Anda di halaman 1dari 268

fikrah

Vol. 1 N0. 2.
Juli- Desember 2013
ISSN : 2354-6174
Page: 1-206
fikrah

Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan


Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

MENIMBANG POKOK‐POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI IMAM AL‐


ASY'ARI DAN AL‐MATURIDI

Vol. 1 N0.2. Juli- Desember 2013


Fathul Mufid

OKSIDENTALISME SEBAGAI PILAR PEMBAHARUAN (Telaah


terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)
Abdurrohman Kasdi & Umma Farida

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA


Donny Khoirul Aziz

PLURALISME AGAMA MENURUT ANAND KRISHNA


Andi Hartoyo

IMPLIKASI PERENIAL ISLAM TERHADAP KEBERAGAMAAN UMAT


KONTEMPORER MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
Mas'udi

P ESA N DA KWA H DA L A M M E N Y E L ESA I K A N KO N F L I K


ISSN :2354-6174

PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH (Kasus Pembangunan Rumah


Ibadah Antara Islam dan Kristen Desa Payaman)

Diterbitkan oleh:
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51
Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322 Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JAWA TENGAH ‐ INDONESIA
FIKRAH
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
FIKRAH
FIKRAH
JurnalIlmu
Jurnal IlmuAqidah
Aqidahdan
danStudi
StudiKeagamaan
Keagamaan

Volume1,1 No
Volume Januari-Juni 2013
2. Juli - Desember 2013 ISSN: 2354-6174
ISSN: 2354-6174

PenanggungJawab
Penanggung Jawab
FathulMufid
Fathul Mufid

Redaktur
Redaktur
UmmaFarida
Umma Farida
Mas’udi
Mas’udi
Editor/Penyunting
Editor/Penyunting
AbdulKarim
Abdul Karim
AhmadAtabik
Ahmad Atabik Fikrah
Fikrah
Jurnal
Jurnal IlmuIlmu Aqidah
Aqidah dandan Studi
Studi Keagamaan
Keagamaan
DesainGrafis
Desain Grafis
Nur Sa’id
Nur Sa’id
Masdi Diterbitkan
Diterbitkan Oleh:
Oleh:
Masdi
Jurusan Ushuluddin Program Studi
Jurusan Ushuluddin Program Studi
Sekretariat
Sekretariat Ilmu Aqidah STAIN Kudus
Ilmu Aqidah STAIN Kudus
M.Nuruddin
M. Nuruddin Alamat
Alamat Redaksi
Redaksi
Ma’munMu’min
Mu’min Jl. Conge Ngembalrejo PO. Box. 51
Jl. Conge Ngembalrejo PO. Box. 51 Kudus Kudus
Ma’mun
59322. Telp. (0291) 432677. Fax. 441613.
59322. Telp. (0291) 432677. Fax. 441613.
Muchlisin
Muchlisin Email: msd.jufri@gmail.com
Email: msd.jufri@gmail.com
DwiSulistiono
Dwi Sulistiono Terbit 2 dua
Terbit 2 dua kalikali dalam
dalam satu
satu tahun
tahun
Marhamah
Marhamah Bulan Januari-Juni
Bulan Januari-Juni dandan
JuliJuli Desember
Desember
DAFTAR ISI

• Menimbang Pokok-pokok Pemikiran Teologi Imam


Al-Asy’ari Dan Al-Maturidi
—Fatkhul Mufid—..................................................... 207-230

• Oksidentialisme Sebagai Pilar Pembaharuan


(Telaah Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)
—Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida— ........... 231-252

• Akulturasi Islam dan Budaya Jawa


—Donny Khoirul Aziz—............................................. 253-286

• Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna


— Andi Hartoyo —.................................................... 287-304

• Implikasi Perensial Islam Terhadap Keberagaman


Umat Kontemporer Menurut Seyyed Hossein Nasr
—Mas’udi—................................................................ 305-334

• Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik Rumah


Ibadah (Kasus Pembangunan Rumah Ibadah antara
Islam dan Kristen di Desa Payaman Mejobo Kudus)
—Nur Ahmad— ......................................................... 335-364

v
• Pandangan Imam Az-Zamakhsyari Tentang Kalam
Allah (Al-Qur’an)
—Ma’mun Mu’min—................................................. 365-386

• Resolusi Konflik Berlatar Agama: Studi Kasus


Ahmadiyah di Kudus
—Moh.Rosyid—.......................................................... 387-412

• Mengkontruk Akhlak Kemanusiaan Dengan Teologi


Kepribadian Hasan Hanfi
—Manijo— . ............................................................... 413-448

• Memahami Konsep Hermeneutik Kritis Habermas


—Ahmad Atabik— ..................................................... 449-464

vi
PENGANTAR REDAKSI

Bismillahirrahmanirrahim
Dari ungkap syukur dan puji kepada Ilahi, Allah swt.,
serta salawat dan salam kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad
saw., kehadiran Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
pada Volume 2. No. 2., ini dapat hadir ke hadapan para pembaca.
Sebagaimana catatan dari Volume 1. No. 1., untuk edisi Januari
– Juni secara niscaya kehadiran jurnal ini merupakan sebuah
kesyukuran tiada terhingga. Kenyataan ini berpijak kepada
eksistensi kehadiran jurnal ini untuk pemenuhan kebutuhan
akademis para ahli di bidang Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan.
Dalam perkembangannya, Kajian Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan merupakan hakikat yang senantiasa hangat untuk
ditelaah dan dikaji. Sebagai alasannya, dinamika kehidupan
keagamaan masyarakat menjadi kenyataan yang senantiasa
menggejala dan berkembang. Tidak ketinggalan pula, fenomena
keberagamaan mereka menjadi hal penting yang akan senatiasa
mengembang dan bahkan terkadang berakibat kepada konflik
interest yang tiada kunjung berakhir. Di atas fenomena inilah
maka penting untuk memberikan wawasan yang cukup integral
terhadap dinamika keagamaan dan keberagamaan masyarakat
melalui jurnal ini.
Pada volume ini, Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan mengarahkan kajiannya kepada aspek-aspek teoritis
kajian aqidah dan keagamaan. Perspektif Ilmu Aqidah yang telah
dibangun oleh banyak ahli dikupas dengan mendetail untuk
memberikan sinergi keagamaan dan keberagamaan masyarakat
masa kini. Tidak ketinggalan pula, kajian tentang fenomena
keberagamaan masyarakat dengan indikasi-indikasi analisa

vii
konflik menjadi bagian yang dirumuskan untuk Volume 2. No. 2.,
Juli – Desember ini.
Besar harapan redaksi untuk menyumbangkan khazanah
pemikiran tentang Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan dalam
meningkatkan aspek-aspek mutual keagamaan dan keberagamaan
masyarakat. Besarnya harapan tersebut dituntut sepenuhnya
mampu terwadahi melalui rangkaian editorial data dalam jurnal
tersaji ini. Untuk itulah, dari semua cita dan idealitas yang
ingin diwujudkan tersebut, mudah-mudahan edisi ini memenuhi
keseluruhannya secara komprehensif. Semoga bermanfaat…..!!!

Kudus, Desember 2013

Redaksi

viii
MENIMBANG POKOK-POKOK PEMIKIRAN
TEOLOGI IMAM AL-ASY’ARI DAN AL-
MATURIDI

Fathul Mufid
STAIN KUDUS
Email: fathulmufid2@gmail.com

ABSTRAK

Latar belakang Al-Asy’ari berubah pendirian dari kedudukannya


sebagai pembela Mut’tazilah menjadi pembela faham salaf
di kalangan para ulama terjadi perselisihan dan merupakan
perdebatan yang terus berkembang. Akan tetapi terlepas
dari berbagai alasan yang diajukan para ahli, Al-Asy’ari
telah menjadikan pendapat-pendapatnya yang menyerang
Mu’tazilah, sebagai paham (aliran pemikiran) yang berdiri
sendiri dan paling banyak memperoleh pengikut. Empat puluh
tahun telah dihabiskan Al-Asy’ari dalam mengabdikan dirinya
di bawah naungan bendera teologi Mu’tazilah, namun secara
tiba-tiba Dia berbalik arah dan menjadi lawan tangguh yang
begitu telak menyerang Mu’tazilah. Dalam kitab Al-Ibanah
Al-Asy’ari telah memproklamirkan dirinya sebagai pembela
suara kebenaran dan pengikut sunnah, dan mengkategorikan
pengikut Mu’tazilah dan Qodariyah sebagai kelompok yang
telah melenceng dari kebenaran dan ahli bid’ah. Tokoh lain
yang oleh para ahli disepakati sebagai pendiri ahlus sunnah
wal jamah adalah Abu Manshur al-Maturidi. Jalan pemikiran

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 207


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Al-Maturidi lebih rasional ketimbang Al-Asy’ari sebagaimnna


tercermin dalam ajaran teologinya, sehingga kendatipun ia
banyak menyerang konstitusi Mu’tazilah namun ia lebih dekat
kepadanya ketimbang Asy’ariah. Bila demikian keadaannya,
maka posisi Al-Maturidi berada di antara dua kutub yang
senantiasa kontroversial yaitu, antara kutub Al-Asy’ariah yang
sangat ortodok karena lebih setia kepadaa sumber-sumber
Islam secara literal dengan kutub Al-Mu’tazilah yang sangat
rasional dan dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Oleh karena
itulah, maka ajaran-ajarannya kemudian dikelompokkan
secara tersendiri, dan para Mutakallimun memberi nama
madzhab yang satu ini dengan nama Al-Maturidiah. Bahkan
untuk selanjutnya aliran Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiah ini
diidentikkan sebagai madzhab Ahl Suunnah wa Al-Jama’ah.
Bahkan Sayid Murtadha Al-Zabidi, pengarang kitab “Ittihaf
Sadat Al-Muttaqin”, mengatakan: ”Apabila disebut ”Ahl al-
Sunnah wa Al-Jama’ah,” maka yang dimaksud adalah faham
”Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiah”.

Kata Kunci: Teologi, Mu’tazilah, Filsafat Yunani, Madzhab

Abu Al-Hasan Al-Asy’ari


Nama asli Abu Al-Hasan Al-Asy’ari ialah Ali Ibnu
Isma’il, keluarga Abu Musa Al-Asy’ary. Secara lengkap nama
itu adalah Abi Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi
Musa Al-Asy’ari. Ia dilahirkan di kota Bashrah tahun 260 H
dan wafat pada tahun 330 H (Musa, 1975: 165-166). Kapasitas
dan kapabilitas intelektual Al-Asy’ari dapat di ketahui dengan
sikap Al-juba’i yang sering mempercayakan kepadanya untuk
mengajarkan paham Mu’tazilah manakala sang guru Al-Juba’i
berhalangan. Barangkali karena itu pula mengapa Al-Asy’ari
sering disebut-sebut bakal menjadi pengganti Al-Juba’i dalam
melanjutkan missi Mu’tazilah, walaupun sebenarnya Al-Juba’i

208 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

sendiri mempunyai anak kandung bernama “Abu Hasyimi”


(Watt, 1979: 99).
Tentang motif teologis yang mendorong Al-Asy’ari
berubah haluan dari Mu’tazilah ke aliran salaf, para ahli terdapat
banyak versi yang dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama,
ketidakpuasan Al-Asy’ari atas jawaban Al-Juba’i berkaitan
dengan keadilan Tuhan yang diukur dengan menggunakan batas-
batas akal manusia. Suatu ketika Al-Asy’ari bertanya kepada sang
guru, Al-Juba’i tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa
yang sama-sama masuk surga karena imannya. Sesuai dengan
keadilan Tuhan menurut persepsi Mu’tazilah, orang dewasa
akan menempati surga yang lebih tinggi dibanding kedudukan
si anak. Mengapa harus begitu tanya Al-Asy’ari, yang dijawab
oleh sang guru karena yang dewasa telah melakukan amal
kebaikan. Kenapa si anak tidak diberi usia lebih panjang supaya
ada kesempatan melakukan amal baik, kejar Al-Asy’ari. Tuhan
tahu jika si anak dibiarkan hidup lebih panjang usianya, ia akan
tumbuh menjadi anak yang durhaka, kilah Al-Juba’i, padahal
Tuhan harus berbuat yang terbaik buat manusia. Kalau begitu,
kejar Al-Asy’ari lebih lanjut, bagaimana jika orang-orang yang
telah dijeblosken dalam neraka berteriak menuntut, mengapa
mereka tidak dimatikan saja ketika masih kecil, sehingga tidak
tumbuh menjadi orang yang durhaka. Al-Juba’i terdiam tak
menjawab (Rahman, 1984: 126).
Kedua, karena memperoleh petunjuk dari Nabi Muhammad
SAW lewat mimpi, di mana intinya Nabi memerintahkan kepada
Al-Asy’ari meninggalkan teologi rasionalistik dan kembali
berpegang pada ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul. Setelah
itu Al-Asy’ari mengurung diri di dalam rumah selama 15 hari
merenungkan apa saja yang telah diajarkan guru-guru Mu’tazilah,

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 209


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

kemudian setelah menemukan kemantapan jawabannya, Dia ke


Masjid dan mengumumkan bahwa dirinya telah meninggalkan
ajaran Mu’tazilah dan sebaliknya akan membela faham salaf
yang berpegang pada al-Qur’an dan As-sunnah.1
Di samping motif yang semata-mata bersifat teologis,
mungkin saja Al-Asy’ari kecewa dengan posisi kaum
Mu’tazilah yang sudah tidak lagi sesuai dengan situasi baru.
Setelah Al-Mutawakkil membatalkan keputusan Al-Ma’mun
tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara,
kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun. Apalagi setelah
Al-Mutawakkil memberikan penghargaan dan penghormatan
kepada Ibnu Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dengan demikian leluasalah orang-orang yang dikecewakan
dan disakiti Mu’tazilah untuk melakukan kritik dan serangan
kepada Mu’tazilah. Apalagi akibat ”mihnah” yang sangat tak
terlupakan oleh mayoritas masyarakat muslim, menjadi salah
satu faktor tersisihnya paham mu’tazilah di kalangan ummat.
Bahkan dalam situasi semacam di atas, di kalangan Mu’tazilah
terjadi perpecahan dan sebagian tokoh-tokohnya meninggalkan
barisan Mu’tazilah, seperti Isa Al-Warraq, Ahmad Ibnu
Rawandi. Itulah sebabnya menurut Harun Nasution mengapa
Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah. Kebetulan pada saat
yang sama belum ada teologi yang teratur yang dapat dijadikan
pegangan masyarakat. Ditambah dengan keraguan yang ada
dalam diri Al-Asy’ari, maka lengkaplah sudah dorongan untuk
menyusun teologi baru, yang kemudian terkenal dengan Teologi
(mazdhab) Al-Asy’ariyah, suatu nama yang dinisbatkan kepada
sang pendiri, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.2

1
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo, An-Nahdah, 1936), hlm. 67.
2
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta, Universitas Indonesia,
1986), hlm. 68.

210 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Mirip dengan kekecewaan di atas (walaupun latar


belakangnya berbeda), Al-Asy’ari melihat bahwa fungsi
mu’tazilah yang merupakan suatu upaya kompromi antara
golongan sunni dan Syi’ah, sudah tidak sesuai lagi dengan
situasi yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan Al-Mutawakkil
tampak cenderung kepada golongan sunni. Hal ini berakibat
terjadinya konsolidasi di kalangan sunni. Pada saat yang sama,
ketidakjelasan konsep golongan Rafidloh, telah digantikan oleh
bentuk ”imamah” yang lebih jelas. Dengan demikian telah terjadi
pengentalan baik pada faham Sunni maupun Syi’ah. Maka masa
depan Mu’tazilah dengan segala komprominya akan menjadi
kurang begitu penting (Watt, 1979: 100).

Pemikiran Teologi Al-Asy’ari


Inti pokok teologi Al-Asy’ari adalah Sunnisme. Hal ini
dikatakan sendiri dalam bukunya, misalnya dalam al-Ibanah.
Bahwa pedoman yang dianutnya adalah berpegang teguh
kepada kitab al-Qur’an, sunnah Rasul dan riwayat (shahih) dari
para sahabat, tabi’in dan pemuka hadist. Di samping itu, ia juga
akan mengikuti fatwa Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal (Al-Asy’ari, tt: 8). Selanjutnya pokok-pokok pandangan
al-Asy’ari secara rinci disimpulkan berikut :
1. Al-Qur’an sebagai Kalam Allah
Sebagai reaksi atau teologi Mu’tazilah, Al-Asy’ari
mengecam pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
diciptakan Allah, dan karenanya maka ia adalah ”mahluq”.
Golongan yang berpandangan semacam ini dikecam oleh Al-
Asy’ari sebagai pendapat yang mengadopsi pendirian orang
kafir yang mengenggap Al-Qur’an sebagai ucapan manusia
(In huwa illa qaul al-basyar). Bahkan lebih jauh Al-Asy’ari
berpendapat bahwa orang yang meyakini Al-Qur’an sebagai

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 211


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

mahluq adalah, kafir. Bagi Al-Asy’ari menentukan apakah


Al-Qur’an itu sebagai kalam Allah yang qadim atau sebagai
mahluq yang hadis (baru) adalah amat penting. Sebab di
sinilah letaknya apakah al-Qur’an memiliki otoritas atas
pendapat manusia atau tidak. Bagi Al-Asy’ari, al-Qur’an
adalah sumber otoritas yang harus dipedomani. Karena itu
ia mesti qodim dan bukan mahluk (seperti manusia). Sebab
memahlukkan al-Qur’an secara tidak langsung sebenarnya
telah berketetapan bahwa al-Qur’an (wahyu) tidak memiliki
otoritas yang dapat mendikte manusia. Pandangan sangat
berbahaya bagi keutuhan doktrin. Karena itu maka paham
keterciptaan manusia ditolak Al-Asy’ari. Berangkat dari
asumsi di atas, maka Al-Asy’ari berpendirian bahwa
memahami al-Qur’an tidak bisa hanya mengandalkan akal
tetapi harus mengikuti petunjuk Sunnah dan riwayat salaf
al-Mutaqadimin. Penalaran akal bisa digunakan selama
dapat memperjelas al-Qur’an (Al-Asy’ari, tt: 6-9).
Di sinilah Al-Asy’ari dinilai berhasil menjaga hak-hak
penafsirn, tanpa mengurangi hak-hak wahyu. Bahkan lebih
jauh ia juga dinilai telahh berhasil mendefinisikan al-Qur’an
secara benar sebagai sumber otoritas doktrin. Bertitik tolak
dari pandangan di atas, Al-Asy’ari dalam memahami nash
lebih bersifat leteral dan skriptural. Fungsi akal diletakkan
di bekakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri
sendiri. Ia (akal) bukanlah hakim yang mengadili. Spikulasi
apapun terhadap sesuatu yang sakral dianggap suatu bid’ah
(Kamal, 1994: 135).
2. Tuhan Memiliki Sifat
Dari beberapa ayat al-Qur’an, jelas disebut bahwa
Tuhan itu ALIM, mengetahui dengan pengetahuannya.
Bukan dengan Zat-Nya, dan mustahil Tuhan itu merupakan

212 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

pengetahuan. Di sini terlihat Al-Asy’ari menetapkan sifat


sama dengan kalangan salaf, namun cara penafsirannya
berbeda. Kaum salaf hanya menetapkan sifat kepada Tuhan
sebagaimana dalam teks ayat, tanpa melakukan pembahasan.
Bagi Al-Asy’ari, arti sifat berbeda dengan makna zat tetapi
bukan pula lain dari zat. Pemaknaan semacam ini seperti
tidak jauh berbeda dengan ungkapan Mu’tazilah. Bagi
mereka sifat sama dengan zat. Jika dikatakan bahwa
Tuhan mengetahui (Alim), maka ini artinya menetapkan
pengetahuan bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah zat-
Nya. Dan penetapan ini hanya digunakan untuk menjelaskan
bahwa Allah (Tuhan) itu tidak jahil.3
Jadi secara esensial ungkapan Al-Asy’ari dengan
Mu’tazilah sebenarnya tidak berbeda, hanya saja karena al-
Asy’ari ingin melakukan rekonsiliasi antara paham tasybih
dengan paham tanzih, maka ia berusaha melakukan abstraksi
terhadap sifat-sifat Tuhan. Menurut al-Asy’ari konsepsi
ketuhanan dengan sifat-sifat yang cenderung antropomorfis,
harus diabstraksi dan tidak boleh dipahami secara literal
(harfiyah). Dari paham tentang adanya sifat-sifat bagi
Tuhan, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat
di akhirat. Untuk mendukung pendirian ini ia mengutip
dalil naql dan resio. ”Wajah-wajah ketika itu berseri-seri
memandang kepada Tuhannya” (al-Qiyamah 22). Bagi Al-
Asy’ary yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak wujud.
Tuhan wujud, maka Ia dapat dilihat. Kata ”nadlirah” menurut
Asy’ary, tidak dapat diartikan ”memikirkan” sebagaimana
pendapat Mu’tatilah, sebab di alam akhirat bukan lagi
merupakan tempat berpikir (Al-Asy’ari, tt: 12-13).
3. Perbuatan Tuhan dan Teori Kasb

3
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, hlm. 75.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 213


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Berbeda dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa


Tuhan wajib berbuat yang terbaik untuk manusia, Al-
Asy’ari berpendapat sebaliknya. Bagi Asy’ary Tuhan tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dengan
kekuasaam-Nya yang mutlak. Tuhan bisa saja, memberikan
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki atau sebaliknya.
Ia juga berkuasa menyantuni orang-orang mukmin atau
menyesatkan orang-orang kafir. Bahkan lebilh dari itu,
semua Ia berkuasa menyantuni orang-orang kafir. Semua
yang terjadi dialam ini atas kehendak dan ketetapan Tuhan
(Al-Asy’ari, tt: 9). Bertitik tolak dari paham kekuasaan
mutlak tak terbatas yang dimiliki Tuhan, Al-Asy’ary
berpendapat bahwa Allah (Tuhan) tidak wajib berbuat adil.
Seperti dikatakan dalam Al-Luma’, sebagaimana dikutip
zainun Kamal, bagi Al-Asy’ari tidak dikatakan salah kalau
Tuhan memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam surga,
termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya, tidak bisa
dikatakan bahwa Tuhan itu dzalim, jika Ia memasukkan
seluruh ummat manusia ke dalam neraka.4
Pendirian Al-Asy’ary di atas tampakaya banyak diilhami
ayat-ayat al-Qur’an. Misanya ”Inna rabbaka fa’ aalun lima
yuridu” dan ayat ”Man yahdi Allahu fahuwa al-muhtadi wa
man yudhlil fa ulaika hum al-khasirun” Ayat-ayat inilah
yang mugkin mendorong Al-Asy’ari berpendirian bahwa
Tuhan memiliki kekuasaan mutlak dan karena itu ia dapat
berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya terhadap
makhluq ciptaan-Nya. Sebenarnya Al-Asy’ary sepekat
dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan itu Maha Adil, tetapi ia
tidak sepakat bahwa Tuhan harus adil. Tuhan mustahil

4
Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal Wa al Nihal (Mesir: Darul
Fikri, Ttt), hlm. 101.

214 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

tidak adil kata Al-Asy’ari sebab ketidakadilan itu berarti


merampas hak orang lain. Akan tetapi di alam semesta ini
tidak ada yang bukan milik Tuhan. Karena itu jika Tuhan
bertindak seperti yang tidak adil dengan alasan apapun,
Dia tetap tidak bisa dikatakan tidak adil. Di sini terdapat
kejanggalan menyangkut nilai intrinsik, yaitu bahwa Tuhan
diungkapkan tidak sesuai dengan citra-Nya. Tuhan memiliki
sejumlah nama atribut dan kwalitas. Diantaranya ialah bahwa
Dia itu Maha Kasih dan Santun, memiliki sifat Rahman dan
Rahim .Namun Al-Asy’ari mengkostruksi sebuah pandangen
religius tentang Tuhan dengan penggambaran akan ke-Maha
kuasaan ke titik yang hampir mengabaikan semua kualitas
Tuhan yang lain (Bakar, 1994: 96).
Berdasar prinsip ke-Maha Kuaasaan Tuhan, Al-Asy’ary
berpendirian bahwa manusia tidak memiliki kehendak
dan daya untuk melakukan sebuah pekerjaan. Apa yang
dikerjakan manusia adalah merupakah kehendak dan ciptaan
Tuhan. Tidak ada seorangpun yang mampu melakukan suatu
perbuatan sebelum perbuatan itu dikehendaki dan dicipta
oleh Tuhan (Al-Asy’ari,tt: 9). Dasar yang dipedomani
Al-Asy’ary ialah ayat ”Wa Allahu Khalaqakum wa ma
ta’malun”, dan ayat : ”Hal min khaliqin ghairu Allah” serta
ayat lain yang jumlahnya cukup banyak. Untuk menjelaskan
hubungan antara perbuatan Tuhan dengan perbuatan
manusia, Al-Asy’ari menetapkan teori ”kasb”. Dalam Al-
Luma’, sebagaimana dikutib Dr. Harun Nasution, arti kasb
ialah sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-Muktasib)
dengan perantaraan daya yang diciptakan.5
Dalam hal ini sebenarnya Al-Asy’ari ingin
mengkopromikan antara kelemahan manusia, di hadapan

5
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 107.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 215


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

kekuasaan Tuhan dan pertanggungjawaban manusia atas


perbuatan yang dilakukan Namun terkesan berbelit-belit.
Di satu pihak ia ingin menjelaskan tentang peran manusia,
tetapi dalam penjelasannya terungkap suatu keterangan
bahwa kasb itu sendiri hakikatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai peran efektif
dalam perbuatahnya. Karena itu teori ini mirip dengan
teorinya jabariyah moderat. Bahkan Ibnun Hazm dan Ibnu
Taimiyah menilainya sebagai Jabariyah murni. Karena itu
Al-Asy’ari dinilai gagal dalam menengahi faham Jabariyah
dan Qodariyah (Kamal, 1994: 141).
Akan tetapi menurut Usman Bakar, uraian Al-Asy’ary
tentang kasab ini dilandasi dengan teori atom yang
menyangkal adanya kausalitas Aristotalian. Menurut teori
ini materi, ruang dan waktu, serta alam semesta ini menjadi
wilayah keterpisahan, menjadi entitas kongkrit yang saling
bebas, tidak terikan satu sama lain. Tidak ada hubungan
antara satu momen eksistensi dengan yang selanjutnya.
Itulah sebabnya mengapa Asy’ary menyangkal bahwa ada
keterkaitan horisontal antara benda-benda. Lalu bagaimana
realitas yang terbagi-bagi dan terputus-putus ini menjadi
kesatuan yang teratur ? Adalah melalui kehendak Tuhan yang
mencipta segala sesuatu pada setiap saat, yang merupakan
kausa langsung dan satu-satunya sebab bagi eksistensi dan
kausalitasnya. Jadi kesatuan dan keselarasan alam semesta
ini karena ia dihadirkan dan diatur oleh suatu kehendak yang
Maha Tunggal, Nah, gagasan Al-Asy’ari tentang Tuhan
sebagai sebab tunggal segala sesuatu dan semua peristiwa,
menegaskan peran sebab-sebab sekunder di alam raya.
Tiada wujud berhingga yang tercipta yang dapat menjadi
sebab sekunder bagi sesuatu yang lain. Segala sesuatu tidak
memiliki fitrah untuk memiliki kekuatan. Apa yang disebut

216 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

sebagai kekuatan yang dimiliki oleh obyek-obyek alamiyah,


termasuk manusia, bukanlah sebuah kekuatan efektif karena
ia adalah kekuatan turunan (Bakar, 1994: 103).
4. Konsep Tentang Iman
Dalam Al-Ibanah ’An Usul Al-Diyahah, Al-Asy’ary
mengatakan bahwa iman itu menyangkut ucapan dan
perbuatan yang kadarnya bisa bertambah dan berkurang.
Memperhatikan pandangan ini maka Al-Asy’ari sebenarnya
mengakui bahwa amal itu penting bagi pembinaan
kualitas iman seseorang, dan iman itu akan mencapai
kesempurnaannya bila didukung oleh amal shalih. Akan
tetapi ketika Al-Asy’ary dihadapkan pada persoalan pendosa
besar, seperti para pelaku zina, pencuri dan peminum arak,
maka Ia berpendapat bahwa inereka itu tetap tidak dapat
dikatakan kafir, selama masih berkeyakinan bahwa apa yang
dilakukan itu merupakan perbuatan yang diharamkan (Al-
Asy’ari, tt: 10).
Dari pendapat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa iman, bagi Al-Asy’ary merupakan perbuatan hati,
jadi selama dalam diri seseorang masih terdapat kepercayaan
(tasdiq bi Al-Qalb), maka masih dapat disebut sebagai
mu’min (beriman), walaupun perbuatannya tidak sesuai
dengan keimanannya. Hanya saja yang tersebut terakhir
ini, menurut Asy’ary disebut fasiq karena perbuatannya
bertentangan dengan keimanannya. Bagi Al-Asy’ary,
predikat mukmin fasiq itu bisa dikumpulkan dalam diri
seseorang. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah ”al-
manzilu baina al-manzilataini” (Musa, hlm, 265).
Jadi, iman dalam perspektif Al-Asy’ari adalah pasif.
Hal ini terjadi karena Asy’ary mengikuti alur pemikiran
sunni, di mana konsep keimanannya tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari sejarah perkembangan pemikiran teologi

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 217


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

sunni. Seperti diketahui bersama, bahwa pemikiran teologi


muncul akibat pergumulan politik internal umat Islam, yang
mendorong terjadinya perdebatan tentang kriteria “mu’min-
kafir”. Adalah firqoh al-waqifiyah (bagian dari Hawarij)
yang pertama kali mempertanyakan apa hak kita mengurusi
seseorang sampai sejauh menilai apakah seorang itu mu’mn
atau kafir ? Menurut golongan ini kita harus berhenti pada
segi-segi lahiriyah saja, selebihnya kita serahkan kepada
Allah. Paham ini kemudian diadopsi oleh golongan Murji’ah,
di mana akhirnya menjadi unsur jama’ah. Teologi Al-Asy’ari
timbul sebagai refleksi situasi sosial dan kultur masyarakat,
yang mayoritas menganut faham “Jama’ah” atau dalam
istilah yang baku disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah.6

Abu Mansur Al-Maturidi


Nama lengkapnya adalah lmam Abu Mansur Muhammad
bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Nama Al-Maturidi
adalah nisbah pada suatu daerah di mana ia dilahirkan, daerah
itu dikenal dengan Maturidi atau Maturiti yang terletak di kota
Samarqandi, terkenal dengan “Ma wara’a, al-Nahr” atau “Ma wa
ra’a al-Nahr Jaihun ( First Encyclopaedia Islam, 1987 : 414).”
Oleh sebab itulah ia pun dikenal dengan nama Al-Syaikh Al-
Imam ‘Ilm Al-Huda Abu Mansur Muhammad bin Muhammad
bin Mahmud Al-Maturidi Al-Samarqandi. Sementara para
sejarawan merasa kesulitan untuk mendapatkan informasi yang
jelas mengenai kedua orang tuanya, demikian juga keadaan
keluargarnya, namun, oleh sebagian penulis Al-Maturidi
dinyatakan keturunan dari Abu Ayub Khalid bin Zaid bin Kalibi
Al-Anshari, yakni salah seorang sahabat yang rumahnya pernah
disinggahi Nabi SAW. Pada waktu beliau hijrah ke Madinah.

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan


6

Waqaf Paramadina, 1992), hlm. 17-18.

218 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Sehingga Imam Al-Bayadhi mengkaitkan kata Al-Anshari di


akhir nama Al-Maturidi (al-Maturudi, 1979: 2).
Demikian juga sejarah tidak mencatat secara pasti tentang
tanggal kelahirannya, namun DR.Ayub Ali memperkirakan
ia lahir sekitar tahun 238 H / 852 M. Dasar pertimbangannya
antara lain, salah seorang guru Al-Maturidi, yaitu Muhammad
bin Muqalil Al-Razi, meninggal dunia tahun 248 H / 862 M.
Dengan demikian juga dapat dikatakan Al-Maturidi hidup pada
masa khalifah Al-Mutawakil, yang memerintah pada tahun 232–
247 H /847–916 M. Kendatipun perkiraan Ayub Ali tersebut
mempunyai dasar pertimbangan historis, namun angka pasti
tahun kelahiran Al-Maturidi tersebut masih perlu penelitian
lebih lanjut. Tetapi yang jelas, ia lahir sekitar pertengahan abad
ketiga hijriyah danwaf at pada tahun 333 H bertepatan dengan
tahun 944 H di Samarqan (Abbas, 1988: 34).
Mengenai perjalanan pendidikannya ia berguru kepada
para ulama terkemuka, diantaranya ; Abi Nasr Al-‘Iyadhi, dia
belajar fiqh kepada Abu Bakar Ahmad Al-Janzani, dari Abi
Sulaiman Al-Janzani, dari Muhammad, dari Abi Hanifah Al-
Zabidi berkata : “Al-Maturidi berguru kepada Imam Abi Nasr
Al-‘Iyadi ... dan dari gurunya, Al-Imam Abu Bakar Ahmad
bin Ishaq bin Shalih Al-Janzani, pengarang kitab Al-Farq wa
Al-Tamyiz. Dan di antara guru Al-Maturidi yang lain adalah
Muhammad bin Muqatil Al-Razi, seorang ulama yang sangat
mengagungkan akal. Adapun Abu Bakar Al-Janzani, Abu Nasr
Al-’Iyadi, dan Nasr bin Yahya semuanya belajar fiqh kepada
Imam Abi Sulaiman bin Musa bin Sulaiman Al-Janzani dan ia
belajar kepada dua imam, yakni Imam Abi Yusuf dan Muhammad
bin Al-Hasan. Muhammad bin Muqatil dan Nasr bin Yahya juga
belajar fiqh kepada Imam Abi Mathi Al-Hakim bin Abdullah
Al-Balakhi dan kepada Imam Abi Muqatil Hafsh bin Muslim

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 219


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Al-Samarqandi. Muhammad ibnu Muqatil juga belajar fiqh


dari Muhammad bin Al-Hasan. Meraka berempat (Abi Yusuf
Muhammad bin Al-Hasan, Abi Mathi’ Al-Hakim bin Abdullah
Al-Balakhi, dan Abi Muqatil Hafsh bin Muslim Al-Samarqandi)
berguru kepada Imam Abi Hanifah (Al-Maturidi, 1979: 5).
Adapun karya-karyanya yang orisinal adalah kitab Al-
Jadal, Al-Ushul fi Ushul Al-Din, Al-Maqalat fi Al-Kalam, Kitab
Al-Tauhid, Rada’ Awa-il Al-Adillah, li Al-Ka’bi, Radd Tahdzib
Al-Jadal li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al- Khamsan Ali Abi
Muhammad Al-Bahili, Radd I’mamah li Ba’dhi Al-Rawafidh,
Al-Radd ‘ala Al-Qaramithan, Bayan, Wahm Al-Mu’tazilah,
Radd Wa’id Al-Fussaq li Al-Ka’bi, Risalah Al-Aqa’id, Syarh
Al-Fiqh Al-Akbar, dan lain sebagainya. Namun kendatipun
begitu banyak hasil karyanya, sampai saat ini kita kesulitan
untuk mendapatkannya. Oleh karena itu wajar bila Harun
Nasution menyayangkan keadaan seperti ini, sebab sampai saat
ini karangan-karangannya tersebut belum dapat diterbitkan
dan masih dalam bentuk manuskrip atau makhtutat. Sementara
buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte, seperti
buku Al-Syahrastani, Ibn Hazm, Al- Baghdadi, tidak memuat
keterangan-keterangan tentang Al-Maturidi atau pengikutnya.
Dengan demikian, salah satu jalan untuk melacak pendapat-
pendapatnya adalah dengan mempelajari buku-buku yang
dikarang oleh pengikut-pengikutnya, seperti Isyarat Al-Maram
dikarang oleh Al-Bayadi, dan Ushul Al-Din, dikarang oleh Al-
Bazdawi.7

Pokok-Pokok Pikiran Al-Maturidi


Sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di halaman
muka bahwa Imam Al-Maturidi banyak dipengaruhi oleh

7
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 76.

220 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

pola fikir Imam Abi Hanifah, yang banyak memakai rasio


dalam pendangan keagamaannya, maka tak heran jika ia pun
banyak menggunakan kakuatan akal dalam sistem teologinya.8
Oleh karena itu, kendatipun ia sama-sama menentang faham
Mu’tazilah dengan Imam Al-Asy’ari ternyata banyak fahamnya
yang kontroversi dengan Asy’ari sendiri dan ketika itu ia justru
sependapat dengan Mu’tazilah. Demikian juga sebaliknya
ketika ia sependapat dengan Asy’ari, secara tidak langsung Al-
Maturidi pun bersikap konfrontatif dengan Mu’tazilah. Khusus
pertentangannya dengan Al-Asy’ari, Syekh Muhamnad Abduh
menjelaskan hal itu tak lebih dari sepuluh masalah saja (Nasir,
1994: 169).
Di antara pemikiran-pemikirannya dalam masalah
teologi adalah :
1. Mengenai al-Qur’an
Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari demikian
juga dengan Abi Hanifah bahwa Kalam Allah adalah qadim.
Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang
qadir, tidak dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak
ada permulaannya. Adapun huruf-huruf muqaththa’ah
bentuk-bentuk, warna-warna, suara-suara dan segala
sesuatu yang tertentu dan segala sesuatu yang ada di alam
dari al-Mukaffayat, adalah makhluk yang berpermulaan dan
diciptakan. Dan sesungguhnya Kalam Allah SWT adalah
sifat yang ada dengan dzat Allah Ta’ala, yang tidak tersusun
dari huruf-huruf dan suara-suara.
Dalam masalah ini ada sedikit perbedaan antara Imam
Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi, Asy’ari sependapat dengan
Ibn ’Azbah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Kalam
Allah adalah “isim musytarak” yang dapat dibagi dua,
8
Ibid., hlm. 70)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 221


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

yakni KalamNafsi yang qadim, dan yang kedua adalah


kalam yang terdiri dari lafadz-lafadz dan huruf-huruf yang
baru. Sementara Al-Maturidi sependapat dengan Imam
Abi Hanifah. Sebagaimana DR, Qasim, mengatakan :
“Al-Maturidi membagi menjadil dua pula, pertama Kalam
Nafsi, dalam artian “al-Qadim al-Qaim bi Dzatihi”, yaitu
kalam yang bukan sejenis perkataan manusia, kalam yang
tidak berupa huruf-huruf dan suara-suara, yang demikian
ini adalah sifat dzat bagi-Nya. Kedua adalah kalam yang
tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara, maka tidak ragu
lagi kalam yang seperti ini adalah baru dan makhluk. Jadi
bila kita liltat, perbedaanya itu hanya sedikit sekali, yakni
perbedaan formulasi dan pengungkapan kalimat saja yang
satu sependapat dengan Ibn Azbah dan yang satunya lagi
sependapat dengan Abi Hanifah (Musa, tt: 300).
2. Mengenai Sifat Allah SWT
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan
di antara Imam Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya
Tuhan juga mempunyai sif at-sifat, seperti adanya nash
yang menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya dengan
sifat mendengar dan mellihat. Maka menurut pendapatnya,
Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi dengan
pengetahuannya, tetapi Dia tidak seperti pengetahuan (al-
’Ulm), Dia juga berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi
dengan Kekuasaan-Nya, tetapi Dia tidak seperti kekuasaan
(al-Qudrah), Dia mendengar bukan dengan dzat-Nya, tetapi
dengan pendengaran-Nya, dan Dia tidak seperti pendengaran
(al-Asma’), begitu pula Dia melihat, tetapi bukan dengan
dzat-Nya, Dia melihat dengan penglihatan-Nya dan Dia
tidak seperti penglihatan (al-Abshar) (al-Maturidi, 1979:
10).

