Anda di halaman 1dari 46

BIOGRAFI NABI MUHAMMAD:

FASE MEKKAH

SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM


(SEMOGA SHALAWAT DAN SALAM SENANTIASA TERLIMPAH KEPADA BELIAU)

1
BAB I

ORANG-ORANG ARAB SEBELUM KEDATANGAN ISLAM

Sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab senang menyembah berhala-


berhala berupa patung-patung, pohon-pohon keramat, batu-batu besar,
kuburan-kuburan, dan makhluk-makhluk gaib. Sebagian mereka juga
menyembah benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang-
bintang.
Orang-orang Arab waktu itu juga senang melakukan perbuatan-
perbuatan tercela seperti mengubur anak-anak perempuan, merendahkan
kaum wanita, membunuh orang-orang yang tidak berdosa, dan mencuri
harta orang lain. Sebagian mereka senang melakukan riba.
Namun mereka memiliki beberapa sifat terpuji. Misalnya, senang
menjamu tamu, senang menepati janji, tidak suka berbohong, menjaga
harga diri, suka dengan kedermawanan, membela anggota keluarga yang
dianiaya, dan menghargai keberanian.

APA DAN SIAPA ORANG ARAB ITU?

Yang dimaksud dengan orang-orang Arab di sini adalah orang-orang Arab


yang tinggal di Jazirah Arab. Bukan orang-orang Arab yang sudah
bermigrasi ke tempat-tempat lain di luar Jazirah Arab.

Jazirah Arab memiliki luas 1.745.900 km2. Jazirah ini terletak di sebelah
barat daya Benua Asia. Di peta, Jazirah Arab terpencil dari pusat-pusat
peradaban dunia. Jazirah Arab terbagi menjadi lima wilayah: Tihamah,
Hijaz, Nejed, Arudh dan Yaman.

Secara umum, masyarakat yang mendiami Jazirah Arab terbagi menjadi

2
dua kelompok: orang-orang kota dan orang-orang badui. Di antara dua
kelompok ini, terdapat kelompok lain yang disebut kelompok peralihan
(semi-urban atau semi-badui).

Orang-orang badui adalah kaum nomaden yang sering berpindah-pindah


tempat dan tidak memiliki tempat tetap untuk berdiam. Mereka hidup
beradaptasi dengan gurun pasir. Mereka bersikeras untuk mendapatkan
tempat-tempat yang bisa digunakan oleh ternak-ternak mereka, seperti
dataran yang hijau, meski hanya sebentar dan terkadang harus dengan
cara kekerasan.

Berbeda dengan orang-orang kota. Orang-orang kota adalah orang-orang


badui yang mulai memilih untuk menetap dan meninggalkan kehidupan
nomad mereka. Karena menetap ini, mereka pun mulai bisa berpikir
tentang kesejahteraan pribadi untuk hari ini dan nanti.

Orang-orang kota menetap untuk menjadi beradab—sesuatu yang dicela


oleh orang-orang badui. Biasanya, kehidupan kota dan kota-kota itu sendiri
mengambil tempat geografis yang mendekati garis pantai di Jazirah Arab
agar memudahkan hubungan dengan peradaban luar.

3
BAB II

KELUARGA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

[1] Ayah, Ibu, dan Kakek Rasulullah


Rasulullah bernama Muhammad. Ayahnya bernama Abdullah, sedangkan
ibunya bernama Aminah.
Kakek Rasulullah bernama Abdul Muththalib. Ia adalah orang yang
dihormati di tengah orang-orang Arab Quraisy. Ia dikenal sebagai orang
yang dermawan.
Abdul Muththalib memiliki sepuluh putra dan enam putri. Di antara
putranya adalah Al Harits, Abdul Uzza (Abu Lahab), Abdullah, Abdu Manaf
(Abu Thalib), Hamzah, dan Abbas. Adapun putri-putrinya, mereka bernama
Ummul Hakim, Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa, dan Umaimah.
Di antara putra-putranya, Abdullah adalah yang paling dicintai oleh
Abdul Muththalib. Abdullah meninggal dunia ketika pulang dari negeri
Syam, sebelum Rasulullah lahir. Di antara harta yang diwariskannya
kepada Rasulullah adalah hamba sahaya bernama Barakah atau yang lebih
dikenal dengan Ummu Aiman.
Ketika Abdullah meninggal dunia, Aminah sedang mengandung
Rasulullah. Ayah Aminah bernama Wahb bin Abdi Manaf. Ia adalah
pemimpin Bani Zuhrah.

NASAB NABI MUHAMMAD

Dari jalur ayah: Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththalib bin Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Kaab bin Lu-ay bin
Ghalib bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah bin
Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
‘Adnan.

4
Adnan adalah moyang bangsa Arab. Ia termasuk salah satu keturunan Nabi
Ismail ‘alaihis salam, sedangkan Nabi Ismail adalah salah satu putra Nabi
Ibrahim ‘alaihima ash shalatu wa as salam.

Dari jalur ibu: Aminah bintu Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin
Murrah. Jadi, nasab ayah dan ibu Rasulullah bertemu di kakek yang
bernama Kilab bin Murrah.

[2] Wanita-Wanita yang Mengasuh Rasulullah


Rasulullah lahir di Mekkah pada hari Senin, bulan Rabi’ul Awwal, Tahun
Gajah. Disebut Tahun Gajah, karena pada tahun itu datang bala tentara
dipimpin oleh Abrahah dari Yaman yang hendak menghancurkan Ka’bah.
Mereka datang membawa gajah-gajah.
Namun Allah subhanahu wa ta’ala melindungi Ka’bah dengan
mengirim kawanan burung Ababil yang melempari tentara bergajah dengan
bebatuan dari Neraka. Di dalam Al Qur-an, Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,

ٍ ‫ ﻟ َ ْﻢ َ ْﳚ َﻌ ْﻞ َﻛ ْﯿﺪَ ُ ْﱒ ِﰲ ﺗَﻀْ ِﻠ‬o ‫ﲱ ِﺎب اﻟْ ِﻔ ِﻞ‬


o ‫ َو ْر َﺳ َﻞ َﻠَ ْ ِﳱ ْﻢ َﻃ ْﲑ ًا َ ﺑِﯿ َﻞ‬o ‫ﯿﻞ‬ َ ْ ‫ﻟ َ ْﻢ َ َﺮ َﻛ ْﯿ َﻒ ﻓَ َﻌ َﻞ َرﺑ َﻚ ِﺑ‬
o ٍ‫ ﻓَ َﺠ َﻌﻠَﻬ ُْﻢ َﻛ َﻌ ْﺼ ٍﻒ ﻣ ُﻛﻮل‬o ‫َ ْﺮ ِﻣ ِﳱﻢ ِ ِﲝ َ َﺎر ٍة ِّﻣﻦ ِ ِّﲭﯿ ٍﻞ‬
“Tidakkah engkau [wahai Muhammad] perhatikan bagaimana Rabbmu
bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia [Allah] yang telah
menjadikan tipu daya mereka sia-sia? Dia kirimkan kepada mereka burung
yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka batu dari Neraka Sijjil.
Sehingga mereka dijadikanNya seperti dedaunan yang dimakan ulat.” (QS.
Al Fil: 1-5)

Yang memberi nama Muhammad adalah Abdul Muththalib. Nama


“Muhammad” bermakna “orang yang betul-betul terpuji” dan orang-orang

5
Quraisy belum pernah menamai anak-anak mereka dengan nama seperti
itu. Mereka biasa menggunakan nama “Mahmud” untuk makna “orang yang
terpuji.”
Ketika baru lahir, yang pertama kali menyusui Rasulullah adalah
ibunya. Setelah itu, Rasulullah disusui oleh Tsuwaibah, hamba sahaya
milik Abu Lahab, paman Rasulullah.
Tidak lama kemudian, Rasulullah disusukan kepada Halimah As
Sa’diyah. Sejak itu sampai berusia empat tahun, Rasulullah diasuh oleh
Halimah dan suaminya, Harits, di kampung Bani Sa’ad yang terletak di
pedalaman Arab.
Ketika Rasulullah berusia empat tahun, datang malaikat Jibril
‘alaihis salam. Rasulullah dibaringkan, lalu dibelah dadanya. Jibril
kemudian mengeluarkan segumpal darah sambil berkata, “Ini adalah
bagian setan pada dirimu.”
Setelah itu, Jibril mencuci jantung Rasulullah dalam sebuah bejana
emas yang dibawa dari Surga dengan menggunakan air Zamzam. Sebelum
pergi, Jibril menjahit kembali dada Rasulullah dan bekas jahitan itu masih
terlihat ketika Rasulullah sudah menjadi nabi dan rasul nanti.
Dibelahnya dada Rasulullah membuat Halimah dan keluarganya
ketakutan. Mereka khawatir dengan keselamatan Rasulullah. Karena itu,
mereka pun mengembalikan Rasulullah kepada ibunya di Mekkah.
Rasulullah hidup bersama ibunya tidak lama. Waktu berusia enam
tahun, Muhammad diajak Aminah mengunjungi paman-paman Rasulullah
di Madinah. Dulu, kota Madinah masih bernama Yatsrib. Dalam perjalanan
pulang, Aminah jatuh sakit dan meninggal dunia di Abwa, sebuah daerah
yang terletak antara Madinah dan Mekkah.

[3] Yang Mengasuh Sepeninggal Ibu Rasulullah


Sepeninggal Aminah, Rasulullah dibesarkan oleh kakeknya, Abdul
Muththalib. Sebagai cucu tersayang, Rasulullah diasuh dengan penuh
kecintaan dan kelembutan. Rasulullah sering diajak kakeknya duduk-
duduk di sekitar Ka’bah. Rasulullah betul-betul dibanggakan oleh kakeknya
di tengah kaumnya.

6
Akan tetapi, Abdul Muththalib tidak lama mengasuh Rasulullah. Dua
tahun setelah Aminah meninggal dunia, kakek Rasulullah meninggal dunia
pula.
Orang-orang Quraisy berduka atas meninggal-dunianya Abdul
Muththalib. Sampai-sampai, pasar-pasar di Mekkah pada hari itu tutup.
Dan tentu saja yang paling bersedih dari keluarga Abdul Muththalib adalah
Rasulullah.
Abu Thalib adalah salah satu paman Rasulullah. Nama Abu Thalib
adalah Abdu Manaf. Ia adalah saudara seayah dan seibu dengan Abdullah,
sehingga Abu Thalib-lah yang pantas untuk mengasuh Rasulullah
sepeninggal Abdul Muththalib.
Abu Thalib adalah seorang pedagang. Seperti pedagang-pedagang
Quraisy lainnya, Abu Thalib pergi berdagang ke Syam pada musim panas
dan ke Yaman pada musim dingin. Allah ta’ala berfirman,

ٍ‫اﻟﺸ َﺘﺎء َواﻟﺼ ْﯿ ِﻒ ﻓَﻠْ َﯿ ْﻌ ُﺒﺪُ وا َرب َﻫ َﺬا اﻟْ َﺒ ْ ِﺖ ا ِ ي ْﻃ َﻌ َﻤﻬُﻢ ِّﻣﻦ ُﺟﻮع‬
ّ ِ َ َ ْ ‫ِﻻ َﯾﻼ ِف ﻗُ َﺮ ٍْﺶ ا َﯾﻼ ِﻓﻬ ِْﻢ ِر‬
‫َو ٓ َﻣﳯَ ُﻢ ِّﻣ ْﻦ ﺧ َْﻮ ٍف‬
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. [Yaitu] kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka
menyembah Rabb Pemilik rumah [Ka'bah] ini. Yang telah memberi makan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan.” (QS. Quraisy: 1-4)

Abu Thalib memiliki banyak anak. Di antara anak-anaknya adalah


Thalib, Qutsam, ‘Aqil, Ja’far, dan Ummu Hani’. Meskipun demikian, Abu
Thalib tetap mengasuh dan mendidik Muhammad sebagaimana kepada
anak-anaknya sendiri.
Bahkan, Abu Thalib lebih sayang kepada Rasulullah daripada kepada
anak-anaknya sendiri. Misalnya, ketika suatu hari Abu Thalib sedang
hendak berdagang ke Syam, ia tidak tega meninggalkan Rasulullah di

7
Mekkah. Abu Thalib pun mengajak serta Rasulullah pergi berdagang ke
Syam. Waktu itu, Rasulullah berumur dua belas tahun.
Rasa sayang seperti itu makin besar, setelah mereka pulang dari
Syam. Hal ini disebabkan oleh kabar gembira yang diberitakan oleh seorang
rahib Nasrani bernama Bakhira yang bertemu dengan mereka di daerah
Bushra, Syam.
Bakhira mengabari Abu Thalib bahwa Rasulullah akan menjadi nabi
kelak dan ini terlihat dari tanda-tanda tertentu yang menyertai Rasulullah.
Misalnya, tanda kenabian seperti telur burung merpati yang ada di antara
dua pundak Rasulullah, merunduknya dahan-dahan pohon ketika
Rasulullah sedang berteduh di bawahnya, dan beraraknya awan yang
menaungi Rasulullah ketika sedang berjalan di bawah terik matahari.

