantara fasa tersebut ada hubungannya dengan konsentrasi zat terlarut dalam
dua fasa pada kesetimbangan. Hukum distribusi kadang disebut hukum nernst. Bila
substansi ekstraksi pelarut mengambil bagian dan kesetimbangan-kesetimbangan
lain dalam salah satu (atau kedua) fasa itu, suatu angka banding Dapat
dimanfaatkan, dimana konsentrasi dijumlahkan untuk semua spesies yang relevan
dalam kedua fasa itu (Underwood, 2002).

Bila larutan encer atau zat terlarut bersifat ideal maka aktifasi (α) dapat
diganti c, hingga:
C1
K= ..............................................................................................(1)
C2

Dimana:
K : Koefisien distribusi
C1 : Konsentrasi zat terlarut pada pelarut organik
C2: pada pelarut organik
Hukum koefisien distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk
menentukan aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivasi zat terlarut dalam
pelarut lain diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama
lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi diantranya:
1. Temperatur yang Digunakan
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi
menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai K.
2. Jenis Pelarut
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan
mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut) akibatnya
mempengaruhi harga K. Pelarut adalah zat yang dapat melarutkan bahan-
bahan tertentu, adapun macam-macam pelarut seperti air, benzena, heksana,
kloroform, etil asetat, etanol, metanol dan lain-lain.
3. Jenis Terlarut
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap/higroskopi,
maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut) akibatnya
mempengaruhi harga K.
4. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi suatu zat yang terlarut makin besar pula harga K
(Ayu Maulina Sugianto, 2013). Harga K akan tetap jika berat molekul zat
terlarut dalam pelarut I sama dengan berat molekul dalam berat molekul I.
Jika molekulnya tidak sama, maka akan terisosiasi atau asosiasi zat terlarut
dalam salah satu pelarut, contohnya:
Cn→nC

(dalam solvent I) (dalam solvent II)

Harga konstanta kesetimbangan:

𝐂
𝐊=
𝐂𝐧

Dimana; C= 1 mol

C
Cn = n

C (air)
Jadi; K = C
(organik)
n

C
maka log K = n Log C(air) − log n (organik)

C
log K = n log C(air) − log (organik) + log n
n

Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan


penentuan tetapan kesetimbangan. Dalam laboratorium ekstraksi dipakai untuk
mengambil zat-zat terlarut dalam air dengan menggunakan pelarut, pelarut organik
yang tidak bercampur seperti eter, CHCl3, CCl4, dan benzene. Dalam industri
ekstraksi dipakai untuk menghilangkan zat-zat yang tidak disukai dalam hasil,
seperti minyak tanah, minyak goreng dan sebagainya (Kasmiyatun, 2008).
Untuk dua pelarut yang tidak saling melarutkan, seperti air dan karbon tertra
klorida, ketika dicampurkan akan terbentuk dua fasa yang terpisah. Jika ke
dalamnya ditambahkan zat terlarut yang dapat larut di kedua fasa tersebut, seperti
iodium yang dapat larut dalam air dan CCl4 maka zat terlarut akan terdistribusi di
kedua pelarut (yang berbeda fasa) tersebut, sampai tercapai keadaan
kesetimbangan. Pada saat tersebut potensial kimia zat terlarut di fasa 1 sama dengan
potensial kimianya di fasa 2, 𝜇 1 = 𝜇 2. Jika kedua larutan encer ideal, maka 𝜇 1 =
𝜇 1 o + RT ln x I sehingga saat kesetimbangan : 𝜇 1 o + RT x1 = 𝜇 2 o + RT ln x2
Karena 𝜇1 dan 𝜇 2 tidak bergantung pada komposisi, maka pada T tetap. 𝑥2 𝑥1 = k
dengan k koefisien distribusi atau koefisien partisi, yang harganya tidak bergantung
pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama.

Hukum distribusi Nernts hanya berlaku untuk spesi molekul yang sama di
kedua larutan: jika terlarut terisolasi mejadi ion-ionnya atau molekul yang lebih
sederhana atau jika terasosiasi membentuk molekul yang lebih kompleks, maka
hukum distribusi tidak dapat diterapkan pada konsentrasi totalnya di kedua fase
melainkan hanya pada konsentrasi spesi yang sama yang ada dalam kedua fasa. (Sri
Mulyani, 2014: 23).

Hukum distribusi dilakukan dalam proses ekstraksi. Distribusi digunakan


untuk menghilangkan atau memisahkan zat terlarut larutan dengan pelarut air yang
diekstraksi dengan pelarut lain seperti eter, kloroform, benzene. Jika zat terlarut
terdistribusi diantar dua pelarut yang tidak saling melarutkan dan zat terlarut
tersebut tidak mengalami asosiasi, diasosiasi atau reaksi dengan pelarut maka
dimungkinkan untuk menghitung jumlah terlarut yang dapat diambil atau
diekstraksi melalui sekian kali ekstraksi (Sri Mulyani, 2014: 24).