222 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

Mengenai sifat-sifat Tuhan ini, ada sedikit perbedaan


redaksi antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari, demikian
juga dengan Abu Hanifah. Perbedaannya dengan Imam Al-
Asy’ari, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki
sifat-sifat azali yang ada pada dzat-Nya, sifat itu bukan
dzat, tetapi juga bukan lain dari dzat (as-Syahrastani, tt:
95). Sedangkan perbedaan antara Al-Maturidi dengan Abi
Hanifah adalah Ia tidak berusaha membagi sifat itu menjadi
sifat dzat dan sifat af’al (wa Al-Maturidi la Yufarriqu baina
sifat al-dzat wa sif al Af’al). Sementara Imam Abi Hanifah
membaginya menjadi dua bagian, yakni sifat dzat dan sifat
af’al. Yang termasuk sifat dzat adalah al-Hayat, al-Qudrat,
al-‘Ilm, al-Kalam, al-Sama’, al-Bashar, al-Iradat. Sementara
sifat af’al di antaranya adalah al-Takhliq, al-Tarziq, al-
Insya’, dan al-Ibda’, yang berupa sifat-sifat perbuatan Abu
Hanifat juga mengatakan : Kanallahu aliman bi’ilmihi wa al-
’ilmu sifat fi al-ajal, wa qadiran biqudratihi... wa al-qudrat
sifat fi al-ajal, wa mutakalliman bi kalamihi wa al-kalam
sifat al-ajal, wa khliqan bi takhlilqihi wa litakhliq sifat fi
al-ajal, wa fa’ilan bi fi’lihi wa al-fi’lu sifat fi al-ajal. Beliau
juga mengatakan : Beliau adalah Allah, perbuatan adalah
sifat sejak zaman ajali, yang dilakukan adalah makhluk dan
perbuatan Allah bukan makhluk dan sifat-Nya di zaman
azali tidak baru dan bukan makhluk, maka barangsiapa
mengatakan bahwa sifat-sifat itu makhluk atau baru atau
meragukan keberadaannya, maka berarti ia sudah inkar
dengan Allah SWT (Hanifah, 1324: 2).
Dalam masalah sifat Allah ini, penyusun menyimpulkan
bahwa pada dasarnya antara Imam Al-Maturidi, al-Asy’ari
dan Abi Hanifah sepakat mengakui adanya sifat bagi Allah.
Namun dengan kapasitas dan latar belakang pendidikannya

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 223


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

mereka berusaha menjelaskannya untuk meyakinkan manusia


dengan formulasi kalimat masing-masing, terutama hal ini
terjadi antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Sementara
pendahulunya, yakni Abi Hanifah menjelaskan secara lebih
detail, sehingga melahirkan adanya sifat dzat dan sifat af’al.
Namun satu hal saja yang penyusun sayangkan, di mana
Abu Hanifah mengkultuskan kafir terhadap orang yang
tidak sejalan dengan pendapatnya tersebut, yang justru hal
ini bisa menjerumuskannya pada jurang subyektifitas yang
lebih dalam.
3. Masalah Iman dan Islam
Syaikh Zadah menjelaskan ; ”Telah terjadi perbedaan
pendapat antara Imam-Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari
dalam masalah hakikat iman, apakah ia wajib dengan akal
atau tidak, apakah ia bertambah atau tidak ? Demikian juga
terjadi, perbedaan pendapat maksud al-Iman dan al-Islam,
iman taqlid bagaimana pengecualian dalam masalah iman
dan apakah iman itu makhluk atau bukan ? Ibn ’Idzbah
menjelaskan adanya perbedaan pendapat antara keduanya
dalam maslalah ”Istitsna fi al-Iman” dan “Iman taqlid”.
Syaikh Zadah menjelaskan sesungguhnya al-Iman menurut
Al-Maturidi adalah ”al-Iqrar wa al-Tashdiq”, yakni ikrar
dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Sementara orang-
orang Al-Asy’ariah mensyaratkan iman dengan membaca
dua kalimah syahadat sebagai bukti adanya pembenaran.
Argumentasi Al-Maturidi sesungguhnya iaman secara
bahasa adalah pembenaran (al-Tashdiq), sementara tashdiq
kadang dengan hati, kadang dengan lisan. Sementara orang-
orang Asy’ariah berpandangan sesungguhnya tempat
pembenaran (al-Tashdiq) adalah hati, sementara tempat ikrar
adalah lisan dengan membaca dua kalimah syahadat. Jadi

224 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

keduanya merupakan rukun iman. Mereka ini pada dasarnya


mengembalikan argumentasinya kepada QS. Al-Mujadalah
ayat 22, sebagai dalil bahwa iman adalah pembenaran
dengan hati saja (Nasyah, tt: 284).
Syaikh Zadah mengatakan, sesungguhnya pembenaran
(al-Tashdiq) menurut Al-Asy’ari adalah “Kalam linafs
masyruth bi al-Ma’rifah”, atau dengan kata-kata
A-Syahrastani, pembenaran (al-Tashdiq) menurut Al-Asy’ari
adalah Qaul fi nafsi, yatadhamman ma’rifatullahi.” Dengan
demikian, iman menurut Al-Asy’ari dapat bertambah dan
dapat berkurang. Sementara Al-Maturidi sependapat dengan
Abi Hanifah, iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Abu
Hanifah, mengatakan:”Tidaklah tergambarkan bertambahnya
iman, kecuali dengan berkurangnya kekufuran. Demikian
juga tidak dapat tergembarkan berkurangnya iman kecuali
dengan bertambahnya kekufuran” (Nasyah, tt: 285).
Lalu bagaimana keberadaan akal dalam masalah iman
ini, apakah wajib dengan akal atau dengan syari’at ? Bagi
Al-Maturidi, iman wajib dengan akal. Ia berpendapat :
”Sekiranya Allah SWT tidak mengutus seorang rasul kepada
manusia, maka wajib atas mereka mengetahui adanya Allah
dengan melalui akalnya, baik yang berhubungan dengan
sifat al-Hayat, al-’Ilm al-Qudrat, dan lain sebagainya.
Sementara orang-orang Al-Isy’ariah berpendapat : ”Tidak
wajib iman dan tidak haram kufur sebelum adanya utusan,
maka menjadi ’udzur bagi generasi yang sudah jauh dan
belum sampai dakwah kepadanya (Nasyah, tt: 286).
4. Masalah Melihat Allah SWT
Dalam hal Ru’yatullah, Al-Maturidi sejalan dengan
golongan Al-Asy’ariah, bahwa Tuhan kelak dapat dilihat
oleh manusia. Ia berusaha mengajukan silogisme sebagai

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 225


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

berikut : tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud,


setiap berwujud pasti dapat dilihat dan karena Tuhan
berwujud maka Tuhan pasti dapat dilihat. Silogisme tersebut
secara tidak langsung menunjukkan adanya kontroversi
dengan pendapat golongan Mu’tazilah yang mengatakan;
”Innallaha Ta’ala la yura bi al-hal min al-ahwal”. Demikian
juga berbeda dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh
golongan Musyabbihah, yang mengatakan ; ”Innallah yura
mukayyafan mahdudan al-marayat” (Al-Maturidi, 1979:
13).
Lalu bagaimana Tuhan, dapat dilihat ? Dalam hal ini,
Imam Al-Maturidi mengatakan: ”Dia (Tuhan) dapat dilihat
bukan dalam dimensi suatu keadaan (al-hulul), batas-
batas (al-hudud) atau dalam dimensi bentuk. Sebagaimana
kita melihat, Dia bukan sesuatu yang dibatasi dan tidak
dibentuk, maka demikianlah, kita melihat-Nya, bahwa Dia
tidak dibatasi dan tidak dibentuk. Tetapi yang jelas,
bagi Al-Maturidi melihat Allah adalah sesuatu yang mesti
ada (terjadi) tanpa adanya penawaran atau interpretasi,
yaitu tanpa mempunyai bentuk. Sementara al-kaifiyah ada
gai sesuatu yang memiliki bentuk, akan tetapi Dia dapat
dilihat dengan tanpa sifat ; berdiri dan duduk, bertelekkan
dan bergantung, berhubungan dan tidak berhubungan,
berhadap-hadapan dan membelakangi, pendek dan panjang,
terang dan gelap, diam dan bergerak, bersentuhan dan
bertolakan, di luar dan di dalam, dan tidak ada angan-angan
yang mampu mengambil maknanya. Akal juga tidak akan
mampu, karena ke Maha Agungan Allah SWT. Dan satu
hal lagi, orang-orang Mu’min hanya dapat melihat Allah di
akhirat kelak. Namun dalam hal ini ada sedikit perbedaan
antara Maturidi dengan Asy’ari, bagi Maturidi melihat Allah

226 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

merupakan sesuatu yang terjadi tanpa adanya interpretasi,


yakni kita dituntut untuk beriman adanya Ru’yatullah,
karena ada adanya penjelasan dari al-Qur’an dari al-Sunnah,
sementara akal tidak akan sanggup (tidak usah mancari)
alasan ditetapkannya ”Ru’yatullah”. Adapun bari Al-
Asy’ari, ia berpendapat mungkin saja akal mampu membuat
argumentasi mengenai ”Rulyatullah” (Al-Maturidi, 1979:
24).
5. Masalah Dosa Besar
Dalam masalah ini, golongan Khawarij berpendapat,
bahwa orang yang melakukan dosa besar dihukum kafir
atau musyrik. Berbeda dengan golongan Murji’ah, mereka
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap
dihukumi sebagai seorang Mu’min. Adapun soal dosanya
yang mereka buat, ditunda penyelesaiannya sampai kelak
di hari akhirat (perhitungan). Sementara bagi Mu’tazilah
orang-orang yang demikian itu, tidak dihukumi sebagai
seorang kafir, juga bukan seorang Mu’min, akan tetapi fasik
yang menduduki posisi di antara dua tempat (posisi), atau
sering dikenal “al-Manzilah baina al- Manzilatain.”.9
Sementara Al-Maturidi tidak sefaham dengan yang
pertama (Khawarij), maupun yang terakhir (Mu’tazilah).
Dalam hal ini kelihatannya ia lebih cenderung kepada
pendapat yang kedua (Murji’ah), demikian juga dengan
maha gurunya, Abu Hanifah. Bagi Maturidi orang yang
berdosa besar (seperti zina dan membunuh) tetap dikatakan
sebagai seorang Mu’min. Adapun bagaimana nasibnya kelak
di akhirat, terserah kepada Tuhan. Hemat penyusun, wajar
dia berpendapat demikian, sebab baginya iman dan Islam
adalah sama. Kalau keberadaan iman yang ”La yazid wala

9
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 43.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 227


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

yanqush” maka Islam pun tentu tidak jauh dari itu. Pendapat
Al-Maturidi di atas sejalan dengan guru utamanya, Abu
Hanifah y ang mengatakan bahwa seorang Muslim tidak
bisa menjadi kafir dengan berbuat dosa, kendatipun itu
adalah dosa besar (Hanifah, 1324 H: 5).
6. Masalah Baik dan Buruk
Syaikh Zadah menjelaskan (Nasyah, tt: 298) ;
Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat antara
golongan Al-Asy’ariah dengan golongan Al-Maturidiah
ketika membahas masalah baik dan buruk. Dalam hal ini
Maturidiah lebih dekat kepada Mu’tazilah. Ia berpendapat
bahwa sesungguhnya akal mampu mengidentifikasi sesuatu
yang baik dan buruk. Sementara Al-Asy’ariah berpendapat
lain, mereka memandang bahwasanya akal tidak mampu
mampu mengetahui baiknya sesuatu dari sesuatu, demikian
juga akal tidak mampu mengetahui jeleknya sesuatu dari
sesuatu. Dan sesungguhnya jalan ke arah sana hanya dapat
diketahui dengan melalui Syar’i. Maka dengan demikian,
sesuatu yang baik adalah sesuatu yang dipesan oleh Syar’i,
dan akan mendapat pahala bari yang melaksanakannya. Dan
kejelekan adalah sesuatu yang dijelaskan oleh Syar’i dan
akan mandapat dosa bagi siapa saja yang melakukannya.

Kesimpulan
Berangkat dari pembahasan di atas, dapat dipetik
beberapak kesimpulan sebagai berikut:
1. Jalan pemikiran Al-Maturidi lebih rasional ketimbang Al-
Asy’ari sebagaimnna tercermin dalam ajaran teologinya,
sehingga kendatipun ia banyak menyerang konstitusi Mu’tazilah
namun ia lebih dekat kepadanya ketimbang Asy’ariah. Bila
demikian keadaannya, maka posisi Al-Maturidi berada di

228 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

antara dua kutub yang senantiasa kontroversial yaitu, antara


kutub Al-Asy’ariah yang sangat ortodok karena lebih setia
kepadaa sumber-sumber Islam secara literal dengan kutub Al-
Mu’tazilah yang sangat rasional dan dipengaruhi oleh filsafat
Yunani.
2. Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah, kebetulan pada
saat yang sama belum ada teologi yang teratur yang dapat
dijadikan pegangan masyarakat. Ditambah dengan keraguan
yang ada dalam diri Al-Asy’ari, maka lengkaplah sudah
dorongan untuk menyusun teologi baru, yang kemudian
terkenal dengan Teologi (mazdhab) Al-Asy’ariyah, suatu
nama yang dinisbatkan kepada sang pendiri, Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari
3. Oleh karena itu, kendatipun ia sama-sama menentang
faham Mu’tazilah dengan Imam Al-Asy’ari ternyata banyak
fahamnya yang kontroversi dengan Asy’ari sendiri dan ketika
itu ia justru sependapat dengan Mu’tazilah. Demikian juga
sebaliknya ketika ia sependapat dengan Asy’ari, secara tidak
langsung Al-Maturidi pun bersikap konfrontatif dengan
Mu’tazilah. Khusus pertentangannya dengan Al-Asy’ari,
Syekh Muhamnad Abduh menjelaskan hal itu tak lebih dari
sepuluh masalah saja (Nasir, 1994: 169).

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 229


Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi ......(Oleh: Fathul Mufid)

DAFTAR BACAAN

Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Kairo, An-Nahdah, 1936.


Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal Wa al Nihal, Darul, Fikri
Mesir, Tanpa tahun
Al-Ghuroby, Ali Mustofa, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Kairo,
1958
Al-Maturidi, Abu Mansur, Kitab At-Tauhid, University Library,
Cambridge, Tanpa tahun
Al-Bazdawi, Abu Al-Yusr Muhammad, Ushul Al-Diin, Ed, Dr.
Hans Peterr Lins, Kairo, 1963.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia,
1986.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan
Waqaf Paramadina, 1992.

230 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


OKSIDENTALISME SEBAGAI PILAR
PEMBAHARUAN
(Telaah terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)

Abdurrohman Kasdi & Umma Farida


STAIN Kudus
Email: rahman252@yahoo.co.id

ABSTRAK

Oksidentalisme yang diusung oleh Hassan Hanafi


memperjuangkan netralitas perspektif antara ego (Timur)
dengan the other (Barat). Relasi keduanya harus dibongkar
dari hierarkinya yang superior dan inferior menuju model
dialektika yang berimbang. Bukan untuk saling dibenturkan,
melainkan hubungan dialektis yang saling mengisi dan
melakukan kritik antara yang satu dengan yang lain, sehingga
terhindar dari relasi yang hegemonik dan dominatif dari dunia
Barat atas dunia Timur.
Sejatinya, oksidentalisme ini memiliki keterkaitan erat dengan
tiga pilar pembaharuan versi Hanafi, yaitu sikap kita terhadap
tradisi lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan sikap
kita terhadap realitas. Tulisan ini mencoba mengungkap
oksidentalisme yang merupakan sikap kita terhadap tradisi
barat sebagai salah satu pilar pembaharuan.

Kata Kunci: Oksidentalisme, Pilar Pembaharuan, Timur,


Barat, Tradisi, Realitas

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 231


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Pendahuluan
Oksidentalisme merupakan arah kajian baru dalam
menghadapi hegemoni keilmuan Barat. Hassan Hanafi
merupakan pemikir Islam yang secara aktif menjadikan
oksidentalisme sebagai gerakan penyeimbang kajian Timur dan
Barat dari berbagai aspeknya dengan prinsip relasi yang egaliter,
transformatif, dan ilmiah. Oksidentalisme ini dilawankan dengan
orientalisme, namun demikian oksidentalisme tidak memiliki
tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme.
Oksidentalisme yang diusung Hanafi ini tidak dapat
dilepaskan dari tiga pilar atau agenda dari proyek tradisi dan
pembaharuannya (at-turats wa at-tajdid), yang meliputi sikap
kritis terhadap tradisi, sikap kritis terhadap Barat—dan inilah
yang sering disebut dengan oksidentalisme—dan sikap kritis
terhadap realitas. Jika dicermati, tiga pilar ini sejatinya juga
mewakili tiga dimensi waktu. Pilar pertama mewakili masa lalu
yang mengikat kita, pilar kedua, mewakili masa depan yang kita
harapkan, dan pilar ketiga mewakili masa kini di mana kita hidup.1
Dalam pada itu, Hanafi berprinsip bahwa masa lalu bukan untuk
dipertahankan atau diserang, tetapi untuk direkonstruksi, masa
depan bukan untuk diserang atau dipertahankan, tetapi untuk
dipersiapkan dan direncanakan, dan masa kini tidak mungkin
dikembalikan ke masa lalu (salafiyyah) atau diajukan ke masa
depan (sekularisme), tetapi merupakan tempat berinteraksi
ketiga medan perlawanan di atas.2

Lebih Dekat dengan Hassan Hanafi


Hassan Hanafi—selanjutnya hanya disebut Hanafi—
dikenal sebagai pemikir muslim kontemporer yang dibesarkan
1
Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat,
terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 6.
2
Ibid., hlm. 86.

232 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

dalam dua tradisi keilmuan yang sangat berbeda, yakni tradisi


kelimuan Timur dan tradisi keilmuan Barat. Dari tradisi
keilmuan Timur, Hanafi mendapat sumbangan intelektualnya
yang signifikan dalam khazanah-khazanah keilmuan klasik
Islam. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan
keislaman yang kental, ia sangat akrab dengan tradisi keilmuan
Muslim klasik. Terlebih negeri Mesir, yang merupakan kota
kelahirannya juga sudah masyhur dikenal sebagai pusat kajian
dan aktivitas keilmuan Islam paling terkemuka serta tertua
dalam sejarah Islam. Sementara dari tradisi keilmuan Barat,
Hanafi banyak mempelajari berbagai teori dan metode ilmiah
kontemporer dalam beragam disiplin keilmuan.
Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir,
tepatnya di perkampungan al-Azhar dekat benteng Salahuddin.
Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim
di seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas al-
Azhar. Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi
yang berada di pedalaman Mesir, kemudian pindah ke Kairo,
ibu kota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko.
Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah
Bani Mur yang di antaranya menurunkan Bani Gamal Abd al-
Nasser, Presiden Mesir kedua.
Hanafi tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis.
Ia mulai menghafal al-Qur’an sejak usia 5 tahun, dengan berguru
kepada Syaikh Sayyid di jalan al-Benhawi, kompleks bab asy-
Sya’riyah, sebuah kawasan di Kairo bagian selatan. Pendidikan
dasarnya dimulai di Madrasah Sulaiman Gawisy, bab al-Futuh,
kompleks perbatasan Benteng Shalahuddin al-Ayyubi selama 5
tahun. Setamatnya dari pendidikan dasar, Hanafi masuk sekolah
pendidikan guru, al-Muallimin. Setelah 4 tahun dilalui, ia
kemudian memutuskan untuk pindah ke Madrasah Silahdar, yang

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 233


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

berada di kompleks masjid al-Hakim bin Amrillah dan langsung


diterima di kelas dua, mengikuti jejak kakaknya hingga tamat.
Di sekolah yang baru ini, ia banyak mendapat kesempatan untuk
belajar bahasa asing.
Pada tahun 1956, Hanafi memperoleh gelar Sarjana Muda
Bidang Filsafat dari Universitas Cairo. Lalu, Hanafi memutuskan
untuk berangkat ke Sorbonne, Perancis dan menetap di sana
selama 10 tahun. Selama di Perancis, ia menyelesaikan program
master dan doktornya di Universitas Sorbonne Paris dan
berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1966, dengan disertasi
yang berjudul L Exegese de la Phenomenologi, L’etat actual de
la methode Phenomenologue et son Aplication au phenomeno
Religiux. Sebuah karya yang berupaya memperhadapkan Ilmu
Ushul Fiqih dengan Filsafat Fenomenologi Edmund Husserl.
Dengan karyanya ini, Hanafi mendapatkan penghargaan dari
Pemerintah Mesir dan dinobatkan sebagai penulis karya ilmiah
terbaik di Mesir.
Berkat kecerdasannya, Hanafi mampu menguasai
kebudayaan, tradisi dan pemikiran serta keilmuan Barat berhasil
dengan cukup baik. Studinya di Perancis juga memberikan
pencerahan pemikiran serta dimulainya berlatih berpikir secara
metodologis. Selain itu, Hanafi mendalami berbagai disiplin
ilmu, di antaranya adalah metode berpikir (ilmu mantiq),
dan fenomenologi pada Paul Ricour. Belajar tentang analisa
kecerdasan pada Husserl dan belajar bidang perubahan pada
Massignon yang sekaligus pembimbing disertasinya.
Karir akademik Hanafi dibangun sejak ia kembali ke
ke Mesir dan mendapatkan kepercayaan menjadi dosen mata
kuliah Pemikiran Kristen Pertengahan dan Filsafat Islam di
Universitas Kairo pada tahun 1967 hingga meraih gelar Professor
dalam bidang Filsafat pada tahun 1980. Selain di Mesir,

234 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Hanafi aktif juga memberikan kuliah di beberapa perguruan


tinggi negara lainnya, seperti Perancis (1969), Belgia (1970),
Temple University, Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975),
Universits Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko (1982-1984),
dan menjadi guru besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985),
Persatuan Uni Emirat Arab (1985), dan penasehat program
pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987). Gagasan paling
penting yang diajukannya yang sekaligus banyak mengundang
respon dari berbagai pemikir lainnya ialah tentang Kiri Islam
(al-Yasar al-Islami) yang dijadikan sebagai nama sebuah jurnal
yang diterbitkan pada tahun 1981. Di dalam jurnal itulah Hanafi
secara panjang lebar mengupas masalah Kiri Islam. Walau
hanya sekali terbit, teks ini cukup memiliki arti penting bagi
pengkayaan khazanah pemikiran Islam Kontemporer.
Sebagai seorang intelektual, Hanafi terus menerus bergulat
mencari formula tepat bagi perubahan yang diimpikannya.
Dalam situasi inilah, ia mengalami berbagai fase perkembangan
kesadaran intelektual. Perkembangan dan perubahan yang
dialaminya dari satu kesadaran kepada kesadaran lain sangat
terkait pula dengan perubahan situasi lingkungannya yang lebih
luas di Mesir. Karena itu, dalam otobiografi tersebut, Hanafi
lebih banyak mengungkapkan keterlibatan dan partisipasinya
dalam kehidupan nasional Mesir daripada kehidupan pribadi dan
keluarganya. Kesadaran pertama yang tumbuh dalam diri Hanafi
adalah kesadaran nasional (national consciousnes). Pertumbuhan
kesadaran ini terkait dengan kenyataan situasi Mesir yang dalam
Perang Dunia II menjadi sasaran serangan Jerman.
Hanafi secara alamiah bergeser kepada Islam, karena rasa
frustrasi yang sangat pahit terhadap realitas nasionalisme Arab
sekuler yang gagal menyatukan bangsa Arab. Ia pun memutuskan
untuk bergabung dengan organisasi al-Ikhwan al-Muslimun

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 235


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

(IM), yang saat itu sedang menemukan momentumnya, bukan


hanya karena IM berdiri paling depan melawan Israel, tetapi
juga karena ia percaya bahwa organisasi ini mampu menghadapi
sosialisme-komunisme yang juga semakin kuat dalam lingkaran
kekuasaan Mesir. Hanafi pun aktif dalam berbagai demonstrasi
IM dan politik mahasiswa di kampus Universitas Kairo. Ia
sangat tidak suka kepada orang-orang komunis yang ia pandang
sebagai orang-orang yang menyimpang dari jalan yang benar;
teralienasi, asing, dan memiliki kecenderungan-kecenderungan
yang jauh dari kebenaran.
Tahun 1950, kesadaran keagamaan (religious
consciousness) menguat dalam diri Hanafi, hingga seluruh
pemikiran, wacana intelektual dan aktivitasnya bertitik-tolak
dari motif-motif Islam. Pada masa ini, ia mengenal lebih jauh
pemikiran dan wacana Islam yang berkembang di lingkungan
gerakan Islam (harakah). Ia membaca dan mendalami berbagai
karya tokoh-tokoh gerakan Islam seperti Hassan al-Banna,
Sayyid Quthb, Abu al-A’la al-Maududi, Abu al-Hassan al-Nadwi,
dan lain-lain. Dalam tulisan-tulisan mereka Hanafi menemukan
semangat kebangkitan Islam (al-nahdlah al-Islamiyah), yang
sedikit banyak mempengaruhi pandangan dunia dan misi
intelektualnya.
Pada saat yang sama, kritisisme Hanafi juga tumbuh dan
mendorongnya mempertanyakan isi dan metodologi pemikiran
Islam harakah tersebut, yang dalam pandangannya telah
kehilangan relevansinya dengan realitas zamannya. Karena itu,
ia mencoba menawarkan interpretasinya sendiri atas topik-topik
utama filsafat Islam dan kalam hasil pemikiran ulama abad
pertengahan. Ia pun mulai bergeser kepada tingkat kesadaran
baru, yaitu kesadaran filosofis (philosophical consciousness).
Hanafi pun rajin menulis, dan pada fase awal pemikiran ini,

236 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

tulisan-tulisan Hanafi bersifat ilmiah murni. Kemudian, ia


mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan
wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi egaliter.
Periode selanjutnya pada tahun 1980-an Hanafi mulai
mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam
sebagai paradigma peradaban melalui sistematisasi proyek
“Tradisi dan Modernitas” (at-Turas wa at-Tajdid), lalu Kiri
Islam (al-Yasar al-Islami), kemudian Dari Aqidah Menuju
Revolusi (Min al-Aqidah ila ats-Tsaurah) yang memuat uraian
rinci tentang pembaruan dan memuat gagasan rekonstruksi ilmu
kalam Hanafi dan disusun selama hampir sekitar 10 tahun.
Secara umum, karya-karya Hassan Hanafi dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga bagian. Pertama, karya
kesarjanaan di Sorbonne; kedua, buku, kompilasi tulisan dan
artikel; ketiga, karya terjemahan, saduran dan suntingan.
Klasifikasi pertama yang berupa karya kesarjanaannya adalah
tiga buah (trilogi) disertasi: Les Metodes d’Exegese, essai sur
La science des Fondaments de la Comprehension, ‘ilm ushul al
fiqh (1965); L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la
methode phenomenologique et son application au ph’enomene
religiux (1965); dan La Phenomenologie d L’exegese: essai
d’une hermeneutique axistentielle a parti du Nouvea Testanment
(1966).
Bagian kedua terdiri lebih dari sepuluh buku: dimulai
oleh Religious Dialog and Revolution (1977); At-Turast wa at-
Tajdid (1980) yang berisikan dasar-dasar proyek pembaruan
Hanafi; dan Dirasat Islamiyah (1981) yang mengulas beberapa
disiplin keilmuan tradisional Islam seperti Ushul Fiqh dan
Teologi Islam, serta kritik atas hilangnya wacana manusia dan
sejarah di dalamnya; al-Yasar al-Islami: Kitabat fi an-Nahdhah
al-Islamiyyah (1981) yang memuat manifesto Kiri Islam yang

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 237


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

sangat fenomenal; Qadaya Mu’ashirah: Fi Fikrina al-Mu’ashir,


dua volume (1983); Dirasat Falsafiyyah (1988); Min al-‘Aqidah
ila ats-Tsaurah, empat volume tebal yang merupakan karya
monumental dan paling sistematis dari Hanafi (1988), yang berisi
rekonstruksi teologi Islam tradisional dalam rangka transformasi
sosial; ad-Din wa ats-Tsaurah fi Mishr 1956-1981, delapan jilid,
memuat tulisan lepas Hanafi di berbagai media (terbit 1989);
Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (1990); Islam in the Modern
World, dua volume tebal berbahasa Inggris (1995); Humum al-
Fikr al-Wathan, dua jilid (1997); Jalaluddin al-Afghani (1997);
dan Hiwar al-Ajyal (1998).
Sedangkan ketiga, karya-karya awal Hanafi banyak
terkait dengan saduran dan suntingan, mengingat kebutuhan
kuliah dan memperkenalkan materi dan contoh-contoh filsafat
Muslim maupun Barat secara cepat dan memuaskan. Di
antaranya: Muhammad Abu Husain al-Bashri: al-Mu’tamad
fi ‘ilm Ushul al-Fiqh (1964-1965), dua jilid, berisikan diskusi
tentang filsafat hukum Islam; al-Hukumah al-Islamiyyah li al-
Imam al-Khumeini (1979); Jihad an-Nafs aw Jihad al-Akbar
li al-Imam al-Khumeini (1980) yang berisi kekaguman Hanafi
pada keberhasilan revolusi Iran; Namadzij min al-Falsafah al-
Masihiyyah fi al-‘Ashr al-Wasith: al-Mu’allim li Aghustin, al-
Iman al-bahis ‘an al-‘Aql la taslim, al-wujud wa al-Mahiyah
li Thuma al-Akwini (1968); Spinoza Risalah fi al-Lahut wa
as-Siyasah (1973); Lessing: Tarbiyyah fi al-Jins al-Basyari
wa A’mal al-Ukhra (1977); dan Jean Paul Sartre: Ta’ali Ana
Mawjud (1978).

Makna Oksidentalisme dan Sejarah Kemunculannya


Oksidentalisme berasal dari bahasa Inggris, occident,
yang berarti negeri barat. Sehingga oksidentalisme dapat

238 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

dimaknai sebagai studi tentang Barat dengan segala aspeknya.


Oksidentalisme ini dilawankan dengan orientalisme, namun
demikian oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan
dominasi sebagaimana orientalisme.
Secara ideologis, oksidentalisme versi Hanafi diciptakan
untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap
kesadaran peradaban kita. Asumsi yang dibangunnya adalah
bahwa Barat memiliki batas sosio politik kulturalnya sendiri.
Oleh karena itu, setiap usaha hegemonisasi kultur dan pemikiran
Barat atas dunia lain, harus dibatasi. Dengan demikian, Barat
harus dikembalikan pada kewajaran batas-batas kulturalnya.
Hanafi berupaya melakukan kajian atas Barat dalam perspektif
historis-kultural Barat sendiri.
Sejarah kemunculan oksidentalisme tidak dapat
terlepas dari sejarah kecemerlangan peradaban Islam dan masa
kegelapan peradaban dunia Barat. Peradaban Islam yang maju
telah mengubah bangsa Timur yang notabene primitif dan
terbelakang menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama,
pemerintahan, politik, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Kondisi
demikian mendorong para sarjana barat untuk mengkaji dunia
Timur, termasuk masyarakat, peradaban, dan agamanya.
Saat terjadi renaissance di Barat, dunia Timur mulai
mengalami kemunduran disebabkan para pemimpinnya yang
lemah, terlebih ketika peradaban Islam dihancurkan oleh pasukan
Tartar, yang mengakibatkan dunia Timur semakin terpuruk.
Sebaliknya, Barat justru semakin menunjukkan hegemoninya
hingga sekarang ini.
Para orientalis Barat pun tidak lagi hanya memfokuskan
kajian keilmuan peradaban Timur saja, tetapi juga bagaimana
cara menguasai dunia Timur dan demi tujuan penjajahan. Mereka
menonjolkan keunggulan orang-orang Barat serta mengerdilkan

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 239


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

segala yang terkait dengan Timur khususnya Islam. Mereka


membalikkan sejarah dan mengesankan bahwa orang Islam
adalah orang-orang yang bodoh dan terbelakang.
Motif para orientalis mempelajari Islam telah menjadi
perdebatan di kalangan sarjana muslim maupun Barat. Pandangan
positif dan negatif terus bermunculan menanggapi karya-karya
mereka tentang Islam. Menurut Nurcholis Madjid,3 meski di
antara sarjana muslim ada yang menilai orientalis dengan citra
negatif, namun mereka tetap mengakui adanya poin positif dari
orientalis yang bermanfaat bagi kaum muslim.
Edward W. Said4 mendefinisikan orientalisme secara
kritis yaitu suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan
tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat
Eropa. Ia memandang orientalisme berkedok ilmiah dan menilai
dirinya sebagai ‘obyektif dan netral’. Sedangkan menurut Moh.
Natsir Mahmud,5 umumnya orientalis membahas Islam dengan
pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori
ilmiah tertentu, misalnya dengan pendekatan historis, sosiologis,
psikologis, dan sebagainya. Pendekatan tersebut meskipun turut
memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya
yang besar adalah Islam diposisikan sebagai fenomena empirik
sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual
dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan
bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu Allah. Pendekatan
saintifik dari sejumlah sarjana Barat sering juga dicampurkan

3
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hlm. 59-61.
4
Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukkan Timur sebagai Subjek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 4.
5
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme al-Qur’an di Mata Barat:
Sebuah Studi Evaluatif, (Semarang: Dimas, t.t), hlm. 5.

240 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

dengan predisposisi agama yang dianutnya, hingga mengambil


konklusi bahwa Islam adalah ciptaan dari Yahudi dan Kristen.
Islam hanya merupakan salah satu sekte Kristen atau Yahudi
yang sesat.
Keseluruhan fenomena seperti ini membangkitkan
kesadaran dunia Timur dan Islam untuk juga melakukan kajian
tentang segala sesuatu yang terkait dengan Barat, menandingi
orientalisme, dan merebut kembali ego Timur yang telah
direbut Barat. Kajian inilah yang selanjutnya dikenal dengan
oksidentalisme.

Oksidentalisme sebagai Pilar Pembaharuan


Oksidentalisme yang digagas Hanafi berpijak dari tiga
pilar pembaharuan yang diusungnya melalui proyek Tradisi dan
Pembaharuannnya (at-Turats wa at-Tajdid), yaitu: sikap kritis
terhadap tradisi lama, sikap kritis terhadap barat, dan sikap
kritis terhadap realitas. Jika pilar pertama berinteraksi dengan
kebudayaan warisan, maka pilar kedua berinteraksi dengan
kebudayaan pendatang. Kedua-duanya tertuang dalam realitas
di mana kita hidup.
Pilar pertama, sikap kritis terhadap tradisi lama. Menurut
Hanafi, pilar pertama ini dapat membantu menghentikan
westernisasi sebagai permulaan dari upaya rekonstruksi terhadap
ego ketimuran. Sehingga mereka dapat menghindari penetrasi
pemikiran Barat ke dalam tradisi umat yang mengakibatkan
terjadinya pertikaian antara pendukung kelompok pembela
ortodoks (al-Anshar al-qadim) dan kelompok pembela modern
(al-Anshar al-jadid), serta menghapuskan keterpecahan
kepribadian bangsa. Selain itu, pemikiran Islam dapat
memberikan keteladanan dalam mempertahankan identitas dan
memerangi westernisasi seperti hal-hal berikut:

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 241


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

1. Larangan al-Qur’an untuk tidak berpihak pada orang lain,


menjalin keakraban dengan musuh, mencintainya dan
melakukan konsiliasi dengannya. Sebab, tujuan musuh
adalah menghancurkan identitas ego, menjatuhkannya ke
jurang taqlid, dan melenyapkannya hingga tidak ada yang
eksis kecuali pihak lain tersebut (the other). Berpegang
pada al-Qur’an sejatinya sama dengan berpegang pada
tradisi rakyat, sumber kekuasaan, dan sumber kontrol
bagi kesadaran manusia.
2. Menolak taqlid baik dalam aqidah maupun akhlak, karena
sikap taqlid ini dicela dalam agama.
3. Keteladanan pemikiran Islam lama yang mampu
mempresentasikan peradaban pendahulu tanpa
menafikan identitasnya, bahkan mengkritiknya,
kemudian mengembangkannya serta menyempurnakan
keberhasilan-keberhasilannya. Upaya ini dilakukan agar
pemikiran Islam tetap sesuai dengan zaman serta menjadi
dirinya sendiri dan mampu berinteraksi dengan pihak lain
(the other) dan pada akhirnya Islam mampu mewakili
peradaban umat manusia seluruhnya.
4. Pemikiran Islam modern memiliki kemandirian atau semi
kemandirian supaya tidak kehilangan karakteristiknya
ketika berinteraksi dengan Barat. Maksudnya, meskipun
pemikiran Islam modern mengagumi Barat dan
menganggapnya sebagai tipe modernisasi dalam aspek
industri, pendidikan, sistem parlemen, perundang-
undangan dan pembangunan, namun ia juga mengkritik
Barat sebagai peradaban duniawi yang tidak lepas dari
dimensi waktu dan tidak harus selalui diadopsi bangsa
lain.
5. Berpijak dari sikap gerakan Islam sekarang terhadap

242 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

Barat yang membedakan ego dengan the other, lalu


merasionalisasikan hubungan tersebut kepada kritik
yang cerdas, dan mengubah hubungan antagonistis
antara ego dengan the other menjadi hubungan seorang
pakar dengan ilmu pengetahuan, subyek dengan obyek,
pengkaji dengan yang dikaji.6
Senada dengan Hanafi, Arkoun juga menekankan urgensi
untuk membedah perspektif lama yang statis dan apatis yang
menempatkan tradisi semata-mata sebagai pandangan ulama-
ulama dan sarjana-sarjana terdahulu, baik yang berupa pandangan
pribadi maupun kutipan atas pandangan angkatan sebelumnya.
Kemudian, generasi belakangan hanya bersikap pasif dan
menyerah pada pandangan-pandangan terdahulu, seolah-olah
masa lalu adalah the ultimate meaning. Padahal, sikap seperti ini
justru menjadikan mereka kehilangan semangat kritis.7
Tawaran pendekatan baru terhadap tradisi ini jelas
merupakan suatu keniscyaan di tengah dinamika zaman yang
sangat cepat ini. Ini dikarenakan tradisi diproduksi dalam
periode tertentu dan terpisahkan dengan masa kini oleh jarak
waktu tertentu. Dalam konteks ini, Hanafi menawarkan tujuh
elemen penyikapan terhadap tradisi lama, yakni (1) Dari teologi
ke revolusi; (2) Dari transferensi ke inovasi; (3) Dari teks ke
realitas; (4) Dari kefanaan menuju keabadian; (5) Dari teks ke
rasio; (6) Akal dan alam; (7) Manusia dan sejarah.8
Pilar kedua, adalah sikap kritis terhadap tradisi barat atau
yang biasa disebut oksidentalisme. Di sini, Hanafi menekankan
perlunya reorientasi terhadap dunia Barat, karena pada dasarnya

Hassan Hanafi, op.cit , hlm. 24-25.