8
BAB III

MENJADI KEPALA KELUARGA DAN ANGGOTA MASYARAKAT

[1] Rasulullah sebagai Kepala Keluarga


Sepulangnya dari Syam, Rasulullah tidak pernah bepergian lagi ke sana.
Beliau menghabiskan masa remaja beliau di Mekkah di bawah pengawasan
Abu Thalib.
Disebutkan dalam sebagian kitab sirah nabawiyah bahwa Rasulullah
sempat ikut Perang Fijar pada waktu berumur 15 tahun. Beliau ikut
membantu paman-pamannya dengan memungut anak-anak panah agar
dipakai kembali oleh paman-pamannya itu.
Akan tetapi, kisah tersebut tidak benar adanya. Muhammad bin
Ishaq yang membawakan kisah itu tidak menyertakan orang-orang yang
meriwayatkannya.
Rasulullah baru kembali ke Syam ketika beliau sudah berusia
dewasa. Waktu itu, beliau membawa dagangan-dagangan milik Khadijah
bintu Khuwailid.
Ditemani pembantu Khadijah yang bernama Maisarah, Rasulullah
menjualkan kembali barang-barang dagangan itu di Syam. Keuntungan
yang didapat kemudian dibagi dua antara Rasulullah dan Khadijah. Cara
berdagang seperti ini disebut dengan konsinyasi.
Selama perjalanan dagang itu, Maisarah melihat tanda-tanda
keistimewaan dari diri Rasulullah, baik itu yang berupa tanda-tanda
kenabian ataupun yang berupa kebaikan akhlak beliau. Semua itu
diceritakan kembali oleh Maisarah kepada Khadijah, majikannya.
Cerita Maisarah menjadi awal sebab ketertarikan Khadijah kepada
Rasulullah. Khadijah melihat Rasulullah sebagai pemuda yang istimewa
dan memiliki akhlak yang baik. Rasulullah jujur, dapat dipercaya, tutur-
katanya baik, dan menjauhi perilaku-perilaku buruk yang biasa dilakukan
oleh orang-orang di zaman itu.

9
Melalui paman-paman Khadijah dan Rasulullah berlangsunglah
proses pernikahan di antara Rasulullah dan Khadijah. Waktu itu, usia
Rasulullah baru 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah berusia 40 tahun.
Meski demikian, Allah ta’ala mengaruniakan kecantikan dan kemudaan
kepada Khadijah.
Dari pernikahan itu, Allah ta’ala mengaruniai mereka anak-anak
yang banyak. Putra-putra mereka adalah Al Qasim dan Abdullah,
sedangkan putri-putri mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Fatimah, dan
Ummu Kultsum. Karena putra pertama bernama Al Qasim, maka
Rasulullah pun memiliki kuniyah Abul Qasim atau ayah Al Qasim.
Akan tetapi, karena takdir Allah, Al Qasim dan Abdullah tidak lama
hidup. Mereka meninggal dunia ketika masih kanak-kanak. Dengan
demikian, Zainab, Ruqayyah, Fatimah, dan Ummu Kultsumlah yang
tumbuh bersama ayah dan ibu mereka sampai mereka dewasa. Dari putri-
putri inilah nabi kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, memiliki
keturunan yang banyak sampai sekarang.

[2] Rasulullah sebagai Anggota Masyarakat


Sebagai orang Quraisy asli, Rasulullah hidup dan menetap di Mekkah.
Beliau menjadi warga kota Mekkah yang baik. Kebaikan beliau betul-betul
diakui oleh masyarakatnya. Di antara bentuk kebaikan beliau adalah sifat
jujur beliau, sehingga masyarakat pun menjuluki beliau dengan sebutan Al
Amin, orang yang dapat dipercaya.
Di antara kisah bagaimana masyarakat mengakui akhlak Rasulullah
yang baik adalah kisah pemugaran dan perbaikan Ka’bah yang terjadi
ketika beliau berusia 35 tahun. Waktu itu, terjadi banjir besar di Mekkah
yang menyebabkan dinding Ka’bah runtuh dan orang-orang Quraisy
memutuskan untuk membangun kembali Ka’bah.
Mereka pun segera mengumpulkan dana untuk memperbaiki Ka’bah
dan mereka sepakat bahwa dana yang mereka pakai harus berasal dari
uang-uang yang halal. Bukan dari uang-uang yang haram semisal uang
hasil riba, mencuri, berzina, dan hal-hal tercela lainnya. Mereka tidak ingin

10
bangunan suci seperti Ka’bah itu dibangun menggunakan harta-harta yang
kotor.
Pekerjaan mereka dimulai dari membongkar dinding-dinding Ka’bah
yang tersisa, satu demi satu, dan membiarkan pondasi-pondasinya. Setelah
itu, mereka membangun dinding-dinding yang baru.
Karena keterbatasan dana, besar Ka’bah yang mereka bangun
kembali itu tidak sebesar bangunan Ka’bah sebelumnya. Mereka hanya
sanggup membangun Ka’bah setinggi 15 meter dan tidak memasukkan
bagian Al Hijr ke dalam bangunan Ka’bah seperti semula. Pintu Ka’bah
yang semula ada dua dijadikan satu dan agar tidak bisa dimasuki oleh
sembarang orang pintu itu sengaja ditinggikan sekitar 2 meter.
Pekerjaan mereka akhirnya selesai. Yang tersisa adalah rongga untuk
batu Hajar Aswad. Mereka pun berselisih tentang siapa yang berhak
meletakkan batu itu di rongganya. Karena masing-masing kabilah Quraisy
merasa berhak melakukannya, maka perselisihan mereka pun semakin
menjadi-menjadi. Bahkan, hampir terjadi pertumpahan darah.
Dalam keadaan seperti itu, Abu Umayyah bin Al Mughirah Al
Makhzumi berusaha memberi mereka jalan keluar. Ia mengusulkan agar
orang yang berhak menengahi perselisihan mereka itu adalah orang yang
pertama masuk ke pintu Masjidil Haram. Ternyata, usulan ini diterima oleh
kabilah-kabilah yang berselisih.
Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki Rasulullah sebagai orang
yang pertama kali masuk di pintu masjid itu. Ketika orang-orang Quraisy
yang berselisih melihat beliau, mereka pun mengatakan, “Inilah Al Amin.
Kami rela kepadanya.” Ucapan ini adalah wujud penerimaan mereka
terhadap sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka
percaya bahwa Rasulullah adalah orang yang bisa dipercaya.
Segera beliau meminta selembar kain dan membentangkannya.
Setelah itu, beliau meletakkan batu Hajar Aswad di tengah kain dan
meminta pemuka-pemuka kabilah Quraisy memegang ujung-ujung kain.
Kain pun diangkat dan dibawa ke arah bagian Ka’bah tempat rongga Hajar
Aswad berada. Setelah sampai di bagian itu, Rasulullah mengambil dan

11
meletakkan batu Hajar Aswad di rongganya. Semua yang hadir waktu itu
ridho dengan keputusan tersebut.
Sampai menjelang usia 40 tahun, Rasulullah sudah banyak melihat
kemusyrikan yang terjadi di tengah masyarakat Mekkah. Beliau tidak
menyukai semua itu. Beliau merenung dan bertanya-tanya. Bagaimana
mungkin berhala-berhala yang disembah orang-orang Quraisy itu bisa
mendatangkan manfaat dan menimpakan bahaya kepada manusia?
Bagaimana bisa benda-benda mati itu bisa mengabulkan keinginan-
keinginan makhluk yang hidup?
Memasuki usia 40 tahun, Rasulullah mulai mengasingkan diri dari
khalayak ramai. Beliau menjauh dari manusia dan menyendiri di Gua Hira,
di pinggir kota Mekkah, dan melanjutkan perenungannya. Apa yang beliau
lakukan ini merupakan kebiasaan ahli-ahli ibadah di zaman itu, sehingga
tidak ada yang merasa aneh dengannya. Kebiasaan ini disebut dengan
tahannuts.
Beliau tinggal di sana bermalam-malam lamanya. Beliau pergi dari
rumah sambil membawa bekal dan setelah bekal itu habis di Gua Hira
beliau kembali pulang ke rumah. Selama ber-tahannuts itu, Khadijah-lah
yang mengurusi rumah tangga Rasulullah. Khadijah-lah yang menyiapkan
bekal untuk dibawa suaminya ke Gua Hira dan Khadijah tidak mengeluh
dengan kebiasaan tahannuts suaminya.