Metode ini dapat digunakan untuk menentukan aktivitas zat terlarut


dalamsuatu pelarut jika aktifitas zat terlarut dalam pelarut lain diketahui, asalkan
kedua pelarut tidak bercampur sempurna satu sama lain (SK Dogra dan S Dogra,
1990). Bila suatu zat terlarut membagi diri antara dua cairan yang tak dapat campur,
ada suatu hubungan yang pasti antara konsentarsi zat terlarut dalam dua fase pada
kesetimbangan. Nernst pertama kalinya memberikan pernyataan yang jelas
mengenai hukum distribusi ketika pada tahun 1891 ia menujukkan bahwa suatu zat
terlarut akan membagi dirinya antara dua cairan yang tak dapat dicampur
sedemikian rupa sehingga angka banding konsentrasi pada kesetimbangan adalah
konstanta pada suatu temperatur tertentu (Underwood, 2002).

[𝐴]1 [𝐴]2 = ketetapan [A] 1 = menyatakan konsentrasi zat terlarut A dalam


fase cair Meskipun hubungan ini berlaku cukup baik dalam kasus-kasus tertentu,
pada kenyataannya hubungan ini tidaklah eksak. Yang benar, dalam pengertian
termodinamika, angka banding aktivitas bukan nya rasio konsentrasi yang
seharusnya konstan. Aktivitas suatu spesies kimia dalam satu fase memelihara suatu
rasio yang konstan terhadap aktivitas spesies itu dalam fase cair yang lain: 𝑎𝐴1 𝑎𝐴2
= KDA aA1= aktivitas zat terlarut A dalam fase 1. Tetapan sejati KDA disebut
koefisien distribusi dari spesies A. (Underwood. 2002: 458) Koefisien distribusi
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: Kd =C1 / C2 atau Kd =Ca/Co. Dengan
Kd = koefisien distribusi dan C1, C2, Co, dan Ca masing-masing adalah konsentrasi
solutpada pelarut 1, 2, organik, dan air.

Dari rumus tersebut jika harga Kd besar, solut secara kuantitatif akan
cenderung terdistribusi lebih banyak ke dalam pelarut organik, begitu pula terjadi
sebaliknya. Sebagai ukuran keberhasilan untuk suatu proses ekstraksi sering
digunakan besaran berupa faktor pisah (FP) yakni perbandingan antara koefisien
distribusi suatu unsur dengan koefisien distribusi unsur yang lainnya. Persamaan
untuk memperoleh FP adalah: C2 Co Kd = atau Kd = (2) C1 Ca Kd1 adalah
koefisien distribusi unsur 1dan Kd2 adalah koefisien distribusi unsur 2. Efektifitas
dalam proses ekstraksi dapat dinyatakan dengan persen solut yang terekstrakyang
dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut: Kd1 FP = (3) Kd2 dengan E
adalah efisiensi ekstraksi (%), C2 adalah konsentrasi solut dalam fasa organik, dan
F adalah konsentrasi umpan untuk ekstraksi (Purwani, dkk, 2008).

2.3 Kesetimbangan
Keadaan setimbang atau reaksi kesetimbangan merupakan kecepatan reaksi
ke kanan dan ke kiri adalah sama. Berdasarkan arahnya, reaksi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:

1. Reaksi bolak-balik (reversible/dua arah)


Reaksi reversible adalah zat pereaksi yang dapat bereaksi membentuk zat
hasil dan zat hasil dapat bereaksi kembali membentuk zat pereaksi. Ciri-cirinya:

a. Reaksi ditulis dengan dua anak panah yang berlawanan E)

b. Reaksi berlangsung dari dua arah, yaitu dari kiri ke kanan dan dari kanan ke
kiri.

c. Reaksi tidak pernah berhenti karena komponen zat tidak pernah habis.

d. zat hasil reaksi dapat bereaksi kembali menjadi zat mula-mula.

2. Reaksi berkesudahan (irreversible/satu arah)

Reaksi irreversible yaitu zat pereaksi yang dapat berubah menjadi hasil
sedangkan zat hasil zat tidak dapat membentuk kembali zat pereaksi. Ciri-cirinya:

a. Reaksi ditulis dengan satu anak panah

b. Reaksi baru berhenti apabila salah satu atau semua reaktan habis.

c. Reaksi berlangsung satu arah dari kiri ke kanan.

d. Zat hasil reaksi tidak dapat dikembalikan seperti zat mula-mula.

Ada tiga faktor yang dapat mengubah kesetimbangan kimia, antara lain :

1. Pengaruh Perubahan Konsentrasi Terhadap Kesetimbangan


Perhatikan reaksi pembentukan gas amonia berikut :

N2(g)+ 3H2(g) 2NH3(g) H = -92 KJ……………………………….(2)