6

Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. A. Baso


7

(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 11.


8
Hanafi, op.cit., hlm. 3.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 243


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

oksidentalisme diciptakan untuk menghadapi westernisasi, yang


di antaranya dijalankan melalui orientalisme, yang memiliki
pengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi kita
tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban
kita serta seluruh gaya hidup keseharian kita.9 Implikasi besar
dari westernisasi ini, terutama orientalismenya, ialah lahirnya
perspektif Barat terhadap Timur dari tangga yang lebih tinggi,
superior, sehingga Timur seolah-olah adalah dunia barbar yang
dina. Padahal, tentu saja perspektif Barat sebagai komunitas
lain (the other) terhadap Timur itu niscaya akan berbeda jika
didekati dari kacamata Timur itu sendiri.
Apabila orientalisme melihat ego (Timur) melalui the
other, maka oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah
yang mendua antara ego dengan the other itu, dan dialektika
antara kompleksitas inferioritas pada ego dengan kompleksitas
superioritas pada pihak the other. Orientalisme lahir dan mencapai
kematangannya melalui kekuasaan dan kekuatan imperialisme
Barat yang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
tentang masyarakat yang dijajah, sehingga Barat menjelma
sebagai ego yang menjadi subyek dan menganggap Timur
sebagai the other yang menjadi obyek. Di sinilah tampaknya
teori Michaal Foucault menemukan relevansinya, bahwa
kekuasaan di mana pun selalu menindas, karena kekuasaan telah
memproduksi kebenaran menurut ukurannya. Kebenaran selalu
berada dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan
yang telah memproduksi dan menjaga kebenaran itu. Kebenaran
tidak ada dengan sendirinya. Dalam hal ini, jelas kebenaran
tidak berada di luar kekuasaan. Ia lahir dari dalam kekuasaan itu
sendiri. Foucault menilai bahwa kebenaran yang direproduksi
oleh kekuasaan dan dominasi sesungguhnya memberangus

9 Ibid., hlm. 16-17.

244 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

kebebasan manusia untuk menjalin relasi antar sesama, melalui


relasi yang seimbang dan egaliter, bukan didasarkan atas
pengaruh dan dominasi.10
Melalui oksidentalisme, Hanafi mencoba mengambil
peran yang berimbang, jika ego Barat dahulu berperan sebagai
pengkaji, kini menjadi obyek yang dikaji, sedangkan the other
Timur yang kemarin menjadi obyek yang dikaji, kini berperan
sebagai subyek pengkaji. Dengan demikian, secara otomatis
akan terbangun perubahan dialektika ego dengan the other, dari
dialektika Barat dan Timur menjadi dialektika Timur dan Barat.
Oksidentalisme berjuang untuk mengurai inferioritas sejarah
hubungan ego dengan the other, Barat dan Timur. Dengan
oksidentalisme, Timur diharapkan tidak lagi merasa inferior di
hadapan Barat, dalam hal bahasa, peradaban, budaya, ideologi,
bahkan ilmu pengetahuan.11 Bahkan, juga dapat menyingkirkan
bahaya dari adanya asumsi bahwa peradaban Barat merupakan
sumber ilmu pengetahuan seluruhnya.
Oksidentalisme juga memiliki tugas untuk mengembalikan
emosi Timur ke tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya,
melenyapkan inferioritasnya, mengaitkan kembali dengan akar
tradisinya sendiri, menempatkannya ke posisi realistisnya
untuk selanjutnya menganalisanya secara langsung, menyikapi
peradaban Barat secara tepat, tanpa mengagungkannya.
Hanafi juga menegaskan bahwa oksidentalisme tidak ingin
mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui
keterbentukan dan strukturnya. Menurutnya, ego oksidentalisme
lebih bersih, obyektif dan netral dibandingkan dengan ego
orientalisme. Bahkan, meskipun Barat seringkali menyerukan

10
Michael Foucault, Power Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972-1977, (The Haervester Press, 1980), hlm. 133.
11
Hanafi, op.cit., hlm. 26.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 245


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

pentingnya obyektivitas dan netralitas namun faktanya mereka


justru menyembunyikan egosentrisme dan keberpihakan Barat
dalam proyek orientalismenya.12
Selain itu, oksidentalisme bertugas menghapus
eurosentrisme, mengembalikan kebudayaan Barat ke batas
alaminya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar
keluar melalui penguasaan dalam berbagai bidang: media
informasi, budaya, penelitian, penerbitan, pengaturan ekonomi
dan pertahanan negara, bahkan spionase.
Oksidentalisme seharusnya juga mampu mematahkan
mitos bahkan peradaban Baratlah yang maju, sehingga harus
diadopsi oleh bangsa-bangsa lainnya. Padahal sejatinya
peradaban Barat bukanlah peradaban universal yang mencakup
seluruh model-model aksperimentasi manusia. Ia juga bukan
peninggalan pengalaman panjang eksperimentasi manusia
yang berhasil mengakumulasikan pengetahuan mulai dari
Timur sampai ke Barat, melainkan sebuah pemikiran yang lahir
dalam lingkungan dan situasi tertentu, yaitu sejarah Eropa,
yang belum tentu sesuai jika diterapkan dalam lingkungan dan
situasi bangsa lainnya. Pada proses selanjutnya, oksidentalisme
diharapkan mampu mengembalikan keseimbangan kebudayaan
umat manusia, yang tidak hanya menguntungkan kesadaran
Eropa dan merugikan kesadaran non-Eropa. Atau dengan kata
lain, oksidentalisme dituntut untuk mampu menghapuskan
dikotomi sentrisme dan ekstrimisme pada tingkat kebudayaan
dan peradaban, karena selama kebudayaan Barat menjadi sentris
dan kebudayaan Timur menjadi ekstremis maka hubungan
keduanya akan tetap merupakan hubungan monolitik.13
Hanafi menyadari bahwa pengkajian Barat oleh Timur

12
Ibid., hlm. 29
13
Ibid., hlm. 36-37.

246 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

bisa jadi menjebak pengkajinya ke dalam jurang subyektifitas,


ketidak netralan, atau bahkan balas dendam. Pengkaji (Timur)
memungkinkan untuk terjebak dengan lebih banyak melihat apa
yang ada dalam dirinya daripada apa yang ada dalam kenyataan.
Pengkaji juga bisa tergelincir ke dalam premis-premis retorik
atau fanatisme dan menyerang peradaban lain yang menjadi
obyek kajiannya. Peluang ketergelinciran ini sangat mungkin
terjadi khususnya jika pengkaji pernah mengalami penderitaan
akibat imperialisme langsung atau imperialisme kultural oleh
bangsa Barat. Namun, keterjebakan dan ketergelinciran ini
dapat dihindari melalui penumbuhan kesadaran dan orisinalitas
dalam diri pengkaji.14
Tantangan pertama dari oksidentalisme ini adalah
menciptakan keserasian hubungan antara ego (Barat) dengan
the other (Timur), mengingat kompleksitas inferioritas sejarah
ego di hadapan the other masih tersimpan dalam benak ego.
Hubungan keduanya dideskripsikan sebagai hubungan antara
dua pihak yang tidak seimbang, hubungan antara superordinat
dengan subordinat, tuan dengan hamba. Hubungan ini juga
merupakan hubungan pihak tunggal tanpa terjadi pergantian
peran. Pihak pertama selalu menjadi produsen dan pihak lain
selalu menjadi konsumen. Pihak pertama memiliki superioritas
dan pihak kedua terbebani inferioritas.15
Pilar ketiga, sikap terhadap realitas. Jika pilar
pertama, meletakkan ego pada sejarah masa lalu dan warisan
kebudayaannya, dan pilar kedua, meletakkan ego pada posisi
yang berhadapan dengan the other kontemporer, terutama
kebudayaan Barat pendatang, maka pilar ketiga ini meletakkan
ego pada suatu tempat dimana ia mengadakan observasi

14
Ibid., hlm. 30.
15
Ibid., hlm. 32.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 247


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

langsung terhadap realitasnya yang lalu untuk menemukan teks


sebagai bagian dari elemen realitas tersebut, baik teks agama
yang terkodifikasikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral
tradisional yang terdiri dari kata-kata mutiara dan pepatah.16
Selanjutnya, Hanafi menjelaskan bahwa pilar ketiga ini
menghadapi tujuh tantangan, yaitu: Pertama, membebaskan
tanah air dari serangan eksternal kolonialisme dan zionisme.
Kedua, kebebasan universal melawan penindasan, dominasi dan
kediktatoran dari dalam. Ketiga, keadilan sosial menghadapi
kesenjangan lebar antara kaum miskin dan kaya. Keempat,
persatuan menghadapi keterpecahbelahan dan diaspora. Kelima,
pertumbuhan melawan keterbelakangan sosial, ekonomi, politik,
dan budaya. Keenam, identitas diri menghadapi westernisasi dan
kepengikutan. Ketujuh, mobilisasi kekuatan massa melawan
apatisme.17
Melalui pilar ketiga ini, Hanafi merekomendasikan
sikap kritis terhadap realitas (kekinian). Ini dimaksudkan
sebagai upaya rehabilitasi psikologis yang masih diderita dunia
Timur akibat gelombang imperialisme dan modernitas Barat.
Gelombang ilmiah sekuler begitu gencar menstimulasi kita
untuk mengadopsi Barat sebagai tipe modernisasi ideal dalam
rangka mencapai kemajuan hidup. Akibatnya, paham selain
Barat, tidak diandaikan sebagai potensi yang sama kualitatifnya
dengan Barat, sehingga modernitas yang dikembangkan
dunia Timur justru mengukuhkan erosentrisme. Inilah pemicu
kemunduran peradaban Timur yang terlanjur terkesima kepada
Barat yang dipersepsikan sebagai “peradaban yang modern
dan rasional”, kendati sejatinya secara historis-dogmatis
Timur banyak memiliki kekhasan dan keunikan yang tak kalah

16
Ibid., hlm. 5.
17
Ibid., hlm. 21.

248 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

agungnya dengan Barat.18


Dengan berpijak dari tiga pilar di atas, oksidentalisme
berakumulasi pada urgensi dialog egaliter yang mengisyaratkan
pola “kritik ke dalam” dan sekaligus “kritik ke luar”, Hanafi
berjuang menciptakan keberimbangan antara Timur dan Barat,
baik dalam peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, maupun relasi
antar agama.

Alternatif Sikap terhadap Barat


Menurut Hanafi, ide demitologisasi Barat harus
dijalankan dalam rangka meruntuhkan superioritas Barat
tersebut. Ini dikarenakan selama beberapa dekade, Barat—
melalui westernisasinya—telah melenyapkan ego dunia Timur.
Westernisasi selalu menciptakan citra Barat sebagai tipe
modernisasi dan pembebasan. Sehingga Hanafi berpandangan
bahwa terbelenggunya pembaharu Islam yang berpijak pada
tradisi Barat sebagai tipe modernisasi sejatinya hanyalah
memperoleh sebuah pembebasan semu, karena masih
menempatkan inferioritas ego di hadapan the other.
Dalam menyikapi Barat ini pula, Hanafi mendorong
adanya penyeimbangan perspektif netral antara ego (Timur)
dengan the other (Barat). Relasi keduanya harus dibongkar dari
hierarkinya yang superior dan inferior menuju model dialektika
yang berimbang. Bukan untuk saling dibenturkan, melainkan
hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik
antara yang satu dengan yang lain, sehingga terhindar dari relasi
yang hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia
Timur.
Adapun munculnya penyikapan terhadap tradisi Barat

http://ediakhiles.blogspot.com/2011/10/oksidentalisme-dalam-
18

wacana-dialog.html

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 249


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

secara total yang diawali dengan memamerkan tokoh-tokoh


pemikirnya, dengan tujuan untuk memperkenalkan tokoh
Barat kepada masyarakat secara obyektif tanpa memilah
kelebihan dan kekurangan mereka, ditanggapi Hanafi bahwa
menurutnya langkah seperti ini justru bisa menjadi bumerang
jika masa pengenalan terus berlanjut tanpa dimasukinya tahap
representasi, penolakan, dan analisis langsung terhadap realitas.
Pada akhirnya, Hanafi berpandangan bahwa sikap tersebut tidak
efektif.
Selanjutnya, Hanafi mencoba memasukkan ego dunia
Timur ke dalam realitas Barat. Sikap ini diharapkan Hanafi dapat
mendorong ego (Timur) menyelesaikan problemnya dengan
caranya sendiri setelah belajar dari pengalaman the other (Barat)
dengan mempertimbangan sisi persamaan dan perbedaannya.
Bahkan, sikap seperti ini—menurutnya—juga termasuk dalam
konteks qiyas syar’i, yang berarti menganalogikan satu hal
dengan hal lain dalam suatu hukum karena adanya kesamaan
antara kedua hal tersebut.
Selain itu, sikap seperti ini juga mendatangkan
keuntungan bagi masyarakat Timur, yakni penghapusan taqlid.
Dengan demikian, pemikiran dan peradaban Barat yang lahir
dalam lingkungan tertentu tidak dapat diadopsi atau ditransfer
ke lingkungan lain dengan mengatasnamakan pembaharuan
tanpa terlebih dahulu dilakukan kajian ulang atau kritik yang
didasarkan pada kesadaran tentang adanya tradisi ego, tuntutan
zaman, dan tradisi the other.19
Sikap demikian pada akhirnya semakin meneguhkan
oksidentalisme dalam tataran kajian ilmiah yang bersifat
obyektif, karena ia berusaha menurunkan problem historis

19 Hanafi, op.cit.., hlm. 91.

250 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

pembentukan superioritas Barat ke dalam wilayah epistemologi


yang menyusun struktur dasar pengetahuannya, yang tidak
diiringi oleh dominasi, ataupun penindasan. Dengan demikian,
gagasan oksidentalisme yang diusung oleh Hanafi diharapkan
mampu menjadi gerakan penyeimbangan Timur di hadapan
Barat dengan prinsip relasi yang egaliter, transformatif, dan
ilmiah.

Penutup
Oksidentalisme mengupayakan kenetralan kemampuan
ego dalam memandang the other, mengkajinya, dan mengubahnya
menjadi obyek, setelah sekian lama the other menjadi
subyek yang menjadikan pihak lain sebagai obyek. Namun,
oksidentalisme tidak berambisi merebut kekuasaan, melainkan
hanya menginginkan pembebasan. Oksidentalisme bertujuan
mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat
manusia dan sebagai pusat kekuatan, sekaligus melenyapkan
inferioritas Timur serta mengembalikan ego ketimurannya.
Salah satu alternatif menyikapi Barat yaitu melalui ide
demitologisasi Barat dan mendorong adanya penyeimbangan
perspektif netral antara ego (Timur) dengan the other (Barat).
Relasi keduanya harus direkonstruksi kembali dari hierarkinya
yang superior dan inferior menuju model dialektika yang
berimbang. Wallahu A’lam

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 251


Oksidentalisme Sebagai Pilar Pembaharuan (Oleh: Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida)

DAFTAR PUSTAKA

Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi


Barat, terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina,
2000).
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1997).
Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukkan Timur sebagai Subjek, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010).
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme al-Qur’an di Mata Barat:
Sebuah Studi Evaluatif, (Semarang: Dimas, t.t).
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. A.
Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 11.
Michael Foucault, Power Knowledge: Selected Interviews and
Other Writings 1972-1977, (The Haervester Press,
1980)
http://ediakhiles.blogspot.com/2011/10/oksidentalisme-dalam-
wacana-dialog.html

252 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

Donny Khoirul Aziz


STAIN Purwokerto
Email: dkhoirulazis@yahoo.co.id

ABSTRAK

Kemunculan dan perkembangan Islam di Dunia Indo-


Melayu (termasuk di dalamnya adalah Jawa) menimbulkan
transformasi kebudayaan-peradaban lokal. Transformasi
suatu kebudayaan-peradaban melalui pergantian agama
dimungkinkan, karena Islam bukan hanya menekankan
keimanan yang benar, tetapi juga tingkah yang baik, yang pada
giliranya harus diejawantahkan setiap Muslim dalam berbagai
aspek kehidupan, dan tentu saja termasuk aspek budaya di
dalamnya. Masuknya Islam ke Jawa, dalam konteks kebudayaan
membawa dampak pada akulturasi Islam dan budaya Jawa,
yaitu budaya yang telah hidup dan berkembang selama masa
kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa. Akulturasi Islam dan
budaya Jawa dapat dilihat pada batu nisan, arsitektur (seni
bangunan), seni sastra, seni ukir, dan berbagai tradisi perayaan
hari-hari besar Islam. akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat
dilihat dalam setiap era kesultanan (kerajaan Islam) yang ada
di Jawa, baik era Demak, era Pajang, maupun era Mataram
Islam. Pada era Demak, akulturasi antara Islam dan budaya
Jawa terjadi dalam banyak hal, misalnya, arsitektur, seni ukir,

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 253


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

kesenian wayang, pola pemakaman, dan seni sastra (seperti


babad, hikayat, dan lainnya). Berbagai hasil akulturasi Islam
dan budaya Jawa tersebut dijadikan sarana bagi penanaman
nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa.

Kata Kunci: Akulturasi, Budaya Jawa, Tradisi, Babad

Masuknya Islam ke Indonesia


Sebelum tahun 1883 M, Crawfurd telah mengajukan dalil
bahwa penduduk pribumi Indonesia dan Melayu telah menerima
Islam langsung dari Arab. Tetapi setelah tahun 1883 M pendapat
tersebut mulai disanggah oleh para sarjana dengan beragam
pendapatnya.1 Para sarjana memiliki beragam pendapat tentang
masuknya Islam di Indonesia/Nusantara. Beragamnya pendapat
ini berkaitan dengan dari wilayah manakah Islam di Indonesia
berasal, siapa yang membawanya, dan kapan waktu masuknya
Islam ke Indonesia.
Pendapat pertama berpendapat bahwa asal-muasal
Islam di Indonesia berasal dari Anak Benua India, bukannya
dari Persia atau Arab. Sarjana pertama yang mengungkapkan
teori ini adalah Pijnappel. Dia mengaitkan asal-muasal Islam di
Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya,
adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi
dan menetap di India tersebutlah yang kemudian membawa
Islam ke Nusantara. Pendapat ini selanjutnya dikembangkan
oleh Snouck Hurgronje. Menurut Snouck, setelah Islam
berakar kuat di kota-kota pelabuhan di Anak Benua India,
Muslim Deccan tersebut datang ke wilayah Melayu-Indonesia
sebagai para penyebar Islam yang pertama. Setelah itu, barulah

1
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia:
Sebuah studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (Jakarta:
INIS, 1993), hlm. 17.

254 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

mereka disusul oleh orang-orang Arab, kebanyakan adalah


keturunan Nabi SAW. karena bergelar sayyid atau syarif, yang
menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara.2
Selanjutnya, menurut Snouck abad ke-12 adalah periode
paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.
Moquette, seorang sarjana Belanda, juga berkesimpulan
bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Pendapatnya
ini didasarkan pada pengamatannya terhadap bentuk batu-
batu nisan di Passai (wilayah utara Sumatra), khususnya yang
bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H / 27 September 1419 M, yang
ternyata memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang ada
di Cambay, Gujarat. Pendapat pertama ini kebanyakan dianut
oleh para sarjana yang berasal dari Belanda.3
Pendapat bahwa Islam berasal dari Gujarat dengan
didasarkan pada pengamatan bahwa batu nisan yang ditemukan
memiliki persamaan dengan batu nisan di Gujarat ditentang oleh
Fatimi. Menurutnya, pendapat tersebut merupakan pendapat
yang keliru. Menurut hasil penelitiannya, bentuk batu nisan
dan gayanya Malik al-Salih berbeda sepenuhnya dengan batu
nisan yang terdapat di Gujarat dan batu nisan yang lain yang
ditemukan di wilayah Nusantara. Menurut Fatimi, bentuk dan
gaya batu nisan tersebut justru mirip dengan batu nisan yang
ada di Bengal (Banglades). Oleh sebab itu, menurutnya seluruh
batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Bengal. Hal inilah
yang menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa
asal muasal Islam di Nusantara adalah dari wilayah Bengal.4
Pendapat kedua menyatakan bahwa Islam di Nusantara
2
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 2-3.
3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 2-3.
4
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 4.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 255


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

bukan berasal dari Gujarat, tetapi dibawa oleh para penyebar


Muslim yang berasal dari pantai Coromandel pada akhir abad
ke-13. Pendapat ini diungkapkan oleh Marrison. Pendapat
Marrison ini mematahkan teori yang menyatakan bahwa Islam
di Nusantara berasal dari Gujarat dengan menunjukkan pada
kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudra Passai, yang
raja pertamanya wafat pada 698 H / 1297 M, Gujarat masih
merupakan kerajaan Hindu. Baru pada tahun 699 H / 1298 M.5
Pendapat Marrison ini, menurut Azra, kelihatan
mendukung pendapat yang dipegang oleh Arnold. Arnold -yang
telah menulis jauh sebelum Marrison- berpendapat bahwa Islam
dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Corromandel dan
Malabar. Ia menyokong teorinya ini dengan menunjuk pada
persamaan madzhab fikih di antara kedua wilayah tersebut.
Mayoritas Muslim di Nusantara adalah bermadzhab Syafi’i, yang
juga merupakan madzhab yang dominan di wilayah Coromandel
dan Malabar, sebagaimana disaksikan oleh ‘Ibnu Batutah ketika
berkunjung ke wilayah ini. Lebih lanjut, Arnold mengungkapkan
bahwa para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai
peranan yang penting dalam perdagangan antara India dan
Nusantara. Para pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan
di Melayu-Nusantara tidak hanya terlibat dalam kegiatan
perdagangan, tetapi juga terlibat dalam penyebaran agama
Islam. Perlu menjadi catatan penting bahwa menurut Arnold,
Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam
dibawa, namun Islam juga dibawa ke Nusantara dari Arabia.
Menurutnya, para pedagang Arab juga telah menyebarkan
Islam saat mereka dominan di dalam perdagangan Barat-Timur
semenjak permulaan abad Hijriyah atau abad ke-7 dan ke-8

5
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 5.

256 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Masehi.6
Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang
kegiatan para pedagang Arabia dalam penyebaran Islam, cukup
pantas jika mengasumsikan bahwa mereka ikut terlibat dalam
penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi
tersebut menjadi semakin pantas jika mempertimbangkan
sumber-sumber Cina yang mengabarkan bahwa menjelang akhir
perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai
Sumatra. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan
perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus
sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab
pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-
anggota komunitas Muslim ini juga melakukan aktivitas-
aktivitas penyebaran agama Islam kepada penduduk lokal.7
Ada banyak sumber-sumber klasik Islam yang
menerangkan berbagai hal tentang Nusantara. Misalnya,
Ya’qubi (w. 377 H/987 M) menulis tentang hubungan dagang
antara pelabuhan Kalah di pantai barat semenanjung Melayu
dan Aden di Yaman. Hasan Abu Zaid as-Sirafi (w. 304 H/916
M) menyatakan bahwa Kalah merupakan pusat perdagangan
rempah-rempah dan dupa yang disinggahi oleh kapal-kapal dari
Oman, bahkan as-Sirafi telah menjelaskan dengan panjang lebar
tentang kerajaan maharaja di Jawaga (Jawa) dan serangannya
atas Kamboja (Qimar atau Khmer). Ibnu Faqih (w. 290 H/902
M?) menyebutkan tentang hasil-hasil kerajaan Sriwijaya (Zabij)
dan sifat kosmopolitan daerah itu, di mana orang-orang berbicara
dalam bahasa Arab, Persia, dan Cina. Ibnu Khurdadbih (w.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 6.


6

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 6. Lihat juga


7

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.
305.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 257


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

300 H/911 M) juga menyebutkan tentang pulau Barus (Barus,


Sumatra).8
Seorang pelayar Persia, Buzurg bin Syahriyar al-
Ramhurmuzi pada tahun 344 H/955 M menerima berbagai
laporan tentang keadaan di kerajaan Sriwijaya (Sarabiza) di
bagian selatan Lamuri (Aceh, Sumatera), ia menyebut sejumlah
nama tempat yang ada di sekitar Sumatera seperti Lamiri, Kalah
(Kedah), Mayat, Niyam, Sinfin, Barawah, Saryre dan Sinf,
meskipun beberapa di antara nama tersebut sudah tidak dikenal
dalam ilmu bumi modern (Geografi) Sumatra. Al-Biruni (w. 440
H/1048 M) memasukan Lamuri dan Kalah dalam daftar induk
untuk mencari letak sejumlah tempat yang berhubungan dengan
garis Khatulistiwa. Al-Mas’udi (w. 956 M) bahkan menyebutkan
tentang emas di Sumatera, gunung-gunung berapi, dan kapur
barus dari Fansur (Panchur-Barus).9
Berbagai literatur Islam klasik tersebut di atas nyata-
nyata tidak menyebutkan tentang masuknya penduduk asli
Nusantara ke dalam Islam, meskipun demikian pengetahuan
mereka yang luas tentang Nusantara dapat dijadikan bukti
bahwa ada hubungan-hubungan dini antara kaum Muslimin
dengan penduduk lokal. Satu karya penting Buzurg bin Syahriyar
al-Ramhurmuzi yang menyebutkan suatu peraturan disertai
denda berat, yang mewajibkan baik penduduk pribumi maupun
orang-orang Islam asing untuk bersila sebagai tanda penyerahan
di hadapan raja beragama Budha dari Zabaj (Sriwijaya). Al-
Ramhurmuzi mengatakan bahwa peraturan tersebut diprotes
dengan sopan oleh seorang pedagang Muslim dari Oman dengan
menceritakan dongeng kepada sang raja, yang menghasilkan

Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia,


8

14-15.
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
9

14-15.

258 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dicabutnya peraturan bersila tersebut bagi kaum Muslimin asing.


Kenyataan bahwa peraturan tersebut menyebut penduduk asli
beragama Islam membuktikan bahwa pada waktu itu sejumlah
penduduk pribumi sudah menganut agama Islam.10
Ketiga adalah teori bahwa Islam Nusantara dibawa
langsung dari Arab. “Teori Arab” ini dikemukakan –sebagaimana
dalam alinea pertama sub bab ini- oleh Crawfurd, meskipun ia
menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum
Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan
faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sedangkan
Keijzer memandang bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir,
pendapat ini didasarkan atas persamaan Islam di Nusantara
dengan Islam di Mesir yang sama-sama menganut madzhab
Syafi’i. “Teori Arab” ini juga dipegang oleh Niemann dan de
Holander dengan sedikit revisi, menurut mereka Mesir bukanlah
sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadramawt. Pendapat
tentang sumber Islam Nusantara dari Arab juga dipegang
dengan kukuh oleh sebagian ahli Indonesia. Dalam seminar
yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan
Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan bahwa Islam datang
langsung dari Arabia, tidak dari India, dan Islam datang bukan
pada abad ke-12 atau ke-13 M melaikan pada abad pertama
Hijiriyah atau abad ke-7 Masehi.11
Salah satu pembela tergigih “teori Arab” ini sekaligus
penentang keras “teori India” adalah Naguib al-Attas. Menurut
dia -seperti halnya Marisson- penemuan epigrafis yang
disodorkan oleh Moquette sebagai bukti langsung bahwa Islam
dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India

10
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
15.
11
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 7.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 259


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

tidak bisa diterima. Menurutnya, batu-batu nisan itu dibawa


dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat dengan
Arabia. Ia mengajukan apa yang ia sebut dengan “teori umum
tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan terutama
pada literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-
dunia (world view) Melayu yang terlihat dalam perubahan
konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-
Indonesia pada abad ke-10 sampai ke-11 H/ 16-17 M. Dari
pengamatannya dia menyimpulkan bahwa sebelum abad ke-
17 M seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak
mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal
dari India. Para pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana
Barat sebagai berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang
disebut sebagai dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik
secara etnis maupun kultural. Argumen yang dikemukakan oleh
Al-Attas tersebut sangat menekankan bahwa Islam di Nusantara
berasal langsung dari Arab.12
Sebagaimana dikemukakan di depan, para sarjana Barat
kebanyakan memegang teori bahwa para penyebar Islam pertama
di Nusantara adalah para pedagang Muslim yang menyebarkan
Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini, maka
terciptalah nucleus komunitas Muslim yang pada gilirannya
memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Sebagian dari
para pedagang Muslim juga melakukan perkawinan dengan
bangsawan lokal, sehingga memungkinkan bagi mereka atau
keturunan mereka untuk mencapai kekuasaan politik yang dapat
dimanfaatkan untuk penyebaran Islam.13 Teori “para pedagang”
tersebut nampak memiliki banyak kelemahan, yang antara lain
adalah terlalu menitik beratkan pada motif-motif ekonomi dalam

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 8-9.


12

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 12.


13

260 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

masuknya penduduk lokal Nusantara ke dalam agama Islam.


Berbeda dengan kebanyakan sarjana Barat, A.H. Johns
mengajukan sebuah teori bahwa para sufi pengembaralah yang
terutama melakukan penyebaran agama Islam di kawasan
Nusantara, dengan mempertimbangkan kemungkinan kecil
bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam
penyebaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil
mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara sejak abad
ke-13. Dalam “teori sufi” yang diajukan Johns ini, para sufi
berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk Nusantara
karena kemampuan mereka menyajikan Islam dalam kemasan
yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian
dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam
kepercayaan dan praktek keagamaan lokal. Untuk memperkuat
argumentasi “teori sufi” yang diajukannya, Johns menggunakan
tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah
Melayu-Indonesia untuk memeriksa sejumlah sejarah lokal.14
Dalam hasil pemeriksaan sejarah lokal tersebut, Johns
mengungkapkan bahwa banyak sumber-sumber lokal Melayu-
Indonesia yang mengaitkan pengenalan Islam kekawasan
ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi
yang kental. Selanjutnya, berkat otoritas kharismatik dan
kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi dapat mengawini
putri-putri bangsawan –dan karena itu- memberikan kepada
anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura
keilahian atau karisma keagamaan. Kesimpulan yang diajukan
Jhons, dengan “teori sufinya”, Islam tidak dapat dan tidak
menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara di
kawasan Nusantara atau mengislamkan para penguasa mereka
sampai para sufi menyiarkan Islam di kawasan ini, dan hal ini
14
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 13.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 261


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

tidak merupakan gambaran dominan perkembangan Islam di


Nusantara sampai abad ke-13 M.15
“Teori sufi” yang diajukan Johns ini disokong oleh
Fatimi yang memberikan argumen tambahan -antara lain-
dengan menunjuk pada kesuksesan yang sama dari kaum sufi
dalam mengislamkan dalam jumlah besar penduduk Anak
Benua India pada periode yang sama. Berkaitan dengan sebab
aktifnya gelombang para pengembara sufi baru sejak abad ke-
13, Johns menjelaskan bahwa tarekat sufi tidak menjadi ciri
cukup dominan dalam perkembangan Dunia Muslim sampai
jatuhnya Baghdad ke tangan laskar Mongol pada 656 H/ 1258
M. Pada masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi
yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan
kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan yang turut
membentuk masyarakat urban. “Teori sufi” yang disajikan
oleh Johns, menurut Azra, lebih masuk akal dengan tingkat
aplikabilitas lebih luas dibandingkan dengan teori yang disajikan
oleh para sarjana lainnya.16
Dengan berpijak pada “teori sufi” yang dikemukakan
oleh Johns ini, maka didapatkan “pijakan teoritis” yang kokoh
untuk menjelaskan bagaimana fenomena akulturasi Islam dan
budaya lokal di wilayah Nusantara -termasuk di Jawa- berjalan
dengan lancar.

Peran Budaya dalam Penyebaran Islam di Jawa


Jika merujuk pada makam Fatimah binti Maimum yang
ditemukan di Leran, Gresik Jawa Timur dengan angka di batu
nisan yanga menunjuk tahun 475 H/ 1082 M, maka Islamisasi
telah dimulai di wilayah Jawa pada abad ke-11 M.17 Namun
15
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 14-16.
16
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 14-15.
17
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah,

262 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

demikian, sebagaimana daerah lain di Nusantara, konversi


besar-besaran penduduk Jawa ke dalam Islam belumlah terjadi.
Para guru sufi di Jawa, yang dikenal dengan sebutan walisongo,
memainkan peranan yang sangat penting dalam mengislamkan
sebagian besar penduduk lokal di wilayah Jawa.
Mayoritas sarjana bersepakat bahwa di antara para
penyebar pertama Islam di Jawa adalah Mawlana Malik Ibrahim
(w. 1419 M). Ia dikabarkan mengislamkan kebanyakan wilayah
pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali membujuk raja
Majapahit, Vikramavardhana (berkuasa 788-833 H/ 1386-1429
M), agar masuk Islam. Baru setelah kedatangan Raden Rahmat
(sunan Ampel), putra dai Arab di Campa, Islam memperoleh
momentum di istana Majapahit. Raden Rahmat dikabarkan
memiliki peran penting dalam mengislamkan pulau Jawa,
oleh sebab itu ia dipandang sebagai pemimpin Walisongo. Dia
mendirikan sebuah pusat keilmuan Islam di daerah Ampel.18
Dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa, walisongo
menggunakan pendekatan tasawuf (mistik Islam).19 Dengan
cara perlahan dan bertahap, dengan tanpa menolak dengan keras
terhadap budaya masyarakat Jawa, Islam memperkenalkan
toleransi dan persamaan derajat. Dalam masyarakat Hindu-
Jawa yang menekankan perbedaan derajat, ajaran Islam tentang
persamaan derajat menarik bagi masyarakat Jawa. Ditambah lagi
kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan,
panggilan Islam kemudian menjadi dorongan untuk mengambil
alih kekuasaan politik dari tangan penguasa Hindu-Jawa
(Majapahit).20

2009), hlm. 314. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah, 4.
18
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 11.
19
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 316.
20
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 22.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 263


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para


walisongo. Misalnya, perkawinan putri Campa yang beragama
Islam dengan putra mahkota raja Majapahit melahirkan putra
yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Islam Demak,
yaitu Raden Fatah (berkuasa 1478-1518 M). Maulana Ishak
mengawini putri Blambangan dan melahirkan Sunan Giri
(Gresik).21 Perkawinan menjadi salah satu modus dakwah para
walisongo untuk memperkokoh legitimasi sosial dan politik
Islam di lingkungan penguasa Majapahit, serta memberikan gensi
darah para bangsawan Jawa dan aura keilahian kepada keturunan
mereka.
“Pembentukan budaya” menjadi pola penguatan Islam agar
mengakar di kalangan penduduk lokal Nusantara, termasuk juga
di Jawa. Islam yang telah memapankan diri di pusat kerajaan
Majapahit di Jawa, para pedagang Muslim telah mendapat
tempat di pusat-pusat politik semenjak abad ke-11 M. Namun,
komunitas Muslim baru mulai membesar pada abad ke-14 M.
Ketika posisi raja melemah, para saudagar kaya di wilayah pesisir
Jawa mulai mendapatkan peluang untuk menjauhkan diri dari
kekuasaan Majapahit. Mereka tidak hanya masuk Islam tetapi
juga mulai membangun pusat-pusat politik yang independen
(keraton-keraton kecil). Setelah keraton pusat Majapahit goyah
dan semakin melemah, keraton-keraton kecil ini mulai bersaing
untuk menggantikan kedudukan Majapahit. Demak akhirya
berhasil menggantikan kedudukan Majapahit sebagai penguasa
politik di Jawa. Dengan posisi baru ini, Demak tidak hanya
menjadi pemegang hegemoni politik di Jawa, tetapi juga menjadi
“jembatan penyebrangan Islam” yang paling penting di Jawa.22
Walaupun mencapai kebehasilan politik dengan cepat,
21
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 23.
22
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hlm. 227.

264 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Demak tidak hanya dihadapkan pada persoalan legitimasi politik,


tetapi panggilan kultural untuk kontinuitas. Di Jawa, Islam tampil
sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan
yang ada. Sehingga, yang muncul adalah dilema kultural dari
orang baru di dalam bangunan politik yang lama.23 Wajar saja
jika Reid berpendapat bahwa revolusi agama di Jawa belum
selesai. Salah satu faktornya adalah bahwa Jawa mempunyai
kebudayaan istana keindia-indaan (Hindu) yang paling mapan
dibanding dengan negara-negara lain Nusantara yang menerima
Islam.24 Di sinilah, para walisongo memainkan peran penting
dalam melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. Islam
yang bercorak sufi yang dibawa oleh para walisongo, menjadi
Islam yang mampu “tampil dengan wajah yang ramah”. Islam
sufi mampu mentoleransi dengan baik dan menjaga kontinuitas
budaya yang telah ada dan mengakar di masyarakat Jawa.
Pada tahun 1476 M, di Bintoro (Demak) dikeluarkan
kebijakan penyebaran Islam dengan dibentuknya Bayangkare
Islah (angkatan pelopor perbaikan), dengan rencana kerja yang
antara lain adalah pendidikan dan ajaran Islam harus diberikan
melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Jawa,
asal tidak menyalahi (secara substantif) ajaran-ajaran Islam.25 Di
tangan para walisongo inilah akulturasi antara Islam dan budaya
Jawa berjalan dengan baik dan harmonis, dan nilai-nilai Islam
mampu secara bertahap tertanam tertanam dengan baik di dalam
masyarakat Jawa.
“Struktur walisongo” yang bertugas menyebarkan agama
Islam kesuluruh wilayah Jawa adalah terdiri dari wali, kiai ageng,

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 227.