12
BAB IV

DIANGKAT SEBAGAI NABI DAN RASUL ALLAH

[1] Turunnya Wahyu kepada Rasulullah


Menjelang turunnya wahyu pertama, Rasulullah sering mendapatkan
mimpi-mimpi yang benar. Maksudnya, mimpi-mimpi yang menjadi
kenyataan. Beliau tidaklah bermimpi, kecuali beliau melihat mimpi beliau
itu dengan jelas seperti cahaya di waktu subuh.
Ketika genap berusia 40 tahun lewat 6 bulan, wahyu pertama turun
kepada beliau yang dibawa oleh malaikat Jibril ‘alaihis salam dan yang
pertama kali diturunkan dari Al Qur-an adalah Surat Al ‘Alaq ayat 1-5.
Allah ta’ala berfirman,

‫ﰟ َرﺑ ّ َِﻚ ا ِ ي َ ﻠَ َﻖ َ ﻠَ َﻖ ْاﻻ َﺴ َﺎن ِﻣ ْﻦ َﻠَ ٍﻖ ا ْﻗ َﺮ َو َرﺑ َﻚ ا ْ ْﻛ َﺮ ُم ا ِ ي َ َﲅ ِ ﻟْ َﻘ َ ِﲅ َ َﲅ ْاﻻ َﺴ َﺎن َﻣﺎ‬


ِ ْ ِ ‫ا ْﻗ َﺮ‬
‫ﻟ َ ْﻢ ﯾ َ ْﻌ َ ْﲅ‬
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-
mulah yang maha pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan
perantaraan kalam. Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahui mereka.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5)

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang ummi [tidak


bisa membaca dan menulis], maka Jibril ‘alaihis salam membacakan apa
yang dibawanya dan Rasulullah menyimak serta menghafalnya. Dengan
wahyu pertama ini pula, Rasulullah diangkat Allah ‘azza wa jalla sebagai
seorang nabi.
Setelah turun wahyu pertama, terputuslah wahyu untuk sementara
waktu. Dalam masa ini, Rasulullah merasa gelisah, kuatir, dan rindu untuk

13
mendapatkan wahyu kembali sampai kemudian turunlah wahyu kedua
ketika beliau sedang berselimut. Allah ta’ala berfirman,

‫َ ﳞَﺎ اﻟْ ُﻤﺪ ِ ّ ُﺮ ﻗُ ْﻢ ﻓَ ﻧ ِﺬ ْر َو َرﺑ َﻚ ﻓَ َﻜ ِ ّ ْﱪ َو ِﺛ َﯿﺎﺑ َ َﻚ ﻓَ َﻄﻬّ ِْﺮ َواﻟﺮ ْﺟ َﺰ ﻓَ ْﺎﳗ ُْﺮ‬
“Wahai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan
agungkanlah Rabbmu. Bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah segala
perbuatan keji. Janganlah engkau memberi agar mendapatkan yang lebih
banyak. Dan bersabarlah untuk Rabbmu.” (QS. Al Muddatstsir: 1-5)

Makna “Bangunlah, lalu berilah peringatan” adalah memperingatkan


dari kesyirikan dan mengajak kepada tauhid. “Dan agungkanlah Rabbmu,”
maksudnya, agungkan Rabbmu dengan tauhid. “Bersihkanlah pakaianmu,”
maksudnya, sucikan amalan-amalanmu dari kesyirikan. “Dan
tinggalkanlah segala perbuatan keji,” perbuatan keji adalah berhala-
berhala—jauhi dan tinggalkanlah serta berlepas diri darinya dan para
pelakunya.
Karena itu, wahyu kedua tersebut menjadi tanda diangkatnya beliau
sebagai seorang rasul. Sejak itu, beliau memulai tugas beliau sebagai
utusan Allah yang mengajak manusia agar bertauhid kepada Allah dan
memperingatkan manusia agar menjauhi segala bentuk kesyirikan,
sebagaimana tugas para rasul sebelum beliau. Allah ta’ala berfirman,

‫ا ْو َﺣ ْﻨَﺎ اﻟ َ ْﯿ َﻚ َ َ ْو َﺣ ْﻨَﺎ ا َﱃ ﻧ ُﻮحٍ َواﻟﻨ ِﺒ ِ ّ َﲔ ِﻣﻦ ﺑ َ ْﻌ ِﺪ ِﻩ‬


“Sesungguhnya, Kami telah wahyukan kepadamu, sebagaimana telah Kami
wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya.” (QS. An Nisa’: 163)

[2] Rasulullah Memulai Dakwah Di Mekkah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah dari lingkungan
terdekat beliau: kalangan keluarga dan kalangan sahabat beliau. Beliau
melakukannya secara sembunyi-sembunyi di Mekkah. Dakwah seperti ini

14
disebut dengan dakwah sirriyah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya selama tiga tahun.
Dari dakwah yang seperti itu, masuk ke dalam Islam sejumlah orang
yang berada di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari
lingkungan keluarga, masuk ke dalam Islam Khadijah bintu Khuwailid,
Zaid bin Haritsah, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum.
Zaid bin Haritsah dulunya adalah budak milik Khadijah yang
dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah
pun memerdekakannya, tetapi Zaid memilih untuk terus bersama
Rasulullah, membantu dan melayani Rasulullah dan rumah tangganya.
Adapun Ali, waktu itu beliau masih belia. Beliau baru berusia 8
tahun, ketika masuk ke dalam Islam. Sejak kecil, beliau telah diasuh oleh
Rasulullah di tengah keluarganya agar dapat mengurangi beban Abu
Thalib.
Dari kalangan keluarga Khadijah, juga beriman Waraqah bin Naufal.
Sepupu Khadijah ini dulunya adalah seorang pemeluk agama Nasrani. Ia
mengerti bahasa kitab Injil (bahasa Ibrani) dan menuliskannya ke dalam
bahasa Arab.
Ketika turun Surat Al ‘Alaq ayat 1-5, Khadijah membawa Rasulullah
untuk menceritakan hal itu kepada Waraqah. Waraqah segera
membenarkannya, mengimani, dan meyakini bahwa Rasulullah adalah
seorang nabi seperti Nabi Musa ‘alaihis salam.
Sahabat terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
Abdullah bin Utsman At Taimi atau yang lebih dikenal dengan Abu Bakar
Ash Shiddiq. Usianya dua tahun lebih muda daripada Rasulullah. Ketika
Rasulullah menyampaikan dakwah di awal kali, Abu Bakar segera
menerima dan mengimaninya. Beliau pun masuk ke dalam Islam di hari-
hari pertama dakwah Rasulullah.
Abu Bakar kemudian mendakwahkan apa yang beliau peluk itu.
Beliau berdakwah di lingkaran pertemanannya. Akhirnya, masuk ke dalam
Islam lewat perantaraan Abu Bakar teman-teman dekatnya seperti Utsman
bin Affan, Saad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin

15
Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Utsman bin Mazh’un, dan Arqam bin Abil
Arqam radhiyallahu ‘anhum.
Dakwah secara sembunyi-sembunyi kemudian dilanjutkan oleh
Rasulullah di rumah Arqam bin Abil Arqam radhiyallahu ‘anhu. Rumah
sahabat Rasulullah ini terletak di pinggiran kota Mekkah dan jauh dari
keramaian. Di sana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan
ayat-ayat Al Qur-an yang baru turun dan menjelaskan berbagai pokok
akidah kepada sahabat-sahabat beliau. Mereka diterangkan oleh beliau
tentang pentingnya tauhid khususnya tauhid uluhiyah. Mereka juga
diterangkan tentang hari kiamat, keadaan Surga dan Neraka serta keadaan
para penghuninya masing-masing.
Wahyu yang turun kepada beliau pun kebanyakan berupa ayat-ayat
yang pendek dan mudah dihafal oleh mereka yang baru masuk Islam waktu
itu. Misalnya, surat Al Qamar, Ath Thur, Al Muddatstsir, Al Fatihah, An
Najm, ‘Abasa, dan Ar Rahman. Surat-surat yang seperti ini biasa disebut
sebagai surat-surat atau ayat-ayat makkiyah.

[3] Memulai Dakwah secara Terang-Terangan


Dakwah secara sembunyi-sembunyi itu terus berlangsung, sampai turun
ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

ِ ْ ‫ﻓَ ْﺎﺻﺪَ ْع ِﺑ َﻤﺎ ﺗ ُْﺆ َﻣ ُﺮ َو ْﻋ ِﺮ ْض َﻋ ِﻦ اﻟْ ُﻤ‬


‫ﴩ ِﻛ َﲔ‬
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang
diperintahkan [kepadamu] dan berpalinglah dari orang-orang musyrikin.”
(QS. Al Hijr: 94)

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan rasulNya untuk


menyampaikan dakwah secara terang-terangan. Tidak lagi secara
sembunyi-sembunyi. Dakwah seperti ini biasa disebut dengan dakwah
jahriyyah.
Yang pertama kali Rasulullah ajak ketika memulai berdakwah secara
terang-terangan adalah kerabat-kerabat terdekat beliau sebelum kabilah-

16
kabilah Quraisy lainnya dan penduduk Mekkah secara umum. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َو ﻧ ِﺬ ْر ﻋ َِﺸ َﲑﺗ ََﻚ ا ْ ْﻗ َﺮﺑ َِﲔ‬


“Dan berilah peringatan kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy
Syu’ara’: 214)

Karena itulah, pada suatu hari, Rasulullah pergi ke Bukit Shafa dan
beliau kumpulkan kerabat-kerabat beliau yang ada. Lalu, beliau ajak
mereka,

‫ َ ﺑ َ ِﲏ َﻋ ْﺒ ِﺪ َﻣ َ ٍﺎف‬،‫ َﻻ ْﻏ ِﲏ َﻋ ْﻨ ُ ْﲂ ِﻣ َﻦ ا ِ َﺷ ْ ًﺎ‬،‫ﴩ ﻗُ َﺮ ٍْﺶ ـ ْو َ ِﳇ َﻤ ًﺔ َ ْﳓ َﻮﻫَﺎ ـ ْاﺷ َ ُﱰوا ﻧْ ُﻔ َﺴ ُ ْﲂ‬


َ َ ‫َ َﻣ ْﻌ‬
‫ َو َ َﺻ ِﻔ ُﺔ َﲻ َﺔ‬،‫ َ ﻋَﺒ ُﺎس ْ َﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟْ ُﻤﻄ ِﻠ ِﺐ َﻻ ْﻏ ِﲏ َﻋ ْﻨ َﻚ ِﻣ َﻦ ا ِ َﺷ ْ ًﺎ‬،‫َﻻ ْﻏ ِﲏ َﻋ ْﻨ ُ ْﲂ ِﻣ َﻦ ا ِ َﺷ ْ ًﺎ‬
‫ َو َ ﻓَﺎ ِﻃ َﻤ ُﺔ ِﺑ ْ َﺖ ُﻣ َﺤﻤ ٍﺪ َﺳ ِﻠ ِﯿﲏ َﻣﺎ ِﺷ ْ ِﺖ ِﻣ ْﻦ َﻣ ِﺎﱄ َﻻ ْﻏ ِﲏ‬،‫َر ُﺳ ِﻮل ا ِ َﻻ ْﻏ ِﲏ َﻋ ْﻨ ِﻚ ِﻣ َﻦ ا ِ َﺷ ْ ًﺎ‬
‫َﻋ ْﻨ ِﻚ ِﻣ َﻦ ا ِ َﺷ ْ ًﺎ‬
“Wahai orang-orang Quraisy. Belilah diri-diri kalian. Aku tidak bisa
melindungi kalian dari Allah sedikit pun. Wahai Bani Abdi Manaf, aku tidak
bisa melindungi kalian dari Allah sedikit pun. Wahai Abbas bin Abdil
Muththalib, aku tidak bisa melindungimu dari Allah sedikit pun. Wahai
Shafiyyah, bibi Rasulullah, aku tidak bisa melindungimu dari Allah sedikit
pun. Wahai Fatimah bintu Muhammad, mintalah harta kepadaku
semaumu. Aku tidak bisa melindungimu dari Allah sedikit pun.” (HR. Al
Bukhari dan Muslim)

Ajakan Rasulullah itu ternyata langsung mendapatkan tentangan dari


kalangan kerabat beliau sendiri. Paman beliau yang bernama Abdul Uzza
atau Abu Lahab segera berdiri dan melaknat Rasulullah. “Celaka engkau!