Jika konsentrasi salah satu zat ditambah, maka sistem akan bergeser dari
arah zat tersebut. Jika konsentrasi salah satu zat dikurangi, maka sistem akan
bergeser ke arah zat tersebut.
2. Pengaruh Perubahan Suhu Terhadap Kesetimbangan
Secara kualitatif pengaruh suhu dalam kesetimbangan kimia terkait
langsung dengan jenis reaksi eksoterm atau reaksi endoterm. Reaksi eksothermis
adalah reaksi bersifat spontan, tidak memerlukan energi melainkan justru
menghasilkan energi(H reaksi negatif), sedangkan Reaksi endothermis adalah
reaksi yang membutuhkan energi/ kalor untuk bisa bereaksi(H positif). Sistem
kesetimbangan yang bersifat eksothermis ke arah kanan dan endothermis ke arah
kiri. Jika suhu dinaikkan, maka reaksi akan bergeser ke kiri yaitu reaksi yang
bersifatendothermis. Sebaliknya bila suhu reaksi diturunkan maka reaksi akan
bergeser ke kanan yaitu reaksiyang bersifat eksothermis. Menaikan suhu, sama
artinya kita meningkatkan kalor atau menambah energi ke dalam sistem, kondisi ini
memaksa kalor yang diterima sistem akan dipergunakan, oleh sebab itu reaksi
semakin bergerak menuju arah reaksi endoterm. Begitu juga sebaliknya.

3. Pengaruh Perubahan Tekanan atau Volume Terhadap Kesetimbangan


Pada proses Haber Reaksi terjadi dalam ruangan tertutup dan semua spesi
adalah gas. Sehingga Perubahan tekanan dan volume hanya berpengaruh pada
sistem kesetimbangan antara fasa gas dengan gas. Sedang sistem kesetimbangan
yang melibatkan fasa cair atau padat, perubahan tekanan dan volum dianggap tidak
ada. Menurut hukum gas ideal, bahwa tekanan berbanding lurus dengan jumlah mol
gas dan berbanding terbalik dengan volum. Jika tekanan diperbesar maka jumlah
mol juga bertambah, dan volume akan mengecil maka kesetimbangan akan
bergeser ke arah reaksi yang jumlah molnya lebih kecil. Begitu juga sebaliknya jika
tekanan diperkecil maka jumlah mol juga akan kecil, dan volume akan besar maka
kesetimbangan akan bergeser ke arah reaksi yang jumlah molnya lebih besar.
Perhatikan reaksi berikut :

N2(g)+ 3H2(g) 2NH3(g) H = -92 kJ……………………………….(2)

Jika tekanan diperbesar (volume mengecil) maka kesetimbangan akan


bergeser ke arahkanan, sebab jumlah molnya lebih kecil yaitu 2 mol.
Jika tekanan dikurangi (volume bertambah) , maka kesetimbangan akan bergeser
ke kiri,karena jumlah molnya lebih besar yaitu 4 mol. Dengan demikian, dengan
meningkatkan tekanan akan (mengurangi volume ruangan) pada campuran yang
setimbang menyebabkan reaksinya bergeser ke sisi yang mengandung jumlah
molekul gas yang paling sedikit. Sebaliknya, menurunkan tekanan (memperbesar
volume ruangan) pada campuran yang setimbang menyebabkan reaksinya bergeser
ke sisi yang mengandung jumlah molekul gas yang paling banyak. Sementara untuk
reaksi yang tidak mengalami perubahan jumlah molekul gas (mol reaktan = mol
produk), faktor tekanan dan volume tidak mempengaruhi kesetimbangan kimia.

4. Katalisator
Untuk mempercepat proses kesetimbangan kimia,sering dipergunakan zat
tambahan lain yaitu katalisator. Dalam sistem kesetimbangan, katalisator tidak
mempengaruhi letak kesetimbangan, katalisator hanya berperan mempercepat
reaksi yang berlangsung, mempercepat terjadinya keadaan setimbang, pada akhir
reaksi katalisator akan terbentuk kembali. Katalis tidak dapat menggeser
kesetimbangan kimia.

Perhatikan reaksi dibawah ini :

N2(g) + 3H2(g) 2 NH3(g)……………………………………………...(3)

Apakah pengaruhnya jika suatu reaksi yang sudah dalam keadaan stimbang
ditambahkan katalus ke dalamnya. Katalis akan mempercepat laju pembentukan
NH3, tetapi juga akan sekaligus mempercepat laju penguraian menjadi gas N2 dan
gas H2. Pengaruh ini sama kuatnya. Katalisator dalam dunia industri umumnya
logam, namun dalam makhluk hidup katalisator didapat dari dalam tubuhnya yang
dikenal dengan dengan biokatalisator atau enzim.

2.4 Pelarut
Perlarut dapat didefenisikan sebagai medium bagi zat terlarut yang dapat
berperan sebagai media ikut serta dalam reaksi kimia pada larutan atau untuk
meninggalkan larutan karena proses pengendapan atau penguraian. Larutan
terbentuk dengan melalui percampuran antar dua atau lebih zat murni yang
molekulnya berintraksi secara langsung dalam keadaan bercampur (Sastromidjojo,
2001).
2.5 Ekstraksi

Ekstraksi pelarut atau sering disebut juga ekstraksi air merupakan metode
pemisahan atau pengambilan zat terlarut dalam larutan (biasanya dalam air) dengan
menggunakan pelarut lain (biasanya organik). Ekstraksi pelarut menyangkut
distribusi suatu zat terlarut (solute) di antara dua fasa cair yang tidak saling
bercampur. Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan
“bersih” baik untuk zat organik maupun zat anorganik. Cara ini juga dapat
digunakan untuk analisis makro maupun mikro. Selain untuk kepentingan analisis
kimia, ekstraksi juga banyak digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan preparatif dalam
bidang kimia organik, biokimia dan anorganik di laboratorium. Alat yang
digunakan dapat berupa corong pemisah (paling sederhana), alat ekstraksi soxhlet
sampai yang paling rumit berupa alat “Counter Current Craig” (Alimin, 2007).