23

Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana


24

dan Kekuasaan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 66.


25
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 114.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 265


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dan pelaksanaan putusan. Wali merupakan pimpinan yang diberi


tugas oleh Bintoro (Demak) untuk mengepalai penyebaran Islam
di suatu wilayah tertentu di Jawa dan Madura. Wali suatu daerah
diberi gelar suan ditambah dengan nama daerah yang menjadi
wilayah dakwahnya. Misalnya, sunan Kudus, sunan Gunung
Jati, sunan Giri. Sedangkan badal, yang bertugas membantu
wali, diberi gelar kiai ageng. Misalnya, Kiai Ageng Tarub, Kiai
Ageng Selo. Sedangkan pelaksanaan putusan ditugaskan pada
Raden Said (Sunan Kalijaga), dan Raden Paku (Sunan Giri). 26
Dakwah para wali dengan memasukkan unsur-unsur
pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang
kebudayaan hasilnya sangat memuaskan, sehingga agama Islam
tersebar keseluruh pelosok wilayah Jawa.27 Pada era Mataram
Islam, Sultan Agung juga mengeluarkan kebijakan dakwah Islam
dengan basis kebudayaan, yaitu dengan mengakulturasikan
berbagai kebudayaan lama Jawa (era Hindu-Budha) dengan
ajaran-ajaran Islam.28 Bentuk dakwah yang dilakukan oleh
para wali (pada era Demak), dan era Mataram Islam dengan
pendekatan budaya pada akhirnya mampu menanamkan nilai-
nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa tanpa mereka harus
tercerabut dari basis kebudayaannya.

Akulturasi Islam dan Budaya Jawa


Bentuk makam dari periode awal masuknya Islam
menjadi model bagi model makam pada era berikutnya. Hal
ini disebabkan karena pada tradisi Hindu tidak ada tradisi
memakamkan jenazah. Dalam tradisi Hindu jenazah dibakar
dan abunya dibuang kelaut, jika jenazah orang kaya maka akan
disimpan diguci atau bila jenazah raja maka akan disimpan
26
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 114-115.
27
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 114-115.
28
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 115.

266 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dicandi. Akulturasi budaya dapat dilihat pada bentuk nisan.


Pengaruh budaya Jawa dapat dilihat dari bentuk nisan yang
tidak lagi hanya berbentuk lunas (bentuk kapal terbalik) yang
merupakan pengaruh Persia, tetapi sudah memiliki beragam
bentuk teratai, bentuk keris, dan bentuk gunungan pewayangan.29
Bentuk-bentuk nisan tersebut merupakan pengaruh dari budaya
Jawa.
Masjid Agung Demak –yang disebut sebagai masjid
tertua di Jawa, dan masjid-masjid keraton di Kota Gede
(Mataram) memiliki bentuk atap bersusun seperti kuil-kuil
Hindu Asia Selatan. Pola arsitektur ini tidak dikenal di kawasan
dunia Muslim lainnya.30 Jika merujuk pada gaya arsitektur yang
berkembang di dunia Islam, maka ada beberapa corak yang akan
kita temukan, yaitu: corak Ottoman style (Byzantium), India
style, dan Syiro-Egypto style. Arsitektur bangunan masjid banyak
dipengaruhi oleh seni bangunan era kerajaan Hindu-Budha.
Pengaruh tersebut dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut:31
a. Bentuk atap masjid. Bentuk atap masjid tidak berbentuk
kubah seperti Ottoman style, India style atau Syiro-Egyptian
style, namun berbentuk atap bersusun yang semakin ke atas
semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota.
Bilangan atapnya selalu ganjil, kebanyakan berjumlah tiga
atau lima.
b. Tidak adanya menara. Tidak adaanya menara pada arsitektur
masjid di Jawa berkaiatan dengan digunakannya pemukulan
bedug sebagai tanda masuk waktu sholat. Dari masjid-
masjid tua di Jawa, hanya masjid di Kudus dan Banten yang
ada menaranya, dan menara kedua masjid tersebut memiliki
29
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 94-95.
30
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2012), hlm. 87.
31
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 95-96.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 267


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

bentuk yang berbeda. Menara masjid Kudus berbentuk candi


Jawa Timur (Majapahit) yang telah diubah, disesuaikan
penggunaannya dan diberi atap tumpang. Menara masjid
Banten adalah bangunan tambahan pada zaman kemudian,
menara tersebut dibangun oleh Cordell, seoranng pelarian
Belanda yang masuk Islam. Bentuk menara masjid Banten
adalah seperti mercusuar.
c. Letak masjid. Masjid selalu terletak di dekat istana raja (atau
adipati/bupati). Di belakang masjid sering terdapat makam-
makam. Sedangkan di depan istana selalu ada lapangan besar
(alun-alun) dengan pohon beringin kembar. Letak masjid
selalu ada di tepi barat istana. Rangkaian makam dan masjid
ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari fungsi candi pada
zaman kerajaan Hindu-Nusantara.

Berbagai “variasi” arsitektur masjid dengan pengaruh


budaya Jawa yang kental, merupakan wujud akulturasi Islam
dan budaya Jawa. Dalam bidang kesusasteraan, kesusasteraan
Nusantara dapat dibagi dalam kesusasteraan zaman madya
(Islam) dan kesusasteraan purba (Hindu-Budha). Kesusasteraan
zaman madya berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi
perkembangnya tidak sebesar kesusasteraan zaman purba
(Hindu-Budha). Hal ini dikarenakan tidak ada tempat khusus
untuk melestarikannya seperti kesusasteraan purba yang masih
tersimpan rapi di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada
saat ini sebagaian besar merupakan hasil gubahan baru. Hal
ini menyebabkan kesusasteraan zaman madya sulit diturutkan
kepada perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-bagi
menurut golongannya saja. Walaupun demikian pembagian
tersebut tidak dapat dilakukan secara tegas karena suatu naskah

268 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dapat masuk dalam 2 golongan.32


Kesusasteraan zaman madya (era Islam) tidak terlepas
dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan dari kesusasteraan
zaman purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di
Jawa. Banyak gubahan-gubahan sastra purba berkembang di
zaman madya. Gubahan-gubahan sastra ini biasanya ditulis
dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yangditulis
dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan yang
ditulis dalam tembang disebut syair. Di daerah Melayu karya
sastra banyak yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab,
sedangkan di Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada juga
yang menggunakan huruf Arab terutama yang berkaitan dengan
soal-soal keagamaan.33
Kesusasteraan zaman madya berdasarkan sifatnya dapat
dibagi menjadi empat kelompok, yaitu hikayat, babad, suluk,
dan kitab primbon. Pertama, hikayat merupakan cerita atau
dongeng yang biasanya penuh dengan keajaiban dan keanehan.
Tidak jarang pula, hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah
dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi.34 Karya sastra
dalam bentuk hikayat ini banyak mendapatkan pengaruh dari
Persia. Hikayat tersebut antara lain adalah: Kalilah Wa Dimnah,
Bayan Budiman, dan Abu Nawas. Cerita-cerita (hikayat) tersebut
disadur ke dalam bahasa Indonesia (bahasa melayu), namun
kebanyakan tidak diketahui penyalinnya. Karya sastra yang
tertulis dalam bentuk tembang atau gancaran antara lain adalah:
Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat

32
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
33
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
34
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 269


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Seri Rama, Hikayat Maharaja Rahwana, Syair Ken Tambunan,


Lelakon Mesa Kumetir, Syair Panji Sumirang, Carita Wayang
Kinudang, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Waneng
Pati,dan Hikayat Panji Wila Kusuma.35 Karya sastra dalam
bentuk tembang atau gancaran tersebut merupakan gubahan
baru dari cerita Mahabarata, dan Ramayana yang merupakan
karya sastra peninggalan masa kerajaan Hindu-Nusantara.
Kedua, babad merupakan dongeng yang sengaja
diubah sebagai cerita sejarah. Di dalam babad tokoh, tempat,
dan peristiwa hampir semuanya ada dalam sejarah, tetapi
penggambarannya dilakukan secara berlebihan (hiperbolis).36
Karya sastra dalam bentuk babad ini sesungguhnya adalah cerita
yang digubah sebagai cerita sejarah. Dalam tradisi sastra melayu,
karya sastra dalam bentuk babad disebut dengan salasilah dan
tanbo atau hikayat, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat
Salasilah Perak, dll. Karya sastra yang berbentuk babad antar lain
adalah Babad Tanah Jawa, Babad Giyanti, Sejarah Hasanudin,
dan Sejarah Banten Rante-Rante,37 babad Cirebon, dan Babad
Pakepung.38
Ketiga adalah suluk. Suluk merupakan kitab-kitab yang
menguraikan soal tasawuf (mistik Islam). Suluk tergolong
dalam karya sastera “nyentrik”. Beberapa pujangga yang
menulis suluk di antaranya adalah Ronggowarsito, Hamzah
Fansuri, Sunan Bonang, dan Syaekh Yusuf.39 Karakteristik khas
dari suluk adalah karena ia memuat ajaran tasawuf yang bersifat

35
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 98-99.
36
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
37
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99, dan 100.
38
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
39
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

270 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

panteisme (manunggaling kawulo gusti),40 yang dianggap aliran


tasawuf yang non-mainstrem dan dianggap menyimpang. Di
antara karya sastra dalam bentuk suluk adalah Suluk Malang
Sumirang, Suluk Sukarsa, dan Suluk Wijil. Di antara karya sastra
dalam bentuk suluk (disebut juga dengan kitab suluk), banyak
yang tidak mempunyai judul dan juga tidak diketahui nama
pengarangnya. 41
Keempat adalah kitab primbon. Kitab primbon memiliki
kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan tentang
kegaiban. Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan
buruk, dan pemberian makna pada suatu kejadian. Contoh kitab
primbon adalah kitab primbon Bataljemur Adam makna, dan
kitab primbon Lukman Hakim.42 Ada juga kesusteraan yang
disebut kitab, disebut kita karena isinya memuat tentang ajaran-
ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai dengan syariat dan adat.
Karya sastra yang berbentuk kitab misalnya kitab manik maya,
kitab anbiya, kitab taj al-salatin (mahkota segala raja), dan kitab
bustan al-salatin.43
Adanya doktrin Islam yang melarang untuk
menggambarkan makhluk hidup dan memperlihatkan
kemewahan, maka pada zaman awal Islam di Nusantara ada
berbagai cabang kesenian yang kehilangan daya hidupnya,

40
Wahdat al-wujud adalah ajaran dari Sufi besar Ibnu ‘Arabi, yang
menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu
wujud sejati yaitu Allah (al-Haqq), hlm. sedangkan alam tidak dari sekedar
manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut. Sebagian kalangan menyebut
aliran ini dengan panteisme. Lihat Mulyadi Kertanegara, Grebang Kearifan:
Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 61, dan
68. Oleh banyak kalangan (terutama sebagian Fuqaha) ajaran ini dianggap
menyimpang.
41
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99 - 100.
42
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
43
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99 - 100.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 271


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

dibatasi, atau disamarkan. Misalnya, seni arca, seni tuang


logam mulia, dan seni lukis, sehingga jenis seni tersebut kurang
berkembang. Namun demikian, ada juga seni yang berasal
dari zaman Hindu-Budha yang terus berlangsung walaupun
mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai Islam, misalnya seni
wayang. Seni wayang dilakukan dengan dibuatkan cerita-cerita
yang mengambil tema-tema Islam seperti Pandawa Lima, dan
Kalimasada, dengan gambar manusianya disamarkan, tidak
seperti manusia utuh supaya tidak menyalahi peraturan Islam.
Cerita Amir Hamzah –bahkan- dipertunjukan melalui wayang
golek dengan tokoh-tokohnya diambilkan dari pahlawan-
pahlawan Islam. Wayang menjadi sarana yang efektif untuk
menyebarkan nilai-nilai Islam pada saat itu. Di samping itu,
muncul juga wayang yang dimainkan oleh orang-orang, sehingga
drama dan seni tari masih tetap berkembang dengan disesuaikan
dengan nilai-nilai Islam.44
Sunan Kalijaga merupakan tokoh walisongo yang mahir
memainkan kesenian wayang, kemahirannya dalam kesenian
wayang dimanfaatkan betul untuk melakukan kegiatan dakwah
Islam. Dalam setiap pementasannya, Sunan Kalijaga tidak
meminta upah, namun dia meminta para penonton untuk
mengikutinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Tema-
tema wayang yang telah dimasuki dengan nilai-nilai Islam
dipentaskan sebagai sarana mengajarkan nilai-nilai Islam kepada
para penonton, yang notabene telah masuk Islam karena telah
mengucapkan dua kalimat syahadat.45 Dengan menggunakan
basisi kesenian, dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
ini merupakan metode dakwah yang sangat arif-kreatif khas
para guru sufi. Mendidik dengan hati, dan mendidik tanpa

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 100-101.


44

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 203.


45

272 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

“menggurui”.
Pada era Mataram Islam, Sultan Agung mengeluarkan
kebijakan agar kebudayaan lama Jawa (era Hindu-Budha)
diakulturasikan dengan ajaran-ajaran Islam. Kebijakan Sultan
Agung ini menghasilkan akulturasi budaya, sebagai berikut:46
a. Grebeg disesuaikan dengan hari besar Islam, yaitu hari raya
idul fitri dan Maulid Nabi, yang disebut Grebeg Poso dan
Grebeg Mulud.
b. Gamelan Sekaten dibunyikan pada Grebeg Mulud, dipukul di
halaman masjid Agung.

Tahun Caka (baca: Saka) -peninggalan era Hindu-


Budha- yang berdasarkan perjalanan matahari, tahun Caka pada
tahun 1633 M telah menunjukkan tahun 15550 Saka tidak lagi
ditambah dengan hitungan matahari, tetapi dengan hitungan
yang didasarkan pada perjalanan bulan, sesuai dengan model
tahun Hijriyah. Tahun yang baru disusun itu disebut tahun Jawa
dan sampai sekarang tetap dipakai.

Akulturasi Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Budaya Jawa


Pendidikan di dalam agama Islam menempati posisi yang
sangat penting, pentingnya posisi pendidikan di dalam Islam
dapat dilihat di dalam sumber utama Islam, yaitu al-Qur’an dan
Hadis. Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah usaha orang
dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan
kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk
pendidikan formal maupun non formal.47 Adapun menurut Ahmad
D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 115.


46

HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama (Jakarta :


47

Bulan Bintang, 1976), hlm. 12.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 273


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

menuju terbentuknya kepribadian yang utama.48


Adapun pengertian pendidikan menurut Soegarda
Poerbakawatja ialah semua perbuatan atau usaha dari generasi
tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda.
Sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi
hidupnya baik jasmani maupun rohani.49
Merujuk pada pendapat Ahmad D. Marimba, pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan
hukum-hukum agama. Islam menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.50 Sedangkan menurut
Chabib Thoha, pendidikan Islam adalah pendidikan yang
falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk
melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar
Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits.51 Achmadi
mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber
daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau
dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim.52
Dari beberapa definisi pendidikan Islam di atas, dapat
ditarik benang merah bahwa pengertian pandidikan Islam
adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat
kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah

48
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al
Ma’arif, 1989), hlm. 19.
49
Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta :
Gunung Agung, 1981), hlm. 257.
50
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, 21.
51
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 99.
52
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta:
Aditya media, 1992), hlm. 14.

274 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

manusia berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-


Qur’an dan Hadits menuju terbentuknya manusia ideal (insan
kamil) yang berkepribadian Islami dan berakhlak terpuji serta
taat pada aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT
dalam kerangka menghambakan diri kepada-Nya, sehingga
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Semangat Islam di dalam menempatkan pendidikan
dalam posisi yang sangat penting dapat dilihat di dalam al-
Qur’an, antara lain yang terdapat dalam surat al-‘Alaq, yang
memerintahkan untuk membaca (iqra’). “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia
dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq: 1-5).
Membaca yang dimaksud adalah membaca dalam dalam
arti luas, yaitu membaca ayat qauliyah maupun ayat-ayat
kauniyah. Membaca merupakan salah satu unsur penting dalam
proses pendidikan, karena membaca merupakan “jalan” bagi
manusia untuk mendapatkan ilmu. Perintah membaca tersebut
tentu saja mengandung maksud bahwa Islam menginginkan
agar umatnya senantiasa memperkaya diri dengan ilmu, karena
dengan ilmulah maka manusia akan dapat beribadah kepada
Allah dengan sebenar-benarnya. Pentingnya pendidikan di
dalam al-Qur’an juga dapat dilihat dari penekanan al-Qur’an
terhadap umat Islam agar mendalami keilmuan yang terdapat
di dalam QS. al-Taubah: 122, serta tingginya derajat orang-
orang yang diberi ilmu di sisi Allah SWT yang terdapat di dalam
QS. al-Mujadalah: 11. “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin
semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari
setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 275


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

pengetahuan (agama) mereka, dan untuk memberi peringatan


kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka
dapat menjaga diri” (QS. al-Taubah: 122), dan “Niscaya Allah
akan meninggikan (derajat) orang-orang yang beriman di antara
kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS.
al-Mujadalah: 11).
Di samping di dalam al-Qur’an, pentingnya posisi
pendidikan dapat dilihat dari banyaknya Hadis-hadis Nabi
SAW yang menekankan pentingnya mencari ilmu, makna
penting mencari ilmu, dan keutamaan orang yang berilmu
(ahli ilmu) dibandingkan dengan ahli ibadah, bahkan ajaran
Islam menempatkan posisi “mencari ilmu” sebagai sesuatu
yang diwajibkan bagi semua orang Islam. Hal-hal tersebut di
atas antara lain dapat dilihat di dalam hadis-hadis berikut ini:
“Barangsiapa yang Allah menghandaki kebaikan baginya
maka dia akan memahamkannya tentang agama” (Bukhari
dan Muslim). Selanjutnya disabdakan pula dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim “Barangsiapa yang menempuh
jalan yang memohon ilmu di dalamnya, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju sorga”. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dijelaskan “Keutamaan ahli
ilmu dengan ahli ibadah adalah seperti keutamaanku (Nabi
SAW) atas orang yang paling rendah derajatnya di antaramu,
kemudian Rasulullah SAW berkata: sesungguhnya Allah dan
para malaikat, penduduk langit dan bumi, hingga semut yang
ada di sarangnya dan ikan di lautan niscaya akan mendoakan
kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”.
Dari berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut di
atas menunjukan bahwa Islam benar-benar merupakan agama
yang menempatkan pendidikan sebagai bagian yang sangat
penting dalam ajaran keagamaannya. Sebagaimana diungkapkan

276 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

di dalam QS. al-Dzariyat: 57, bahwa Allah tidak menciptakan


jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya, maka
menghambakan diri (beribadah) kepada Allah SWT untuk
mencari keridloan-Nya merupakan tujuan umum dari misi
diutusnya Rasulullah kepada umat manusia dengan membawa
agama Islam. Oleh sebab itu, sebagai bagian yang sangat penting
dalam ajaran Islam maka tujuan umum pendidikan Islam pun
adalah dalam rangka menghambakan diri kepada Allah SWT.
Tujuan umum dari pendidikan Islam tersebut di atas,
dapat dijabarkan dalam tiga aspek sebagai berikut, yaitu53:
1. Menyempurnakan hubungan manusia dengan Allah SWT.
Pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan dan
memelihara hubungan manusia dengan Allah SWT. Semakin
dekat dan semakin terpelihara hubungan tersebut, maka
keimanan seseorang akan semakin tumbuh dan berkembang
pula keimanannya. Semakin tumbuh dan berkembang
keimanan seseorang, maka akan semakin terbuka juga
kesadaran akan penerimaan / ketaatan dan ketundukannya
kepada segala perintah dan larangan-Nya. Rangkaian dari
hal tersebut akan membawa dampak berupa tercapainya
kebahagiaan manusia, baik dalam kehidupan dunia maupun
kehidupan akhirat kelak.
2. Menyempurnakan hubungan manusia dengan sesamanya.
Memelihara, memperbaiki, dan meningkatkan hubungan
antara manusia dan lingkungan sosialnya merupakan upaya
yang harus terus dilakukan. Di sinilah fungsi penting
pendidikan Islam yang bertujuan agar hubungan manusia
senantiasa berjalan dengan baik. Terjaganya hubungan antar
manusia yang menjadi tujuan pendidikan tersebut tidak

Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam


53

(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. hlm.84.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 277


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

hanya terbatas pada sesama Muslim, namun juga dengan


non-Muslim.
3. Mewujudkan keseimbangan antara kedua hubungan.
Mewujudkan keseimbangan antara hubungan manusia
dengan Allah SWT, serta hubungan manusia dengan manusia
merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam Islam. Hal ini
dikarenakan agama Islam adalah agama yang menekankan
pentingnya kedua hubungan tersebut dijaga dengan baik agar
terwujud keseimbangan, di sinilah letak penting pendidikan
Islam yang mengemban tujuan agama Islam sebagai rahmatan
lil ‘alamin, pembawa rahmat untuk seluruh alam. Upaya
mengenal, memperbaiki diri, serta mengaktualisasikan
kedua aspek – hubungan manusia dengan Allah SWT, dan
hubungan manusia dengan manusia- secara seimbang dalam
bentuk tindakan sehari-hari memberi petunjuk atas sejauh
manakah tingkatan yang telah dicapai oleh manusia di dalam
menghambakan dirinya kepada Allah SWT.

Di dalam pendidikan Islam, nilai adalah sesuatu yang


sangat penting dalam rangka mencapai tujuan umum pendidikan
Islam, yaitu penghambaan diri kepada Allah SWT. Menurut
Zakiah Derajat, nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau
perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan
corak yang khusus kepada pola pemikiran dan perasaan,
keterikatan maupun perilaku.54 Adapun nilai-nilai Islam apabila
ditinjau dari sumbernya, maka dapat digolongkan menjadi dua
macam, yaitu:55
a. Nilai Ilahi.

54
Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam (Jakarta : Bulan Bintang,
1984), hlm. hlm.260.
55
Muhaimin Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung :
Bumi Aksara, 1991), hlm. hlm.111.

278 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Nilai Ilahi adalah nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan


hadits. Nilai ilahi dalam aspek teologi (kaidah keimanan)
tidak akan pernah mengalami perubahan, dan tidak
berkecenderungan untuk berubah atau mengikuti selera hawa
nafsu manusia. Sedangkan aspek alamiahnya dapat mengalami
perubahan sesuai dengan zaman dan lingkungannnya.
b. Nilai Insani
Nilai insani adalah nilai yang tumbuh dan berkembang atas
kesepakatan manusia. Nilai insani ini akan terus berkembang
ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Nilai ini bersumber
dari ra’yu, adat istiadat (‘urf), dan kenyataan alam.

‘Urf adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa yang


diperoleh melalui kesaksian dan akan diterima oleh tabiat. ‘Urf
adalah suatu perbuatan dan perkataan yang menjadikan jiwa
merasa tenang mengerjakan suatu perbuatan, karena sejalan
dengan akal sehat yang diterima oleh tabiat yang sejahtera,
namun tidak semua tradisi yang dapat dijadikan dasar ideal
pendidikan Islam, melainkan setelah melalui seleksi terlebih
dahulu. Selanjutnya, ‘urf yang dapat dijadikan dasar pendidikan
Islam tentulah harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
Pertama, tidak bertentangan dengan ketentuan nash baik itu
Al-Qur’an maupun Hadits. Kedua, tradisi yang berlaku tidak
bertentangan dengan akal sehat dan tabiah sejahtera, serta tidak
mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudharatan.56
Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai-nilai
ideal Islam dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu:57
a. Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan

56
Kamal al-Din Imam, Ushul al-Fiqh Al-Islami (Bairut:Dar al-Fikr,
1969), hlm. 183.
57
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 1993),
hlm. 120.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 279


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

kesejahteraan hidup manusia didunia.


b. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia
untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan.
c. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan
antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.

Sebagai bagian penting dari agama Islam, akulturasi


yang terjadi antara Islam dan budaya Jawa pada akhirnya juga
berakibat pada akulturasi antara nilai-nilai pendidikan Islam
dengan budaya Jawa. akulturasi ini dapat kita lihat dalam setiap
fase kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, baik era Demak, Pajang,
maupun Mataram Islam.
Pendidikan memainkan peran penting dalam penyebaran
Islam di Jawa. Pesantren atau pondok menjadi lembaga pendidikan
yang memainkan peran penting, pesantren diselenggarakan oleh
para ulama. Di pesantren para calon guru agama, kiai, atau
ulama mendapatkan pendidikan agama Islam. Setelah lulus dari
pesantren, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing
atau ke daerah lain untuk menyebarkan agama Islam. Pesantren-
pesantren pada awal penyebaran Islam di Jawa misalnya adalah
pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel)
di Ampel Denta-Surabaya, dan Pesantren yang didirikan oleh
Sunan Giri di Giri.58
Di era Demak, akulturasi nilai-nilai pendidikan Islam
menjadi ruh dikeluarkannya kebijakan tentang “Bayangkare
Islah”, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dalam
konteks pendidikan, kebijakan Bayangkare Islah ini memuat
beberapa hal sebagai berikut:59
a. Tanah Jawa dan Madura dibagi atas beberapa bagian untuk

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 203.


58

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 114.


59

280 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap


bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu
(badal). Wali diberi gelar sunan ditambah dengan nama
daerah yang dikepalai olehnya, misalnya Sunan Kudus,
Sunan Muria, Sunan Giri, dan lain sebagainya.
b. Pendidikan Islam agar mudah dipahami dan diterima
oleh masyarakat Jawa, maka pendidikan harus diberikan
melalui jalan kebudayaan yang hidup di masyarakat asal
tidak bertentangan dengan syari’ah.
c. Para wali/badal selain harus pandai ilmu agama juga harus
memelihara budi pekerti supaya menjadi suri tauladan
bagi masyarakat.
d. Di Bintoro (di Demak) didirikan masjid Agung untuk
menjadi sumber ilmu, dan pusat kegiatan pendidikan
Islam.

Sedangkan pada era Mataram Islam, pelaksanaan


pendidikan di bagi dalam beberapa tingkatan disesuaikan dengan
birokrasi pemerintahan, sebagai berikut: pelaksanaan pendidikan
di tingkat kabupaten dibagi menjadi beberapa bagian. Pelaksanaan
pendidikan di masing-masing bagian dipertanggungjawabkan
kepada beberapa ketib, dibantu oleh beberapa modin. Naib
bertugas sebagai kepala, sedangkan pegawainya, serta modin
desa adalah penyelenggara pendidikan di tingkat desa. Pada
beberapa daerah kabupaten diadakan pesantren besar lengkap
dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di
tingkat desa. Guru yang mengelola pesantren disebut kia sepuh
atau kiai kanjeng, yang merupakan bagian dari “ulama keraton”.60
Model pesantren yang dipraktekan pada era Demak dan Mataram
tersebut, merupakan hasil akulturasi dari sistem pendidikan

60
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 117.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 281


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

Islam dengan sisem pendidikan era kerajaan-kerajaan Hindhu di


Jawa (Majapahit).
Di samping akulturasi sistem pendidikan Islam dengan
sistem pendidikan era kerajaan Hindu Jawa (Majapahit) yang
menghasilkan sistem pendidikan model pesantren, akulturasi
juga terjadi dalam macapat dan nilai-nilai pendidikan Islam.
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap
bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan
setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan)
tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut
guru lagu. Macapat digunakan sebagai sarana pendidikan untuk
menanamkan nilai-nilai luhur pada era kerajaan Hindu Jawa.61
Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit
dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa
dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur
dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru,
pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah
tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak
dianggap sebagai hasil karya sastra, namun hanya semacam
“daftar isi” saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis
dalam tembang macapat misalnya adalah Serat Wedhatama,
Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.62
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi
menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan
dan tembang gedhe. Macapat digolongkan kepada kategori
tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang
gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno,
namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak

61
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.
62
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.

282 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.


Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung,
puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan. 63

63 http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb.


2013.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 283


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

DAFTAR PUSTAKA

Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama


Indonesia: Sebuah studi tentang Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan
Islam Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah,
2009.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana
dan Kekuasaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2012.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.

284 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
Mulyadi Kertanegara, Grebang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama. Jakarta :
Bulan Bintang, 1976.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung :
Al Ma’arif, 1989.
Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta :
Gunung Agung, 1981.
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
Aditya media, 1992.
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2007. Zakiah Darajat, Dasar-
dasar Agama Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1984.
Muhaimin Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung :
Bumi Aksara, 1991.
Kamal al-Din Imam, Ushul al-Fiqh Al-Islami. Bairut: Dar al-Fikr,
1969.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara,
1993.
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb.
2013.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 285


Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa (Oleh: Donny Khoirul Aziz)

http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb.


2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb.
2013.

286 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

PLURALISME AGAMA MENURUT ANAND


KRISHNA

Andi Hartoyo
Sekolah Harapan Utama Batam
Email: agha_media@ymail.com

ABSTRAK

Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus dan di


dalam dialog tersebut seseorang akan memberi dan menerima.
Dialog akan terwujud hanya ketika seseorang bisa duduk
sejajar dalam dataran kediriannya. Dunia ini milik bersama,
hidup ini dijalani bersama dan semua persoalan manusia
adalah juga persoalan semua orang, termasuk persoalan
keber-Tuhan-an dan masalah agama serta keberagamaan
adalah juga persoalan sebagai sesama manusia. Kedirian akan
lestari serta akan menimbulkan rasa damai serta kreatif kalau
tali pengikatnya adalah ikatan cinta, simpati dan didasari rasa
saling menghormati, saling mempercayai serta masing-masing
bisa dipercaya. Anand Krishna mengungkap bahwa agama
tidak hanya milik satu orang atau kelompok, apapun jenis dan
nama agamanya, sumbernya hanya satu yaitu Tuhan.

Kata Kunci: Cinta kasih, Pengorbanan diri, Agama, Institusi

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 287


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Peran Agama Bagi Umat Beragama


Agama dapat dikatakan sebagai kekuatan paling dahsyat
dan berpengaruh di muka bumi ini. Sepanjang sejarah, gagasan
dan komitmen keagamaan telah mengilhami individu dan kaum
beriman untuk menanggalkan semua kepentingan pribadi
yang sempit demi tercapainya nilai dan kebenaran yang lebih
tinggi. Sejarah menunjukan bahwa cinta kasih, pengorbanan
diri dan pengabdian kepada orang lain seringkali berakar begitu
mendalam pada pandangan dunia keagamaan. Pada saat yang
sama, sejarah dengan jelas menunjukkan bahwa agama sering
kali dikaitkan secara langsung dengan contoh terburuk perilaku
manusia. Kedengarannya usang tetapi, sayangnya benar, jika
dikatakan bahwa dalam sejarah manusia, perang, membunuh
orang dan kini semakin banyak lagi kejahatan yang lebih sering
dilakukan atas nama agama dibandingkan atas nama kekuatan
institusional lain. Sebagai mana yang dikatakan oleh Anand
Krishna :
Bangsa ku berada diambang disintegrasi. Perang saudara
di Ambon telah mencabik-cabik jiwa dan hati ibu pertiwi.
Sementara itu beberapa pejabat kita masih saja menggunakan
bahasa yang sangat provokatif, bahasa yang sama sekali tidak
menyejukkan, malah bisa memicu amarah dan emosi. Di balik
pernyataan-pernyataan mereka, aku mencium bau tidak sedap,
kepentingan diri dan kepentingan kelompok atau partai yang
mereka wakili. Ayat-ayat suci al-Qur’an dipakai seenaknya dan
disalah tafsirkan demi kepentingan sesaat. Begitu pula dengan
para Rohaniwan yang sering muncul di layar TV berjualan
agama. cara-cara yang mereka pakai, demi apa yang mereka
sebut ‘menyelamatkan jiwa manusia’ terasa memuakkan sekali.
Mereka tidak sadar bahwa cara-cara tersebut hanya memicuh
pihak-pihak lain yang tidak sadar pula untuk berlombah dalam
ketidaksadaran. Al-Kitab dan Yesus dijadikan komoditas,
dijadikan barang dagangan untuk diperjual belikan.1

Anand Krishna, Shambala – Fajar Pencerahan Di Lembah Kesadaran


1

288 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Agama hanya merupakan sebuah jalan dan selama


masih ada yang melakukan perjalanan maka, pasti ada jalan-
jalan yang diciptakan.2 Dan setiap jalan agama bertujuan
satu – memanusiakan manusia. “Tujuan agama bukanlah
menciptakan manusia Hindu atau manusia Islam atau manusia
Kristen atau manusia Budha atau manusia Sikh tetapi tujuan
agama adalah menciptakan manusia”.3 Kendatipun beragama
sama, pemahaman masing-masing pemeluk agama tetap beda,
kemudian pengalamannya pun akan berbeda pula. Tetapi, akan
menjadi petaka apabila agama itu di lembagakan, karena setiap
lembaga pasti ada pemimpinnya dan setiap pemimpin belum
tentu memahami esensi agama, jika mereka belum memahami
esensi agama, mereka akan menyalah tafsiran ayat-ayat suci
demi kepentingan pribadi.4
Kamu harus membedakan antara Religion atau Agama
dan Religion Institutions atau lembaga keagamaan. Agama
merupakan pengalaman pribadi, setiap orang harus menjalaninya
sendiri. Seperti jika haus, kamu harus minum air sendiri, tidak
ada yang bisa mewakili dirimu. Lalu, kamu juga harus bisa
memilih apakah harus meminum air biasa atau hangat atau
dingin… pun demikian juga dengan agama. Sementara itu
lembaga keagamaan berupaya untuk menyuguhkan sesuatu
yang seragam, kalau air dingin, ya dingin saja, kalau hangat
ya hangat saja. … dan yang namanya lembaga memang harus
demikkian, karena setiap lembaga harus memiliki dasar,
asas. Dan kalau kita berbicara tentang dasar, tentang asas
kita berbicara tentang pembakuan beberapa konsep. Lalu
pembakuan tentang konsep-konsep itulah yang menciptakan
keseragaman. Lembaga-lembaga keagamaan itu sesungguhnya
hanya dibutuhkan untuk suatu masa pertumbuhan, dan selama

(Jakarta, Gramedia, 2000), hlm. viii – viii


2
Ibid, hlm. 63
3
Ibid
4
Ibid, hlm. 135

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 289


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

itu pula keseragaman pun dibutuhkan. Celakanya, para


penyelenggara lembaga-lembaga keagamaan sudah terlanjur
menjadi ‘haus kuasa’. Mereka tahu persis, selama umat mereka
belum bertumbuh, mereka masih bisa dikuasai. Jadi, dibiarkan
tetap bodoh saja. … seharusnya lembaga-lembaga keagamaan
itu harus melakukan re – positioning, dari lembaga yang
menguasai mereka harus menjadi lembaga yang melayani.
Selama ini mereka memang mengaku sudah melayani, tetapi
sesungguhnya belum. Kadang-kadang pemimpinnya menyebut
diri mereka sebagai hamba dari para hamba.5
Kepemimpinan keagamaan tidaklah buruk secara inhern.
Sebaliknya ini merupakan ciri yang penting dan utama bagi
setiap tradisi agama. Namun pada tingkat tertentu, setiap
kelompok dalam tradisi agama harus bertanya tentang hubungan
mereka yang sebenarnya dengan masyarakat luas. Setiap
agama selalu menyatakan adanya sesuatu yang salah dalam
kehidupan manusia. Ajaran tentang hakikat nasib manusia dan
petunjuk jalan yang membimbing pada tujuan yang dikehendaki
merupakan resep kunci dalam setiap komunitas iman.
Dibekali dengan pengetahuan, orang-orang beriman harus
bertanya bagaimana mereka dapat berperan baik di dunia yang
di dalamnya kebanyakan orang lain tidak memiliki pengalaman
yang sama, dengan kata lain: Bagaimana orang beriman–baik
Yahudi, Hindu, Budha, Kristen maupun Islam dapat hidup di
dunia ini tanpa harus meleburkan pemahamannya?. Karena itu
orang selalu lupa bahwa apabila yang dicari itu adalah esensi
agama maka, yang ingin diperoleh itu adalah spiritualitas, dengan
demikian seseorang tidak perlu ganti agama.6 Sebenarnya yang

5
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan,
(Jakarta, Gramedia, 2004), hlm. 64–65
6
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung
Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV (Jakarta, Gramedia, 1999),
hlm, 157

290 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

mereka cari itu tidak berada di luar, yang sedang mereka cari
itu berada dalam diri mereka sendiri. bahkan, sebetulnya yang
sedang mereka cari itu adalah diri mereka sendiri.7
Agama hanya berperan sebagai jari telunjuk. Mereka yang
pernah mencapai kebenaran dan ingin meninggalkan pesan
bahwa “Ada kebenaran di situ”, tetapi manusia harus
mencarinya sendiri.8… dan nantinya yang akan Tuhan
tanyakan – kamu berbuat baik atau tidak? Identitas agama
tidak akan ditanyakan, Islam tidak akan masuk surga atau
neraka. Hindu, Budha, Islam – tidak harus bertanggung
jawab kepada siapa-siapa. Manusianya lah yang harus
bertanggung jawab kepada Tuhan. Islam tidak harus
dibela, orang membela agama – bodoh. Kenapa agama
harus kamu bela? Bela dirimu saja dari adzab Allah.9
Agama tidak perlu dibela, agamalah yang seharusnya
membela manusia, jika manusia itu menyadari bahwa agama itu
berasal dari Tuhan. Dengan melalui fenomena spiritualitas yang
menuntut kepedulian terhadap sesama makhluk Tuhan yang
mengaplikasikan cinta kasih. Tetapi, jika sulit untuk merasakan
kasih di dalam diri, anggaplah Tuhan sebagai perwujudan kasih
sejati, yang sifat utama-Nya adalah Rahman dan Rahim (maha
pengasih dan maha penyayang), karena itu, bila seseorang
menerapkan kasih di dalam hidup sehari-hari sesungguhnya
seseorang itu sedang menerapkan “Tuhan”. “Berke-Tuhan-an”
berarti “mengasihi”.10