17
Hanya untuk inikah engkau undang kami ke tempat ini?!”, teriak Abu
Lahab.
Apa yang dilakukan paman Rasulullah itu segera mendapat balasan.
Allah ‘azza wa jalla menurunkan Surat Al Masad yang di dalamnya Allah
ta’ala melaknat Abu Lahab dan menimpakan azab yang pedih kepadanya.
Allah ta’ala berfirman,

َ َ ‫ﺗَ ْﺖ ﯾَﺪَ ا ِﰊ ﻟَﻬ ٍَﺐ َوﺗَﺐ َﻣﺎ ْﻏ َﲎ َﻋ ْﻨ ُﻪ َﻣﺎ ُ ُ َو َﻣﺎ َﻛ َﺴ َﺐ َﺳ َﯿ ْﺼ َﲆ َ ر ًا َذ َات ﻟَﻬ ٍَﺐ َوا ْﻣ َﺮ ﺗُ ُﻪ َﲪﺎ‬
‫اﻟْ َﺤ َﻄ ِﺐ ِﰲ ِﺟ ِﺪﻫَﺎ َﺣ ْ ٌﻞ ِّﻣﻦ ﻣ َﺴ ٍﺪ‬
“Binasalah tangan Abu Lahab dan binasalah ia. Tidak akan bermanfaat
untuknya harta-bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak, ia akan masuk
ke dalam api yang bergejolak. Demikian pula istrinya, si pembawa kayu
bakar, yang di lehernya ada tali dari serabut.” (QS. Al Masad: 1-5)

Di surat tersebut, Allah ta’ala juga melaknat istri Abu Lahab, Ummu Jamil,
karena ikut membantu suaminya menentang risalah yang datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meskipun ditentang seperti itu oleh kerabat beliau sendiri, Rasulullah
tidak menyerah. Beliau terus mendakwahkan risalah yang turun kepada
beliau. Beliau mengajak mereka untuk meninggalkan ibadah kepada
berhala-berhala. Beliau mengajak mengajak mereka untuk hanya beribadah
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Semua ini beliau jalankan sampai akhir
hidup beliau, sebagaimana yang dilakukan oleh para rasul sebelum beliau
shalawatullah wa salamu ‘alaihim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ ‫ﰻ ﻣ ٍﺔ ر ُﺳﻮ ًﻻ ِن ا ْﻋ ُﺒﺪُ و ْا ا ّ َ َوا ْﺟ َﻨِ ُﺒﻮ ْا اﻟﻄﺎ ُﻏ‬


‫ﻮت‬ ّ ِ ُ ‫َوﻟ َ َﻘ ْﺪ ﺑ َ َﻌﺜْﻨَﺎ ِﰲ‬

18
“Dan sungguh telah Kami utus di setiap umat seorang rasul [yang
mengajak], ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut-thaghut1’.” (QS. An Nahl:
36)

1 Ibnul Qayyim rahimahullahu ta’ala mengatakan, “Thaghut-thaghut adalah apa-apa yang


melampaui batas dari seorang hamba baik itu yang disembah, diikuti atau ditaati. Dan
thaghut-thaghut itu banyak. Tetapi pemuka mereka ada lima: Iblis la’anahullah, siapa saja
yang disembah dan ia ridho, siapa saja yang mengajak manusia untuk beribadah kepada
dirinya, siapa saja yang mengaku-ngaku tahu ilmu gaib, dan siapa saja yang berhukum
dengan selain apa yang Allah turunkan.”

19
BAB V

COBAAN UNTUK RASULULLAH DAN PARA SAHABAT

Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan bahwa manusia yang paling


berat cobaannnya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َﺷﺪ اﻟﻨ ِﺎس ﺑ َ َﻼ ًء ْا ِﻧ ْ َﺎ ُء ُﰒ ْا ْﻣ َ ُﻞ ﻓَ ْﺎ ْﻣ َ ُﻞ‬


“Manusia yang paling dahsyat cobaannya adalah para nabi. Kemudian,
orang-orang yang semisal, lalu orang-orang yang semisal.” (HR. At
Tirmidzi dan Syaikh Al Albani mengatakan, “Shahih”)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ان ِﻣ ْﻦ َﺷ ِﺪ اﻟﻨ ِﺎس ﺑ َ َﻼ ًء َا ﻧْ ِ َﺎ ُء ُﰒ ا ِ ْ َﻦ ﯾَﻠُ ْﻮﳖَ ُ ْﻢ ُﰒ ا ِ ْ َﻦ ﯾَﻠُ ْﻮﳖَ ُ ْﻢ ُﰒ ا ِ ْ َﻦ ﯾَﻠُ ْﻮﳖَ ُ ْﻢ‬
“Sesungguhnya termasuk manusia yang paling dashyat cobaannya adalah
para nabi, kemudian orang-orang yang mengikutinya, kemudian orang-
orang yang mengikutinya, kemudian orang-orang yang mengikjutinya.” (HR.
Ahmad dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“[Hadits] hasan”)

Demikian pula dengan Rasulullah dan para sahabat yang beriman


kepada Allah dan rasulNya. Ketika Rasulullah memulai dakwah beliau
secara terang-terangan, orang-orang musyrik Quraisy mulai mengganggu
beliau dan orang-orang yang beriman.
Yang semula Rasulullah dihormati dan disebut sebagai orang yang
bisa dipercaya, sekarang, mulai dibenci dan dimusuhi. Orang-orang
musyrik Quraisy mulai mencap Rasulullah sebagai orang gila, dukun,

20
tukang sihir, dan penyair. Mereka menyebut Rasulullah sebagai pemecah-
belah keluarga dan perusak kehidupan masyarakat.

[1] Cobaan yang Menimpa Sahabat Rasulullah


Kaum musyrikin Quraisy ternyata masih menahan diri dari mengganggu
beliau secara fisik. Berbeda dengan sahabat-sahabat Rasulullah, terutama
yang berasal dari kalangan budak dan bekas budak. Orang-orang musyrik
Quraisy betul-betul mengganggu dan menindas mereka, mulai dari hinaan
dan cacian sampai kepada tindakan-tindakan penyiksaan secara fisik.
Banyak sahabat Rasulullah yang mendapatkan penyiksaan. Mereka
disiksa sedemikian rupa. Ada yang dipukuli beramai-ramai. Ada yang
dijemur diterik siang hari. Ada yang ditindih dengan batu di padang pasir.
Sebagian sahabat Rasulullah ada yang dipaksa untuk mengucapkan
kalimat-kalimat kufur. Ada yang dipaksa mengucapkan, “Al Lata adalah
Rabbku, bukan yang lain.” Al Lata adalah salah satu nama berhala Quraisy.
Ada yang dipaksa mengucapkan, “Al Jutsa adalah sembahanku.” Al
Jutsa yang dimaksud tidak lain dari kumbang yang senang makan kotoran.
Yang seperti ini dilakukan oleh orang-orang musyrik bukan sekedar untuk
memaksa para sahabat yang tertindas itu kufur kembali, tetapi juga untuk
menghinakan serendah-rendahnya sebagian sahabat tersebut yang
sebagian besar di waktu itu memang terdiri dari kalangan budak dan bekas
budak atau orang-orang yang memiliki status rendah di masyarakat Arab.
Salah satu siksaan yang paling besar diderita sahabat Rasulullah
adalah apa yang menimpa keluarga Yasir. Beliau radhiyallahu ‘anhu
bersama keluarga beliau disiksa sekaligus oleh orang-orang musyrik di
hadapan orang banyak. Mereka terus disiksa seperti itu, sampai kemudian
maut menjemput Yasir dan istrinya, Sumayyah. Anak mereka, Ammar,
berhasil selamat, karena terpaksa mengucapkan kalimat-kalimat kufur.
Di antara sahabat Rasulullah yang disiksa dengan hebat adalah Bilal
bin Rabah radhiyallahu ‘anhu. Beliau disiksa majikannya, Umayyah bin
Khalaf, dengan cara dijemur di padang pasir pada siang hari yang terik.
Kemudian, di atas dada beliau diletakkan batu yang besar. Siksaan seperti

21
itu baru akan dihentikan, jika Bilal mau mengucapkan kalimat kesyirikan
sebagai tanda murtad dari agama yang baru dipeluk.
Bilal tetap bertahan. Beliau tidak mau mengucapkan kalimat-kalimat
kufur. Di saat keadaan beliau sudah kritis, Allah menurunkan
pertolonganNya melalui Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau
membeli Bilal dari majikannya, kemudian memerdekakannya begitu saja.
Apa yang dilakukan Abu Bakar kepada Bilal itu bukan yang pertama
dan satu-satunya. Ada banyak budak—yang karena memeluk Islam—
disiksa oleh majikan-majikan mereka dan kemudian dibeli dan
dimerdekakan oleh Abu Bakar tanpa mengharap balasan apapun—kecuali
wajah Allah. Di antara yang pernah dimerdekakan Abu Bakar adalah Bilal
dan ibunya yang bernama Hamamah, Amir bin Fuhairah, Ummu ‘Abs,
Zinnirah, An Nahdiyyah dan putrinya. Abu Bakar juga pernah membeli dan
membebaskan seorang budak perempuan milik kabilah Bani Adi—disiksa
karena keislamannya—oleh Umar bin Al Khaththab yang waktu itu belum
masuk Islam.
Tidaklah melewati seorang budak yang disiksa karena memeluk
Islam, kecuali Abu Bakar akan membeli dan segera memerdekakannya.
Karena itu, banyak harta yang telah dikeluarkan Abu Bakar untuk
membebaskan sahabat-sahabat Rasulullah. Atas apa yang dilakukan beliau
ini, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan,

‫َو َﺳ ُﯿ َﺠﻨﳢُ َﺎ ا ْ ﺗْ َﻘﻰ ا ِ ي ﯾ ُ ْﺆ ِﰐ َﻣﺎ َ ُ ﯾ َ َ َﱱﰽ َو َﻣﺎ ِ َ ٍﺪ ِﻋﻨﺪَ ُﻩ ِﻣﻦ ِﻧ ّ ْﻌ َﻤ ٍﺔ ُ ْﲡ َﺰى اﻻ اﺑْ ِﺘﻐَﺎء َو ْ ِﻪ َ ِرﺑ ّ ِﻪ ا ْ ْ َﲆ‬
‫َوﻟ َ َﺴ ْﻮ َف َ ْﺮ َﴇ‬
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling bertakwa dari Neraka. Yang
menafkahkan hartanya [di jalan Allah] untuk membersihkannya. Padahal
tidak ada seseorang pun memberikan satu nikmat kepadanya yang harus
dibalasnya. Akan tetapi, [ia memberikan itu semata-mata] karena mencari
ridho Rabbnya yang maha tinggi. Dan kelak ia benar-benar mendapat
kepuasan.” (QS. Al Lail: 17-21)

22
Dalam keadaan seperti itu, Rasulullah hanya dapat bersabar dan
menyabar-nyabarkan hati-hati para sahabat beliau. Seperti ketika melewati
keluarga Yasir yang sedang disiksa, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya menghibur mereka dengan Surga dan mengatakan,

‫ﴎ ﻓَﺎن َﻣ ْﻮ ِﺪَ ُﰼُ اﻟْ َﺠﻨ ُﺔ‬


ٍ ِ َ ‫َﺻ ْ ًﱪا َ ٓ َل‬
“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, sesungguhnya Surga adalah tempat
kembali kalian.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi)

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda,

‫ﴎ ﻓَﺎن َﻣ ْﻮ ِﺪَ ُﰼُ اﻟْ َﺠﻨ ُﺔ‬


ٍ ِ َ ‫ْﴩ ْوا ٓ َل َﲻﺎ ٍر َو ٓ َل‬
ُِ
“Bergembiralah kalian, wahai keluarga Ammar dan keluarga Yasir. Sebab
sesungguhnya tempat kalian adalah Surga.” (HR. Al Hakim dan Syaikh Al
Albani mengatakan, “[Hadits] hasan”)

Demikian juga ketika datang salah seorang sahabat Rasulullah


meminta beliau berdoa agar Allah ‘azza wa jalla menurunkan pertolongan
dalam menghadapi gangguan-gangguan kaum musyrikin. “Tidakkah
engkau meminta pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk
kami?”, kata sahabat tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya menjawab,