Ekstraksi meliputi distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang tak dapat
bercampur. Pelarut yang umum dipakai adalah pelarut air dan pelarut organik antara
lain seperti kloroform, eter atau n-heksan. Garam-garam anorganik, asam-asam dan
basa-basa yang dapat larut dalam air serta senyawa-senyawa organik dapat larut
dalam air bisa dipisahkan dengan baik melalui ekstraksi ke dalam air dari pelarut-
pelarut yang kurang polar (Arsyad, 2001).

Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan apabila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tak dapat bercampur, maka pada suatu
temperatur yang konstan untuk tiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi
yang konstan antara kedua pelarut itu dan angka banding distribusi itu tak
bergantung pada spesi molekul lain yang mungkin ada. Harga angka banding
berubah dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat terlarut dan temperatur
(Svehla, 1985).
Banyak pemisahan penting ion logam dikembangkan pada pembentukan
senyawaan sempit dengan aneka reagensia organik. Reagensia harus membentuk
molekul yang netral, tak larut dalam air, larut dalam kloroform atau karbon
tetraklorida dengan ion logam. Kemampuan ekstraksi suatu logam merupakan
gabungan faktor yang mencakup baik kecenderungan terbentuknya senyawaan
sempit dan kelarutan relatifnya dalam kedua fase, sepanjang pH yang wajar.

Bila suatu zat terlarut membagi diri antara dua cairan yang tak dapat
bercampur, ada suatu hubungan yang pasti antara konsentrasi zat pelarut dalam
kedua fase pada kesetimbangan. Nernst memberikan pernyataan tentang hukum
distribusi ketika dia menunjukkan bahwa suatu zat terlarut akan membagi dirinya
antara dua cairan yang tak dapat bercampur sedemikian rupa, sehingga angka
banding konsentrasi pada kesetimbangan adalah konstanta pada suatu temperatur
tertentu (Day, 1986).

Umumnya, garam logam yang sederhana cenderung menjadi lebih dapat


larut dalam pelarut yang sangat polar seperti air daripada dalam pelarut organik
yang tetapan dielektriknya jauh lebih rendah. Banyak ion disolvasikan oleh air, dan
energi solvasi itu disumbangkan untuk merusak kisi kristal garam. Dibutuhkan
kerja yang lebih kecil untuk memisahkan ion-ion yang muatannya berlawanan
dalam pelarut dielektrik tinggi. Biasanya diperlukan suatu spesies yang tak
bermuatan jika suatu ion harus diekstrak dari dalam air ke dalam suatu pelarut
organik. Sebaliknya kadang-kadang suatu spesies tak bermuatan yang dapat
diekstrak ke dalam suatu pelarut organik diperoleh lewat asosiasi ion-ion yang
muatannya berlawanan.

Dalam kompleks-kompleks seperti ion logam pusat berkoordinasi dengan


suatu basa organik polifungsional dengan membentuk sebuah senyawaan cincin
yang stabil. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan kompleks-kompleks ion
logam yaitu :
1. Kekuatan basa dari gugus penyepit (pengkelat). Kestabilan kompleks sepit
yang terbentuk oleh suatu ion logam tertentu umumnya bertambah dengan
bertambahnya kekuatan basa zat penyepit seperti diukur dari nilai pKa-nya.

2. Sifat dari atom donor (penyumbang) dalam zat penyepit.Ligan-ligan yang


mengandung atom-atom dari jenis basa lunak, membentuk kompleks-
kompleks yang paling stabil, maka merupakan reagensia yang lebih selektif.

3. Ukuran cincin. Cincin-cincin sepit terkonjugasi yang beranggota lima atau


enam adalah yang paling stabil, karena zat-zat ini mempunyai regangan
yang minimum. Gugus-gugus fungsional dari ligan harus terletak
sedemikian sehingga mereka memungkinkan terbentuknya sebuah cincin
yang stabil.

4. Efek-efek resonansi dan sterik.Kestabilan struktur sepit meningkat oleh


sumbangan berupa struktur-struktur resonansi pada cincin-cincin sepit itu.

Di dalam suatu proses ekstraksi, orang biasanya menghendaki jumlah zat


yang diekstrak dalam fase air sekecil mungkin. Persamaan yang digunakan untuk
menyatakan jumlah zat yang tersisa dalam fase air adalah:

n
 V 
Wn = Wo  Kd.V + S 

…...………………………………………………(4)
Di mana: Wn = jumlah zat terlarut
Wo = jumlah zat terlarut mula-mula
V = jumlah volume fase air yang mengandung zat terlarut
S = jumlah pelarut organik yang dipakai
n = jumlah n kali proses
Ekstraksi cairan-cairan merupakan suatu teknik dalam larutan (biasanya
dalam air) dibuat bersentuhan dengan pelarut (biasanya pelarut organik), yang pada
hakekatnya tak tercampurkan dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat
terlarut (solute). Pemisahan yang dapat dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat,
dan mudah. Pemisahan dapat dilakukan dengan mengocok-ngocok dalam corong
pemisah selama beberapa menit (Basset, 1994).