Agama Cinta
Tuhan sebagai zat Yang Satu adalah wujud muhith

7
Ibid.
8
Anand Krishna, Reinkarnasi–Hidup tak Pernah Berakhir, (Jakarta:
Gramedia, 1998), hlm. 33.
9
Ibid.
10
Anand Krishna, Narada Bakhti Sutra–Menggapai Cinta Tak
Bersyarat dan Tak Terbatas, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 29

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 291


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

(meliputi segala sesuatu) dan merupakan panggung terakhir


dari kewujudan. Pada sisi ini faktor cinta (Ishq, Hubb11) menjadi
penting untuk dibicarakan. Sebab cinta menjadi faktor utama
yang mendorong yang satu untuk memanifestasikan diri-Nya.
Cinta sebagai sumber dan hakikat wujud berimplikasi
sangat jauh terhadap eksistensi kehidupan itu sendiri. Tanpa
cinta, kehidupan menjadi tidak ada, dan tanpa apresiasi yang
benar terhadap cinta kehidupan pun tidak akan bermakna
sedikitpun bagi manusia dan makhluk lain. Manusia memerlukan
cinta. Karena cinta adalah sumber energi kehidupan. Tetapi,
apa makna cinta itu sendiri?. Sifat cinta tidak dapat dijelaskan,
seperti pengalaman orang bisu.12 Cinta tidak bersifat juga tidak
bersyarat,13 berkembang dan meluas setiap saat, utuh dan tak
terbagi. Cinta (kasih) adalah pengalaman terhalus dan terdalam.14
Hanya perilaku seorang pecinta yang menjadi saksi nyata akan

11
Ishq tidak sama dengan Mahabbah. Bila cinta atau mahabbah sudah
mencapai titik “ketidak warasan duniawi” dan menjadi liar lahirlah Ishq.
Mahabbah menunggu, menanti. Ia tunggu dijemput sang kekasih. Ishq enggan
menunggu, ia akan mendatangi sang kekasih dimanapun ia berada. Mahabbah
masih bisa menyabarkan diri. Ishq berkata “sabar apa? Adakah kesabaran
di luar yang maha sabar?” dan dalam ketidak sabaran semacam itu, ia pun
mencari yang sabar. Mencari yang sabar dalam ketidak sabaran diri. Anand
Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya Batas Kewarasan Duniawi dan Lahirnya
Cinta Ilahi, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 4
12
Orang bisu tidak bisa menjelaskan ap yang dirasakannya. Diberi
sesuatu yang enak, lezat, dia senang dan menikmatinya, tetapi bagaimana ia
menjelaskannya. Untuk definisi cinta baca lagi Anand Krishna, Narada Bakhti
Sutra–Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas, hlm. 212
13
Cinta tidak memiliki definisi yang melalui esensinya cinta menjadi
bisa dikenal. Sebaliknya yang dimilikinya hanya definisi-definisi deskriptif dan
verbal tidak lebih dari itu. Siapa pun yang mendefinisikan cinta sesungguhnya
tidak pernah mengenal cinta, siapa pun tidak pernah mereguknya, tidak pernah
mengenalnya. Dan siapa pun yang telah mengatakan bahwa mereka telah
merasa puas olehnya berarti tidak pernah mengenalnya, karena cinta adalah
mereguk tanpa pernah merasa puas. Lihat lagi buku Anand Krishna yang
berbicara masalah Cinta.
14
Ibid, hlm. 216

292 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

cintanya. Tidak perlu memaksanya menjadi manusia bermoral,


karena dia akan “menetaskan” nilai-nilai moral.
Cinta dalam wujud pluralisme memiliki urgensi untuk
dikembangkan dalam kehidupan saat ini. Kini beragam bentuk
kekerasan merambah kemana-mana, bahkan ada kesan seakan-
akan kekerasan dianggap sebagai upaya yang sah dalam
menyelesaikan suatu konflik atau pertentangan.
Di tanah air, masyarakat, khususnya kaum elit politik
menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperteguh posisi
serta berupaya meremehkan kelompok lain agar kekuasaan yang
diperoleh tidak diganggu gugat. Kekuasaan untuk kekuasaan,
sementara kepentingan bangsa, negara dan masyarakat menjadi
terabaikan. Bahkan mereka berusaha mereduksi kepentingan itu
untuk diri dan kelompok sendiri.
Seorang politik atau penguasa, dituntut untuk melihat
perbedaan. Karena sebaik-baiknya seorang politik atau
penguasa dia hanya bisa “bekerja sama” dengan pihak lain.
Dia tidak bisa sepandang dan sepaham dengan pihak lain. Para
politisi atau penguasa bisa berjubah apa saja, bisa ‘menyamar’
sebagai pemimpin agama untuk membelenggu jiwa manusia,
bisa ‘menjelma’ sebagai ketua kelompok dan golongan untuk
membodohi dan memperbodoh umatnya sendiri.15 Lalu
persoalannya apakah manusia bisa hidup tanpa mereka? Karena
manusia akan selalu melahirkan para penguasa dan politisi,
sebab hal itu berkaitan erat dengan persoalan “ego”16 manusia.
15
Ibid, hlm. 228
16
Meminjam konstruk dari Martin Burber (W.1965). kekerasan yang
terjadi itu karena umat manusia dari kalangan elit sampai gross root-nya, hanya
mengedepankan rasa egoismenya sendiri-sendiri. karena hubungan antara
manusia saat ini lebih banyak bersifat pola hubungan I-it. Relasi ini merupakan
pola hubungan dimana seseorang muncul sebagai ego dan menganggap sesuatu
yang lain (termasuk lawan dialog) sebagai sesuatu yang harus ditundukkan
dan digunakan. Pada relasi model I-it ini, seseorang melihat orang lain tidak

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 293


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Manusia Spiritual
Dari sudut pandang mistisisme, pengalaman mistik-
spiritual memiliki beragam variasi. Dalam tradisi spiritual
Budha misalnya penghayatan pengalaman mistik-spiritual
biasa dipakai manusia untuk mencapai “Nirvana”. Zen untuk
menggapai “satori”sebagai pengalaman kebenaran. Sedangkan
dari sudut pandang epistemologi keagamaan, manusia spiritual
bukan sekedar bermakna fisik (badan bersih), tetapi justru lebih
bermakna metafisik, beresensi kerohanian, sehingga sempurna
secara spiritual.17 Pada dataran spiritual ini, manusia spiritual
tidak akan membedakan agama, karena roh yang menghidupkan
badan itu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan (Allah).18
Nama kita berbeda, tapi sinar Ilahi dalam diri kita satu adanya.
Cahaya kasih yang menggerakkan kita sama adanya. … dan
entah kamu beragama Kristen atau Islam atau Hindu atau
Budha atau entah apa saja atau bahkan bila kamu mengaku
tidak beragama–tidak menjadi masalah. Seperti darah yang
mengalir dalam badanmu tidak mengenali perbedaan agama,
begitu pula sinar Ilahi dalam dirimu, begitu pula cahaya
kasih dalam dirimu, tidak mengenali perbedaan agama. lalu
kenapa mereka mempermasalahkan agama?, karena mereka
tidak menyadari sinar Ilahi dalam diri mereka, mereka tidak

dalam bentuk pola hubungan antar sesama manusia, tetapi lebih merupakan
relasi antar manusia dengan benda suatu objek yang dapat ditata sesuai dengan
kehendaknya, diperalat sesuai dengan kepentingannya, serta tidak boleh
mengganggu kepentingannya. Dikutip dari Abd ‘A’la, Melampaui Dialog
Agama, Qomaruddin SF, ed., (Jakarta: Kompas, 2002), hlm, 60. dan lihat
juga K.Berten, Filsafat Barat Abat XX; Inggris – Jerman, (Jakarta: Gramedia,
1983), hlm. 163-164.
17
Ada tiga hal yang biasanya dapat diperoleh dalam kehidupan
ini; kemulian, keseimbangan dan kesadaran. Apabila tidak satupun yang
diperolehnya, maka hidup manusia menjadi hampa dan sangat tidak berguna.
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Karya Agung Sripaduka
Mangkunagoro IV, hlm. 105-106.
18
Anand Krishna, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi, hlm.
152.

294 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

menyadari cahaya kasih dalam diri mereka. … para Ulama, para


Pastor, para Rohaniawan, para Pertapa dan para Tokoh agama
yang mempermasalahkan agama–berarti belum menyadari
cahaya kasih, adanya sinar Ilahi dalam diri mereka. … dan oleh
karena itu mereka mencari cahaya kasih di luar diri mereka.
Ada yang mencari di Kashi (kota suci umat Hindu), ada yang
mencari di Ka’bah (tempat suci umat Islam). Nah, Kashi sudah
pasti berbeda dengan Ka’bah, yang satu di tepi sungai Gangga
dan yang satu lagi di tengah gurun pasir.19… Tuhan tidak
membedakan apakah agama seseorang itu Islam atau
Hindu atau Budha, tetapi yang Tuhan perhatikan adalah
amal shaleh manusia itu sendiri.20
Manusia spiritual yang menyadari akan esensi agama
yang merupakan inti dari ajaran-ajaran setiap agama akan
menekankan untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang
hamba (umat beragama). Disini agama berfungsi sebagai
fasilitator untuk menunjang perkembangan diri menuju ke
tingkat kesadaran yang tinggi sehingga menjadikan hidupnya
terasa aman, damai. Lestari dan abadi serta penuh perasan cinta
dan kasih sayang terhadap sesama makhluk.
… Ia yang sadar tidak akan melihat perbedaan. Ia yang sadar
tidak akan membedakan kesadaran dan ketidak sadaran.
Baginya segalanya adalah satu. Untuk ia yang belum sadar,
kesadaran adalah satu hal dan ketidak sadaran adalah hal lain
lagi. suatu saat ia terjaga dan ia mengira bahwa ia sadar, dilain
waktu ia tertidur dan ia mengira ia tidak lagi sadar. Kemudian
ia bermimpi dan menemukan dirinya tidak berada dimana-
mana. Ia tidak bisa memutuskan apakah ia sadar atau tidak.21

Ketidaksadaran akan merintangi penglihatan dan pikiran

Anand Krishna, Shambala – Fajar Pencerahan di Lembah


19

Kesadaran, Hlm. 35-36


20
Anand Krishna, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi, hlm.
153
21
Anand Krishna, Soul Quest, (Jakarta: Gramaedia, 2002), hlm. 272

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 295


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

pun menjadi keruh, lalu penafsiran akan pesan-pesan agama akan


selalu salah yang benar dianggap salah, dan yang salah dianggap
benar. Menafsirkan agama dan kepercayaan-kepercayaan secara
begitu sempit, sehingga maknanya hilang, kalau makna agama
hilang maka, jiwa agama pun akan hilang dan pesannya pun
akan tidak jelas lagi.
Ajaran serta kepercayaan yang membuat manusia menjadi
sedih dan begitu menyedihkan tidak berguna sama sekali, sia-
sialah kebajikan yang mendatangkan kepedihan, kebahagian
adalah kodrat manusia, dan membagi kebahagian adalah
takdirnya. … dan ia yang tidak akan melihat kerajaan Surga
dalam hidup ini tidak akan melihatnya pula dalam kehidupan
yang akan datang.22

Disini kepercayaan akan jati diri seseorang akan


membuat lemah akan jiwanya, sehingga seseorang itu akan
selalu ingin mencari sandaran, dan akhirnya seseorang itu akan
digiring untuk meyakini keperantaraan lembaga-lembaga yang
akan menjanjikan Surga. Seseorang harus menjadi pelita bagi
dirinya sendiri dan harus menempuh sendiri perjalanan hidup ini.
“jangan bersandar kepada siapa pun dan jangan mengharapkan
bantuan siapa pun”.23 Karena dengan mencintai diri sendiri
hidup ini akan menjadi dinamis, dan akan menemukan kasih,
kedamaian dan ketentraman.
Melihat kerajaan Surga24 dengan memanifestasikannya

22
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC
Kehidupan, hlm. 80-81
23
Ibid, dan Anand Krishna, Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir,
hlm. 85, serta Anand Krishna, Kehidupan – Panduan Untuk Meniti Jalan Ke
Dalam Diri, hlm. 80
24
Mewujudkan Surga di dalam dunia adalah Surga dalam arti yang
merupakan suatu keadaan (tingkat kesadaran). Istilah ‘Surga’ yang digunakan
dalam bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Sansekerta “Svarga”. Svarga
berarti Suvarga. Kemudian dalam bahasa Indonesia ada istilah ‘Warga’ yang
dalam bahasa Sansekerta ‘Varga’. Warga dan Varga dapat diartikan sebagai

296 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

dalam hidup ini, sekarang, saat ini dan di tempat ini, berarti
menyadari kehadiran Allah disini, sekarang, saat ini dan di
tempat ini juga.
Semesta ini adalah bait Allah. Rumah Allah yang ada di Mekah
dan di Yerussalem dan di Himalaya – dan dimana pun anda
kira – itu hanya simbolik. Sesungguhnya alam semsta ini
adalah rumah-Nya. … seandainya kita bisa berpikir demikian,
maka definisi kata Islam akan menjadi luas sekali, seandainya
kita beranggapan demikian kasih Kristiani akan merangkul
lebih banyak orang lagi, seandainya kita memahami hal
ini, kehinduan dan kebudhaan umat Hindu dan Budha akan
memperoleh makna tambahan. Tetapi, sebaliknya apabila anda
tidak dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidup ini, sia-
sialah hidup anda. Jangan mengharapkan bisa melihat kerajaan
Allah setelah mati nanti, jika anda tidak dapat melihatnya
dalam hidup ini.25

Peran Tuhan Bagi Umat Beragama


Manusia yang sadar26 akan jati dirinya sebagai makhluk

‘masyarakat’, ‘habitat asal’ atau ‘lingkungan sendiri’. kemudian istila ‘Su’


dalam bahasa Sansekerta yang juga sering digunakan dalam bahasa Indonesia
berarti baik, bagus, indah, menyenangkan menentramkan dan memenangkan.
Mewujudkan Surga di dalam dunia harus diartikan sebagai upaya untuk
mempersatukan bangsa, mengikat warganya dalam tali persaudaraan,
menciptakan masyarakat cinta damai dan memperbaharui komitmen mereka
terhadap kesatuan dan persatuan. Anand Krishna, Shalala – Merayakan Hidup,
(Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 110 dan lihat juga J.P.Vasnawi, Life After
Death, disadur oleh Anand Krishna, (Jakarta: Gramedia,2000), hlm. 83
25
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC
Kehidupan, hlm. 82
26
Sadar dalam arti kesadaran. Kesadaran itu sangat misterius, tidak
dapat dijelaskan, tidak dapat disebut nyata atau pun tidak nyata. Namun
tanpa adanya kesadaran seseorang tidak akan pernah merasakan kesatuan.
Karena kesadaran tidak dapat dijelaskan, maka hanya hasil akhirnya yang
dapat dirasakan. Hasil akhir kesadaran yang dicapai adalah hilangnya segala
macam ‘dualitas’. Ia yang telah mencapai kesadaran akan mampu untuk
hidup berdampingan, toleran antar sesama. Ia tidak akan mempermasalahkan
dinding pemisah antar suku, antar ras dan antar agama. ia akan melihat
Allah ada dimana-mana. Kesadaran yang telah dicapai itu akan melahirkan

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 297


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Ilahi akan dengan mudah untuk mencapai esensi agama yaitu


spiritualitas. Yang kasih Ilahi menjadi dasar setiap peraturan-
peraturan hidup manusia dan kasih Ilahi juga menjadi asas
tunggal yang merupakan kebutuhan dasar setiap makhluk yang
akan mewarnai setiap lembaran kehidupan manusia. Karena kasih
adalah bayangan Allah dalam diri setiap manusia dan bayangan
Allah itulah hakikat diri manusia (kebenaran diri manusia).27
Selaras dengan itu pula Anand Krishna mengatakan:
Mau mencari pembenaran apa lagi? yang sedang mencari Allah,
sedang berkonsep ria, sedang mengumpulkan pembuktian akan
keberadaan-Nya, sesungguhnya belum kenal kasih. Begitu
sibuk melakukan ziarah di luar diri, sehingga tidak pernah
berkesempatan untuk menoleh ke dalam diri sendiri. “kenalilah
dirimu dan kamu akan mengenali Tuhanmu”, demikian apa
yang menurut apa yang diriwayatkan Ali – seorang sahabat
Nabi. … ia yang mengenal dirinya maka, mengenal Tuhannya,
dan mengenal diri berarti menemukan kasih dalam diri.28

Memahami diri, berarti memahami Tuhan sang pencipta.


Tetapi manusia terlalu terlibat dengan permainan kata-kata.
Disini Anand lebih sering menggunakan kata “Aku” dalam
mengungkap Tuhan. “ada yang menyebut-Nya “sang Aku”
mereka berang, tetapi ketika mereka menyebut-Nya “Tuhan”
meraka senang, sang “Aku”, “Dia”, ”Tuhan” – semuanya

fenomena baru yaitu fenomena kuno, namun tetap baru yaitu Kasih. Lihat lagi
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Karya Agung Sripaduka
Mangkunagoro IV, hlm. 228-232
27
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC
Kehidupan, hlm. 88
28
Ibid, hlm. 89

298 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Sinonim.29 Karena yang dimaksud hanya satu itu.30


Selama beribu-ribu tahun masyarakat India berada pada
kesadaran itu. Brahman31 dianggap paling tinggi, belakangan
mereka baru sadar, walau tidak dapat dijelaskan,
Brahman dapat dirasakan. Shankaracharya menempatkan
“Aku” dibalik Brahman. “Aku” melampaui Brahman.
Istilah Brahman itu sendiri adalah ciptaan–Ku. Konsep-
konsep tentang Tuhan – tentang Brahman adalah hasil
citaan–Ku. “Aku” berada dibalik semuanya, karena itu
muncullah pertanyaan yang sangat esensial (pertanyaan
inti) : “Aku siapa?”, siapa pula yang tahu tentang diri-
Ku kecuali “Aku” sendiri?, kadang “Aku” berada didekat
kain berwarna hijau dan “Aku” tampak hijau, bahkan
sepertinya ikut menjadi hijau. Padahal tidak demikian
“Aku” hanya kena imbas sesaat. Kadang “Aku” berada di
dekat kain berwarna kuning, dan “Aku” kelihatan kuning,
padahal warna kuning pun bukanlah warna-Ku.32
“Aku” berada dimana-mana, “kesadaran murni” meliputi
segalanya. Tetapi tidak selalu nampak jelas, seperti halnya orang
Hindu menyebut-Nya “sang Aku”, orang Budhis menyebut-Nya
“sang Budha” atau “Kebudhaan”, orang Islam atau Kristen
menyebut-Nya Allah atau Tuhan. Dia berada dimana-mana.
Tetapi selama ini pemahaman tentang Dia diselewengkan demi
untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu, kelompok-

29
Dia itulah “Aku”. “Aku”, “Dia”, “Kau” pun sama, Dia, Dia…. Bila
kamu tidak senang dengan “Aku” maka katakana Dia, Dia,Dia….yang ada
hanyalah Dia, sama saja anatara “Aku”, “Kau” dan “Dia”. Dan bila manusia
masih memisahkan diri dengan Allah, maka itu, berlaku pemahaman mu
bagimu, pemahaman ku bagiku. Anand Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya
Batas Kewarasan Duniawi dan Lahirnya Cinta Ilahi, hlm. 54-55
30
Anand Krishna, Atma Bodha,….., hlm. 60
31
Brahman berasal dari sebuah suku kata yang berarti “Berkembang
Terus”, kebenaran tidak pernah berhenti berkembang. Ia berkembang terus.
Brahman juga disebut Anaadi dan Ananta – tak berawal dan tak berakhir. Ibid,
hlm. 122
32
Ibid, hlm. 102

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 299


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

kelompok yang berkuasa. Karena itu, keberadaan Tuhan pun


dikaitkan dengan tempat-tempat tertentu, tidak lagi dengan
kesadaran diri.
Nafsu untuk berperang merebut tempat-tempat suci juga
disebabkan oleh pemahaman salah tentang keberadaan Tuhan.
Seolah-olah Dia ada di “sana”. Bila kita sadar di sini pun yang
ada hanyalah Dia. Bahwa Dia berada dimana-mana – tinggal
kita meningkatkan kesadaran diri untuk merasakan kehadiran-
Nya , maka dengan demikian kita tidak akan berperang atas
nama agama. … Tuhan maha ada dan meliputi segalanya,
berarti kita tidak perlu memaksa diri dan meniru apa yang
dilakukan oleh masyarakat di tempat lain. Dan bila Dia tidak
nampak jelas, maka yang harus dibersihkan adalah pikiran-
pikiran kita sendiri, yang harus dijernihkan adalah pandangan
kita sendiri tentang Tuhan itu. Demikian agama menjadi suatu
yang bersifat amat sangat pribadi. Hubungan antara aku dengan
sang “Aku”, antara Allah dengan anda, tidak ada yang perlu
mencampuri urusan itu. Dan pada dataran sosial penghayatan
agama itu akan menjadi moral sosial. Serta hubungan pribadi
dengan Allah itu akan tercermin juga dalam hubungan dengan
sesama dan segala makhluk. Kalau ada orang yang atas nama
agama bisa berutal dan dengan kebencian mengorbankan
semangat perang dan merusak, maka, kita pantas bertanya-
tanya hubungan pribadi apa yang dimiliki dengan Allah.33

Merasakan kehadiran Tuhan dalam diri, akan membuat


manusia ramah, saling menghormati antar sesama makhluk
Allah dan tidak akan membedakan agama, karena agama-agama
yang berbeda hanyalah jalan untuk mencapai Tuhan dan tiada
sesuatu di luar Tuhan, yang ada hanyalah Dia–sang kesadaran
murni,34 akan tetapi agama-agama yang ada sekarang ini masih
sibuk mempersoalkan Wujud dan tanpa Wujud, karena ia belum
menemukan Tuhan di dalam diri mereka. Bagi mereka yang

Ibid, hlm. 113-117


33

Anand Krishna, Shangrilla,….., hlm. 108


34

300 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

belum menemukan Tuhan dalam dirinya selalu menjadi soal dan


bahkan menciptakan persoalan. Sebagaimana Anand tegaskan
“berhentilah mencari Tuhan, mau mencari di mana?, Dia berada
dimana-mana, lebih baik mencari setan, mencari hewan dalam
diri, begitu mereka tertaklukkan, terjinakkan, ketuhanan dalam
diri akan muncul kepermukaan”.35

Kesimpulan
Pluralitas agama dalam pandangan Anand Krishna
secara niscaya berhubungan erat dengan perspektif yang bisa
dimunculkan oleh masing-masing pribadi tentang agama.
Agama bagi individu merupakan suatu jalan untuk membentuk
kepribadian mereka menjadi manusia seutuhnya. Agama dalam
pandangan Anand Krishna tidak diorientasikan membentuk
manusia menjadi Hindu, Sikh, Budha, dan Islam atau dalam
bentuk agama apapun. Akan tetapi, agama hadir ke tengah-
tengah kehidupan dalam rangka menciptakan manusia menjadi
manusia seutuhnya.
Agama menurut Anand Krishna merupakan jalan
individu untuk mencapai suatu tempat. Pencapaian tersebut
akan dilakukan oleh setiap pribadi melalui agama yang diyakini.
Untuk itulah, selama pencapaian terhadap tempat-tempat
tersebut terus dilakukan maka jalan-jalan menuju ke arahnya
akan senantiasa dicipta dan dihadirkan.

35
Ibid, hlm. 109

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 301


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

DAFTAR PUSTAKA

Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, (ed.,)


Jakarta: Kompas, 2002.
Anand Krishna, Atma Bodha – Menggapai Kebenaran Sejati,
Kesadaran Murni dan Kebahagian Kekal, Jakarta,
Gramedia, 2001.
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC
Kehidupan, Jakarta, Gramedia, 2004
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC
Kehidupan, Jakarta, Gramedia, 2004.
Anand Krishna, Cakrawala Sufi 3 – Kembara Bersama Mereka
Yang Berjiwa Sufi, Jakarta, Gramedia, 2000.
Anand Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya Batas Kewarasan
Duniawi dan Lahirnya Cinta Ilahi. Jakarta: Gramedia,
2005.
Anand Krishna, Kehidupan – Panduan Untuk Meniti Jalan Ke
Dalam Diri, Jakarta, Gramedia, 2002.
Anand Krishna, Narada Bakhti Sutra–Menggapai Cinta Tak
Bersyarat dan Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia, 2001.
Anand Krishna, Narada Bhakti Sutra – Menggapai Cinta Tak
Bersyarat dan Tak Terbatas, Jakarta, Gramedia, 2001.
Anand Krishna, Reinkarnasi–Hidup tak Pernah Berakhir. Jakarta:
Gramedia, 1998.
Anand Krishna, Shalala – Merayakan Hidup. Jakarta: Gramedia,
2001.
Anand Krishna, Shambala – Fajar Pencerahan Di Lembah

302 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

Kesadaran, Jakarta, Gramedia, 2000.


Anand Krishna, Shangrila – Mencecap Sorga Dunia, Jakarta,
Gramedia, 2000.
Anand Krishna, Soul Quest. Jakarta: Gramaedia, 2002.
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung
Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV,
Jakarta, Gramedia, 1999.
J.P.Vasnawi, Life After Death, disadur oleh Anand Krishna.
Jakarta: Gramedia,2000.
K. Berten, Filsafat Barat Abat XX; Inggris – Jerman. Jakarta:
Gramedia, 1983.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 303


Pluralisme Agama Menurut Anand Krishna (Oleh: Andi Hartoyo)

304 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


IMPLIKASI PERENIAL ISLAM TERHADAP
KEBERAGAMAAN UMAT KONTEMPORER
MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR

Mas’udi
STAIN KUDUS
Email: msd.jufri@gmail.com

ABSTRAK

Mengembalikan manusia kepada asalnya yang suci,


adalah manifestasi dari pesan kesucian (Sophia Perennis)
yang diamanatkan Tuhan kepada manusia. Dimensi pokok
kesejatian yang terdapat dalam aspek keagamaan umat
manusia merupakan pesan suci yang sejatinya dirumuskan
pada setiap agama. Dapat dimengerti bersama bahwa asal-
usul dari doktrin-doktrin, ajaran-ajaran keagamaan tidak lain
adalah dari Yang Maha Kuasa. Kenyataan ini memberikan
pintu dasar pembuka kepada setiap pribadi untuk dimengerti
sehingga memunculkan kesadaran akan kesamaan pesan suci
dalam agama. Menganalisa perkembangan keagamaan di
masyarakat muslim penting untuk mengetahui implikasi dari
perwujudan dimensi perenial dalam Islam bagi keberagamaan
umat menurut Seyyed Hossein Nasr. Eksistensi Islam yang
ramah dan penuh dengan kasih sayang perlu dieksplorasi
kembali oleh para penganalisanya guna menyadarkan
masing-masing dimaksud kepada orisinalitas doktrin Islam
dari Pemiliknya. Dalam kerangka inilah pembahasan tentang

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 305


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

pentingnya kesamaan persepsi dalam dimensi keberagaamaan


umat manusia, membangun satu persepsi dalam keberagamaan,
mengedepankan nilai bertoleransi dalam perbedaan, dan
menyeru kepada pencapaian kondisi masyarakat yang
tradisionalis mustahil dinafikkan.

Kata Kunci: Keberagamaan, Perenialisme, Kesejatian,


Tradisi

Membangun Titik Temu dalam Keberagamaan


Manusia sebetulnya telah dicipta untuk hidup di dalam
dunia yang serupa yang terdapat di dalamnya ada satu matahari di
langit sehingga penampakan normal matahari yang satu-satunya
di angkasa itu bertalian dengan susunan alami pikiran dan jiwa
manusia, dan itulah satu-satunya yang membentuk lingkungan
yang alami dan bermakna baginya. Dalam kenyataan ini Nasr
menyatakan bahwa dalam lingkungan keagamaan manusia
telah dicipta untuk hidup dalam suatu tradisi keagamaan yang
homogen.1
Dalam setiap perjalanan hidup manusia, agama telah
memberikan warna yang sangat berarti bagi kehidupan mereka,
mengapa berbagai agama senantiasa bertahan dan dianut oleh
manusia? Secara antropologis, sosiologis dan psikologis berbagai
agama itu bertahan hidup karena agama bisa memberikan
pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia.2
Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah
bahwa bumi manusia ini hanyalah satu, sementara penghuninya
terkotak-kotak dalam berbagai suku, ras, bangsa, profesi,
kultural dan agama. Mengingkari kenyataan pluralitas di atas

Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj., Abdul Hadi
1

WM. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 178.


2
Ibid.

306 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

sama halnya dengan mengingkari kesadaran kognitif manusia itu


sendiri. Begitu juga ketika berbicara tentang agama, kata agama
selalu tampil dengan bentuk plural (religions). Di balik pluralitas
itu terdapat ciri umum yang sama, yang menjadi karakter agama.
Dalam kenyataan ini Komaruddin Hidayat mendeskripsikan
bahwa membayangkan dalam kehidupan ini hanya terdapat
satu agama, rasanya merupakan suatu ilusi belaka.3 Kesucian
dari fithrah yang terdapat dalam diri manusia adalah suatu
cerminan akan kesamaan konsep penciptaan terhadap manusia
itu sendiri. Kalau dilihat dari proses awal penciptaan manusia
serta mempelajari kepercayaan mereka, maka yang ditemukan
adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan
yang mengatur alam raya ini.
Quraish Shihab mendasarkan pandangannya akan
kesuciaan (fithrah) penciptaan manusia dengan melihat
realitas dari orang-orang Yunani Kuno yang menganut paham
politeisme (keyakinan banyak Tuhan): bintang adalah tuhan
(dewa), Venus adalah (tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah
Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaaan, sedangkan
Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.4 Gambaran
lain yang dapat diketemukan dalam kepercayaan umat manusia
terhadap keagungan Tuhan adalah, orang-orang Hindu—masa
lampau—juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai
tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat
Mahabarata masyarakat Mesir. Mereka meyakini adanya Dewa
Iziz, Dewi Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra’. Masyarakat
Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over


3

Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 201.


4
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2001), hlm.
14.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 307


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

dan Tuhan Terang.5


Dinamika di atas adalah gambaran dari beragamnya
kepercayaan umat manusia dari awal keberagamaannya, yang
pada akhirnya akan mempertemukan mereka dalam wadah
kepercayaannya kepada Yang Abadi yaitu Tuhan Yang Maha
Absolut. Argumentasi yang dibangun oleh Quraish Shihab dalam
melihat dimensi kesucian fithrah manusia dengan menyatakan
bahwa al-Qur’an mengisyaratkan adanya kehadiran Tuhan ada
dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan
fithrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian
dipahami dari firman-Nya dalam surat al-Rum (30): 30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) Fithrah yang telah menciptakan manusia menurut
fithrah itu. Tiada perubahan pada fithrah Allah. (itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.6

Realitas kesucian sebagai bagian dari hakikat kehidupan


manusia dipandang oleh Nasr sebagai kebangkitan tradisi.
Dalam analisa Nasr membangkitkan tradisi serta menyadarkan
manusia akan pemenuhan tradisi sebagai bagian dari kesucian
dan menyadarkan mereka akan arti penting dari tradisi, telah
memberikan pemenuhan final dan sempurna pencarian manusia
kontemporer terhadap penemuan kembali kesucian.7
Membangkitkan tradisi sebagai landasan dari kesucian
dalam dimensi keagamaan umat adalah keniscyaan yang harus
diagungkan. Bukti ini dilandaskan karena agama yang datang
dari Tuhan itu memang sempurna dan satu karena Tuhan itu
Maha Sempurna dan Maha Tunggal. Akan tetapi, karena agama

Ibid.
5

Ibid., hlm. 15.


6

7
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj., Suharsono.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 108.

308 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

itu datang untuk umat manusia maka mau tidak mau agama
harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan sifat-sifat
kemanusiaan dengan berbagai dinamikanya. Untuk mewujudkan
nilai keseragaman dalam dimensi keagamaan, Frithjof Schuon
mengatakan:
Agar agama dianggap tetap ortodoks, ia harus didukung
sepenuhnya oleh doktrin yang memadai tentang Yang
mutlak. Ia juga harus menjunjung tinggi dan mewujudkan
suatu kerohanian yang sesuai dengan doktrin tersebut
baik sebagai konsep maupun realitas. Ini berarti ia harus
berhulu Ilahi dan karenanya diikuti dengan sakramental
atau kehadiran supranatural yang menjelmakan dirinya
terutama di dalam mukjizat-mukjizat dan dalam seni
sakral. Unsur-unsur formal tertentu seperti tokoh-tokoh
rasul dan kejadian-kejadian keramat berada di dalam unsur-
unsur utama di atas. Oleh karena itu semua ini mungkin
yang membedakan dalam signifikansi dan nilai antara satu
agama dengan agama lainnya, karena perbedaan manusiawi
menjadikan perbedaan semacam itu tidak terelakkan,
tanpa menyebabkan timbulnya pertentangan dalam
kriteria penting yang menyangkut kebenaran metafisis dan
kekuatan penyelamat serta stabilitas manusia.8

Mengembalikan agama dalam wadahnya yang Satu


dalam esensinya, yaitu al-Tauhid (keesaan Tuhan), adalah suatu
bukti bahwasannya dalam semua agama terdapat visi yang sama.
Lebih lanjut, gambaran yang dapat ditelaah kembali adalah
realitas keagamaan dalam Islam dan Hinduisme yang memiliki
suatu realitas yang sangat berbeda, tidak ada satu nilai pun
yang dapat mempertemukannya, apalagi keduanya mempunyai
sejarah bentukan yang berbeda. Padahal kedua agama ini, seperti
dikatakan kaum perenialis, pada tingkat the common vision

Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti.


8

(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 25.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 309


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

mengikuti istilah Huston Smith, mempunyai kesatuan kalau


tidak malah kesamaan gagasan dasar yang dalam Islam disebut
dengan “pesan dasar agama,” (yaitu islam dalam arti generiknya
yaitu “sikap pasrah,” untuk selalu bertakwa: selalu menghayati
kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari).9
Penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan
sehari-hari adalah dimensi pokok yang selalu ada dalam inti
ajaran semua agama. Dalam konteks agama-agama, penerimaan
adanya the common vision ini berarti menghubungkan kembali
the many (dalam hal ini adalah realitas eksoteris agama-agama)
kepada asalnya The One (Tuhan), yang diberi berbagai macam
nama oleh para pemeluknya, sejalan dengan perkembangan
kebudayaan dan kesadaran sosial dan spiritual manusia. Sehingga
kesan empiris tentang adanya agama-agama yang majemuk
itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja, tetapi
kemudian dilanjutkan: bahwa ada satu realitas yang menjadi
pengikat yang sama dari agama-agama tersebut.10 Kesatuan
agama-agama yang dimaksud di atas bukanlah dalam doktrin-
doktrin, ajaran-ajaran, bentuk-bentuk atau cara-cara ibadahnya,
tetapi terletak dalam esensinya, yaitu al-Tauhid (keesaan
Tuhan), atau Tuhan sendiri. Berangkat dari adanya pemahaman
akan kesatuan persepsi—the common vision—dalam mencapai
Yang Satu dalam suatu agama adalah suatu metodologi yang
dapat dijadikan sudut pandang, bahwa dari proses inilah agama
dalam aspek dasariahnya memiliki nilai yang universal seperti
adanya kesamaan visi tentang Kebenaran Abadi sehingga
mengesampingkan realitas parsial dari agama.
Menyikapi universalitas keimanan Nasr mengatakan

9
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 8.
10
Ibid.

310 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

bahwa dengan dasar doktrin al-Qur’an tentang universalitas


keimanan dan sejumlah pengalaman historis yang bersifat
global, budaya Islam berkembang ke arah perspektif keagamaan
yang mendunia dan kosmopolitan, yang sama sekali tidak
sebanding dengan apa yang terjadi dalam agama lain sebelum
abad modern. Visi global ini masih tetap merupakan bagian dan
paket dari pandangan dunia (world view) umat Islam tradisional,
di mana mereka tidak mengorbankan visi universal mereka
akibat serangan gencar modernisme ataupun karena pengaruh
dari perlawanan terhadap modernisme tersebut yang dilakukan
oleh gerakan yang dikenal dengan istilah “fundamenatalisme”.11
Dalam konteks keagamaan yang global ini, tentu saja,
agama Yahudi dan Kristen merupakan ajaran di mana Islam
memiliki keterhubungan paling kuat. Nabi-nabi Yahudi dan
Yesus dihormati secara mendalam oleh umat Islam. Keimanan
terhadap masalah tersebut begitu kuat dalam diri umat Islam
sehingga dalam dialog antar agama dengan Kristen ataupun
Yahudi dewasa ini, kaum Muslim sering kebagian porsi
menjelaskan dan mempertahankan doktrin-doktrin tradisional
agama Yahudi dan Kristen di hadapan para penafsir modern.12
Dalam bingkai tradisinya tentang nilai sakral yang
diberikan Islam kepada agama lain, adalah kenyataan yang
tercakup dalam Islam nilai kesetaraan dan ketermuatan
ajaran lain di dalamnya. Berangkat dari sana juga dapat
dilihat keberlanjutan dari tradisi dalam Islam tidak lain untuk
memberikan pengertian akan nilai-nilainya yang senantiasa ada
dalam setiap perjalanan sejarah mansuia. Untuk itulah berbagai
kegelisahan yang muncul dari para pemeluk agama di dalam

Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam; Pesan-pesan Universal


11

Islam untuk Kemanusiaan, terj., Nurasiah Faqih Sutan Harahap. (Bandung:


Mizan, 2003), hlm. 50.
12
Ibid.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 311


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

proses keberagamaan mereka tidak lain berangkat dari suatu


dogma yang senantiasa disanjung dan dipuja oleh mereka di
dalam menjalankan proses keagamaannya, “eksklusif” dan tidak
bisa berbagi dengan sesamanya. Menyikapi realitas ini Eaton
menyatakan “di lain pihak kalau mau dicari titik tolaknya dalam
aspek keberagamaan orang-orang beragama tidak selamanya
berprilaku lebih baik daripada tetangga mereka, bahkan
terkadang lebih buruk”. Mereka seringkali “ketus”, kadang kala
“kasar”, terhadap siapa saja yang tidak ikut merasakan bahaya
yang mereka takuti. Mereka mempropagandakan kasih sayang
namun mereka jauh dari sifat kasih sayang itu, dan kemunafikan
mereka seringkali diperkuat oleh rasa puas terhadap kebaikan
diri sendiri.13
Polemik keagamaan yang senantiasa terjadi di masyarakat
adalah suatu bukti dari tindakan penutupan diri manusia akan
kebenaran yang senyatanya ada di balik diri mereka sendiri,
tidak jarang pula agama menjadi kambing hitam dari semua
polemik tersebut. Jika perang, kekerasan dan pertikaian
dinisbatkan kepada agama, maka ia merupakan langkah pendek
menuju keyakinan bahwa keimanan kepada Tuhan merupakan
ilusi yang sengaja diciptakan, dan merupakan hal yang sangat
berbaya.14
Sikap-sikap eksklusif ini akan senantiasa menjadi
dogma yang tidak akan ada tuntasnya ketika keterbukaan akan
kebenaran yang ada di luar keberagamaan manusia tidak dapat
dipahami dalam bingkainya yang terbuka dan mensejahterakan
kehidupan. Bagaimanapun, manusia dalam dinamikanya
adalah makhluk yang dialogis15 yang senantiasa membutuhkan

Charles Le Gai Eaton, Zikir: Nafas Peradaban Modern, terj., Zaimul


13

Am (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hlm. 164.