‫ﻗَ ْﺪ َﰷ َن َﻣ ْﻦ ﻗَ ْﻠَ ُ ْﲂ ﯾ ُ ْﺆ َُﺬ اﻟﺮ ُ ُﻞ ﻓَ ُ ْﺤ َﻔ ُﺮ َ ُ ِﰲ ا ْ ْر ِض ﻓَ ُ ْﺠ َﻌ ُﻞ ِﻓﳱَﺎ ﻓَ ُ َ ﺎ ُء ِ ﻟْ ِﻤ ْﺸَ ﺎ ِر ﻓَ ُﻮﺿَ ُﻊ َ َﲆ َر ِﺳ ِﻪ‬


ِ ‫ َوا‬،‫ُون ﻟَ ْﺤ ِﻤ ِﻪ َو َﻋ ْﻈ ِﻤ ِﻪ ﻓَ َﻤﺎ ﯾ َ ُﺼﺪ ُﻩ َذ ِ َ َﻋ ْﻦ ِدﯾ ِﻨ ِﻪ‬
َ ‫ﻂ ِﺑ ْﻣﺸَ ِﺎط اﻟْ َ ِﺪﯾ ِﺪ َﻣﺎ د‬ ُ َ‫ﻓَ ُ ْﺠ َﻌ ُﻞ ِﻧ ْﺼ َﻔ ْ ِﲔ َوﯾ ُ ْﻤﺸ‬
َ ْ ‫ﻟ َ َﯿﺘِﻤﻦ َﻫ َﺬا ا ْ ْﻣ ُﺮ َﺣﱴ َِﺴ َﲑ اﻟﺮا ِﻛ ُﺐ ِﻣ ْﻦ َﺻ ْﻨ َﻌ َﺎء ا َﱃ َﺣ‬
‫ﴬ َﻣ ْﻮ َت َﻻ َ َﳜ ُﺎف اﻻ ا َ َوا ِّ ﺋْ َﺐ َ َﲆ ﻏَﻨَ ِﻤ ِﻪ‬
َ ُ‫َوﻟَ ِﻜ ُ ْﲂ َ ْﺴ َﺘ ْﻌ ِ ﻠ‬
‫ﻮن‬

23
“Sungguh, ada di antara orang-orang beriman sebelum kalian yang
ditangkap, lalu digalikan tanah dan ditanam di sana. Lalu, dibawakan
gergaji dan diletakkan di atas kepalanya. Kemudian, orang itu dibelah dua,
daging dan urat yang berada di bawah kulit disisir dengan sisir besi, namun
itu semua tidak mengeluarkannya dari agamanya. Demi Allah, agama ini
akan sempurna, sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan’a
sampai Hadramaut dalam keadaan tidak takut kecuali kepada Allah dan
[lebih] menguatirkan serigala pada kambingnya. Akan tetapi, kalian terlalu
tergesa-gesa.” (HR. Al Bukhari)

Meski cobaan-cobaan seperti itu terus berlangsung, Islam terus


berkembang di Mekkah secara perlahan. Bahkan, dua tahun setelah
dakwah secara terang-terangan dimulai, yang memeluk Islam telah
bertambah menjadi lebih dari 50 orang. Mereka inilah yang dikenal dengan
sebutan as sabiqunal awwalun atau orang-orang pertama yang mendahului
[masuk ke dalam Islam].

ORANG-ORANG YANG PERTAMA MASUK ISLAM

Berikut ini adalah nama-nama sahabat yang tergolong sebagai as sabiqunal


awwalun. Nama-nama mereka diambil dari kitab Siyar A’lam An Nubala’:
Juz II karya Muhammad bin Ahmad Adz Dzahabi atau yang lebih dikenal
sebagai Imam Adz Dzahabi. Mereka yang dimaksud adalah:

1. Khadijah binti Khuwailid


2. Ali bin Abi Thalib
3. Abu Bakar Ash Shiddiq
4. Zaid bin Haritsah An Nabawi
5. Utsman bin ‘Affan
6. Az Zubair bin Al ‘Awwam
7. Sa’ad bin Abi Waqqash

24
8. Thalhah bin Ubaidillah
9. Abdurrahman bin Auf
10. Abu Ubaidah bin Al Jarrah
11. Abu Salamah bin Abdil Asad
12. Al Arqam bin Abil Arqam bin Asad bin Abdillah bin Umar
13. Utsman bin Mazh’un Al Jumahi
14. Ubaidah bin Al Harits bin Al Muththalib Al Muththalibi
15. Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al ‘Adawi
16. Asma’ binti Ash Shiddiq
17. Khabbab bin Al Art Al Khuza’i (sekutu Bani Zuhrah)
18. Umair bin Abi Waqqash (saudara Sa’ad bin Abi Waqqash)
19. Abdullah bin Mas’ud Al Khuzali
20. Mas’ud bin Rabi’ah Al Qari
21. Salith bin Amr bin Abdi Syams Al ‘Amiri
22. Ayyasy bin Abi Rabi’ah bin Al Mughirah Al Makhzumi
23. Asma’ binti Salamah At Tamimiyah (istri Ayyasy)
24. Khunais bin Hudzafah As Sahmi
25. Amir bin Rabi’ah Al ‘Anzi
26. Abdullah bin Jahsyin bin Ri-ab Al Asadi
27. Ja’far bin Abi Thalib Al Hasyimi
28. Asma’ binti Umais (istri Ja’far)
29. Hathib bin Al Harits Al Jumahi
30. Fatimah binti Mujallal Al ‘Amiriyah (istri Hathib)
31. Khaththab (saudara Hathib)
32. Fukaihah binti Yasar (istri Khaththab)
33. Ma’mar bin Al-Harits (saudara Hathib dan Khaththab)
34. As-Sa-ib bin Utsman bin Mazh’un
35. Al Muththalib bin Azhar bin Abdi ‘Auf Az Zuhri
36. Ramlah binti Auf As Sahmiyah (istri Al Muththalib)
37. An Nahham Nu’aim bin Abdillah Al ‘Adawi
38. Amir bin Fuhairah (bekas budak Abu Bakar Ash Shiddiq)
39. Khalid bin Sa’id bin Ash bin Umayyah

25
40. Umaimah binti Khalaf Al Khuza’iyah (istri Khalid bin Sa’id)
41. Hathib bin Amr Al ‘Amiri
42. Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah Al Absyami
43. Waqid bin Abdillah bin Abdi Manaf At Taymi Al Yarbu’i
44. Khalid (sekutu Bani ‘Adi)
45. Amir (sekutu Bani ‘Adi)
46. ‘Aqil (sekutu Bani ‘Adi)
47. Iyas (sekutu Bani ‘Adi)
48. ‘Ammar bin Yasir bin Amir Al-‘Ansi (sekutu Bani Mahzum)
49. Shuhaib bin Sinan bin Malik An Namri Ar Rumi Al Minsya-i mawla
Abdullah bin Jad’an
50. Abu Dzar Jundub bin Junadah Al Ghifari dan Abu Najih Amr bin
‘Anbasah As Sulami Al Bajali

Setelah menyebutkan nama-nama sahabat tersebut, Imam Adz Dzahabi


rahimahullah mengatakan,

“Mereka semua adalah 50 orang di antara orang-orang pertama yang


mendahului masuk ke dalam Islam. Setelah mereka, masuklah ke dalam
Islam singa Allah, Hamzah bin Abdil Muththallib, dan al-faruq, Umar bin Al-
Khaththab, kemuliaan Islam. Mudah-mudahan Allah senantiasa me-ridho-i
mereka semua.”

[2] Hijrah ke Negeri Habasyah


Semakin bertambah tahun, cobaan-cobaan yang menimpa para sahabat
Rasulullah semakin menjadi-jadi. Pada tahun kelima dari tahun kenabian,
Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan kaum muslimin melakukan hijrah
ke negeri Habasyah yang terletak di sebelah barat Jazirah Arab. Tepatnya,
di seberang Laut Merah.
Berangkatlah sejumlah sahabat Rasulullah untuk menyelamatkan
agama mereka dari gangguan kaum musyrikin,. Mereka terdiri dari 12

26
orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Orang yang pertama kali berangkat
ke sana adalah Utsman bin ‘Affan dan istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah.
Mereka semua menyembunyikan keislaman mereka. Di antara
anggota-anggota rombongan adalah Az Zubair bin Al ‘Awwam,
Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Salamah beserta
istrinya. Mereka keluar dengan cara mengendap-ngendap dan sembunyi-
sembuyi.
Allah subhanahu wa ta’ala pun memberikan pertolongan kepada
mereka. Ketika sampai di pantai, mereka menemukan dua kapal milik
pedagang. Para pedagang itulah yang kemudian membawa mereka ke negeri
Habasyah.
Orang-orang Quraisy sendiri berusaha mengejar mereka. Akan tetapi,
setiba di pantai mereka tidak mendapati siapa pun.
Rombongan hijrah itu berangkat pada bulan Rajab. Di Habasyah,
mereka tinggal selama bulan Sya’ban dan Ramadhan. Pada bulan Syawal,
mereka kembali ke Mekkah, karena mendengar berita bahwa orang-orang
Quraisy telah melunak dan tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam lagi.
Mendekati Mekkah, para sahabat Rasulullah yang baru pulang dari
Habasyah itu mengetahui duduk-perkara sebenarnya. Mereka pun lantas
menahan diri untuk masuk ke Mekkah. Mereka baru masuk ke Mekkah,
sendiri-sendiri, masing-masing dengan jaminan dari orang-orang Quraisy
yang bersedia.
Tidak lama setelah itu, kesulitan dan gangguan kembali menimpa
mereka dengan sangat. Keluarga-keluarga mereka pun tidak ketinggalan
untuk bersikap keras seperti itu.
Mendapatkan perlakuan yang baik di Habasyah membuat apa yang
menimpa mereka setiba di Mekkah itu terasa berat. Karenanya, Rasulullah
kembali memerintahkan mereka untuk berhijrah ke Habasyah.
Rombongan kedua sahabat-sahabat Rasulullah pun berangkat ke
Habasyah. Kali ini, jumlah rombongan sebanyak 83 orang laki-laki yang di
antaranya adalah ‘Ammar bin Yasir dan 19 orang perempuan. Mereka
semua diterima oleh raja Habasyah atau An Najasyi yang bernama Ash-

27
hamah dan diperkenankan tinggal di sana di bawah jaminan keamanan
dari raja langsung.
Ketenangan para sahabat Rasulullah di Habasyah sempat terganggu
dengan datangnya Amr bin Al Ash dan ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah yang
diutus kaum musyrikin Quraisy untuk membawa pulang mereka kembali
ke Mekkah. Dua orang utusan Quraisy itu menggambarkan bahwa para
sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memiliki ucapan-ucapan yang
tidak pantas terhadap Isa ‘alaihis salam dan ibunya.
Akan tetapi, Allah ta’ala berkehendak lain. Allah menurunkan
pertolonganNya melalui Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang
menjadi juru bicara para sahabat, sehingga An Najasyi berhasil diyakinkan
bahwa sahabat-sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan
seperti yang digambarkan. Bahkan, An Najasyi langsung memberi jaminan
keamanan secara penuh kepada mereka. “Kalian aman di negeri ini,” kata
An Najasyi. “Siapa saja yang menghina kalian, maka ia akan didenda.”