Diantara berbagai jenis metode pemisahan, ektraksi pelarut atau disebut


juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer.
Alasan utamanya adalah bahwa pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat
makro maupun mikro. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut
dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur,
batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam
kedua fase tersebut. Kesempurnaan ekstraksi tergantung pada banyaknya ekstraksi
yang dilakukan. Hasil yang baik diperoleh jika jumlah ekstraksi yang dilakukan
berulang dengan jumlah pelarut sedikit-sedikit. Ekstraksi bertahap baik digunakan
jika perbandingan distribusi besar (Khopkar, 1990).

2.6 Titrasi

Titrasi adalah cara analisis untuk menghitung jumlah cairan yang


dibutuhkan untuk bereaksi dengan sejumlah cairan lain yang diketahui volumenya
sampai terjadi reaksi sempurna. Atau dengan perkataan lain untuk mengukur
volume titran yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen.. Titik ekivalen adalah
saat yang menunjukkan bahwa ekivalen perekasi-pereaksi sama. Di dalam
prakteknya titik ekivalen sukar diamati, karena hanya meruapakan titik akhir
teoritis atau titik akhir stoikometri. Suatu cairan yang mengandung reaktan
ditempatkan dalam buret, sebuah tabung yang panjang salah satu ujungnya terdapat
kran (stopkok) dengan skala milimeter dan sepersepuluh milimeter. Cairan di dalam
buret disebut titran dan pada titran ditambah indikator, perubahan warna indikator
menandai habisnya titrasi Hal ini diatasi dengan pemberian indikator asam-basa
yang membantu sehingga titik akhir titrasi dapat diketahui. Titik akhir titrasi
meruapakan keadaan di mana penambahan satu tetes zat penitrasi (titran) akan
menyebabkan perubahan warna indikator. (Wahyudi, 2000).

Jenis-jenis titrasi, yaitu:

1. Titrasi Redoks
Titrasi redoks sesuai namanya merupakan jenis titrasi dengan reaksi redoks.
Secara umum ada tiga macam reaksi redoks. Pertama, titrasi iodometri. Merupakan
titrasi redoks dengan menggunakan I2dan merupakan jenis reaksi tidak langsung.
Karena I2 yang akan bereaksi harus dibuat terlebih dahulu dengan reaksi redoks
sebelumnya. Kedua, titrasi iodimetri. Merupakan titrasi redoks dengan I2 juga.
Bedanya dengan iodometri, I2 yang digunakan langsung dalam wujud I2 sehingga
disebut juga reaksi langsung. Ketiga, titrasi permanganometri. Merupakan reaksi
titrasi dengan memanfaatkan ion Mn2+. Indikator yang digunakan biasanya amilum
yang dapat membentuk kompleks dengan I2 yaitu iodo-amilum berwarna biru.
Selain itu bisa juga menggunakan autoindikator. Dimana kelebihan larutan standar
yang menetes pada larutan hasil reaksi utama yang telah stoikiometris akan
menunjukkan gejala tertentu seperti perubahan warna yang menandai titrasi harus
dihentikan.
2. Titrasi Kompleksasi
Titrasi kompleksasi merupakan jenis titrasi dengan reaksi kompleksasi atau
pembentukan ion kompleks. Biasanya digunakan untuk menganalisa kadar logam
pada larutan sampel yang dapat membentuk kompleks dengan larutan standar yang
biasanya merupakan ligan. Indikator yang digunakan biasanya akan bereaksi
dengan kelebihan titran (sama-sama membentuk ion kompleks) dan menunjukkan
perubahan warna. Pada titrasi jenis ini ada banyak hal yang harus ditimbang dan
diperhatikan mengingat pembentukan ion kompleks adalah spesifik pada kondisi
tertentu. Misalnya pada pH tertentu sehingga larutan sampel harus didapar dengan
buffer pH tertentu pula.
3. Titrasi Asam Basa
Titrasi asam basa merupakan metode analisis kuantitatif yang berdasarkan
reaksi asam basa. Sesuai persamaan umum reaksi asam basa: asam + basa
menghasilkan garam + air. Indikator yang biasa digunakan adalah indikator yang
dapat memprofilkan perubahan warna pada trayek pH tertentu.
4. Titrasi Argentometri
Titrasi argentometri adalah jenis titrasi yang digunakan khusus untuk reaksi
pengendapan. Prinsip umumnya adalah mengenai kelarutan dan tetapan hasil kali
kelarutan dari reagen-reagen yang bereaksi. Secara umum, metode titrasi
argentometri ada tiga macam. Pertama, metode Mohr. Pada metode ini tidak ada
indikator yang digunakan. Sehingga untuk menandai titik akhir titrasi adalah tingkat
kekeruhan dari larutan sampel. Ketika larutan standar telah mengalami reaksi
stoikiometris dengan larutan sampel, maka ml larutan standar berikutnya yang
menetes pada larutan sampel akan menghasilkan endapan karena larutan hasil
reaksi titrasi telah jenuh. Namun, dapat juga digunakan indikator yang dapat
bereaksi dengan kelebihan larutan standar dan membentuk endapan dengan warna
yang berbeda dari endapan reaksi utama. Kedua, metode Volhar
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:

1. Corong pemisah 250 ml 2 buah


2. Erlenmeyer 250 ml 2 buah
3. Buret 1 buah
4. Pipet volume 25 ml 1 buah
5. Pipet volume 10 ml 1 buah
6. Pipet tetes 1 buah

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah:

1. Larutan CH3COOH 1,15 N dan 2,4 N


2. Larutan NaOH 1 N
3. Klorofom
4. Indicator PP

3.2.1 ProsedurKerja
Adapun prosedur kerja pada praktikum ini sebagai berikut:

1. 25 ml larutan CH3COOH 1,15 N dimasukkan kedalam corong pemisah.


2. Kedalam corong pemisah tersebut ditambhkan 25 ml cloroform.
3. Dikocok selama 20 menit sampai terjadi kesetimbangan lalu dibiarkan
seama 10 menit sampai terjadi pemisahan antara air dan cloroform.
4. Dari larutan CH3COOH 1,15 N mula-mula dipipetka 10 ml dimasukkan
kedalam erlemeyer, ditambah 2 tetes indikator PP lalu dititrasi dengan
larutan NaOH 1 N sampai titik ekuivalen, sehingga dapat diketahui
konsentrasi awal dari CH3COOH yang sesungguhnya. Semua titrasi
dilakukan 2 kali
5. Dari corong pemisah, larutan dalam fase air dipisahkan lalu di pipet 10 ml
dan di masukkan ke dalam Erlenmeyer, di tambah 2 tetes indicator PP lalu
tittrasi dengan larutan NaOH 1 N sampai tercapai titik ekivalen, sehingga
diketahui konsentrasinya dalam air setelah kesetimbangan. Semua titrasi
dilakukan 2 kali.
6. Percobaan diulangi dengan konsentrasi CH3COOH yang berbeda.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Volume Titrasi

Konsentrasi Volume (ml) NaOH untuk Volume (ml) NaOH untuk


sampel titrasi CH3COOH awal titrasi CH3COOH awal
CH3COOH I II Rata-rata I II Rata-rata

1,15 N 0,5 ml 0,8 ml 0,65 ml 0,3 ml 0,2 ml 0,25 ml


2,4 N 1 ml 0,5 ml 0,75 ml 0,5 ml 0,6 ml 0,55 ml

4.2 Pembahasan

Dari praktikum yang telah kami lakukan maka dari percobaan ini yang pertama
adalah larutan CH3COOH 1,15N dan 2,4N yang masing–masing ditambahkan
clorofrom dan dimasukkan dalam corong pemisah, setelah itu dikocok selama 20
menit secara homogen agar terjadi kesetimbangan kosentrasi pada zat yang akan
diekstraksi pada kedua lapisan larutan tersebut. Apabila pada larutan ini dilakukan
ekstraksi bertahap bila dua pelarut yang tidak saling bercampur maka dimasukkan
solute yang dapat larut dan akan terjadi pembaagian dua lapisan CH3COOH dan
clorofrom dicampurkan akan terjadi penurunan temperatur maka larutan akan terasa
dingin. Dan apabila dilakukan pengocokan dapat menghasilkan gas.

Percobaan pertama untuk mengetahui konsentrasi awal dari CH3COOH


sesungguhnya. Larutan CH3COOH 1,15 N dipipet sebanyak 25 ml larutan
CH3COOH 1,15 N dicampurkan dengan 25 ml larutan kloroform di dalam corong
pemisah lalu dikocok selama 20 menit dan didiamkan selama 10 menit. Volume
NaOH untuk titrasi CH3COOH awal dengan konsentrasi CH3COOH 1,15 N
didapatkan sebesar 0,5 ml, pada pengulangan 0,8 ml dan rata-ratanya 0,65 ml.
Volume titrasi konsentrasi CH3COOH 1,15 N sebesar
0,3 ml, pada pengulangan 0,2 ml dan rata-ratanya 0,25 ml. pada larutan
CH3COOH 1,15 N mula – mula dipipet 10 ml dan dimasukkan ke kedalam
erlenmeyer. Diteteskan dua tetes indikator PP lalu setelah itu dititrasi dengan
menggunakan NaOH 1 N. Pada saat titrasi dilakukan terjadi perubahan warna
larutan dari bening menjadi merah muda yang merupakan tanda tercapainya titik
ekivalen. Langkah-langkah yang sama dilakukan juga untuk CH3COOH dengan
konsentrasi 2,4 N.

Fungsi pengocokan di sini untuk memperbesar luas permukaan untuk


membantu proses distribusi asam asetat pada kedua fasa. Setelah tercapai
kesetimbangan pada corong pemisah. Kemudian pada saat tercapai kesetimbangan
terjadi pemisahan antara CH3COOH dengan kloroform. Pemisahan tersebut
dinamakan fasa atas dan fasa bawah. Dari kedua fasa itu yang diambil adalah
lapisan atas yaitu fasa cair. Larutan dalam fasa cair dipisahkan lalu dipipet 10 ml
dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer.