14
Ibid., hlm. 165.
15
Ibid., hlm. 42.

312 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

kehadiran orang lain. Melalui dialog dengan—dan berada


bersama—orang lain maka seseorang akan tumbuh menjadi
dirinya sendiri. Pada mulanya menjadi diri sendiri ditempuh
dengan cara meniru perilaku orang. Memulai menapaki garis
kehidupan adalah juga berarti meniru dan mengikuti pola pikir,
kepercayaan dan perilaku generasi yang lebih dulu lahir. Tetapi
harus diingat hanya peniruan yang diikuti sikap kritis yang
akhirnya akan mengantarkan seseorang untuk menemukan dan
membentuk dirinya sendiri secara otentik.16
Realitas manusia yang beragam ini digambarkan oleh
John Hick dengan dinamika pluralisme, fenomenanya terjadi
karena perkembangan yang cepat dalam teknologi komunikasi
dan peningkatan yang cepat dalam transmisi pengetahuan
dan informasi.17 Dari sini pula John Hick mendeskripsikan
bahwasannya agama tidak bisa menolak pluralisme itu sendiri.
Sebaliknya, agama-agama harus berhadapan dengan sebuah
‘teologi global’ karena mereka tidak hanya sama-sama memiliki
karakteristik serupa seperti doktrin, ritual dan sistem etika,
tetapijuga memiliki tujuan yang sama semisal optimisme dan
keselamatan kosmik, sifat sabar dan etis.18 Berlandaskan dari
peta pemikiran yang dikatakan oleh John Hick ini dapat dilihat
bahwa agama dalam pluralitasnya yang tinggi memiliki tujuan
yang sama dalam setiap perjalanannya.
Dialog bermakna melibatkan sikap jujur menghadapi
perbedaan-perbedaan pokok dan pencarian bersama akan suatu
kebenaran yang tak sepenuhnya dimiliki kelompok mana pun.
Tujuan pluralitas ini dapat dimaknai bahwasannya dari kenyataan
ini bukanlah untuk mencapai suatu agama super seragam, namun
16
Ibid.
17
Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran Pluralisme Agama dalam
Filsafat Islam dan Kristen, terj., Munir. (Bandung: Alifya, 2004) hlm. 147.
18
Ibid., hlm. 148

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 313


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

untuk memperbaiki dan meningkatkan keyakinan dari masing-


masing partisipan dengan memahami komitmen pihak lain dan
terkadang mengadaptasi nilai-nilai yang bermanfaat dan terbukti
efektif di tempat lain.19
Karen Amstrong mengatakan bahwa sebelum terjadinya
dialog dalam dimensi keagamaan manusia, pada mulanya
manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab
Pertama bagi segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi. Dia
tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil
atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk
ibadah manusia yang tidak memadai.20 Dari keluhuran-Nya
inilah terpancar beragam kebenaran yang termanifestasikan
dalam kehidupan beragama manusia.
Dari sudut pandang kaum Muslim, saling pengertian
dan dialog merupakan akibat logis ajaran asasi Kitab Suci al-
Qur’an. Pada titik mula sekali, logika saling pengertian dan
dialog antar agama alam semesta ini ialah al-Islam, yaitu sikap
pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta.21 Kebijaksanaan
perenial dalam agama-agama lain adalah juga kebijaksanaan
perenial dalam Islam. Karena itu, Islam dapat melakukan
dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan
identitas dirinya. Golongan perenialis merumuskan dimensi ini
dalam suatu pandangan bahwasannya kebenaran mutlak (The
Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini
memancar berbagai “kebenaran” (truths) sebagaimana matahari

19
William E. Phipps, Muhammad dan Isa, terj., Ilyas Hasan (Bandung:
Mizan, 200), hlm. 305.
20
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj., Zaimul Am (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 27.
21
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over, hlm.
7.

314 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

yang secara niscaya memancarkan cahanya.22


Kebenaran yang terdapat dalam Keesaan Tuhan yang
memancar dalam segenap penjuru, adalah nilai yang tidak dapat
dibantah lagi oleh manusia. Dari sana pula sikap pasrah setiap
manusia harus dimulai. Kepasrahan yang harus dijalankan
oleh manusia terhadap Keesaan Tuhan adalah keniscayaan
yang senantiasa ada dalam setiap perjalanan manusia dari dulu
ataupun sekarang. Keniscayaan ini tidak dapat terbantahkan lagi
ketika manusia memahami bahwasannya pada manusia ada bibit
kesucian dan kebaikan penciptaan asal yang suci (fithrah) yang
berkecenderungan suci (hanif). Fithrah itu tidak akan berubah
sepanjang masa, karena itu juga merupakan lokus bagi kearifan
abadi (al-Hikmat al-Khalidah, Sophia Perennis).23
Dalam mengemukakan fithrah manusia dalam pesan
keabadian dalam agama, Seyyed Hossein Nasr menguraikannya
dalam dua pengertian Islam. Pertama, orang Islam atau Muslim
adalah orang yang menerima petunjuk Tuhan tanpa memandang
dari mana dan apa agamanya baik ia seorang Islam, Hindu,
Kristen, Yahudi maupun Zoroaster.24 Dalam pengertian pertama
ini Nasr melihat seorang Muslim adalah orang yang melalui
penggunaan akal dan kebebasan memilihnya, ia menerima
hukum Tuhan. Kedua, pengertian Islam menunjukkan pada
semua ciptaan (makhluk) yang menerima keberadaan hukum
Tuhan yang tidak terbantahkan yang di dalam terminologi
Barat disebut dengan hukum alam.25 Dalam rumusan kedua ini

Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa


22

Depan, hlm. 45.


23
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over, hlm.
13
24
Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein
Nasr,” Tesis, Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah,
Surakarta, 1999, hlm. 28.
25
Ibid.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 315


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

dapat dilihat bahwasannya pluralitas agama sebagai manifestasi


kehidupan manusia di bumi adalah sunnatullah (hukum Tuhan).
Pengukuhan akan kenyataan hukum Tuhan pada setiap
manusia adalah bukti akan kenyataan manusia yang hidup dalam
proses ciptaan yang sama kemudian terbagi dalam tradisi-tradisi
yang berbeda. Dalam ruang lingkup ini yang dapat dimasukkan
dalam aspek keberagamaan manusia adalah kode etik yang
sama-sama dimiliki oleh berbagai tradisi keagamaan. Tradisi
agama besar sama-sama mengajarkan ideal moral tentang
kehendak baik, cinta dan kasih sayang yang terkandung dalam
kitab suci masing-masing. Prinsip etis universal ini, yang dapat
didefinisikan sebagai ‘kebaikan demi kemaslahatan yang lain
dan kejahatan yang membahayakan mereka,’ merupakan prinsip
tak terelakkkan dari tradisi-tradisi besar yang dapat dipandang
sebagai tujuan bersama seluruh agama.26
Seyyed Hossein Nasr menganalisa keragaman agama
sebagai salah satu aspek di antara aspek-aspek filsafat perenial.
Ia meyakini bahwa doktrin, ritual sakral, dan kitab suci agama
tertentu itu suci dan tak berubah dengan berlalunya waktu. Di
lain pihak, Adnan Aslan dalam analisanya terhadap pemikiran
Nasr ini menyatakan bahwa agama adalah respon Ilahi terhadap
kebutuhan manusia. Pernyataan agama dalam wahyu adalah
pernyataan faktual tentang realitas secara umum dan Tuhan
secara khusus, sementara perubahan dan keragamannya dalam
mendeskripsikan realitas ini bersifat ‘formal’ yakni berasal dari
bentuknya, dan tidak esensial.27
Lebih jauh Seyyed Hossein Nasr mengemukakan bahwa
keberagaman agama, dalam dimensinya yang perenial, terdapat
dalam inti semua ajaran agama. Kesatuan akan kebenaran

Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran, hlm. 164.


26

Ibid, hlm. 171.


27

316 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

merupakan perwujudan dari pesan-pesan kearifan yang akan selalu


ada dalam setiap zaman. Akan tetapi, kebenaran akan kesatuan
ini selalu hilang dari diri manusia karena mereka mencarinya
dari luar esensinya yang suci.28 Karena pencarian yang salah
ini manusia seringkali terjebak dalam konflik yang seringkali
mengatasnamakan agama, eksploitasi alam secara berlebihan
yang mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan.
Fenomena hilangnya dimensi kesucian agama dari pesan
kearifan yang abadi ini digambarkan oleh Seyyed Hossein
Nasr dengan realitas manusia yang hidup di pinggir lingkaran
eksistensi. Dinamika ini dapat ditemukan dalam kehidupan
manusia modern saat ini yang melihat segala sesuatu hanya dari
sudut pandang pinggiran eksistensinya dan tidak pada “pusat
spiritualitas dirinya,” sehingga mengakibatkan ia lupa siapa
dirinya.29
Islam sebagai agama yang menyejarah dan rahmatan
lil alamin dalam setiap perkembangannya ingin membawa
manusia untuk mengerti akan hakikat dirinya sebagai wakil
Tuhan di bumi. Dalam bingkai ini, Islam menghendaki manusia
untuk hidup dalam lingkaran eksistensi Ilahiah. Dari sana pula
seorang Muslim dituntut untuk memahami kesejatian Islam,
tidak hanya dipahami sebagai bentuk yang selalu berada di atas
menara gading, akan tetapi harus diupayakan untuk memberikan
perhatian pada penyelesaian problem kemanusiaan. Dalam
pandangan Nurcholish Majdid Islam perlu dipahami, diperbarui,
dan dikembangkan menjadi ajaran yang mampu memberikan
dampak bagi kemanusiaan universal.30

Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science (Albany: State
28

University of New York Press, 1993), hlm. 59.


29
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan, hlm. 2.
30
Ibid.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 317


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Sebagai perlambangan Kasih dan Sayang Tuhan dalam


membimbing manusia untuk senantiasa hidup dalam kesejahteraan
keberagamaan yang universal, Tuhan merefleksikan sifat Kasih
dan Sayang itu dalam kehidupan manusia. Menurut Nasr, dalam
ajaran spiritual Islam, ternyata keseluruhan alam raya ini tidak
lain hanyalah refleksi dari Nama-Nama dan Sifat Tuhan yang
saling mempengaruhi. Nasr mengatakan, Nama-nama Tuhan
seperti “Keindahan” dan “Rahmat” mesti direfleksikan ke
dalam ciptaan-Nya sebanyak Nama-Nama “Yang Maha Besar”
dan “Maha Adil”. Selanjutnya, Nama-Nama Rahmat dan Kasih
Sayang, karena merupakan dimensi batin dari Realitas Tuhan,
menempati tempat yang lebih utama ketika memasuki kehidupan
batin jiwa seorang Muslim.31
Kesejatian pesan Islam dalam membangun suatu
paradigma kesejahteraan bersama antar umat beragama selalu
menekankan tujuan awal suci Islam itu sendiri. Tujuan awal Islam
sejak awal adalah melatih setiap individu agar peka dan sadar
akan Kasih Sayang dan Rahmat Tuhan, menyandarkan kehidupan
spiritual mereka pada sifat-sifat Tuhan ini, dan merefleksikan
kualitas Tuhan tersebut dalam bentuk kemanusiaan mereka
dalam hubungan mereka dengan semua makhluk lain ciptaan
Tuhan.32
Tujuan wahyu al-Qur’an juga untuk menciptakan sebuah
masyarakat yang sejahtera dipenuhi dengan kasih sayang antar
sesamanya, masyarakat yang didasarkan bukan pada kompetisi
yang kejam dan ego individualis, melainkan pada kesadaran
bahwa untuk meraih kebahagiaan hakiki dan menerima
Rahmat dan Belas Kasih Tuhan, manusia harus menunjukkan
kasih sayang dan kebaikan kepada orang lain. Ketika manusia

Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam, hlm. 243.


31

Ibid., hlm. 250.


32

318 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

memberikan kasih sayang dan kemurahan hatinya kepada orang


lain, berarti ia juga memberikan dirinya kepada Tuhan serta
meraih kemerdekaaan dan melepaskan diri dari penjara ego
manusia yang membelenggu.33
Islam, dalam dimensinya sebagai rahmat bagi alam
semesta (rahmatan lil alamin), memiliki tujuan yang sama
dengan agama-agama besar lainnya, yaitu membangun suatu
kesejahteraan bersama dalam kehidupan beragama yang
berbeda. Perbedaan aspek eksoteris suatu agama sebagai dimensi
yang niscaya dan kehendak dari Ilahi tidak perlu lagi untuk
diperdebatkan bahkan tidak perlu lagi untuk menegaskan jati
diri suatu agama yang secara diametral dapat dibedakan dengan
agama lain. Namun yang menjadi masalah dan harus dihindari
adalah jika seseorang hanya berhenti pada aspek lahiriah agama
saja dengan mengabaikan aspek esoterisnya.34
Dari uraian di atas jelaslah bahwa bagi Nasr, Agama-
agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan,
tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog.
Agama-agama lain itu tidak merusak dan menyimpangkan
asas agama lainnya. Tetapi, sebaliknya, agama-agama lain
itu dapat memperkaya pemahaman tentang yang lainnya. Di
sinilah terletak universalitas Islam karena Islam sangat luas dan
mencakup agama-agama lain dalam pengertian ajaran-ajaran
esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain
adalah juga kebijaksanaan perenial dalam Islam. Karena itu,
Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama
lain tanpa kehilangan identitas dirinya.

Ibid., hlm. 251.


33

Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein


34

Nasr”, hlm. 31.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 319


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Bertoleransi dalam Perbedaan


Islam yang terlahir sebagai rahmat bagi alam semesta
(rahmatan lil alamin) dalam nilai-nilainya yang universal
senantiasa menyanjung tinggi dimensi perbedaan dalam
kehidupan. Nasr mengatakan, dari ciri Islam yang khusus
memiliki hubungan dalam membicarakan masalah ini adalah
kekuatan sintesa dan integrasi dari wahyu Islam, yang mengakui
kemuliaan nabi-nabi dan orang suci agama-agama yang
terdahulu—khususnya garis agama Ibrahim—sampai pada nabi
kaum Muslimin di dalam konteks seperti yang ditunjukkan oleh
kemuliaan hati Nabi Islam.35
Bagi seorang Muslim, di lingkungan Islam, Nabi
Muhammad dapat diibaratkan seperti bulan purnama, sementara
nabi-nabi dan orang suci lain bagaikan bintang-bintang yang
sinarnya gemerlap di angkasa yang sama. Setiap nabi dapat
dilihat dengan sebaik-baiknya sebagai planet bersinar, yang
memberikan sinar tidak langsung dari sumber Ilahi.36 Seorang
Muslim bisa berdoa untuk Nabi Ibrahim atau Isa, bukan sebagai
Nabi orang Yahudi atau Kristen, melainkan sebagai Nabi orang
Islam. Tradisi intelektual Islam yang secara historis telah
(tampak/manampakkan diri) dalam dua aspek—yaitu gnostic
(ma’rifah atau irfan ) dan filsafat atau teosof (al-Hikmah)—
memandang sumber-sumber kebenaran unik yang merupakan
agama yang benar (Din al-Haq) sudah terdapat dalam ajaran
nabi-nabi terdahulu.37
Suhrawardi38 salah satu filosof Muslim, menggambarkan

35
Seyyed hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 188.
36
William E. Phipps, Muhammad dan Isa, hlm. 311.
37
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan, hlm. 59.
38
Nama lengkap as-Suhrawardi al-Maqtul adalah Syihab al-Din
Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al-Futh Suhrawardi, beliau sangat terkenal

320 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

mata rantai kefilsafatannya sampai Nabi Syis dan Nabi Idris


a. s. Keduanya merupakan pemegang mata rantai paling awal
tradisi philosophia perennis dalam Islam. As-Suhrawardi sendiri
menyamakan Nabi Syis dengan Agathademon, mursyid atau
Imam ordo Hermetiah Yunani sesudah Hermes. Dari Nabi Syis
dan Agathademon inilah bermula tradisi yang didasarkan pada
hikmah. Adapun Nabi Idris AS disamakan dengan Hermes, tokoh
yang diutus dewa untuk menyampaikan pesan ketuhanan dan
kerohanian kepada manusia di bumi.39
Bangunan kefilsafatan yang ditampilkan oleh Suhrawardi
tidak lain adalah representasi dari penyatuan konsep perenial
dalam dimensi kehidupan antara konsep: al-Hikmah al-Laduniyyah
(kebijaksanaan ilahi) dan al-Hikmah al-`Atîqah (kebijaksanaan
kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi)
dan universal, yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara
orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-
orang Yunani sampai masa Aristoteles.40 Pengejawantahan atas
semuanya dapat dilihat ketika mereka mengakui akan adanya
suatu kekuatan Yang Abadi dalam realitas hidup ini.
Suatu gambaran yang dapat dijadikan tolak ukur adanya
suatu persepsi dalam menyikapi realitas Yang Abadi dalam
hidup ini adalah ketika agama Yahudi, Kristen, dan Islam dalam

dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru Iluminasi (Syaikh al-Isyraq), suatu
sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri madzhab baru filsafat yang
berbeda dengan madzhab Peripatetik (madzhab, atau maktab al-Masysya’un).
Suhrawardi lahir di kota kecil Suhraward di Persia Barat Laut pada 459
H/1154 M. Ia menemui kematian tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587
H/1191 M dan karena itulah terkadang disebut guru yang terbunuh (al-Syaikh
al-Maqtul). Lebih lanjut baca, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed.,
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj., Tim Penerjemah Mizan (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 544.
39
Taufiq Abdullah, et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran
dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 216.
40
Ibid., hlm. 215.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 321


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

kesepakatan; Tuhan adalah “Penguasa Atas Segalanya”. Mereka


juga menyepakati bahwa Tuhan itu “Penguasa” atas semua
makhluk yang terdapat di alam kosmologi ini.41 Dari ketiga
agama tersebut sumber keutuhan pesan yang terdapat di dalam
ketiganya dapatlah direferensikan bahwa Tuhan adalah sumber
dari semua mata rantai pesan itu sendiri.
Keutuhan pesan, dengan menjadikan Tuhan
sebagai sumber dari segala aktivitas keberagamaan manusia
adalah suatu keniscayaan yang harus dipercayai oleh segenap
manusia. Agama Islam dengan seorang utusannya sebagai
pembawa wahyu Tuhan, agama Kristen dengan misionarisnya
membawa pesan Kasih dan Sayang di mana antara Tuhan dan
manusia terdapat satu pertalian yang kuat, dan di lain pihak
agama Yahudi juga tidak jauh berbeda muatan pesannya, begitu
pula dengan agama Hindu dan agama Budha serta agama
lainnya di bumi, pesan moral yang termuat di dalamnya tidak
mungkin jauh berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Akan tetapi, betapa pun jauhnya perbedaan nuansa eksoteris
dari agama-agama ini dapat dikatakan terdapat satu bentuk
pesan yang diwahyukan dalam keberagamaan ini. Keselamatan,
kesejahteraan, dan kebersamaan adalah keutuhan dari semua
tujuan agama-agama ini. Sementara Tuhan adalah Pemilik dari
semua keselamatan, kesejahteraan, serta kerukunan dari mereka,
Dia tidak mendambakan suatu agama yang menggambarkan
adanya kekerasan.42
Dalam membangun dimensi toleransi dalam kehidupan
keberagamaan umat manusia, Islam memberikan proporsi
yang sangat tajam dengan melihat manusia dalam konsep awal

41
Isma’il Raji al-Faruqi, ed., Trialogue of the Abrahamic Faiths (New
Delhi: Genuine Publication Pvt. Ltd, 1989), hlm. 7.
42
Ibid., hlm. 9.

322 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

penciptaannya yaitu satu dan tidak terbagi—Adam dan Hawa—.


Manusia diciptakan dalam satu kesetaraan, semua manusia
adalah hamba-hamba-Nya, sama-sama diberikan kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka memiliki kecakapan
serta rasa tanggung jawab, tidak ada pengecualian atas mereka,
tidak seorang pun memiliki “kemerdekaan” dalam kuasa-Nya.
Tidak seorangpun memiliki hak istimewa dan tertinggi untuk-
Nya. Tidak ada seorang pun memiliki beban yang lebih ringan
atau beban yang lebih berat atas yang lainnya atau tanggung
jawabnya yang terlimpahkan kepada orang lain, rasa tanggung
jawab dalam hal ini adalah murni personal. Kesederajatan yang
absolut dan pemahaman Islam yang universal secara tidak
langsung adalah implikasi dari adanya al-Tauhid (Keesaan
Tuhan, Realitas Tertinggi dan Transendental).43
Melalui pemberlakuan Hukum Tuhan, penanaman nilai-
nilai moral kepada segenap manusia, dan penciptaan ikatan
persaudaraan, Islam telah menunjukkan peran yang besar
dalam mengintegrasikan masyarakat manusia. Suatu lingkaran
konsentris dapat menggambarkan berbagai area hubungan. Di
titik pusat adalah hubungan antara individu dan Tuhan. Di sekitar
daerah pusat adalah lingkaran hubungan keluarga, kemudian
lingkaran berikutnya adalah masyarakat satu desa atau kota,
selanjutnya lingkaran masyarakat satu bangsa (wathan) dalam
pengertian yang umum, dilanjutkan dengan lingkaran komunitas
Islam (ummah), dan terakhir adalah lingkaran hubungan umat
manusia dan seluruh makhluk di dunia secara keseluruhan.
Sama halnya bahwa setiap lingkaran dalam rangkaian tersebut
memiliki pusat yang satu, maka setiap hubungan seluruhnya
tetap disandarkan pada hubungan dasar antara manusia dan

Ibid., hlm. 81.


43

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 323


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Tuhan.44
Tatanan hirarkis hubungan manusia di atas adalah
dimensi logis yang harus dipahami oleh masing-masing orang
akan keterikatannya dengan manusia lebih-lebih hubungan
mereka dengan Tuhan. Lebih jauh lagi Nasr memberikan suatu
tatanan bahwa al-Tauhid atau kesatuan, yang merupakan doktrin
sentral Islam dan juga bermakna “integrasi”, karenanya dimulai
dengan integrasi jiwa individu ke dalam lokus tempat Tuhan
bersemayam, baru kemudian ditarik kepada ikatan-ikatan antara
anggota keluarga dan selanjutnya kepada kelompok-kelompok
yang lebih besar dan seterusnya sampai akhirnya melingkupi
seluruh makhluk hidup.45

Menuju Masyarakat yang Tradisionalis


Mengembalikan manusia dalam dimensinya yang
sakral adalah pesan-pesan yang senantiasa disuarakan filsafat
perenial, yaitu pesan yang ingin membawa manusia kembali
kepada hakikat kemanusiaannya sebagai wakil Tuhan di
bumi. Tradisi adalah manifestasi dari pengertian akan adanya
kesejatiaan Yang Asal Ilahi maupun yang dimunculkan melalui
lingkaran-lingkaran sejarah manusia, melalui transmisi, juga
penyegaran kembali ajaran tersebut melalui pewahyuan. Ia juga
mengimplikasikan adanya kesejatian hakikat (inner truth) yang
ada di jantung berbagai bentuk sakral yang beragam, karena
bagaimanapun juga kesejatian adalah tunggal adanya.46
Untuk memahami pengertian tradisi secara baik,
perlu kiranya membicarakan hubungannya dengan agama
secara lengkap. Jika tradisi secara etimologis dan konseptual

44
Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam, hlm. 237.
45
Ibid., hlm. 238.
46
Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat
Abadi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 150.

324 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

dihubungkan dengan pengertian tentang transmisi, maka agama


(religion), pada gilirannya juga memiliki akar makna yang
hampir sama, yaitu “mengikat” (dari bahasa Latin religere).47
Jika term “religi” berasal dari akar kata Latin religere, bermakna
“mengikat”, maka asal kata ini dapat mengacu pada makna
bahwa ia menjadi pertalian “yang mengikat” manusia dengan
Tuhan. Di lain pihak ad-din menurut ahli gramatikal bahasa
Arab dan ahli tafsir al-Qur’an berasal dari kata dayn, yang
bermakna “hutang”.48 Dengan demikian, ad-din bermakna proses
pelunasan hutang manusia kepada penciptanya melibatkan
seluruh kehidupan manusia itu sendiri, tidak hanya terbatas pada
karunia yang diberikan-Nya kepada setiap individu, akan tetapi
yang paling mendasar adalah atas keberadaan manusia sendiri
telah berhutang kepada-Nya.
Dipahami dalam arti di atas, agama dapat dianggap
sebagai asal-usul tradisi. Sebagai sesuatu yang berasal dari langit
dan melalui wahyu memunculkan prinsip-prinsip tertentu dan
pelaksanannya dianggap sebagai atau berupa tradisi. Namun,
sebagaimana juga telah disebutkan dalam bab III, makna lengkap
tradisi mencakup keseluruhan bagian-bagiannya, mulai dari
asal-usul, percabangan dan penerapannya. Dalam pengertian ini,
tradisi merupakan konsep yang lebih umum, dan di dalamnya
mencakup agama, sebagaimana istilah ad-din juga mengandung
arti tradisi dan agama sekaligus, dalam pengertiannya yang
lebih universal.49
Tradisi dalam pengertiannya secara teknis oleh Nasr
diartikan sebagai prinsip-prinsip dari Yang Ilahi yang diwahyukan

Ibid., hlm. 151.


47

Seyyed Hossein Nasr, Islam Agama, Sejarah, dan Peradaban, terj.,


48

Koes Adiwidjajanto. (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) hlm. 29.


49
Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat
Abadi, hlm. 152.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 325


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

kepada manusia melalui figur-figur terpilih seperti Nabi dan


Rasul. Termasuk di dalam pengertian itu adalah pengungkapan
atau pengembangan dari prinsip-prinsip tersebut dalam sejarah
kemanusiaan yang meliputi hukum-hukum, struktur sosial, seni,
simbol-simbol serta ilmu pengetahuan.50
Wahyu yang dibawa oleh Nabi dan Rasul tidak lain
adalah pesan sakral yang diterima mereka untuk disampaikan
kepada segenap manusia dari setiap periode sejarah hidup
manusia. Karena wahyu termuat dalam agama dengan unsur
pengikatan terhadap manusia, dan tradisi sebagai bagian dari
agama termuat di dalamnya juga nilai sakral dalam dimensi
vertikal dan horizontal manusia, dari sana pula dimensi vertikal
dan horizontal dalam tradisi diibaratkan sebagai dua sisi yang
antara satu dan lainnya tidak dapat terpisahkan. Sisi vertikalnya
berkaitan dengan sumber dari pesan sakral itu sendiri sedangkan
sisi horizontalnya adalah implementasi dari pesan itu dalam
pranata kehidupan umat manusia baik sosial, politik, hukum
maupun seni. Dalam tatanan inilah Nasr mengibaratkan tradisi
akarnya tidak lain adalah al-Qur’an dan al-Hadits, sementara
batang dan cabang-cabangnya membentuk tubuh tradisi yang
tumbuh dari akar-akar itu sepanjang sejarah manusia.51
Lebih lanjut Nasr menegaskan bahwa seruan kembali
kepada tradisi di kalangan masyarakat modern beberapa dekade
ini pengertiannya lebih diarahkan kepada hikmah perenial yang
terdapat di jantung setiap agama. Di dalam kata pengantar
buku Islam dan Filsafat Perenial karya Fritjhof Schuon, Nasr
menyamakan sophia-perennis dengan philosophia-perennis
yang berarti suatu kebenaran kekal di pusat semua tradisi

50
Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein
Nasr”, hlm. 20.
51
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 1.

326 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

bahkan disamakan dengan Sanatana Dharma dalam khazanah


agama Hindu.52 Tradisi menyiratkan Kebenaran yang kudus,
yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta
penerapan bersinambung prinsip-prinsipnya yang langgeng
terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.
Hikmah perenial merupakan elemen utama penyusunan
tradisi, sehingga tradisi tidak mungkin dipisahkan darinya:
sophia perennis, di Barat, dan oleh orang Islam disebut al-
Hikmah al-Khalidah (Arab) dan Javidan khiradz (Persia).53
Salah satu pengertian Sanatana Dharma dan Sophia Perennis
berkaitan dengan konsep tentang Tradisi Yang Sejati, yaitu
Asal eksistensi manusia, muara dari sumber kebenaran yang
termanifestasikan dari berbagai utusan-Nya yang mulia dalam
bentuk yang berbeda-beda.
Segala bentuk pewahyuan yang terdapat dalam semua
agama tidak lain adalah perwujudan Tradisi Primordial dalam
dimensi manusiawi, yaitu dalam bentuk-bentuk yang sesuai
dengan lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang
menjadi tujuan pewahyuan tersebut. Ia adalah manifestasi
kemungkinan Ilahi (Divine Possibilities) dalam tataran
manusiawi.54 Keberadaan Tradisi Yang Sejati atau Sophia
Perennis ini sama sekali tidak menafikan ajaran-ajaran dari
langit, berupa berbagai agama dengan segala keberlangsungan
sejarah dan temporalnya.
Tradisi sebagai bagian dari aspek sejarah dan tempo
dari perjalan Tradisi Yang Sejati memiliki hubungan erat
dengan perwujudan dari sophia perennis dalam seluruh dimensi

Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti.


52

(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 7.


53
Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat
Abadi, hlm. 147.
54
Ibid.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 327


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

kehidupan. Sebagaimana diketahui, tradisi teristimewa yang


bersifat keagamaan, berpindah dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam bentuk ucapan atau tulisan. Tradisi lisan
(oral tradition) bagi penganut agama Yahudi, misalnya, yang
kemudian diabadikan dalam kitab Talmud, merupakan bagian
integral yang tak terpisahkan dari ajaran Nabi Musa a.s. yang
mengikat sepanjang masa. Demikian pula ucapan dan tindakan
Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber kedua ajaran
Islam setelah al-Qur’an, mulanya merupakan tradisi lisan yang
kemudian dilestarikan dalam buku-buku hadits.55
Bagi Nasr, perputaran sejarah dalam masanya yang
panjang serta proses jalannya ruang dan waktu yang terkadang
kontroversial tetap mendudukkan tradisi dalam dimensinya yang
menyejarah dalam segala zaman. Signifikansi Islam tradisional
dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap beberapa
ajaran dasar Islam. Wewenang-wewenang tradisional sepenuhnya
ada pada mereka yang mempunyai hak untuk berbicara pada
kalangan tradisional tanpa perlu merujuk pada bentuk-bentuk
agama lain. Tanggung jawab itu juga berada di pundak mereka
untuk menunjukkan kunci-kunci khazanah hikmah tradisi-
tradisi lain agar dapat diungkapkan, kemudian disampaikan
kepada mereka yang telah ditentukan untuk menerima hikmah
ini sebagai kesatuan hakiki yang memiliki universalitas dan
pada saat yang sama sebagai keragaman formal dari tradisi dan
wahyu.56
Nasr mengatakan dalam Pendekatan kepada perwujudan
masyarakat tradisional adalah dengan menghidupkan kembali
hal-hal yang bersifat metafisik berlandaskan kepada kitab suci

Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap terbuka dalam Beragama


55

(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 288.


56
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 180.

328 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

masing-masing agama. Seorang tradisionalis adalah dia yang


secara pokok memberikan reaksi universal dan penjelasan
secara terperinci tentang agama dari sudut pandang philosophia
perennis, termasuk juga pengetahuan yang luas akan keutamaan
spiritualitas manusia.57
Islam tradisional menerima al-Qur’an sebagai Kalam
Tuhan baik kandungan maupun bentuknya. Islam tradisional
juga menerima komentar-komentar tradisional atas al-Qur’an,
yang berkisar dari komentar-komentar linguistik dan historikal
hingga metafisikal. Dalam kenyataan, Islam tradisional
menginterpretasikan Bacaan Suci tersebut bukan berdasarkan
tradisi hermeneutics58 yang sudah lazim di zaman Nabi SAW,
dan bersandar pada penyampaian lisan dan komentar-komentar
tertulis.59
Dalam pandangannya terhadap Islam tradisional
Nasr menyatakan bahwa dalam Islam tradisional juga
menerima kemungkinan memberikan pandangan-pandangan
segar berdasarkan prinsip-prinsip legal (ijtihad), dan juga
memanfaatkan alat-alat penerapan hukum lain ke dalam situasi-
situasi yang baru muncul, namun selalu selaras dengan prinsip-

Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science, hlm. 64.
57

Hermeneutics, berasal dari kata Yunani yaitu penafsiran. Secara


58

umum hermeneutik adalah teori dan praktik pemahaman serta penafsiran


teks, baik teks Kitab Suci maupun teks-teks yang lain. Dengan tetap berusaha
untuk (a) menentukan makna asli teks dalam konteks historisnya dan (b)
mengungkapkan maknanya untuk sekarang, hermeneutik mengakui bahwa
suatu teks dapat memuat dan menyampaikan makna yang lebih jauh daripada
maksud penulis yang asli. Lebih lanjut baca, O’Collins, S. J., Gerald dan
Edward G. Farrugia, S. J., A Concise Dictionary of Theology, terj., I. Suharyo,
Pr. (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 99.
59
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 4.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 329


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

prinsip legal tradisional seperti qiyas,60 ijma’,61 dan istihsan.62


Lagi pula, bagi Islam tradisional seluruh moralitas diturunkan
dari al-Qur’an dan al-Hadits dan, dalam cara yang lebih konkret
dari syari’ah.63
Lebih lanjut Nasr menyatakan bahwa dalam Islam
tradisional al-Qur’an dan al-Hadits dijadikan sandaran utama
pengambilan semua hukum, dan keduanya adalah keutamaan
sandaran dari realitas tradisi dalam bingkainya yang sakral
di mana realitasnya harus senantiasa hidup dan terjaga dalam
kehidupan manusia. Sekali manusia menolak wahyu dan tradisi
akan sedikitlah kemungkinan baginya memiliki jiwa keagamaan
yang terbuka oleh karena ia tidak lagi memiliki kriteria

60
Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan yang lain”
(taqdir al-Shay’ bigairih), penetapan suatu hukum yang disebutkan dalam
suatu nas (al-Qur’an atau al-Hadits)untuk suatu peristiwa hukum yang belum
ditentukan hukumnya karena di antara kedua hukum itu terdapat kesamaan.
Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, Jilid. III (Jakarta: DEPAG.
R. I., 1993), hlm. 967.
61
Ijma’ (Bahasa Arab) mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan
mengatur suatu hal yang tak teratur, atau menetapkan dan memutuskan suatu
perkara. Menurut istilah ulama fiqih, ijma’ adalah kesepakatan pendapat di
antara para mujtahid (ulama) atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqh
pada periode tertentu mengenai masalah hukum. Kesepakatan tersebut dapat
terjadi dengan 3 cara: A. Dengan ucapan (qaul), yaitu berdasarkan pendapat-
pendapat yang dikeluarkan oleh para mujtahid yang diakui sah tentang suatu
masalah. B. Dengan perbuatan (fi’il) yaitu kesepakatan pengalaman di antara
mujtahid atau ulama. C. Kesepakatan secara diam (sukut) yaitu apabila para
mujtahid tidak membantah suatu pendapat dari satu atau beberapa mujtahid.
Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, jilid. II, hlm. 430.
62
Istihsan adalah suatu cara penetapan hukum dalam Islam melalui
ijtihad bi ra’iy yang berkaitan erat dengan qiyas. Arti istihsan yang lebih luas
dikemukakan oleh Abu Hasan al-Karakhy (ulama Hanafiah) bahwa istihsan
pada hakikatnya adalah berpalingnya mujtahud dari memberikan hukum pada
suatu masalah dengan hukum seperti yang telah diberikan kepada masalah
yang sebanding, karena ada sebab kuat yang menghendaki mujtahid berpaling
dari yang pertama. Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, jilid. II,
hlm. 488.
63
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 5.

330 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

membedakan yang benar dari yang salah.64

Penutup
Dogma yang membenarkan agama sendiri atas agama lain
harus ditiadakan sebagai suatu pengejawantahan dari Realitas
Ilahi Yang Universal. Hal inilah yang antara lain digelisahkan oleh
beberapa tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr dan Frithjof Schuon,
karena bagi keduanya kesatuan agama yang termanifestasikan
dalam nilai-nilai esoteris agama harus senantiasa dihidupkan.
Bagi mereka, aspek esoteris itu sendiri tidak lain dari pancaran
dan inti yang berada di balik yang eksoteris. Oleh karena
itu, agama yang menolak kenyataan metafisis dan bangunan
kerohanian dan kemudian hanya berpegang pada dogma lahiriah
akan menimbulkan kekafiran yang tidak terelakkan. Abdul
Basir dalam pernyataannya mengatakan bahwa dogma agama
yang tercabut dari dimensi rohaniah akan menjadi bumerang
dan potensial melahirkan bid’ah bahkan sikap ateistik.
Nasr mengungkapkan, dalam mewujudkan masyarakat
yang tradisionalis, manusia dibimbing untuk senantiasa mengerti
dan memahami hakekat dari perwujudan tradisi itu sendiri.
Tradisi, dalam pengertiannya yang universal, adalah usaha untuk
membimbing manusia menuju surga dengan prinsip-prinsip yang
mengikat mereka. Agama dalam dimensi ini sebagai manifestasi
dari bimbingan ini ketika dilihat dari esensinya tidak lain adalah
upaya pengejawantahan dari prinsip-prinsip yang mengikat
ini atau penampakan dari surga untuk membimbing manusia
kembali kepada permulaannya. Semua tradisi, secara duniawi
adalah manifestasi pola dasar surgawi yang pada akhirnya
berhubungan dengan pola dasar abadi Tradisi Sejati. Dalam cara
yang sama, semua wahyu itu dihubungkan dengan logos atau

64
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 182.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 331


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

firman yang merupakan permulaan dan sekaligus aspek logos


universal.
Lebih jauh untuk memaknai tradisi, Nasr mengatakan;
tradisi seperti agama, adalah kebenaran dan kehadiran. Ia
memperhatikan subjek yang mengetahui dan objek yang
diketahui. Ia datang dari sumber dari yang segala sesuatu
bermula dan segala sesuatu kembali. Tradisi tidak dapat
dipisahkan berkenaan dengan wahyu dan agama, kesucian,
gagasan ortodoksi, otoritas, keberlanjutan dan regularitas
transmisi kebenaran eksoterik dan esoterik.
Manifestasi dari kebenaran ini dalam Islam tercermin
dari realitas yang terpadu dari nilai-nilai murni yang diberikan
atau dipancarkan oleh al-Qur’an sebagai panduan Realitas Tuhan
dan al-Hadits sebagai aktualisasi nilai-nilai kenabian. Kesucian
ini adalah sumber tradisi. Dalam realitas ini Nasr menyatakan,
manusia yang tidak mempunyai pengertian tentang kesucian
tidak dapat menerima perspektif tradisional, dan manusia
tradisional tidak pernah dipisahkan dari pengertian tentang
kesucian.