SAHABAT-SAHABAT NABI YANG HIJRAH KE HABASYAH

Berikut ini adalah nama-nama sahabat Rasulullah yang hijrah ke


Habasyah. Nama-nama mereka ini diambil dari kitab Jawami’ As Sirah An
Nabawiyyah karya Ibnu Hazm Ali bin Ahmad Al Andalusi. Mereka adalah:

1. Utsman bin ‘Affan


2. Ruqayyah bintu Rasulullah
3. Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah
4. Sahlah bintu Suhail bin ‘Amr (istri Abu Hudzaifah)
5. Az Zubair bin Al Awwam
6. Mush’ab bin Umair
7. Abdurrahman bin ‘Auf
8. Abu Salamah Abdullah bin Abdil Asad
9. Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah (istri Abu Salamah)

28
10. Ustman bin Mash’un
11. Amir bin Rabi’ah
12. Laila bintu Abi Hatsmah, istri Amir
13. Abu Sabrah bin Abi Ruhm
14. Ummu Kultsum bintu Suhail bin ‘Amr (istri Abu Sabrah)
15. Suhail bin Baidha’

Setelah mereka, berhijrahlah puluhan orang ke negeri Habasyah yang


terdiri dari:

1. Ja’far bin Abi Thalib


2. Asma’ bintu Umais (istri Ja’far)
3. ‘Amr bin Sa’id bin Al Ash
4. Fathimah bintu Shafwan bin Umayyah (istri ‘Amr)
5. Khalid bin Sa’id bin Al Ash
6. Aminah bintu Khalaf (istri Khalid)
7. Abdullah bin Jahsyin
8. Ubaidullah bin Jahsyin
9. Ummu Habibah bintu Abi Sufyan
10. Qais bin Abdillah
11. Barakah bintu Yasar (istri Qais)
12. Mu’aiqib bin Abi Fathimah
13. Utbah bin Ghazwan
14. Al Aswad bin Naufal
15. Yazid bin Zam’ah
16. Amr bin Umayyah
17. Thulaib bin Umair
18. Suwaibith bin Sa’ad
19. Jahm (ada yang mengatakan: Juhaim) bin Qais
20. Ummu Harmalah bintu Abdil Aswad (istri Jahm)
21. ‘Amr bin Jahm
22. Khuzaimah bin Jahm

29
23. Abur Rum bin Umair
24. Faras bin An Nadhr
25. Amir bin Abi Waqqash (saudara laki-laki Sa’ad bin Abi Waqqash)
26. Al Muththalib bin Azhar
27. Ramlah bintu Abi ‘Auf (istri Al Muththalib)
28. Abdullah bin Mas’ud
29. ‘Utbah bin Mas’ud
30. Al Miqdad bin Al Aswad
31. Al Harits bin Khalid
32. Raithah bintu Al Harits (istri Al Harits)
33. ‘Amr bin Utsman (paman Thalhah bin Ubaidillah)
34. Syammas bin Utsman
35. Hibar bin Sufyan
36. Abdullah bin Sufyan
37. Hisyam bin Abi Hudzaifah
38. ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah
39. Mu’tab bin ‘Auf atau Mu’tab bin Al Hamra’
40. As Sa-ib bin Utsman bin Mazh’un
41. Hathib bin Al Harits
42. Hithab bin Al Harits
43. Bintu Al Mujallal bin Abdillah (istri Hathib)
44. Fukaihah bintu Yasar (istri Hithab)
45. Muhammad bin Hathib
46. Al Harits bin Hathib
47. Sufyan bin Ma’mar
48. Jabir bin Sufyan
49. Junadah bin Sufyan
50. Hasanah (istri Sufyan)
51. Syarahbil bin Hasanah
52. Utsman bin Rabi’ah
53. Khunais bin Hudzaifah
54. Qais bin Hudzafah

30
55. Abdullah bin Hudzafah
56. Sa’id bin ‘Amr
57. Hisyam bin Al ‘Ash (saudara laki-laki ‘Amr bin Al Ash)
58. Umair bin Ri-ab
59. Abu Qais bin Al Harits
60. Al Harits bin Al Harits
61. Ma’mar bin Al Harits
62. Bisyr bin Al Harits
63. Mahmiyyah bin Juz-i Az Zubaidi
64. Ma’mar bin Abdillah
65. ‘Adi bin Nadhlah
66. An Nu’man bin ‘Adi
67. Malik bin Zam’ah
68. ‘Amrah bintu As Sa’di (istri Malik)
69. Abdullah bin Makhramah
70. Sa’ad bin Khaulah
71. Abdullah bin Suhail
72. Sulaith bin ‘Amr
73. As Sakran bin Amir
74. Saudah bintu Zam’ah (istri As Sakran)
75. Abu Ubaidah bin Al Jarrah
76. ‘Iyadh bin Ghanm
77. ‘Amr bin Al Harits
78. Utsman bin ‘Abdi Ghanm
79. Sa’ad bin Abdil Qais

[3] Boikot terhadap Kerabat-Kerabat Rasulullah


Setelah sebagian kaum muslimin menetap di Habasyah, masuk ke dalam
Islam paman Rasulullah, Hamzah bin Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu.
Peristiwa ini terjadi pada tahun keenam dari tahun kenabian.

31
Keislaman Hamzah itu diikuti oleh banyak orang. Orang-orang yang
memeluk Islam makin bertambah sejak tahun keenam itu. Salah satu di
antara mereka adalah Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang
masuk Islam di akhir tahun keenam dari tahun kenabian. Waktu itu, beliau
baru berusia 27 tahun.
Bersama Hamzah, Umar merupakan bentuk pertolongan Allah
subhanahu wa ta’ala kepada Islam di hari-hari penuh cobaan yang
menimpa para sahabat Rasulullah. “Kami,” kata Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, “terus menjadi mulia sejak Umar masuk Islam.” Dalam
riwayat lain, Ibnu Mas’ud mengatakan, “Masuk Islamnya Umar adalah
kemuliaan, hijrahnya adalah kemenangan, dan kepemimpinannya adalah
rahmat. Demi Allah, kami tidak sanggup mengerjakan shalat di sekeliling
Ka’bah secara terang-terangan hingga Umar masuk Islam.”
Setelah masuk Islamnya Hamzah dan Umar, kaum muslimin itu
ternyata kembali diuji Allah subhanahu wa ta’ala dengan ujian yang berat.
Pada tahun ketujuh dari tahun kenabian, pemuka-pemuka Quraisy
menawarkan kepada Rasulullah harta dan uang yang sangat banyak agar
beliau menghentikan dakwah. Rasulullah tentu saja menolaknya. Beliau
lebih memilih terus berdakwah mengajak orang untuk bertauhid dan
menjauhi kesyirikan.
Penolakan tersebut membuat mereka sepakat untuk meminta kepada
Bani Hasyim dan Bani Muththalib agar menyerahkan Rasulullah kepada
mereka. Mereka ingin membungkam Rasulullah dengan kekerasan. Akan
tetapi, Bani Hasyim dan Bani Muththalib yang tidak lain dari kerabat-
kerabat Rasulullah menolak permintaan itu.
Akibat penolakan seperti itu, kaum musyrikin Quraisy berkumpul
dan bersepakat untuk membuat sebuah perjanjian bersama. Perjanjian itu
berisi kesepatakan untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Muththalib
yang akan terus berlaku selama tidak mau menyerahkan Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Isi pemboikotan itu ditulis di lembaran yang ditempel di dinding
Ka’bah. Poin-poin pemboikotan terdiri dari kesepakatan-kesepatakan
untuk:

32
1. tidak berjual-beli dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib
2. tidak menikahi seorang pun dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib
3. tidak berbicara dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib
4. tidak duduk-duduk dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib

Yang menuliskan poin-poin di atas adalah Manshur bin Ikrimah bin Amir.
Rasulullah melaknat laki-laki itu, sehingga Allah takdirkan tangannya
menjadi lumpuh.
Mendapati usaha seperti itu, tidak membuat Bani Hasyim dan Bani
Muththalib gentar. Mereka, baik yang musyriknya ataupun yang
mukminnya, bersatu dan bersepakat untuk melindungi dan menjaga
keselamatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Satu-satunya anggota Bani Hasyim yang tidak ikut bergabung
bersama mereka adalah Abu Lahab. Ia memisahkan diri dari kerabat-
kerabatnya dan balik mendukung penuh usaha pemboikotan tersebut.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknatnya.
Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun. Dimulai sejak tahun
ketujuh dari tahun kenabian dan baru berakhir di tahun kesepuluh.
Selama pemboikotan itu berlangsung, Bani Hasyim dan Bani Muththalib
menyingkir ke lembah milik Abu Thalib. Mereka bahu-membahu
menguatkan satu sama lain.
Pada awalnya, keadaan masih bisa diatasi. Akan tetapi, semakin
bertambah tahun, keadaan Bani Hasyim dan Bani Muththalib semakin
bertambah buruk. Pasokan makanan mereka makin berkurang, karena
keterbatasan akses ekonomi. Puncaknya adalah ketika sebagian mereka
terpaksa memakan dedaunan karena kelangkaan bahan makanan.
Mereka juga diboikot dari semua pasar yang ada di Mekkah. Tidak
ada barang dagangan yang masuk ke Mekkah, kecuali segera dibeli oleh
orang-orang yang memboikot mereka. Lalu, orang-orang yang memboikot
itu juga mencegah agar tidak ada sedikit pun makanan dan dagangan yang
lolos ke Bani Hasyim dan Bani Al Muththalib, sampai-sampai terdengar

33
suara tangis kelaparan perempuan-perempuan Bani Hasyim dan Bani Al
Muththalib dari lembah itu.
Para sahabat Rasulullah yang tinggal di luar lembah itu
mendapatkan gangguan dan cobaan yang hebat dan bahkan lebih berat
daripada yang sudah-sudah. Mereka dihalangi untuk memberikan bantuan
kepada Bani Hasyim dan Bani Al Muththalib.
Abu Thalib yang menjadi pemimpin mereka sampai menggubah syair
untuk melukiskan keadaan miris itu. Di antara bait-baitnya, ada yang
berisi doa, “Semoga Allah memberikan balasan atas keburukan Abdu
Syams dan Naufal terhadap kita.”
Setelah tiga tahun pemboikotan berlangsung, Allah ta’ala
menurunkan pertolonganNya kepada Rasulullah dan orang-orang yang
melindungi beliau. Allah ta’ala takdirkan kesepakatan pemboikotan itu
dibatalkan sendiri oleh sebagian kaum musyrikin. Mereka yang sudah
berniat membatalkannya adalah Hisyam bin Amr dari Bani Lu-ay, Zuhair
bin Abi Umayyah Al Makhzumi, Abul Bukhturi bin Hisyam, Zam’ah bin Al
Aswad bin Abdil Muththalib, dan Muth’im bin Adi.
Di saat bersamaan dengan rencana pembatalan itu, Allah juga utus
rayap-rayap untuk menggerogoti lembaran kesepakatan tersebut, sehingga
tidak tersisa satu pun dari lembaran itu kecuali hanya tulisan nama Allah.
Allah ta’ala kabarkan kejadian ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk disampaikan kepada kerabat-kerabat beliau dan ini termasuk
dari mukjizat Rasulullah.
Habisnya lembaran kesepakatan itu dan keinginan sebagian kaum
musyrikin untuk mengakhirinya—meskipun Abu Jahal Amr bin Hisyam
tetap bersikukuh ingin terus mengadakan pemboikotan—menjadi sebab
berakhirnya pemboikotan. Bani Hasyim dan Bani Al Muththalib pun dapat
keluar dari lembah Abu Thalib ke tempat-tempat mereka di kota Mekkah
dan hidup bermasyarakat seperti semula.