Pemisahan itu terjadi karena CH3COOH dan kloroform adalah dua pelarut
yang tidak saling bercampur dikarenakan perbedaan densitas antar kedua pelarut
tersebut. Saat dicampurkan, air akan berada di atas kloroform disebabkan densitas
kloroform lebih besar daripada air. Bila suatu zat terlarut membagi dirinya antara
dua pelarut yang tidak bercampur, ada suatu hubungan pasti antara konsentrasi zat
terlarut dalam dua fasa pada kesetimbangan. Zat terlarut akan membagi dirinya
antara dua pelarut yang tidak saling bercampur sehingga angka banding konsentrasi
adalah konstanta pada temperatur tetap. Kemudian diteteskan dua tetes indikator PP
dan dilakukan titrasi dengan NaOH 1 N. Kemudian terjadi perubahan warna larutan
dari bening menjadi merah muda yang juga merupakan tanda tercapainya titik
ekivalen. Penggunaan indikator dari kedua percobaan ini berguna utuk mendeteksi
titik akhir titrasi, di mana akan terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah
muda.
Indikator fenolftalein (pp) merupakan asam diprotik dan tidak berwarna.
Saat direaksikan, indikator pp terurai dahulu menjadi bentuk tidak berwarnanya dan
kemudian, dengan menghilangnya proton kedua dari indikator ini menjadi ion
terkonjugat maka akan dihasilkan warna merah muda, pada titik akhir titrasi terjadi
perubahan warna dari bening menjadi merah muda. Pada percobaan ini titrasi yang
terjadi merupakan titrasi asam basa di mana asamnya yaitu asam asetat
(CH3COOH) bertindak sebagai titrat sedangkan basa yaitu NaOH bertindak sebagai
titran. Volume titrasi menggunakan konsentrasi CH3COOH 1,15 N didapatkan
sebanyak 0,3 ml, pada pengulangan menghasilkan 0,2 ml dan rata- rata 0,25 ml.
Sedangkan pada konsentrasi 2,4 N CH3COOH menghasilkan volume titrasi 0,5 ml,
pada pengulangan 0,6 ml dan rata-ratanya 0,55 ml.

Melalui hasil yang diperoleh baik dalam mengetahui konsentrasi


CH3COOH awal ataupun sisa ekstraksi diketahui semakin besar konsentrasi
CH3COOH yang digunakan, maka volume larutan NaOH yang diperlukan untuk
menetralkan asam asetat juga semakin banyak. Hal ini menunjukkan konsentrasi
berbanding lurus dengan volume titrasi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena
ion-ion pada konsentrasi CH3COOH 2,4 N lebih banyak daripada konsentrasi 1,15
N. Sehingga konsentrasi yang lebih memungkinkan menghalangi jalannya tercapai
titik ekivalen sehingga volume titrasi yang dihasilkan lebih besar. Faktor
pengocokan sangat penting dan mempengaruhi proses distribusi suatu larutan
organik pada pelarut organik dan air yang tidak saling bercampur. Selain itu,
temperatur juga mempengaruhi proses ekstraksi, karena ekstraksi harus dilakukan
pada temperatur konstan.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pengamatan dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Asam asetat yang larut dalam air akan berada di bawah, sedangkan asam
asetat yang larut dalam chloroform akan berada bagian atas.
2. Semakin banyak volume NaOH 1 N yang dititrasi maka warnanya semakin
menjadi pink warna yang di hasilkan.
3. Digunakannya indikator pp karena titrasi yang dilakukan akan
menghasilkan basa pada kedaan setimbangan. Pp adalah indikator basa
yangakan berubah menjadi pink dalam suasana basa
4. Volume NaOH untuk titrasi CH3COOH awal dengan konsentrasi
CH3COOH 1,15 N didapatkan sebesar 0,5 ml, pada pengulangan 0,8 ml dan
rata-ratanya 0,65 ml. Volume titrasi konsentrasi CH3COOH 2,4 N sebesar 1
ml, pada pengulangan 0,5 ml dan rata-ratanya 0,75 ml.
5. Pemisahan antara kloroform dan air terjadi karena air dan kloroform adalah
dua pelarut yang tidak saling bercampur dikarenakan berbeda sifat
kepolarannya (air bersifat polar dan kloroform non polar) serta perbedaan
densitas antar kedua pelarut tersebut.
6. Volume titran menggunakan konsentrasi CH3COOH 1,15 N didapatkan
sebanyak 0,3 ml, pada pengulangan menghasilkan 0,2 ml dan rata- rata 0,25
ml. Sedangkan pada konsentrasi 2,4 N CH3COOH menghasilkan volume
titran 0,5 ml, pada pengulangan 0,6 ml dan rata-ratanya 0,55 ml.
7. Jumlah konsentrasi berbanding lurus dengan jumlah volume titran yang
dihasilkan.
5.2 Saran
Adapun saran yang diberikan dalam percobaan kali ini adalah untuk
praktikum lain waktu dapat digunakan larutan asam kuat H2SO4 dengan asam lemah
CH3COOH untuk melihat pengaruh fase yang terbentuk pada kondisi pH yang jauh
berbeda, sehingga dapat dilihat apakah pH mempengaruhi pembentukan Fase atau
tidak pada percobaan ini. Pada saat melakukan titrasi untuk mengukur volume titran
yang dihasilkan agar lebih teliti dalam melihat volume titran yang dihabiskan agar
tidak terjadi kesalahan dalam menentukan titik ekivalen.
DAFTAR PUSTAKA