332 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

DAFTAR PUSTAKA

Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj., Abdul


Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over
Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia, 2001.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2001.
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj., Suharsono.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan, 1998.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta:
Gramedia, 2003.
Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam; Pesan-pesan Universal
Islam untuk Kemanusiaan, terj., Nurasiah Faqih Sutan
Harahap. Bandung: Mizan, 2003.
Charles Le Gai Eaton, Zikir: Nafas Peradaban Modern, terj.,
Zaimul Am. Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.
Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran Pluralisme Agama dalam
Filsafat Islam dan Kristen, terj., Munir. Bandung:
Alifya, 2004.
William E. Phipps, Muhammad dan Isa, terj., Ilyas Hasan.
Bandung: Mizan, 200.
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj., Zaimul Am. Bandung:
Mizan, 2003.
Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein
Nasr,” Tesis, Program Magister Studi Islam Universitas

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 333


Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat (Oleh: Mas’udi)

Muhammadiyah, Surakarta, 1999.


Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science. Albany: State
University of New York Press, 1993.
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, terj., Tim Penerjemah Mizan. Bandung:
Mizan, 2003.
Taufiq Abdullah, et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2002.
Isma’il Raji al-Faruqi, ed., Trialogue of the Abrahamic Faiths.
New Delhi: Genuine Publication Pvt. Ltd, 1989.
Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat
Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Seyyed Hossein Nasr, Islam Agama, Sejarah, dan Peradaban,
terj., Koes Adiwidjajanto. Surabaya: Risalah Gusti,
2003.
Schuon, Frithjof. Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan, 1998.
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap terbuka dalam
Beragama. Bandung: Mizan, 1999.
O’Collins, S. J., Gerald dan Edward G. Farrugia, S. J., A Concise
Dictionary of Theology, terj., I. Suharyo, Pr. Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, Jilid. III. Jakarta: DEPAG. R.
I., 1993
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan kesucian, terj., Suharsono.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

334 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

PESAN DAKWAH DALAM MENYELESAIKAN


KONFLIK PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH
(Kasus Pembangunan Rumah Ibadah Antara
Islam dan Kristen Desa Payaman)

Nur Ahmad
STAIN KUDUS
Email: ahmadnur73@gmail.com

ABSTRAK

Dakwah merupakan proses yang berkesinambungan yang


ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah
sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan
mentransformasikan sikap batin dan prilaku warga masyarakat
menuju suatu tatanan kesalehan individu serta kesalehan
sosial dan secara bertahap menuju tatanan kehidupan yang
Islami. Keberhasilan kegiatan dakwah dapat dilihat dari
keberhasilan menginterpretasikan kesadaran untuk ber-
amar ma’ruf dan nahi munkar serta berakhlaq al-karimah
yang terdapat dalam pesan-pesan dakwahnya. Baik yang
disampaikan secara lisan maupun saling nasehat menasehati
satu dengan lainnya. Agama Islam dan Kristen adalah dua di
antara agama besar di dunia. Kedua agama tersebut menjadi
landasan bagi peradaban-peradaban dunia yang pernah ada.
Akan tetapi sejarah peradaban mencatat berbagai kejadian
suram (konflik) yang mewarnai hubungan para pemeluk agama
ini. Konflik-konflik itu hingga hari ini masih berlangsung dan
seperti tidak ada kunjung hentinya, mulai dari berbagi faktor

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 335


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

kepentingan ekonomi, politik, agama, maupun sosial sampai


pada suatu pembangunan rumah ibadah. semua itu memicu
ketegangan atau konflik dipicu semangat keagamaan yang
eksklusif dan minimnya pemahaman agama serta kurang
berkembangnya tradisi dialog antar umat beragama. Maka
dari itu sumbangan pesan dakwah disini diharapkan mampu
menyelesaikan persoalan konflik termasuk pembangunan
rumah ibadah misalnya, ini merupakan persoalan yang serius
dan cukup sensitif. Oleh karenanya masalah ini harus disikapi
dengan bijaksana atau dengan pendekatan dakwah.

Kata Kunci : Pesan Dakwah, Konflik Rumah Ibadah, Desa


Payaman

Pendahuluan
Dakwah Islam tidak hanya mengajak dan menyeru umat
manusia agar memeluk Islam, akan tetapi lebih dari itu dakwah
juga berarti upaya membina muslim agar mampu menjadi
masyarakat yang lebih berkualitas (khairu ummah) yang selalu
dibina dalam nilai-nilai keislaman. Islam merupakan konsepsi
yang sempurna karena meliputi segala aspek kehidupan manusia
baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Secara teologis Islam
merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah. Sedang
dalam aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban,
kultur dan realitas sosial dalam kehidupan.1
Selanjutnya dakwah merupakan proses yang
berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban
dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk
ke jalan Allah, dan mentransformasikan sikap batin dan prilaku
warga masyarakat menuju suatu tatanan kesalehan individu
serta kesalehan sosial dan secara bertahap menuju tatanan

1
Elizabeth K. Notthingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pende
katan Sosiologi agama, Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2002, hal : 31.

336 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

kehidupan yang Islami. Suatu proses yang berkesinambungan


adalah suatu proses yang bukan kebetulan, melainkan benar-
benar direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara terus
menerus oleh para pengemban dakwah sesuai dengan tujuan-
tujuan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, sudah bukan
waktunya lagi bahwa dakwah dilakukan asal jalan, tanpa sebuah
perencanaan yang matang, baik menyangkut materinya, tenaga
pelaksananya, ataupun metode yang digunakan2.
Dakwah juga memiliki banyak kontribusi yang cukup
besar dalam menyebarluaskan ajaran Islam, sehingga Islam
menjadi agama yang dianut dan diyakini oleh berbagai masyarakat
seluruh penjuru dunia. Kenyataan ini merupakan bukti dari hasil
sebuah proses dakwah yang terus menerus dilakukan oleh para
juru dakwah yang berlangsung dalam jangka waktu cukup lama
sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Menghadapi kemajuan hidup masyarakat yang semakin
dimanis, maka juru dakwah juga diharapkan mampu melakukan
pesan dakwah sesuai dengan tingkat intelektualitas masyarakat
atau kondisi masyarakat yang dihadapi, hal ini menuntut para
juru dakwah untuk memiliki daya kritis dan kreativitas yang
cukup serta mampu menginterpretasikan kesadaran untuk ber-
amar ma’ruf dan nahi munkar serta berakhlaq al-karimah untuk
kegiatan dakwah. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka kegiatan
dakwah tidak akan berhasil dengan baik3.
Islam adalah agama dakwah, oleh karena itu Islam
harus disebarkan kepada seluruh umat manusia. Seorang muslim
tidak hanya berkewajiban melaksanakan ajaran Islam dalam

2
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta, PT. Amzah, 2009, hal
95-98.
Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan
3

Metode Dakwah, Semarang, RaSAIL, 2005 : 4.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 337


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

hidup keseharian, melainkan juga harus menyampaikan atau


mendakwahkan kebenaran ajaran Islam terhadap orang lain.
Kewajiban berdakwah terletak pada setiap persoalan seorang
muslim berdasarkan kemampuan maupun profesi masing-masing
beserta cara maupun media yang dimiliki.
Gagasan ini dapat diartikan bahwa islam merupakan
agama pembawa misi dakwah yang patut menjadi tempat dan
mekanisme transformasi yang disepakati, dengan sendirinya
akan melahirkan entitas negara dan entitas warga, maka negara
harus menjamin kebebasan keyakinan dan keberagaman masing-
masing kelompok, bukan memberi hak luas kepada satu kelompok
dan mendiskriminasikan kelompok lain dan tentunya aturan
hukum tersebut bukan untuk mengawasi dan mengintimidasi
warga negara atau mendiskriminasikan kelompok agama lain.
Selanjutnya setiap konflik senantiasa terjadi benturan
kepentingan. Dalam konteks ini, ada yang menggunakan konflik
untuk mempertahankan status quo, diskriminasi, dan hegemoni,
ada juga yang menggunakan konflik untuk memacu perubahan
sosial bahkan sampai untuk memukul kelompok lain. Disini
konflik memiliki relasi-relasi sosial dengan kelompok yang
terlibat dengan segala kepentingannya mulai dari kepentingan
ekonomi, politik, negara dan kelompok sosial lain termasuk
dalam hal ini adalah konflik pendirian atau pembangunan yang
terjadi di desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.
Melalui tulisan ini kami akan menyoroti persoalan
pendirian rumah ibadah yang seringkali berujung pada konflik
bernuansa agama. Persoalan tersebut akan dilihat dari dimensi
dakwah dengan melakukan telaah terhadap regulasi pendirian
rumah ibadah, serta perspektif pesan dakwah tentang pendirian
rumah ibadah sebagai bagian dari hak umat beragama di
Indonesia.

338 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Fenomena Pluralitas Agama Di Negara Kita


Bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk  yang
terdiri dari beragam agama, suku dan bangsa. Fakta adanya
pluralitas tersebut sejatinya menjadi sebuah keniscayaan.
Adanya keragaman isi alam serta respon dan refleksi manusia
atas lingkungannya telah melahirkan keragaman budaya,
peradaban, bahkan agama. Kesadaran untuk mengakui realitas
plural menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini dimaksudkan agar
masing-masing manusia dapat hidup bebas untuk menjadi
dirinya sendiri, sesuai dengan pencarian dan pilihannya, serta
dapat menghargai dan menghormati keberagamaan orang lain
Agama  merupakan salah satu fenomena pluralitas  yang
harus disadari setiap orang. Sejarah kehidupan manusia yang
panjang telah melahirkan kreatifitas budaya dalam berbagai
hal termasuk kreatifitas spititual. Dari kreatifitas spiritualnya
tersebut menunjukan bahwa manusia adalah mahluk spiritual
(homo religious). Demikian juga bahwa fenomena pluralitas
agama juga mempunyai kecenderungan kuat terhadap penjagaan
identitas agama masing-masing, yang apabila dilakukan dengan
tanpa terkendali akan berpotensi menimbulkan konflik.
Untuk mewujudkan kerukunan hidup antar umat
beragama yang sejati, harus tercipta suatu konsep hidup
bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang
berbeda agama agar terhindar dari konflik.  Kerukunan hidup
antar umat beragama harus dapat dikelola dan dijaga dengan
baik sehingga keragaman agama menjadi nilai yang hidup di
tengah masyarakat dan masyarakat minoritas dapat menikmati
hidup dengan tenang, baik dari segi kenyamanan beribadat,
ekonomi, sosial, dan budaya, bersama umat mayoritas (Islam)
tanpa adanya pertentangan, perselisihan atau konflik.
Terjadinya konflik yang bernuansa suku agama dan ras di

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 339


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

sejumlah daerah di Indonesia nampaknya masih sering terjadi.


Hal ini didukung oleh kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap hak  asasi manusia. Perbedaan yang ada sering
memiliki potensi untuk menimbulkan tindakan yang melanggar
hak asasi manusia. Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong
terjadinya aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain
yang berbeda agama. Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan
merupakan hak asasi manusia sebab perbedaan itu berasal dari
Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama4.
Agama Islam dan agama Kristen merupakan dua di antara
agama terbesar di dunia. Keduanya akan menjadi cerminan
bagi peradaban agama di dunia yang pernah ada hingga saat
ini. Kedua agama tersebut mempunya akar sejarah dari nenek
moyang yang sama yaitu Nabi Ibrahim. Secara teologis, agama-
agama Ibrahim mempunyai ciri khas dengan kepercayaan pada
Tuhan Yang Maha Esa ( monoteisme), meskipun kedua agama
tersebut memiliki konsep monoteisme yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, monoteisme ini dapat dianggap sebagai titik agama-
agama Ibrahim.
Islam merupakan kelanjutan dari agama Kristen dan
Yahudi, Islam tidak mengeklaim sebagai agama baru. Islam
menegaskan apa yang telah dibawa agama Kristen dan Yahudi.
Islam mengakui kebenaran dan keabsahan agama-agama
tersebut untuk membawa umatnya menuju keselamatan. Dengan
mengakui ini, Islam mendesak penganutnya untuk menjadi
dari pengakuan itu, artinya adalah menjadi kewajiban kaum
muslimin untuk menyatakan keimanan mereka pada agama-
agama tersebut.
Berkenaan dengan kaum Kristen dan Yahudi istilah

4
Noor Ma’rufin, Sosiologi Agama STAIN Kudus, 2006, hal 244.

340 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

dalam “Ahli Kitab” banyak dibicarakan oleh para mufasir,


mereka mempersoalkan siapa yang tercakup dalam istilah
tersebut. Apakah istilah yang tercakup dalam ahli kitab hanya
mencakup orang-orang Kristen dan Yahudi sebelum kedatangan
Islam, dan bagaimana keabsahan agama Kristen dan Yahudi
setelah kedatangan Islam? Dan bagaimana dengan komunitas
agama yang mengeklaim mempunyai kitab suci, seperti orang-
orang Hindu, Budha, Konghucu, Zoroaster, Sinto dan lain-lain,
apakah mereka juga bisa disebut ahli kitab? Apakah agama
tersebut juga dapat membawa umatnya menuju keselamatan?
Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain.
Namun, sekali lagi apa yang tertulis dalam kitab suci,
tidak selalu terjadi dalam kenyataan. Apa yang terjadi pada
masa-masa awal tidak selalu diikuti oleh generasinya. Kaum
muslimin sendiri tidak selalu melaksanakan perintah-perintah
al-qur’an uantuk berbuat baik terhadap ahli kitab dan berdebat
secara adil dengan mereka. Apa yang menjadi sejarah masa
silam adalah bahwa hubungan kaum Muslimin dengan Kristen
memburuk setiap waktu, setiap saat, dan dimanapun. Sementara
kehidupan pada masa Nabi Muhammad, kehidupan yang damai
dengan orang-orang Kristen begitu mencolok, namun generasi
berikutnya justru menghapus dan menggantinya dengan
ketegangan, kegelisahan serta konflik berkelanjutan.
Alwi Shihab mengatakan bahwa ada banyak faktor
yang menyebabkan ketegangan, perselisihan dan permusuhan
kaum Muslimin dan kaum Kristen. Ada banyak kepentingan
terlibat didalamnya, mulai dari kepentingan ekonomi, politik,
social, budaya hingga keamanan. Namun ada satu faktor yang
senantiasa mewarnai setiap konflik Muslim-Kristen yakni
perbedaan teologi, dimana Islam hanya menganut system
kepercayaan yang dikenal Islam dengan istilah tauhid (satu

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 341


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Tuhan). Sementara Kristen menganut sistem trinitas, sebuah


konsep yang dianggap mengakui adanya tiga pribadi Tuhan,
sedang Islam menolaknya. Dengan memperhatikan pluralitas
masyarakat pada masa sekarang, paradigma lama yang sudah
dibangun hidup rukun bergandengan tangan akhirnya berbalik
saling memusuhi dan berlanjut sampai saat ini dan sepertinya
sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Eronisnya tidak hanya
masalah kepentingan ekonomi, politik, sosial, budaya hingga
keamanan. Namun ada satu faktor yang senantiasa mewarnai
setiap konflik termasuk sampai pada ketegangan pembangunan
tempat ibadah.
Beberapa peristiwa yang memicu terjadinya konflik
muncul berkaitan dengan pembangunan sarana ibadah yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam mengungkapkan
haknya dalam beragama. Munculnya bangunan-bangunan yang
berkelamin agama (terutama agama minoritas) memunculkan
logika ancaman yang begitu besar. Setiap kali pembangunan
rumah ibadah, sekolah agama, rumah sakit/klinik, panti asuhan,
dan panti jompo milik agama minoritas, maka yang terlintas di
benaknya adalah adanya bahaya. Kalau yang mayoritas adalah
Muslim, maka Muslim akan terancam dengan munculnya
bangunan agama. Kalau Kristen yang mayoritas, maka mereka
akan terancam dengan bangunan ibadah agama lain, demikian
juga ketika di daerah Bali kalau muncul masjid, maka umat Hindu
sebagai mayoritas akan merasa terancam dengan berdirinya
masjid tersebut.
Hal ini juga dapat kita lihat dari kejadian-kejadian di
beberapa daerah, yakni betapa sulitnya mendirikan rumah
ibadah sebagai warga minoritas. Adanya kecurigaan terhadap
misi agama tertentu dalam mendirikan tempat ibadah tidak
dapat dinafikan. Tidak dapat dipungkri, ketegangan soal tempat

342 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

ibadah ujungnya adalah soal kristenisasi meskipun hal ini tidak


selalu muncul kepermukaan. Isu ini sebenarnya sudah mempunyai
sejarah yang panjang dalam kehidupan di Indonesia.
Berdasarkan deskripsi diatas yang sudah kami uraikan,
maka kami merasa perlu dan tertarik untuk mengkaji serta lebih
dalam lagi tentang konflik pembangunan rumah ibadah dalam
komunitas muslim, melalui studi kasus hubungan Islam dan
Kristen di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.
Namun untuk mengkaji hal tersebut, maka perlu juga dikaji pula
faktor-faktor yang mempengaruhi dan upaya-upaya pencegahan
konflik tersebut.

Pokok Permasalahan Konflik Rumah Ibadah Berdasarkan


Hukum
Menurut Imam Baehaqi, (2002:51)5, untuk mengelola
kehidupan umat beragama, Negara mengeluarkan kebijakan
melalui surat keputusan bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Agama no. 1 tahun 1969 tentang Pelaksanaan
Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama
oleh Pemeluk-Pemeluknya, serta surat keputusan (SK) Menteri
agama no. 70 tahun 1978 tentang pedoman penyiaran agama
oleh Menteri agama6. Sebagaimana isi surat keputusan ini
merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan departemen
setempat, untuk membimbing, mengarahkan dan mngawasi
serta menyelesaikan pertentangan yang mungkin timbul secara
adil dan tidak memihak. Kebijakan yang mencerminkan campur

5
Baehaqi Imam, 2002, Agama dan Relasi Sosial, Yogyakarta, LKiS,
2005, hal 51.
6
http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-dan-
kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-rumah-ibadah, diunduh 3 juni
2013.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 343


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

tangan Negara terhadap kehidupan umat beragama. Kebijakan ini


selanjutnya akan diuji secara materiil dalam praksis kehidupan
umat beragama di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Dalam upaya mengatur prosedur pendirian rumah
ibadah, pada masa lalu pemerintah  telah menerbitkan
kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama
(SKB) No. 1 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya7. Keberadaan SKB tersebut ternyata masih dirasa
cukup memojokan bagi kaum minoritas, terlebih umat Kristen-
Katolik yang memiliki banyak sekte, aturan ini dianggap sangat
membatasi. Bagi umat Islam yang kebetulan secara komposisi
minoritas disebuah wilayah juga terkena dampak yang
menyulitkan dari SKB ini. Dengan alasan bahwa umat Kristen
dianggap yang paling dirugikan dengan diberlakukannya SKB
ini, maka melalui Persekutuan Gereja Indonesia, dilontarkan
usulan akan perlunya pemerintah mencabut SKB tersebut.
Menurut Kustini (2009:2),dalam praktik dilapangan,
pemberlakuan SKB tersebut menemui berbagai kendala. Hal
ini terjadi karena beberapa faktor antara lain bahwa dalam SKB
tersebut masih terdapat kalimat multitafsir sehingga tidak ada
kejelasan mengenai siapa yang disebut sebagai pemerintah daerah,
siapa yang disebut sebagai pejabat pemerintah dibawahnya yang
dikuasakan untuk itu, dan siapa yang disebut sebagai organisasi
keagamaan dan ulama atau rohaniawan setempat8.
Pro dan kontra di masyarakat terkait keberadaan SKB

7http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-dan-
kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-rumah-ibadah, diunduh 3 juni
2013
8K
ustini, Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, Jakarta:
Balitbang Departemen Agama RI, 2009 hal 2

344 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Nomor 1 Tahun 1969 juga terlihat diberbagai media massa.


Sebagian pemuka agama mengusulkan SKB tersebut dicabut,
sementara sebagian pemuka agama lainnya mengusulkan
untuk tetap dipertahankan. Untuk merespon permasalahan
ini, pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Dalam
Negeri) mengundang para wakil dari masing-masing majelis
agama antara lain Konferensi Gereja-gereja Indonesia, Majelis
Ulama Indonesia, Persatuan Gereja-Gereja Indonesia, Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI), dan Perwakilan Umat
Budha Indonesia (WALUBI) untuk  merevisi Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor. 1
tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah
dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan 
pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya.
Melalui proses pembahasan dan dialog yang relatif
intensif, serius dan berulang-ulang selama lebih kurang enam
bulan dalam 11 kali pertemuan, akhirnya berhasil mencapai
kesepakatan yang kemudian pada tanggal 21 Maret 2006 telah
dikeluarkan kebijakan berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan
umat beragama melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan Nomor 8  tahun
2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/
Wakil Kepala Daerah dalam memelihara Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,
dan pendirian rumah ibadat.
Keberadaan regulasi yang baru tersebut diharapkan mampu
menjembatani dan mencegah potensi konflik yang ditimbulkan
oleh persoalan pendirian rumah ibadah. Pada umumnya potensi
konflik tersebut biasanya muncul karena beberapa persoalan,
diantaranya belum adanya penjelasan mengenai persyaratan dan
tata cara pendirian rumah ibadah, proses perizinan rumah ibadat

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 345


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

yang sering berlarut-larut, penyalahgunaan rumah tinggal atau


bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibadat, pendirian
atau keberadaan rumah ibadat yang sesuai dengan prosedur
yang berlaku dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat
setempat, pengaturan masing-masing pemerintah daerah yang
masih seragam atau bahkan masih banyak pemerintah daerah
yang belum memiliki regulasi untuk mengatur pendiriaan rumah
ibadat, serta kurangnya komunikasi antar pemuka agama disuatu
wilayah.
Ada beberapa ketentuan yang memang berbeda dengan
ketentuan yang ada apada regulasi sebelumnya. Pada Peraturan
Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini. beberapa ketentuan
tersebut diatur secara rinci dalam Bab IV pasal 13-17 Dalam
Pasal 13 disebutkan mengenai ketentuan dukungan sosiologis
dalam mendirikan rumah ibadah, disebutkan bahwa :
1. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan
sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk
bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa
2. Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama,
tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta
mematuhi peraturan bangunan gedung.perundang-undangan.
3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama
di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1)
tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk
digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota
atau provinsi9.

Dalam pasal 14 juga disebutkan mengenai syarat

9
Ibid, Kustini

346 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

administrasi dan dukungan komposisi jemaat dan warga


setempat dalam pendirian rumah ibadah :
1. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis
2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
khusus meliputi :
1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna
rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang
yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3),
2) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60
(enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala
desa;
3) Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
4) Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf
b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban
memfasilitasi tersedianyalokasi pembangunan rumah
ibadah

Berkaitan dengan konfigurasi ketatanegaraan, menurut


Kustini, kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting.
Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal
mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan
kebebasan politik sampai pada pembangunan rumah ibadah.
Norma-norma itu berkisar dari doa yang diucapkan dalam
kesendirian hingga partisipasi aktif dalam kehidupan politik
suatu negara.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 347


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang


paling mendasar dalam instrumen-instrumen politik nasional
dan internasional, jauh sebelum berkembangnya pemikiran
mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan
politik. Namun demikian, kebebasan beragama menemukan
jantung “persoalan” yang utama ketika berhadapan dengan
entitas negara. Di sini muncul perdebatan mengenai gugus
negara apa yang harus dibentuk  supaya kebebasan beragama
tidak teraniaya. Sejauh mana legitimasi moral dan hukum
bahwa negara boleh “mengelola” tindakan-tindakan yang
bertolak tarik dengan kebebasan beragama. Bagaimanapun juga
kerangka yang bernurani untuk membaca kebebasan beragama
berhadapan dengan kekuasaan dan kepentingan umum dalam
tarikan nafas HAM.
Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan
bernegara itu ternyata melahirkan debat tiada berkesudahan
mengenai kebebasan beragama dan gugus negara. Dalam studi
ilmu negara lazim diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk
pertama-tama melindungi HAM warganegara dan memberikan
kesejahteraan secara optimal
Bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan
bernegara. Para pengamat sosial merumuskan beberapa teori
untuk membaca hubungan agama dengan negara, yang antara lain
dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma
integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.
Dalam gugus negara dengan paradigma integralistik, agama
dan negara menyatu, jadi wilayah agama mencakup wilayah
politik atau negara. Oleh karena itu, negara merupakan lembaga
politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini yang kemudian
melahirkan paham negara-agama, di mana kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip kegamaan.

348 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Agama merupakan ruh, spirit yang harus masuk ke


negara. Sementara negara adalah badan, raga yang mesti
membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini, keberadaan negara
tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial
dari masyarakat manusia yang bersifat sekular, akan tetapi lebih
dari itu, negara dipandang sebagai jasad atau badan yang niscaya
dari idealisme ketuhanan, sementara agama adalah substansi
untuk menegakkan keadilan semesta.
Dari berbagai uraian teori diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa keberadaan regulasi yang baru tersebut
diharapkan mampu menjembatani dan mencegah potensi konflik
yang ditimbulkan oleh persoalan pendirian rumah ibadah. Pada
umumnya potensi konflik tersebut biasanya muncul karena
beberapa persoalan, diantaranya belum adanya penjelasan
mengenai persyaratan dan tata cara pendirian rumah ibadah,
Pada Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini.
Ada beberapa ketentuan tersebut diatur secara rinci dalam Bab
IV pasal 13-17 dalam Pasal 13 disebutkan mengenai ketentuan
dukungan sosiologis dalam mendirikan rumah ibadah. Ketika
pendekatan dan mengikuti persyaratan dan tata cara pendirian
rumah ibadah dipenuhi niscaya kesenjangan dan potensi konflik
pembangunan rumah ibadah akan bisa kita atasi bersama tanpa
ada yang dirugikan kedua belah pihak.

Konflik Pembangunan Rumah Ibadah


Konflik berasal dari kata kerja latin Configure, yang berarti
saling memukul, yang dimaksud dengan konflik sosial adalah salah
satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain
didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling
mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik
sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 349


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative


sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dengan demikian,
terjadilah persaingan hingga menimbulkan suatu benturan-
benturan fisik baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar.
Konflik merupakan sikap saling mempertahankan diri sekurang-
kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan
pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga
mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Konflik
dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan
(the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan
lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan
sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap
di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain
sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan
tujuan masing masing.
Beberapa peristiwa konflik sosial yang disebabkan oleh
persoalan rumah ibadat masih terus terulang dan belum ada model
penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Sederet
peristiwa konflik karena persoalan rumah ibadah masih mewarnai
kehidupan umat beragama di Indonesia. Konflik pendirian
tempat ibadah (terutama gereja) ini bisa jadi akan membesar
di masa mendatang. Ini karena perpindahan warga, munculnya
perumahan-perumahan baru, dengan masuknya pendatang yang
beragama beda dengan warga lokal. Survei yang dilakukan
oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan adanya
persepsi yang berbeda antara warga Islam dan Kristen dalam
melihat pendirian tempat ibadah.
Dalam hal ini perlunya pemahaman bahwa persoalan
pendirian rumah ibadah bukanlah berada dalam ruang kosong.
Ia harus menjadi bagian dari komunitas sosial (masyarakat)
yang terkadang tidak identik dengan pemeluknya, tetapi lebih

350 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

luas lagi ia berada dalam tatanan ruang sosial dan psikologis


sekaligus karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat tepat apabila
pendirian rumah ibadat harus mendapat dukungan sosiologis
masyarkat setempat. Sebagaimana diuraikan dalam pasal 13
ayat 1, 2 dan 3 PBM  Nomor 9 dn 8 Tahun 2006 maka syarat
dukungan sosiologis pendirian rumah ibadat diantaranya:
1. Didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan
umat beragama yang bersangkutan di wilayah desa/
kelurahan ;
2. Dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat
beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban
umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan;
3. Jika syarat keperluan nyata bagi pelayanan umat di
wilayah kelurahan atau desa tidak terpenuhi, maka
didasarkan pada pertimbangan komposisi jumlah
penduduk pada batas wilayah kecamatan atau kabupaten/
kota atau propinsi.

Syarat dukungan Sosiologis sangat dibutuhkan apabila


ditinjau dari segi hukum, oleh karenanya pengaturan tersebut
harus dihubungkan dengan penafsiran sistematis kepada landasan
politik.  Pendirian rumah ibadat secara fisik berkaitan dengan
kepentingan umum terutama peruntukan sebuaah lokasi yang
dikaitkan dengan berbagai kepentingan termasuk tata ruang.
Dalam PBM tersebut juga ditegaskan mengenai
pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),
prinsip yang dianut oleh Peraturan Bersama ini adalah bahwa
pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama
umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan
dan pemberdayaan umat beragama. Dengan demikian, maka

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 351


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

umat beragama bukanlah objek melainkan adalah subjek di dalam


upaya pemeliharaan kerukunan dan peramaian. Oleh karenanya,
agar pemberdayaan umat beragama dapat terlaksana dengan
baik, maka diperlukan adanya suatu wadah di tingkat lokal dalam
hal ini kabupaten/kota dan provinsi untuk menghimpun para
pemuka agama baik yang memimpin maupun tidak memimpin
ormas keagamaan yang menjadi panutan masyarakat. Wadah ini
disebut Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dengan
maksud akan menjadi tempat dimusyawarahkannya berbagai
masalah keagamaan lokal dan kemudian dicarikan jalan
keluamya.
FKUB bertugas melakukan dialog dengan pemuka agama
dan masyarakat, menampung dan menyalurkan aspirasi ormas
keagamaan dan masyarakat dan melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang
berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
masyarakat. Khusus FKUB tingkat kabupaten/kota salah
satu tugasnya adalah memberikan rekomendasi tertulis atas
permohonan pendirian rumah ibadat. FKUB bukan dibentuk oleh
Pemerintah, tetapi dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi
oleh Pemerintah.

Hubungan Sosial Budaya Masyarakat Islam dan Kristen Desa


Payaman
a). Masyarakat Islam Desa Payaman
Masyarakat menurut ilmu Sosioligi adalah golongan
besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia, yang
dengan kata lain atau karena sendirian bertalian secara
golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya.
Pengertian masyarakat yang menjadi titik poin adalah
pengaruh dan pertalian batin yang terjadi dengan sendirinya

352 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

atau menjadi unsur yang harus ada dalam masyarakat.


Keberadaan masyarakat bukannya dengan menjumlahkan
orang-orang yang masuk saja, diantara mereka harus ada
pertalian satu sama lainnya. Sedikitnya tiap anggota sadar
akan adanya orang lain itu dalam tiap langkahnya. Kalau
cara memperhatikan itu telah menjadi adat, tradisi atau lebih
lagi menjadi lembaga, maka perhatian itu tetap dipelihara
sekalipun tidak ada seseorang didekatnya. Umpamanya
saja karena memperhatikan adanya orang laindan supaya
berjalan tidak bentrokan dengan dia, maka orang berjalan
disebelah kiri jalan.
Kemudian masyarakat islam adalah kelompok manusia
yang hidup dan terciptanya kebudayaan islam atas apa saja
yang diamalkan oleh kelompok itu. Kelompok manusia
yang mengamalkan kebudayaan Islam dengan sendirinya
adalah mereka yang beragama Islam. Kenapa demikian?
Kebudayaan Islam ialah pernyataan cara berfikir dan cara
mereka bertaqwa. Taqwa adalah sikap yang dibentuk oleh
agama, kebudayaan Islam adalah lanjutan dari agama Islam.
Kebudayaan itu adalah cara hidup kelompok yang beragama.
Agama dan kebudayaan disatukan oleh syari’at dalam
ad-diin. Agama adalah syari’at dalam hubungan manusia
dengan tuhannya dan kebudayaan adalah syari’at hubungan
manusia dengan manusia10.
Semantara itu yang kami maksud masyarakat Islam
Desa Payaman adalah sekelompok masyarakat yang
tergabung dalam ikatan social yang berada di wilayah Desa
Payaman dan tentunya memeluk agama Islam. Adapun
dilihat dari demografi kependudukan masyarakat Desa

Khadiq, Islam dan Budaya Lokal Memahami Realitas Agama


10

Masyarakat, Yogyakarta, Teras 2009 hal 61

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 353


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Payaman adalah mayoritas memeluk agama Islam, baik dari


penduduk asli maupun pendatang sampai saat ini mayoritas
kependudukan masyarakat tersebut adalah beragama Islam.
Hal ini di kuatkan data atau arsip kependudukan di kantor
pemerintahan Desa Peyaman menunjukkan 99 % masyarakat
Desa Payaman beragama Islam11.Hal ini juga dikuatkan
aktifitas kegiatan ubudiyah dan kegiatan keagamaan seperti,
majlis-majlis ta’lim, kegiatan-kegiatan Ibu-ibu PKK yang
dikemas dengan mejlis ta’lim, juga beberapa kegiatan arisan
remaja dan orang tua juga dikemas dalam wadah jam’iyyah
keagamaan.

b). Masyarakat Kristen Desa Payaman


Sebenarnya yang perlu kami rumuskan dalam
menggambarkan keadaan masyarakat Kristen yang ada
diwilayah Desa Payaman adalah tidak jauh berbeda dengan
gambaran secara umum masyarakat Islam yang ada di
Desa Payaman. Hanya saja ketika kami berbicara tentang
masyarakat Islam di desa tersebut sebagai masyarakat yang
mayoritas penduduknya adalah memeluk Agama Islam. Akan
tetapi ketika kita berbicara tentang masyarakat Kristen yang
berada di Desa Payaman justru sebaliknya, artinya dalam
masyarakat tersebut yang memeluk agama Kristen adalah
hanya sebagian kecil dari jumlah penduduk Desa Payaman.
Menurut arsip dari kependudukan masyarakat Desa
Payaman pada terhitung 1 Juli 2012 hanya sekitar 66 orang,
itupun data diambil dari usia menurut usia dan jenis kelamin.
Jumlah tersebut mulai dari usia 01 tahun sampai dewasa,
yang terdiri dari 19 kepala keluarga (KK) dalam 16 rumah,

Data diambil dari arsip kependudukan menurut agama dan jenis


11

kelamin Desa Payaman 2013

354 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

dengan jumlah keseluruhan Juli 2012 tercatat 66 orang.


Adapun kegiatan keagaman yang mereka lakukan hanya 1
bulan sekali dan 1 pekan sekali kegiatan ke gereja12 Hal ini
sangat berbeda jauh dengan aktivitas keagamaan masyarakat
Islam desa tersebut yang hamper tiap malam dalam tiap
sepekan selalu ada aktifitas keagamaan, mulai dari majlis
ta’lim aanak-anak, remaja, laki-laki perempuan, bapak-
bapak sampai ibu-ibu rumah tangga. Belum lagi kegiatan
kemasyarakatannya yang bersifat social juga dikemas dengan
bentuk ibadah. Sementara itu dalam aktivitas kegiatan
keagaman masyarakat Desa Payaman walaupun tidak saling
mengejek, akan tetapi bila masalah kegiatan keagamaan
ada yang mengusik masyarakat Desa Payaman akan merasa
sensitive dengan kata lain fanatik. Ini terbukti ketika
masyarakat Kristen tersebut mau mendirikan sebuah tempat
ibadah di Desa Payaman, sampai saat ini masih merupakan
konflik dan sampai saat ini masih belum terwujud tempat
ibadah orang Kristen Payaman. Hal ini sebenarnya bukan
berawal dari kefanatikan masyarakat Islam Desa Payaman
akan tetapi langkah dan cara masyarakat Kristen tersebut
yang kurang tepat.
Kekurang tepatan ini membuat masyarakat Islam
sebagai masyarakat yang mayoritas merasa tertipu dan
dikhianati, diantaranya adalah waktu itu dari masyarakat
Kristen meminta KTP dan mngisi biodata lengkap dengan
tanda-tangan untuk mendapat bantuan dari para dermawan
yang peduli dengan masyarakat miskin. KTP dan tanda-
tangan tersebut rupanya dimanfaatkan oleh orang Kristen
untuk bukti persetujuan masyarakat sekitar untuk pendirian

Data wawancara diambil dari pemuka agama Kristen Desa


12

Payaman kepada Bapak Kasmin pada bulan Juli 2013.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 355


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

rumah ibadah atau sebuah gereja. Belum sempat pendirian


dan izin pembangunan rumah ibadah keluar, adalah salah
satu masyarakat yang tahu maksud niat balik itu semua
akhirnya semua KTP lengkap dengan tanda-tangannya
diambil dan diminta oleh orang Islam Desa Payaman dan
sampai pada hari ini sudah lebih dari enam tahun silam
pembangunan rumah ibadah orang Kristen belum sempat
terealisasi. Adapun masyarakat Kristen yang tergabung
dalam masyarakat desa Payaman ketika kebaktian di Gereja
adalah masih menggabung di daerah tetangga Desa dan
sampai saat ini.