[4] Wafatnya Abu Thalib dan Khadijah bintu Khuwailid


Enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan, Abu Thalib meninggal
dunia. Kejadian ini menjadi cobaan berikutnya bagi Rasulullah shallallahu

34
‘alaihi wa sallam. Meskipun enggan masuk Islam, Abu Thalib memiliki
peran besar dalam menjaga dan melindungi Rasulullah dari gangguan
orang-orang musyrik.
Bahkan, Abu Thalib-lah yang menjadi salah satu alasan kuat orang-
orang musyrik tidak melukai dan membunuh Rasulullah. Mereka segan
dengan kedudukan Abu Thalib di tengah-tengah Quraisy. Mereka
menghormati Abu Thalib, sehingga Rasulullah dapat leluasa
mendakwahkan risalah dari Rabbnya kepada orang-orang yang ada di
Mekkah.
Belum selesai duka atas wafatnya Abu Thalib, Rasulullah diuji
kembali dengan wafatnya istri beliau, Khadijah. Khadijah meninggal dunia
selang beberapa hari dari wafatnya Abu Thalib, di tahun kesepuluh dari
tahun kenabian.
Sebagaimana Abu Thalib, Khadijah memiliki peran yang tidak sedikit
dalam membantu dakwah Rasulullah. Bedanya, jika Abu Thalib tetap
bersikukuh di atas agama kesyirikan, Khadijah Allah ta’ala takdirkan
menjadi orang pertama yang beriman terhadap risalah yang dibawa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari yang semula hanya berperan sebagai istri, Khadijah tampil
sebagai penyokong penuh dakwah suaminya. Khadijah mendukung
suaminya berdakwah dengan bantuan moril dan materil. Bahkan, tidak
terhitung harta-benda yang beliau korbankan di jalan Allah untuk
membantu dakwah suaminya. Karena itu, pantaslah, jika sepeninggalnya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Khadijah,

‫َﻣﺎ ﺑْﺪَ ﻟ َ ِﲏ ا ُ َﻋﺰ َو َ ﻞ ْ ًَﲑا ِﻣ ْﳯَﺎ ﻗَ ْﺪ ٓ َﻣ َ ْﺖ ِﰊ ا ْذ َﻛ َﻔ َﺮ ِﰊ اﻟﻨ ُﺎس َو َﺻﺪﻗَ ْ ِﲏ ا ْذ َﻛﺬﺑ َ ِﲏ اﻟﻨ ُﺎس‬
‫َو َو َاﺳ ْ ِﲏ ِﺑ َﻤﺎ ِﻟﻬَﺎ ا ْذ َﺣ َﺮ َﻣ ِﲏ اﻟﻨ ُﺎس َو َر َزﻗَ ِﲏ ا ُ َﻋﺰ َو َ ﻞ َو َ َ ﻫَﺎ ا ْذ َﺣ َﺮ َﻣ ِﲏ ْو َﻻ َد اﻟ ِ ّ َﺴﺎ ِء‬
“Allah belum pernah menggantikan yang lebih baik dari Khadijah. Dirinya
mengimaniku ketika manusia mengingkariku. Ia membenarkanku ketika
orang lain mendustakanku. Ia mengorbankan seluruh hartanya ketika
orang lain menahan hartanya dariku. Dan melaluinyalah Allah

35
menganugerahiku anak ketika hal itu tidak diberikan kepada istri-istriku
yang lain.” [HR. Ahmad, hadits shahih]

Ditinggal wafat oleh dua orang tercinta itu, meninggalkan kesedihan


mendalam di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian kaum
muslimin menyebut tahun kesepuluh dari tahun kenabian ini sebagai ‘amul
huzni, tahun kesedihan. Meski demikian, tidak lama dari kejadian itu, Allah
subhanahu wa ta’ala menakdirkan terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Isra’ adalah peristiwa diperjalankannya Rasulullah pada malam hari
dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina dengan
ditemani Jibril ‘alaihis salam. Malaikat Jibril menemui Rasulullah di
Mekkah. Sebelum berangkat, dada Rasulullah dibelah dan jantung beliau
disucikan kembali oleh Jibril seperti yang pernah terjadi pada usia 4 tahun.
Setelah itu, Rasulullah pergi menuju Masjidil Aqsha dengan
mengendarai Buraq. Hewan ini memiliki tubuh lebih besar dari keledai dan
lebih kecil dari kuda. Satu langkah kaki Buraq bisa mencapai jarak sejauh
mata memandang, sehingga jarak tempuh Mekkah – Palestina yang biasa
dicapai sekian pekan itu dapat disingkat hanya dalam hitungan jam.
Dari Masjidil Aqsha, Rasulullah melakukan Mi’raj. Mi’raj adalah
peristiwa naiknya Rasulullah dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha.
Dinamakan dengan Sidratul Muntaha, karena ilmu para malaikat berakhir
di sana dan tidak ada yang bisa mencapainya seorang pun kecuali
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika peristiwa Mi’raj ini.
Dengan ditemani Jibril ‘alaihis salam, Rasulullah naik ke Sidratul
Muntaha melalui tujuh lapis langit. Di setiap lapis langit, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bertemu dengan beberapa orang nabi. Di langit pertama,
beliau bertemu dengan Nabi Adam ‘alaihis salam. Di langit kedua, Nabi Isa
dan Nabi Yahya ‘alaihimas salam. Di langit ketiga, Nabi Yusuf ‘alaihis
salam. Di langit keempat, Nabi Idris ‘alaihis salam. Di langit kelima, Nabi
Harun ‘alaihis salam. Di langit keenam, Nabi Musa ‘alaihis salam. Di langit
ketujuh, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.

36
Ketika di langit ketujuh, Rasulullah menjumpai Nabi Ibrahim sedang
bersandar ke Baitul Ma’mur. Ini adalah tempat yang setiap hari dimasuki
oleh 70.000 malaikat untuk beribadah kepada Allah dan mereka tidak
pernah keluar darinya.
Dari langit ketujuh, Rasulullah kembali naik menuju Sidratul
Muntaha. Di tempat itulah, beliau menerima perintah shalat lima waktu
yang wajib dikerjakan seorang muslim dalam sehari-semalam, tiga ayat
terakhir Surat Al Baqarah, dan Surat Al Fatihah.
Selama Mi’raj, Rasulullah mendapati banyak hal. Di antaranya,
beliau melihat wujud asli Jibril ‘alaihis salam. Beliau juga diperlihatkan
keadaan Surga dan Neraka. Yang terpenting dari itu semua, dalam perjalan
Mi’raj ini, Rasulullah diajak bicara langsung oleh Allah subhanahu wa
ta’ala dari balik hijab (penghalang) dan hijab Allah ini adalah cahaya,
sehingga Rasulullah tidak melihat wajah Allah secara langsung.
Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi dalam satu malam. Keesokan harinya,
Rasulullah didatangi Jibril kembali. Kali ini, Jibril datang menemui beliau
untuk menjelaskan tentang waktu-waktu shalat lima waktu. Sementara itu,
orang-orang Quraisy mendustakan apa yang baru saja dialami oleh
Rasulullah. Mereka tidak percaya dan semakin bertambah pendustaan
mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[5] Rasulullah Pergi ke Tha-if


Setelah Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah tidak memiliki orang yang
dapat menjaga dan melindungi beliau dan kaum musyrikin Quraisy
menyadari keadaan Rasulullah itu. Mereka pun semakin bersemangat
untuk mengganggu Rasulullah. Sekarang, mereka lebih berani dari
sebelumnya untuk menggunakan kekerasan.
Melihat keadaan seperti itu, Rasulullah berusaha mencari pihak yang
dapat menggantikan peran Abu Thalib terhadap dakwah. Beliau kemudian
mencoba menawarkan peran seperti itu kepada orang-orang Tsaqif yang
ada di Tha-if.
Beliau pun pergi ke Tsaqif, mendakwahi mereka kepada Allah,
mengajak mereka untuk menjaga dan membela beliau sampai risalah dari

37
Rabb beliau sempurna disampaikan. Ternyata, tidak ada seorang pun yang
lebih buruk penolakannya dan lebih keras gangguannya dari orang-orang
Tsaqif. Sampai-sampai, mereka giring anak-anak mereka untuk melempari
beliau dengan batu-batu, sehingga kedua tumit beliau yang mulia pun
berdarah.
Rasulullah diusir oleh orang-orang Tsaqif. Mendapat perlakuan
seperti itu, Rasulullah hanya membalas mereka dengan doa yang berisi
kebaikan untuk mereka. Beliau meminta kepada Allah agar memunculkan
dari tengah-tengah orang-orang Tsaqif generasi yang beribadah kepada
Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun juga.
Dalam perjalanan pulang menuju Mekkah, Rasulullah sempat
singgah di Nakhlah. Di sana, sekelompok jin menyimak bacaan Al Qur-an
Rasulullah.
Di antara yang mereka dengar waktu itu adalah lantunan ayat-ayat
dari Surat Ar Rahman. Ketika bacaan Rasulullah sampai pada

‫ﻓَ ِ ِّي ٓ َﻻء َ ِرّ ُﳬَﺎ ُ َﻜ ِّﺬ َ ِن‬


“Karena itu, nikmat mana lagi yang akan kalian berdua [bangsa jin dan
manusia] dustakan?” (QS. Ar Rahman: 13), mereka menjawab, “Tidak ada
satu pun dari nikmat-nikmatMu yang akan kami dustakan, wahai Rabb
kami, dan untukMu-lah segala pujian” yang ini akan menjadi sebab
masuknya sekelompok jin tersebut ke dalam Islam. Tentang ini, Allah ta’ala
menurunkan,

َ ‫ﴏﻓْ َﺎ اﻟ َ ْﯿ َﻚ ﻧ َ َﻔﺮ ًا ِّﻣ َﻦ اﻟْ ِﺠ ِّﻦ َْﺴ َﺘ ِﻤ ُﻌ‬


‫ﻮن اﻟْ ُﻘ ْﺮ ٓ َن‬ َ َ ‫َوا ْذ‬
“Dan ingatlah, ketika Kami hadapkan kepadamu [wahai Muhammad]
sekelompok jin yang mendengarkan Al Qur-an…” (QS. Al Ahqaf: 29), dan
juga surat,

‫ﻗُ ْﻞ و ِ َ ا َﱄ ﻧ ُﻪ ْاﺳ َﺘ َﻤ َﻊ ﻧ َ َﻔ ٌﺮ ِّﻣ َﻦ اﻟْ ِﺠ ِّﻦ‬

38
“Katakan [wahai Muhammad], ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa
sekelompok jin telah menyimak [bacaan Al Qur-an]’…” (QS. Al Jin: 1)

Setelah peristiwa itu, Rasulullah melanjutkan kembali perjalanan


beliau ke Mekkah. Beliau baru dapat masuk ke kota Mekkah setelah
mendapat jaminan keamanan dari Muth’im bin Adi yang waktu itu masih
dalam keadaan musyrik.