Alimin MS, Yunus M & Idris I. 2007. Kimia Analitik. Makassar: UIN
Alauddin Makassar
Arsyad, M.N. 2001. Kamus Kimia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Basset, J. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.
Penerbit Buku : EGC. Jakarta.
Day, A.R. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi ke 4. Erlangga. Jakarta.
Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Erlangga: Jakarta.
Dogra, SK dan Dogra, S.1990. Kimia Fisik dan Soal-Soal. Jakarta: UI
press.
Kasmiyatun. 2008. Ekstrasi Asam Sitrat Dan Asam Oksalat : Pengaruh
Trioctylamine Sebagai Extracting Power Dalam Berbagai Solven
Campuran.
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2014. Kimia Fisika II. Bandung: UPI.
Wahyudi. 2000. Jurnal Kimia dan Larutan. Jurusan Kimia UNESA,
Surabaya.
LAMPIRAN A

DATA PENGAMATAN

Hasil Pengamatan Volume Titrasi

Konsentrasi Volume (ml) NaOH untuk Volume (ml) NaOH untuk


sampel titrasi CH3COOH awal titrasi CH3COOH awal
CH3COOH I II Rata-rata I II Rata-rata

1,15 N 0,5 ml 0,8 ml 0,65 ml 0,3 ml 0,2 ml 0,25 ml


2,4 N 1 ml 0,5 ml 0,75 ml 0,5 ml 0,6 ml 0,55 ml
LAMPIRAN B

PERHITUNGAN

CH3COOH + CHCl3 → CCl3COCH3 + H2O

1. Pada CH3COOH 1,15 N

𝑛 𝑛 log(𝐶𝐻𝐶𝑙3)
𝐶𝑛 = 𝐶 log 𝐶 = 𝑛
log( )
𝑘

1 1 log (0,2)
= 1,15 = 1
log
0,76

−0,698
= 0,87 = 0,119
𝑛/𝑐
𝐾 = = −5,865
𝐶
0,87
= 1,15

= 0,76

𝐶 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 = 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐶𝑎𝑖𝑟

= 0,25 − 0,2
= 0,05

log 𝐶 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 = −1,301

2. Pada CH3COOH 2,4 N

𝑛 𝑛 log(𝐶𝐻𝐶𝑙3)
𝐶𝑛 = 𝐶 log 𝐶 = 𝑛
log( )
𝑘

1 1 log (0,15)
= 2,4 = 1
log
0,173

−0,823
= 0,416 = 0,761
𝑛/𝑐
𝐾 = = −1,081
𝐶
0,416
= 2,4

= 0, 173

𝐶 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 = 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐶𝑎𝑖𝑟

= 0,2 − 0,15
= 0,05

log 𝐶 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 = −1,301


LAMPIRAN C

TUGAS DAN PERTANYAAN

Konsentrasi mula-mula dapat diketahui dari titrasi dengan larutan NaOH,


misalnya a ml. konsentrasi CH3COOH setelah kesetimbangan dapat diketahui
pada titrasi larutan dengan pelarut air, misalnya b ml NaOH. Dengan demikian C
dapat dicari :
Log C(organik) = n log C(air)/log (n/k)
C(eter) = Cawal - Cair

Buatlah grafik log Cair vs Ceter, maka didapat harga n sebagai slope
dan interseptnya log (n/K) Jawab :

GRAFIK

3
2,494368452
2
1
0
-1 0 0,5 1 1,5 2 2,5
-2 -1,860034782 Intercept dan
-3 Slope

Log C
air

Grafik Intercept dan Slope antara Log Cair dengan Log Ckloroform
LAMPIRAN D

GAMBAR ALAT

No Gambar Fungsi
1. Corong pemisah Untuk memisahkan campuran larutan yang
memiliki kelarutan yang berbeda. Biasanya
digunakan dalam proses ekstraksi.

2. Erlenmeyer Untuk menyimpan dan memanaskan


larutan. Menampung filtrat hasil
penyaringan. Menampung titran (larutan
yang dititrasi) pada proses titrasi

3. Buret Untuk mengeluarkan larutan dengan


volume tertentu, biasanya digunakan u ntuk
titrasi.

4. Pipet volum Berguna untuk mengukur dan


memindahkan larutan dengan volume
tertentu secara tepat.
5. Pipet tetes berupa pipa kecil terbuat dari plastik atau
kaca dengan ujung bawahnya meruncing
serta ujung atasnya ditutupi karet. Berguna
untuk mengambil cairan dalam skala
tetesan kecil.

6. Bola hisap untuk membantu proses pengambilan


cairan. Terbuat dari karet yang disertai
dengan tanda untuk menyedot cairan
(suction), mengambil udara (aspirate) dan
mengosongkan (empty).

Anda mungkin juga menyukai