39
BAB VI

KAUM MUSLIMIN HIJRAH KE KOTA MADINAH

[1] Menawarkan Dakwah kepada Kabilah-Kabilah Arab


Setelah tidak berhasil di Tsaqif, Rasulullah berusaha menawarkan diri
kepada kabilah-kabilah Arab yang datang ke Mekkah di musim-musim haji
(jahiliyyah). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan diri beliau di
musim-musim haji (yang waktu itu masih sebagai haji jahiliyyah dan
kabilah-kabilah manusia.
Beliau menawarkan kepada siapa saja yang dapat melindungi dan
dapat membela beliau hingga selesai menyampaikan risalah dari Rabb
beliau. Sampai akhirnya, Allah memilih untuk hal itu orang-orang Aus dan
Khazraj yang datang dari kota Yatsrib—sebelum diganti nama menjadi
Madinah oleh Rasulullah.
Sebelumnya, orang-orang Aus dan Khazraj telah mendengar dari
sekutu-sekutu mereka, orang-orang Yahudi, bahwa akan ada nabi yang
akan diutus di zaman itu. “Kami,” ancam orang-orang Yahudi, “akan
mengikuti nabi itu dan akan membinasakan kalian bersamanya
sebagaimana kaum ‘Ad dibinasakan.”
Orang-orang Aus dan Khazraj sendiri biasa melakukan haji jahiliyyah
di Mekkah, sebagaimana kebiasaan kabilah-kabilah Arab waktu itu,
sedangkan orang-orang Yahudi tidak. Karena itu, ketika orang-orang dari
Yatsrib itu melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak
manusia ke jalan Allah dan mengamati keadaan beliau, mereka pun saling
mengatakan, “Kalian mengetahuinya, demi Allah, wahai kaum, bahwa
orang inilah yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi atas kalian. Karena
itu, jangan sampai mereka mendahului kalian.”
Mereka akhirnya menemui Rasulullah. Jumlah mereka waktu itu ada
6 orang dan semuanya berasal dari Khazraj. Di antara mereka, terdapat
As’ad bin Zurarah dan Jabir bin Abdillah bin Ri-ab As Sulami.

40
Rasulullah segera mendakwahkan Islam kepada mereka sampai
akhirnya mereka masuk Islam. Setelah itu, mereka pulang ke Yatsrib dan
mendakwahkan Islam. Akhirnya, berkembanglah Islam di sana. Sampai-
sampai, tidaklah ada satu rumah, kecuali dakwah Islam masuk ke
dalamnya.

[2] Baiat Al Aqabah yang Pertama dan Kedua


Pada tahun depannya, datang 12 orang dari Yatsrib. Mereka terdiri dari 6
orang pertama (selain Jabir) bersama ‘Ubadah bin Ash Shamit, Abul
Haitsam bin At Tayyahan, dan lain-lain. 6 orang yang sudah masuk Islam
pertama kali mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Di tengah-tengah kaum kami ada permusuhan dan keburukan yang terjadi di
antara mereka. Mudah-mudahan Allah mempersatukan mereka melaluimu.
Dan kami akan mendakwahi mereka agar mengikutimu. Seandainya Allah
mempersatukan mereka melaluimu, maka tidak akan ada seorang pun yang
lebih mulia darimu.”

Perlu diketahui, orang-orang Aus dan Khazraj adalah dua saudara


seibu dan seayah. Asal mereka dari Yaman, dari negeri Saba’. Ibu mereka
adalah Qailah bintu Kahil, seorang wanita dari Qudha’ah, sehingga orang-
orang Aus dan Khazraj disebut anak-cucu Qailah. Lalu, terjadilah di antara
mereka permusuhan akibat pembunuhan, sehingga muncul peperangan di
antara mereka selama 120 tahun dan baru berakhir ketika Islam datang
kepada mereka.
12 orang itu kemudian berbaiat kepada Rasulullah. Baiat adalah janji
setia. Peristiwa ini dikenal dengan Baiat Al Aqabah pertama.
Ketika mereka pulang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus bersama mereka Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu.
Rasulullah memintanya untuk membacakan Al Qur-an kepada orang-orang
Aus dan Khazraj dan mengajarkan Islam kepada mereka. Di Yatsrib,
Mush’ab tinggal di rumah Abu Umamah As’ad bin Zurarah.

41
Islam pun segera menyebar luas di Yatsrib. Setelah itu, Mush’ab baru
kembali ke Mekkah.
Pada musim haji tahun itu, banyak orang Aus dan Khazraj yang
datang ke Mekkah, baik dari kalangan muslimnya ataupun dari kalangan
musyriknya. Waktu itu, yang menjadi pemimpin rombongan adalah Al Bara’
bin Ma’rur radhiyallahu ‘anhu.
Di malam yang telah ditentukan, pada waktu sepertiga malam
pertama, 73 laki-laki dan 2 orang perempuan Aus dan Khazraj mengendap-
endap keluar menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunggu di Al Aqabah. Di sana, mereka berbaiat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam baiat mereka, mereka berjanji untuk
melindungi beliau seperti halnya melindungi istri-istri dan anak-anak
mereka serta kaum wanita mereka.
Yang pertama membaiat Rasulullah adalah Al Bara’ bin Ma’rur. Ikut
hadir waktu itu Al ‘Abbas bin Abdil Muththalib, paman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Abbas hadir untuk mengokohkan dan
memperkuat baiat yang dilakukan mereka terhadap keponakannya
tersebut. Padahal, waktu itu, Al Abbas masih memegang agama kaumnya.
Dari mereka yang hadir pada malam itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memilih dua belas pemimpin kaum. Mereka adalah:

1. As’ad bin Zurarah bin ‘Adas, Sa’ad bin Ar Rabi’ bin ‘Amr
2. Abdullah bin Rawahah bin Imri-il Qais, Rafi’ bin Malik bin Al ‘Ajlan
3. Al Bara’ bin Ma’rur bin Shakhr bin Khansa’
4. Abdullah bin ‘Amr bin Haram (beliau adalah ayah Jabir, pada malam
itu telah masuk Islam, radhiyallahu ‘anhu)
5. Sa’ad bin ‘Ubadah bin Dulaim, Al Mundzir bin ‘Amr bin Khunais
6. ‘Ubadah bin Ash Shamit.

Mereka bersembilan berasal dari Khazraj. Adapun dari Aus, ada tiga orang.
Mereka adalah:

1. Usaid bin Al Khudhair bin Simak

42
2. Sa’ad bin Khaitsamah bin Al Harits
3. Rifa’ah bin Abdil Mundzir bin Zanbar

Adapun 2 orang perempuan yang ikut dalam Baiat Al Aqabah yang kedua
ini, mereka adalah Ummu ‘Umarah Nusaibah bintu Ka’ab bin ‘Amr yang
putranya—Habib bin Said bin ‘Ashim bin Ka’ab dibunuh oleh Musailamah
Al Kadzdzab—dan Asma bintu ‘Amr bin Adi bin Nabi.
Setelah selesai baiat, mereka meminta izin kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi penduduk Al ‘Aqabah. Akan
tetapi, Rasulullah tidak mengizinkan mereka untuk seperti itu. Sebaliknya,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kaum muslimin Mekkah
untuk hijrah ke Madinah.

[3] Hijrah Diizinkan ke Yatsrib


Orang yang pertama hijrah ke Yatsrib dari kalangan penduduk Mekkah
adalah Abu Salamah bin Abdil Asad, ia dan istrinya, Ummu Salamah. Akan
tetapi, Ummu Salamah dipisahkan darinya dan tertahan selama setahun di
Mekkah.
Ummu Salamah juga dipisahkan dari putranya. Setelah setahun,
Ummu Salamah baru diizinkan pergi hijrah bersama putranya ke Madinah.
Yang menemani beliau adalah Utsman bin Abi Thalhah. Setelah itu,
barulah kaum muslimin berhijrah, rombongan demi rombongan. Sebagian
menyusul sebagian yang lainnya.
Ketika sebagian besar sahabat Rasulullah telah hijrah ke Yatsrib,
tidak ada yang tinggal dari kalangan kaum muslimin di Mekkah, kecuali
Rasulullah, Abu Bakar, Ali, dan beberapa sahabat Rasulullah yang ditahan
oleh kaum musyrikin Quraisy. Sementara Rasulullah menunggu izin dari
Allah subhanahu wa ta’ala untuk berangkat ke Yatsrib, Abu Bakar
menyiapkan segala perbekalan untuk perjalanan mereka.
Ketika suatu hari, kaum musyrikin berkumpul di sekitar rumah
Rasulullah untuk membunuh beliau, turunlah kabar dari langit kepada
beliau. Beliau pun menyelinap dan atas izin Allah ta’ala orang-orang

43
musyrik yang mengepung rumah itu tidak menyadari lolosnya Rasulullah
dari kepungan mereka.
Rasulullah segera menuju rumah Abu Bakar. Mereka lalu keluar dari
Mekkah menuju Gua Tsur. Mereka berdua telah membuat janji dengan
seorang penunjuk jalan agar datang kepada mereka membawa kedua unta
mereka setelah tiga hari.
Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi di dalam gua, sedangkan
orang-orang musyrik berusaha keras mencari mereka sampai mendatangi
gua. Allah membutakan mata orang-orang musyrik dari keberadaan
Rasulullah dan Abu Bakar hingga akhirnya mereka semua kembali ke
Mekkah dengan hasil yang nihil.
Ketika telah berlalu tiga hari dan kabar-kabar tentang pencarian
Rasulullah dan Abu Bakar telah mereda, orang yang bakal menunjuki jalan
mendatangi mereka membawa kedua unta mereka. Mereka segera
berangkat menuju Yatsrib.
Di tengah perjalanan, sempat muncul Suraqah bin Malik bin Ju’syum
yang ingin mengejar mereka. Ketika hampir mendekati mereka,
terjerembablah kaki-kaki kuda Suraqah bin Malik ke dalam tanah—sampai
hampir bangkit, kembali kudanya terjerembab. Kalau saja ia tidak meminta
jaminan dengan imbalan bahwa ia tidak akan menceritakan kabar
Rasulullah dan Abu Bakar, niscaya kudanya akan tetap seperti itu.
Rasulullah dan Abu Bakar kemudian melanjutkan perjalanan ke
Yatsrib. Mereka baru tiba di Quba pada waktu siang, hari Senin, 12 Rabiul
Awwal. Di sana, Rasulullah sempat membangun sebuah masjid. Beliau
tinggal di Quba dari Senin sampai Kamis.
Pada hari Jum’at, Rasulullah meneruskan perjalanan kembali ke
pusat kota Yatsrib. Beliau pun mendapati waktu shalat Jum’at di Bani
Salim bin Auf. Beliau singgah dan mengerjakan shalat Jum’at bersama
sahabat-sahabat yang tinggal di sana. Inilah shalat Jum’at pertama yang
beliau kerjakan di Yatsrib atau Madinah.
Tidak lama kemudian, Rasulullah meneruskan kembali perjalanan.
Beliau terus berjalan menunggangi unta sampai unta itu menderum di
lokasi masjid beliau sekarang. Setelah itu, Abu Ayyub Al Anshari membawa

44
tunggangan beliau dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di rumah
Abu Ayyub sampai berdiri masjid dan rumah-rumah beliau.

45
DAFTAR PUSTAKA

Abu Mujahid & Haneef Oliver. Virus Wahabi: Mitos Negatif bagi Salafy.
Bandung: TooBAGUS Publishing. 2010.

Adz Dzahabi, Muhammad bin Ahmad bin Utsman. Siyar A’lam An Nubala’:
Juz II (Cet. 11). Beirut: Mu-assasah Ar Risalah. 1417H/1996M.

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih As Sirah An Nabawiyyah.


Amman: Maktabah Al Islamiyyah. 1421 H.

Al Hakami, Ibnu Ahmad. Amali fi As Sirah An Nabawiyyah. TTp: TPn. TTh.

Al Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Ar Rahiqul Makhtum: Bahtsun fis Sirah


An Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdhalu Ash Shalatu was Salam.
Benares: Dar Ihya’ At Turats. Tth.

An Najdi, Muhammad bin Abdil Wahhab. Mukhtashar Sirah Ar Rasul (Cet.


II). Riyadh: Ri-asah Idarah Al Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta’.
1423H/2002M.

Ibnu Hazm, Ali bin Ahmad bin Sa’id. Jawami’ As Sirah An Nabawiyah.
Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah. 1434H/2003M.

Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. Al Fushul fi Ikhtishar Sirah Ar Rasul. Kuwait:
Darun Nawadir. 1431H/2010M.

46

Anda mungkin juga menyukai