Analisis Konflik Pembangunan Rumah Ibadah dalam komunitas


muslim Desa Payaman
Konflik pendirian tempat ibadah (terutama gereja)
ini bisa jadi akan membesar di masa mendatang. Ini karena
perpindahan warga, munculnya perumahan-perumahan baru,
dengan masuknya pendatang yang beragama beda dengan warga
lokal. Melihat beberapa survai kasus yang terjadi dibeberapa
tempat pembangunan rumah ibadah dalam wilayah yang
mayoritas memang cukup sulit, artinya tidak semudah apa yang
kita harapkan. Hal ini juga terjadi pada pembangunan rumah
ibadah di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.
Hal ini juga atas dasar ketetapan pemerintah dalam perundang-
undangan termasuk dalam ketetapan UUD 1945. Bila dilihat
dari perspektif hukum, tujuh tahun Era Reformasi (1998 -2006)
pada umumnya telah lahir kebijakan nasional yang mendasar
dan konstruktif dalam pembangunan dan jaminan kebebasan
beragama. Perubahan UUD 45 dalam 4 tahap (1999-2002) yang
menyangkut hak keagamaan warga negara dan beberapa legislasi
hukum nasional yang berkaitan dengan masalah keagamaan
banyak dipengaruhi oleh prinsip HAM.

356 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Mengacu tentang dasar hukum lagi adalah bila minoritas


ingin membuat tempat ibadah, sementara syarat dan aturan
izin pembuatan rumah tidak terpenuhi sebenarnya itu bukan
karena factor masyarakat yang mayoritas bukan dan bukan
fanatic masyarakat seperti yang sudah diuraikan diatas akan
tetapi karena dasar hukum tidak membolehkan. Hal ini menurut
pemahaman kami adalah karena berbagai faktor diantaranya
adalah memang belum mencapai standar pencapaian minimal.
Selanjutnya Syarat dukungan Sosiologis diatas
diterjemahkan dalam bentuk Persyaratan Administratif antara
lain mencakup persyaratan yang bersifat khusus, sebagaimana
yang termuat dalam pasal 14 ayat 2 PBM No. 8 dan 9 Tahun
2006 yang pada intinya mencakup :
1. Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat minimal
90 orang yang disahkan oleh pejabat setempaat sesuai
dengan tingkat batas wilayah
2. Dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa.
3. Rekomendasi tertulis oleh Kepala Kantor Departemen
Agama kabupaten/kota, dan
4. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota13.

Dalam pasal 16 PBM juga diatur mengenai syarat


prosedural pengajuan permohonan izin pendirian rumah ibadah
kepada pemerintah daerah. Pengajuan tersebut dilakukan oleh
panitia pembangunan rumah ibadat dan ditujukan kepada
bupati/walikota. Dalam jangka waktu maksimal 90 hari izin tadi
sudah harus diputuskan. Dalam perspektif hukum adminstrasi
negara, menurut Sjahran Basah, izin merupakan perbuatan

http://www.membuatblog.web.id/2010/07/kemajemukan-
13

masyarakat-indonesia.html, diunduh 19 Mei 2013

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 357


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

hukum administrasi negara yang mengaplikasikan peraturan


dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur
sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan. Perizinan sering dipandang sebagai instrumen yuridis
pemerintah untuk tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan,
tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum. Kewenangan
pemerintah, termasuk pemerintah daerah dalam permohonan
pendirian rumah ibadat ini terkait dengan kewenangan dalam
penataan ruang, kehidupan beragama, dan menjaga ketertiban
umum.
Melihat dasar hukum tersebut Nampak jelaslah bagi
kita khususnya bagi masyarakat minoritas yang berada di Desa
Payaman, yaitu masyarakat Kristen wajar bila sampai saat ini
pembangunan rumah ibadah belum sampai terealisasikan karena
memang berdasarkan aturan perundang-undangan juga belum
masuk standar minimal. Belum lagi saat kaum minoritas mau
mendirikan tempat ibadah adalah meka lakukan berbagai cara
dan ingin membohongi masyarakat Islam setempat sebagai
masyarakat mayoritas Islam dengan jalan mengumpulkan KTP
dan Tanda-tangan dengan alasan nanti akan ada pembagian
sumbangan dari para dermawan bagi kaum tidak mampu
(ekonomi), sesuai yang sudah di singgung di atas14.

Analisis Hubungan Islam Dengan Kristen Di Desa Payaman


Sepanjang tahun 2011, konflik yang  berlatar belakang
agama terjadi kembali seperti tahun-tahun sebelumnya. Peristiwa
yang paling banyak menyita perhatian adalah peristiwa GKI
Yasmin di Bogor, Konflik Maluku, dan bentrok antara Sunni-
Syi’ah di Sampang Madura pada penghujung tahun 2011.

14
Hasil wawancara dengan KH. Ahmad Shobar, selaku tokoh agama
Islam di Desa Payaman pada bulan Juni 2013.

358 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Kejadian-kejadian tersebut sebetulnya merupakan letupan yang


berasal dari tahun-tahun sebelumnya. Bila dikerucutkan, kasus-
kasus konflik yang bermotif keagamaan ini bermuara pada dua
persoalan, yaitu hubungan antara Islam-Kristen dan hubungan
antara Islam dengan aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah,
Syiah, dan sebagainya.
Realitas konflik semacam ini tentu merupakan hal yang
tidak diharapkan terjadi. Semua berharap agar semua pihak
berdampingan secara damai. Untuk mewujudkan hal tersebut
tentu saja harus ada kesadaran dari semua pihak untuk bertindak
lebih arif dalam melihat konflik-konflik tersebut dan berlaku
adil terhadap semua pihak sesuai dengan porsinya. Keinginan ini
dalam banyak kasus justru malah tidak dapat terwujud karena
provokasi media yang cenderung berat sebelah. Untuk menuju
ke arah sana tulisan ini ingin melihat realitas konflik terebut
dan kemudian diambil pelajaran untuk memprediksi kasus-
kasus serupa pada tahun 2012. Bangsa Indonesia merupakan
masyarakat majemuk  yang terdiri dari beragam agama, suku
dan bangsa. Fakta adanya pluralitas tersebut sejatinya menjadi
sebuah keniscayaan.
Adanya keragaman isi alam serta respon dan refleksi
manusia atas lingkungannya telah melahirkan keragaman
budaya, peradaban, bahkan agama. Kesadaran untuk mengakui
realitas plural menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini dimaksudkan
agar masing-masing manusia dapat hidup bebas untuk menjadi
dirinya sendiri, sesuai dengan pencarian dan pilihannya, serta
dapat menghargai dan menghormati kebeagamaan orang lain.
Agama  merupakan salah satu fenomena pluralitas  yang
harus disadari setiap orang. Sejarah kehidupan manusia yang
panjang telah melahirkan kreatifitas budaya dalam berbagai
hal termasuk kreatifitas spititual. Dari kreatifitas spiritualnya

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 359


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

tersebut menunjukan bahwa manusia adalah mahluk spiritual


(homo religious) Demikian juga bahwa fenomena pluralitas
agama juga mempunyai kecenderungan kuat terhadap penjagaan
identitas agama masing-masing, yang apabila dilakukan dengan
tanpa terkendali akan berpotensi menimbulkan konflik.
Untuk mewujudkan kerukunan hidup antar umat
beragama yang sejati, harus tercipta suatu konsep hidup
bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang
berbeda agama agar terhindar dari konflik.  Kerukunan hidup
antar umat beragama harus dapat dikelola dan dijaga dengan
baik sehingga keragaman agama menjadi nilai yang hidup di
tengah masyarakat dan masyarakat minoritas dapat menikmati
hidup dengan tenang, baik dari segi kenyamanan beribadat,
ekonomi, sosial, dan budaya, bersama umat mayoritas (Islam)
tanpa adanya pertentangan, perselisihan atau konflik.
Terjadinya konflik yang bernuansa suku agama dan ras di
sejumlah daerah di Indonesia nampaknya masih sering terjadi.
Hal ini didukung oleh kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap hak  asasi manusia. Perbedaan yang ada sering
memiliki potensi untuk menimbulkan tindakan yang melanggar
hak asasi manusia. Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong
terjadinya aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain
yang berbeda agama. Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan
merupakan hak asasi manusia sebab perbedaan itu berasal dari
Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama.
Sementara yang terjadi di Desa Payaman justru
sebaliknya, bahkan seperti main peta umpet atau main kucing-
kucingan. Tidak transparan dan justru hal ini akan membuat
masyarakat mayoritas semakin geram karena merasa dibohongi
dan wajar bila hal ini justru masyakarat semakin curiga dibalik
misi dakwahnya orang minoritas.

360 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Penutup
Konflik yang disebabkan persoalan rumah ibadah
misalnya, ini merupakan persoalan yang serius dan cukup sensitif.
Oleh karenanya masalah ini harus disikapi dengan bijaksana
atau dengan pendekatan aturan hukum Negara. Gagasan ini
dapat diartikan bahwa negara menjadi tempat dan mekanisme
transformasi yang disepakati, dengan sendirinya wilayah negara
melahirkan entitas negara dan entitas warga, maka negara harus
menjamin kebebasan keyakinan dan keberagaman masing-masing
kelompok, bukan memberi hak luas kepada satu kelompok dan
mendiskriminasikan kelompok lain dan tentunya aturan hukum
tersebut bukan untuk mengawasi dan mengintimidasi warga
negara atau mendiskriminasikan kelompok agama lain.
Menurut Alwi Shihab bahwa ada banyak faktor yang
menyebabkan ketegangan, perselisihan dan permusuhan kaum
Muslimin dan kaum Kristen. Ada banyak kepentingan terlibat
didalamnya, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, social,
budaya hingga keamanan. Namun ada satu faktor yang senantiasa
mewarnai setiap konflik Muslim-Kristen yakni perbedaan
teologi, dimana Islam hanya menganut system kepercayaan
yang dikenal Islam dengan istilah tauhid (satu Tuhan).
Beberapa peristiwa yang memicu terjadinya konflik
muncul berkaitan dengan pembangunan sarana ibadah
adalah munculnya bangunan-bangunan yang berkelamin
agama (terutama agama minoritas). Pada umumnya potensi
konflik tersebut biasanya muncul karena beberapa persoalan,
diantaranya belum adanya penjelasan mengenai persyaratan dan
tata cara pendirian rumah ibadah, proses perizinan rumah ibadat
yang sering berlarut-larut, penyalahgunaan rumah tinggal atau
bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibadat, pendirian
atau keberadaan rumah ibadat yang sesuai dengan prosedur

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 361


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

yang berlaku dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat


setempat, pengaturan masing-masing pemerintah daerah yang
masih seragam atau bahkan masih banyak pemerintah daerah
yang belum memiliki regulasi untuk mengatur pendiriaan rumah
ibadat, serta kurangnya komunikasi antar pemuka agama disuatu
wilayah.
Sementara yang terjadi di Desa Payaman justru
sebaliknya, bahkan seperti main peta umpet atau main kucing-
kucingan. Tidak transparan dan justru hal ini akan membuat
masyarakat mayoritas semakin geram karena merasa dibohongi
dan wajar bila hal ini justru masyakarat semakin curiga dibalik
misi dakwahnya orang minoritas.

362 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

DAFTAR PUSTAKA

Baehaqi Imam, 2002, Agama dan Relasi Sosial, Yogyakarta,


LKiS
Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 2010, Konseling Religi,
Fakultas Dakwah, Stain Kudus
K. Nattingham, Elizabet, 2002, Agama dan Masyarakat, Pengantar
Sosiologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada
Kustini, Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,
Jakarta: Balitbang Departemen Agama RI, 2009.
Khadiq, Islam dan Budaya Lokal Memahami Realitas Agama
Masyarakat, Yogyakarta, Teras 2009 hal 61
Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis, Strategi
dan Metode Dakwah, Semarang: RaSAIL.
Data wawancara diambil dari pemuka agama Kristen Desa
Payaman kepada Bapak Kasmin pada bulan Juli 2013.
Data diambil dari arsip kependudukan menurut agama dan jenis
kelamin Desa Payaman 2013
Data diambil dari pemuka agama Kristen Desa Payaman kepada
Bapak Kasmin pada bulan Juli 2013.
Hasil wawancara dengan KH. Ahmad Shobar, selaku tokoh agama
Islam di Desa Payaman pada bulan Juni 2013.
Sumber bacaan lain :
Abdul Djalil Maman dkk, 2001, Prinsip dan Strategi Dakwah
Islam, Bandung, Bumi Aksara
Amin Masyahur, 1997, Dakwah Islam dan Pesan Moral ,
Yogyakarta: Al-Amin Press
Ayoub Mustafa, 2007, Mengurai Muslim-Kristen dalam Perspektif

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 363


Pesan Dakwah Dalam Menyelesaikan Konflik .... (Oleh: Nur Ahmad)

Islam, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru


Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama, oleh
Muhammad M Basyuni, Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2006
Sarapung Elga, 2004, Dialog Kritik dan Identitas Agama,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-
dan-kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-
rumah-ibadah
http://www.membuatblog.web.id/2010/07/kemajemukan-
masyarakat-indonesia.html

364 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


PANDANGAN IMAM AZ-ZAMAKHSYARY
TENTANG KALAM ALLAH (AL-QUR’AN)

Ma’mun Mu’min
STAIN Kudus
Email: makmunmukmin@yahoo.co.id

ABSTRAK

Sebagai seorang Mu’tazilah, Imam az-Zamakhsyary sudah


sepantasnya pada setiap kesempatan membela madzhabnya,
tidak terkecuali ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an,
seperti ketika ia dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang berbicara mengenai eksistensi Kalam Allah (al-Qur’an).
Tulisan ini bermaksud mengungkap lebih jauh pendapat az-
Zamakhsyary mengenai eksistensi Kalam Allah (al-Qur’an),
apakah ia qadim atau baharu. Setelah diteliti, dengan
menggunakan metode maudlu’i, terhadap beberapa ayat al-
Qur’an yang dijadikan rujukan, yaitu: Q.S. al-Baqarah (2) ayat
1,2, 23, dan 89, Q.S. al-Hijr (15) ayat 87, Q.S. az-Zukhruf (43)
ayat 1-4, dan Q.S. al-Qadr (97) ayat 1-5, dapat disimpulkan
bahwa Imam az-Zamakhsyary berpendapat bahwa Kalam
Allah (al-Qur’an) adalah hadis (baru). Ia beralasan, Kalam
Allah yang kita kenal sekarang adalah kalam yang diturunkan,
terdiri dari untaian huruf hijaiyah, menggunakan bahasa Arab,

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 365


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

ditulis dalam bentuk mushaf, dan digandakan dalam bentuk


cetakan.

Kata Kunci: Az-Zamakhsyary, Kalam Allah, dan al-Qur’an.

Biografi Imam Az-Zamakhsyary


Nama lengkap az-Zamakhsyary yaitu Abul Qasim
Muhammad bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmiy al-
Hanafiy al-Mu’taziliy, yang bergelar Jarullah (tetangga Allah)
(az-Zahabi, Jilid 1, 1976: 429), dan Taj al-Islam (mahkota Islam).
Beliau di lahirkan pada tahun 467 H. Disebuah dusun bernama
Zamakhsyar terletak di daerah Khurasan (Turkistan) (Abdul
Halim Mahmud, 1967: 105, Mahmud Basuni Faudah, 1967:
115, dan az-Zahabi, Jilid 1, 1976: 429). Dia pergi ke Bagdad
dan menuntut ilmu pada ulama-ulama besar di sana. Kemudian
beliau pergi ke Khurasan, di sana kariernya semakin menanjak
dan namanya semakin termasyhur ke mana-mana. Banyak
Ulama berguru kepadanya, dan beliau menjadi pemuka berbagai
cabang ilmu pada zamannya.
Tidak dapat dipungkiri, az-Zamakhsyary adalah seorang
imam besar dalam bidang tafsir, hadits, nahwu, bahasa, serta
kesusasteraan. Di antara sekian banyak karangannya adalah:
Asraru al-Balagah (tentang bahasa), al-Mufassal (tentang
nahwu), serta Ru’usu al-Masa’il (tentang fiqh). Puncak
karanganya yang paling besar adalah kitab Tafsir al-Kasysyaf an
Haqa’iqit Tanzil wa ‘Uyuni al-aqawil fi Wujuhi at-Ta’wil. Kitab
ini beliau karang ketika tinggal di kota Mekkah (Abdul Hay al-
Farmawi, 1976: 29).1
Karena ia seorang yang jenius dan ahli dalam bidang

1
Baca juga, Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-
Mufassirun, jilid I, (Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961), hlm. 430.

366 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

nahwu, bahasa, adab, serta tafsir, pendapat-pendapatnya dalam


bidang bahasa ini, diakui oleh para ulama karena keorisinilannya.
Hal ini tentunya sangat berharga dan sebagai asset yang sangat
besar bagi kalangan Mu’tazilah serta kalangan Hanafiyah,
sebagai aliran dalam bidang teologi dan madzhab di bidang fiqh
yang beliau anut (Manna’ul Qaththan, 1973: 369).
Az-Zamakhsyary wafat tahun 538 Hijriyah di daerah
Jurjaniayh, wilayah Khwarizmy sekembalinya dari tanah suci
Makkah. Masa hidup ia adalah masa keemasan bagi ilmu
tafsir, karena di masa itu lahir kitab-kitab tafsir besar, seperti
al Baghawy, ath-Thabary, Ibnu Araby, dan lain-lain kitab tafsir
penting, diabadikan kepada Kitabullah Ta’ala.2

Metode dan Sistematika Tafsir al-Kasysyaf


Imam az-Zamakhsyary memiliki keistimewaan yang
membedakannya dari mufasir sebelumnya, sezamannya,
dan sesudahnya. Keistimewaan tersebut berbungan dengan
pendapatnya tentang rahasia-rahasia balaghah yang terkandung
dalam al-Qur’an. Ia menyuguhkan kepada masyarakat sebuah
kitab tafsir besar yang tidak ada persamaannya (Mahmud
Basuni Faudah, 1967: 116). Sebagai bukti kecerdasan dan
kecermatannya dalam mengungkap isyarah-isyarah yang jauh
supaya terkandung makna ayat dalam rangka mendukung faham
Mu’tazilah serta menolak atas lawan-lawannya (Manna’ul
Qaththan, 1973: 369).
Sekalipun Imam Az-Zamakhsyary seorang tokoh ulama
Mu’tazilah yang gigih membela madzhabnya, dan mengecam
ulama-ulam Ahlus Sunnah dengan kata-kata yang sinis, namun
setiap orang yang berpegang teguh pada kebenaran pasti akan

2
Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I,
hlm. 431.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 367


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

menyanjung namanya. Tafsir al-Kasysyaf diakui sebagai tidak


ada bandingannya dalam lapangan kebahasaan (balaghah). Para
ulama Sunni sekalipun banyak mengambil manfaat dari tafsir
ini (Mahmud Basuni Faudah, 1987: 116).
Kitab tafsir Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil
Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, disusun selama tiga
tahun, mulai dari tahun 526-528 H, di Makkah al-Mukarramah,
ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang
kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri
yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini,
ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan
lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-
ra’yi, dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa
dan sastra.  Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat
yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang
Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang
populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan
gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir
yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan
atas pandangan mu’tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan
Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-
Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara
lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang
menguasai balaghah  dan  ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas
secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-
Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah
wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan

368 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya


dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin
lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang
pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur’an, aspek-aspek
kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di
mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk
menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-
Qur’an. Lebih jauh,  Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas
pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan
pada tafsir az-Zamakhsyary. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi,
dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti
aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi
Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij
Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Al-
Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap
pandangan-pandangan Mu’tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf)
oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir
al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai
syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin
Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri
atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama.
Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang
oleh az-Zamakhsyary disebut sebagai khutbah al-Kitab yang
berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab
tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-
Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi
penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah
al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat
yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 369


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

yang terdapat di dalam surah  al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid


keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah
Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-
Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyary melakukan penafsiran secara lengkap
terhadap seluruh ayat al-Qur’an, dimulai ayat pertama surah al-
Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini
dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan
dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir
yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala
makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan
bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyary sebenarnya
tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili,
tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah
itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga
menggunakan metode dialog, di mana ketika az-Zamakhsyary
ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu
ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya).
Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan
ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan
seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang
atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas
pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena
lahirnya kitab al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan
para murid az-Zamakhsyary dan ulama-ulama yang saat itu
membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan.
Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan
dari kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir
sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun
bahasa dan sastra. Disisi lain tafsir ini banyak dijadikan sebagai

370 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

obyek kajian para ulama,yang ditujukan terhadap berbagai


aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di
antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di
samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat
antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas
mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir
al-Qur’an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa
al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum
al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah
al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat
al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini
terhadap kitab tafsir al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok
yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu: (1) Az-Zamakhsyari
telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah,
(2) Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan
atas hadis Nabi, (3) Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa, (4)
Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu, (5) Penampilan dirinya
sebagai ahli qira’at, (6) Penampilan dirinya sebagai seorang ahli
fiqh, (7) Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan (8)
Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek
penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling
dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas
menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-
Zamakhsyary dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan
berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada
pandangan-pandangan Mu’tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan
asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa
keistimewaan yang dimiliki tafsir al-Kasysyaf, yaitu: (a)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 371


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

terhindar dari cerita-cerita israiliyyat, (b) terhindar dari


uraian yang panjang, (c) dalam menerangkan pengertian kata
berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa
yang mereka gunakan, (d) memberikan penekanan pada aspek-
aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa
ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan (e) dalam melakukan
penafsiran ia menempuh metode dialog.
(Keterangan ini merujuk pada kitab At-Tafsir wa Rijaluhu
karya al-fadhil Ibn ‘Asyur, kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun karya
Abdur Rahman Ibn Khaldun, kitab Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an
karya Manna’ al-Qaththan, kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa
Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi, kitab Al-Tafsir
wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby, dan
kitab Al-Isra’iliyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir karya
Muhammad bin Muhammad Abu Shabah.

Corak Tafsir al-Kasysyaf


Secara garis besar, corak tafsir dapat kita kategorikan
menjadi tiga kelompk besar, yakni Tafsir bil al-Ma’tsur, Tafsir
bi al-Ra’yi, dan Tafsir bi al-Isyar’. Pembagian ini kiranya telah
menjadi suatu kesepakatan di kalangan mufassir baik salaf
maupun khalaf (Manna’ul Qaththan, 1987). Berbicara masalah
tafsir Az-Zamakhsyary, tafsir ini termasuk pada kategori kedua,
yaitu tafsir bi al-Ra’yi, hal ini di karenakan karena pendekatan
yang telah dilakukan Az-Zamakhsyary dengan pendekatan
kebahasaan (balaghah), bayan, adab, serta nahwu dan sharaf
(Manna’ul Qaththan, 1987: 369 dan az-Zahabi, Jilid 1, 1976:
430). Kesemuannya ini dalam rangka penyajiannya sangat
menguras kekuatan rasional (ra’yu) sebagai salah satu kode etik
tafsir bi al-Ra’yi.
Namun di sini, para ulama berbeda pendapat tentang

372 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

tafsir az-Zamakhsyary, ada yang memasukkannya ke dalam


tafsir yang tercela, lantaran di dalamnya terdapat paham-paham
Mu’tazilah, Ada pula yang memasukkannnya ke dalam tafsir
yang terpuji, karena di dalamnnya terdapat banyak faedah
ilmiyyah yang penting (M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1972: 226).

Penafsiran az-Zamakhsyary Mengenai Kalam Allah (al-


Qur’an)
Imam az-Zamakhsyary adalah seorang Mu’tazily3, yang
bermazhab Hanafi dalam bidang fiqh (Az-Zahabi, Jilid 1, 1976:
429, Abdul Halim Mahmud, 1984: 105, Manna’ul Qaththan,
1973: 369), dan karena dia seorang Mu’tazilah,4 maka sudah
barang tentu ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, ia
berlandaskan serta bertitik tolak pada Pancasila Mu’tazilah
(Mahmud Basuni Faudah, 1987: 116-117).
Demikian pula bagaimana sikap az-Zamakhsyary
ketika berhadapan dengan masalah Kalam Allah (al-Qur’an)
apakah Kalam Allah Ta’ala itu hadits atau qadim, kesemuanya
itupun harus dikaji secara objektif. Seperti ia kemukakan
dalam muqadimah tafsirnya, bahwa bagi Mu’tazilah dalam
menghaditskan al-Qur’an adalah berdasarkan dalil aqal, yaitu
bahwa al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian, dan dalil naqal,
seperti firman Allah dalam Q.S. al-Anbiya (21) ayat 2. Dengan
dua argumentasi tersebut, orang-orang Mu’tazilah berpendapat
al-Qur’an itu makhluk (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 5-6).
Beberapa ayat al-Qur’an yang dikutif az-Zamakhsyary

3
Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I,
hlm. 429. Baca juga, Muhammad Ali ash-Shobuni, 1982: 197 dan Abdul Halim
Mahmud, 1984, hlm. 105, kemudian Manna’ul Qaththan, 1987, 369.
4
Baca, Mahmud Basuni Faudah, 1987: 116, Ibn Khaldun, t.t.: 491,
dan Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, hlm.
440.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 373


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

untuk mendukung pendapatnya, yaitu:


(1) Firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah (2) ayat 1 dan 2.
Menurut az-Zamakhsyary, “Sengaja semua huruf-
huruf itu tidak dijadikan satu, tetapi diulang-ulang dalam
beberapa surat (sampai 29 kali), supaya lebih kuat dan
hebat tantangannya. Ada kalanya haya satu huruf, dua
huruf, tiga huruf, empat huruf, dan lima huruf, hal ini
sebagai mana kebiasaan susunan kata-kata dalam bahasa
Arab” (Az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 104-105). Katanya,
“Jika kita memperhatikan apa yang telah difirmankan
Allah SWT, mengenai Fawatih al-Suwar ini, maka kita
akan menemukan jumlah itu sebanyak setengah dari jumlah
huruf hijaiyyah (sebanyak 14) huruf (az-Zamakhsyary,
Jilid 1, 1977: 100-101). Kesemua ini menunjukkan akan
keagungan serta kemu’jizatan al-Qur’an, semikian juga hal
ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah merupakan wahyu
matlu, yaitu bahwa al-Qur’an ditulis dengan huruf-huruf.
Dalam segi ini tidak menunjukkan kemu’jizatan al-Qur’an,
kecuali keberadaannya hanya berasal dari Allah SWT (az-
Zamakhsyary, Jilid1, 1977: 99).
Ketelitian ilmu az-Zamakhsyary ketika mengungkapkan
maksud al-Huruf al Muqatta’ah, sehingga ia ungkapkan
jumahnya, korelasinya antara keseluruhan, serta
perbedaannya, yaitu mengenai hakikat kemu’jizatan al-
Qur’an hanya dalam segi makna saja dan berasal dari Allah
SWT (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 99).
Tafsir: Dzaalika al-Kitaabu, menurut az-Zamakhsyary
bahwa yang dimaksud Dzaalika al-Kitaabu adalah al-
Qur’an ini, yaitu al-Qur’an yang ditulis dengan huruf
hijaiyah. Kendatipun penunjukkan di sini dengan memakai
Dzaalika, hal ini untuk mengungkapkannya, sebab al-Qur’an

374 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

memberikan hidayah yang sangat tinggi (az-Zamakhsyary,


Jilid 1, 1977: 111).
Tafsir: Laa Raiba fiihi Hudan li al-Muttaqiin. Menurut
az-Zamakhsyary kata Raibah adalah jiwa yang goyang.
Sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Hasan
bin ‘Ali r.a. berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda”: Da’ Maa Yaribuka Ilaa Maa Laa Yariibuka” (az-
Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 113 dan al-Maraghi, Jilid 1, t.t.:
40). Karena sesungguhnya keraguan adalah meragukan dan
kebenaran membawa ketenangan (az-Zamakhsyary, Jilid 1,
1977: 113). Demikian juga firman Allah SWT dalam Q.S.
al-Baqarah (2) ayat 23.
Bagi az-Zamakhsyary, sesungguhnya al-Qur’an tidaklah
berperan sebagai hidayah bagi orang-orang yang sudah
mengetahui tentang sesuatu, akan tetapi yang dimaksud
dengan petunjuk (hudan) di sini adalah bahwa Allah SWT
memberikan petunjuk ke dalam hati-hati hamba-Nya.
Apabila menerima makna yang pertama, maka mau tidak
mau Allah SWT hanya akan memberikan al-kitab (risalah),
sehingga di antara mereka ada yang menerima hidayah itu
dan ada juga di antara mereka yang jatuh pada kedhaliman
(az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 117-121).
(2) Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 23
Imam az-Zamakhsyary berkata: “Setelah Allah SWT
meletakkan asas untuk tauhid bahwa tiada Tuhan selain
Allah SWT, serta menolak kemusyrikan, maka langsung
menghadapkan kepadanya (orang-orang kafir) khitab untuk
memberi tahu bahwa barang siapa yang musyrik, berarti
dia telah menyalahi akalnya, dan tidak mengakui nikmat
yang telah dianugrahkan kepadanya, berupa pengetahuan
dan fotensi untuk membedakan (tamyiz), memberikan

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 375


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

hujjah dengan memperkuat kenabian Muhammad Saw.


dan membantah rasa sekeptisme (ragu-ragu) keberadaan
al-Qur’an sebagai mu’jizat. Dia memberikan peringatan
kepada orang kafir bagaimana mereka mengetahui, apakah
al-Qur’an itu berasal dari Allah SWT sebagaimana yang
diinformasikan-Nya, ataukah dia berasal dari Muhammad
Saw sebagaimana tuduhan mereka” (az-Zamakhsyary, Jilid
1, 1977: 238).
Menurut Zamakhsyary: “Apa sebabnya Allah SWT
dalam hal ini memakai lafazh tanziil tidak dengan lafazh
inzal. Jawabnya: “Karena yang dimaksud dengan turun
atau nuzul di sini adalah dengan proses berangsur-angsur,
sedikit demi sedikit, yaitu menghalau apabila ada penolakan
dan menjawab apabila ada pertanyaan atau masalah. Yang
demikian itu sebab mereka sering berkata: “Seandainya al-
Qur’an ini memang berasal dari Allah bukan dari manusia,
kenapa proses penurunannya demikian, dengan berangsur-
angsur, surah ini sesudah surah itu, ayat ini sebelum ayat
itu...demikian seterusnya” (az-Zamakhsyari, Jilid 1, 1977:
238-239).
Apakah faidah pengelompokan dan pemisahan surah-
surah dalam al-Qur’an?. Menurut az-Zamakhsyary tidak ada
faidah tersendiri, sebab demikianlah Allah menurunkan kitab
Taurat, Injil, dan Zabur. Adapun para pengarang membuat
karangannya dengan bagian-bagian dan bab-perbab, hal ini
supaya para pembaca jangan sampai merasa jenuh, sehingga
apabila ia telah selesai membaca satu surah atau bab, maka
dia akan membaca surah atau bab lain dengan rajin, demikian
seterusnya” (az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 240).
Menurut az-Zamakhsyary (Jilid 1, 1977: 242), tantangan
itu berarti suatu tantangan atas orang-orang kafir supaya

376 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

mendatangkan dengan satu surat saja yang seumpama surat


dalam al-Qur’an baik dalam sifatnya dalam menjelaskan
masalah yang ghaib, sangat tinggi tingkatnya, dan sangat
baik susunannya, atau hendaknya kamu mendatangkan yang
seumpamanya dengan bahasa Arab.
Penyusun sependapat dengan az-Zamakhsyary, bahwa
Q.S. al-Baqarah (2) ayat ayat 23, merupakan penolakkan
atas tuduhan orang-orang kafir kepada al-Qur’an. Sebaba
sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S. al-Furqon (25)
ayat 1-34: “Mereka megatakan al-Qur’an sesuatu yang
palsu, dan berisi dongeng-dongeng”. Dalam Q.S. Saba’ (34)
ayat 43 mereka mengatakan: “Kebohongan yang diada-
adakan”. Dan dalam Q.S. al-Mudatsir (74) ayat 24 mereka
mengatakan: “Al-Qur’an berisi sihir”, dan lain sebagainya.
Maka Allah SWT menjawab tuduhan-tuduhan tersebut,
sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S. as-Sajadah
(32) ayat 2 dan 3: Bahwa al-Qur’an benar-benar merupakan
wahyu Allah SWT, dia bukan syair nabi (Q.S. Yasin (36)
ayat 69 dan 70), bukan perkataan syaitan (Q.S. at-Takwir
(81) ayat 25), dan lain sebagainya. Bahkan sampai penentuan
tertib ayat dan surat semuanya atas ketentuan Allah SWT.
(Q.S. al-Qiyamah (75) ayat 16-35) (Az-Zamakhsyary, jiluid
I, 1977: 242-245).
(3) Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 89
Penafsiran az-Zamakhsyary demikian: “Yang dimaksud
dengan Kitaabu min indi Allaahi, yakni al-Qur’an al-Karim,
yang membenarkan atas kitab-kitab mereka terdahulun
(Zabur, Taurat, dan Injil). Mereka memohon pertolongan
tetkala terjadi peperangan dengan orang-orang kafir,
mereka berdo’a: “Ya! Allah, tolonglah kami dengan seorang
nabi yang diutus pada akhir zaman yang kami peroleh sifat-

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 377


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

sifatnya dalam kitab Taurat untuk mengalahkan orang-orang


kafir.” Tetapi begitu tiba masa-masa yang mereka tunggu,
ternyata mereka menyalahi permohonan itu, kendati apa
yang mereka tahu akan kebenaran telah tiba di hadapannya”
(az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 296).
Mahmud rahimahullahu berkata: Li annahum idzaa
Kafaruu bima Yuwafiqu al-Taurat. Ahmad Rahimahullahu
berkata: “Ada pendapat yang lucu, dia mewajibkan kufurnya
orang-orang Qadariyah sebagaimana salah satu perkataan
Malik, Syafi’i, dan al-Qadiy r.a.: Sesungguhnya yang benar
adalah i’tiqad Ahl Sunnah, yang saling membenarkan antara
yang satu dengan yang lainnya. Barang siapa yang menolak
salah satu diantara ketetapan itu berarti inkar secara
keseluruhan.” Kami mohon perlindungan pada Allah SWT.”
(az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 296).
Imam az-Zamakhsyari berpendapat, bahwa kekufuran
mereka itu adalah usaha mereka sendiri untuk demikian,
bukan diciptakan Allah (keinginan Allah), seperti yang di
i’tiqadkan kaum Ahl Sunnah. Sesungguhnya Allah SWT
telah menjadikan demikian dalam hati-hatinya, sehingga
dapat menghentikan usaha mereka...., Wallah al-Maufiq”
(az-Zamakhsyary, Jilid 1, 1977: 296).
(4) Firman Allah SWT Q.S al-Hijr (15) ayat 87:
Menurut az-Zamakhsyary, yang dimaksud Sab’an di
sini adalah tujuh ayat ialah surat al-Fatihah, yang terdiri
tujuh ayat. Atau tujuh surat yang panjang-panjang, yaitu:
Q.S. al-Baqarah, Ali Imran, al-Ma’idah, an-Nisa, al-A’raf,
Al-An’am, dan al-Anfal atau at-Taubah. Mengenai yang
tujuh terjadi penyelisihan, menurut satu pendapat al-Anfal
dan al-Bara’ah, sebab keduanya dihukumi satu surat, sebab
diantara keduanya tidak dipisah dengan Basmalah. Munurut

378 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

pendapat lain adalah surat Yunus, ada juga yang berpendapat


yaitu: Alif Laam Haa Miin. Dan al-Matsani, asal kata al-
Tasniah, yakni berulang-ulang, karena surat al-Fatihah
senantiasa diulang-ulang dalam salat atau lainnya. Atau
berasal dari ats-Tsana, karena dalam al-Fatihah meliputi
(berisi) puji-pujian kepada Allah Yang Maha Esa, oleh
karena-Nya memuji merupakan sifat bagi ayat. Dan adapun
surat-surat atau Sab’ul Matsani ketika ada dalam bentuk
kisah, nasehat, perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya,
yang diulang-ulang, maka bila adanya pujian, sesungguhnya
pujian itu hanya untuk Allah dengan af’al-Nya yang agung
dan sifat Maha Baik (az-Zamakhsyari, Jilid 2, 1977: 397).
Sedang menurut Ahmad, korelasi antara ayat delapan
tujuh dengan ayat delapan-delapan (ayat sebelum dengan
sesudahnya), pantas sekali mengandung arti al-Hadis atau
baru (az-Zamakhsyary, Jilid 2, 1977: 397). Penyusun lebih
cenderung kepada pendapat az-Zamakhsyari yang pertama,
bahwa yang dimaksud Sab’un mina al-Masaniy adalah surat
al-Fatihah, atau menurut kata-kata Abdullah Ibn ‘Abbas
Fatihatu al-Kitab (Tanwir al-Miqbas, t.t.: 220), hal ini
sebagai mana perkataan ‘Umar, ‘Ali, dan Ibnu Mas’ud, yang
diriwayatkan oleh Abi Hudairah, sesungguhnya Rasullullah
Saw. bersabda: Um al-Qur’an al-Sab’u al-Masaniy al-Lati
U’tituha. Atau karena al-Fatihah itu dibagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian puji dan do’a (Ahmad Musthofa al-
Maraghi, Jilid 5, t.t.: 45).
(5) Firman Allah SWT Q.S. az-Zukhruf (43) ayat 1-4
Menurut az-Zamakhsyary, lafad Ja’alnaahu bima’na
Kholaqnaahu, artinya menjadikan atau menciptakan, sebab
hal ini hanya dapat dilakukan oleh Allah SWT. Sebagaimana
firman yang lain: Wa ja’ala Dzulumaat wa al-Nuur (Q.S. al-

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 379


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

An’am (6) ayat 1). Dan Allah SWT menjadikan al-Qur’an


dengan bahasa Arab tidak dengan bahasa ‘Ajamiy (luar dari
bahasa Arab atau sulit dipahami), dengan tujuan supaya
mudah dipahami oleh orang-orang Arab, sebab mereka
berkata: Lau laa Fushshilat Aayaatuhu (Q.S. Fushshilat
(41) ayat 44), artinya: “Mengapa al-Qur’an tidak dijelaskan
ayat-ayatnya” (az-Zamakhsyary, Jilid 3, 1977: 477).
Adapun yang dimaksud dengan Ummi al-Kitab adalah
al-Lauh, sebagaimana firman Allah dalam ayat yang lalu:
Bal Huwa Qur’anu Majidu fi Lauhi Mahfuz (Q.S. al-Buruj
(85) ayat 22), artinya: “Bahkan mereka dustakan itu adalah
al-Qur’an yang mulia. Yang tersimpan di Lauh Mahfuz”.
Yang dimaksud dengan Lauh Mahfuz adalah suatu tempat
yang ada di atas langit ke tujuh, yang terjaga dari jamahan
Syaitan (az-Zamakhsyary, Jilid 4, t.t.: 240). Disebut Ummi
Al-Kitab karena disinilah asalnya al-Kitab (al-Qur’an)
tersimpan dan darinyalah dipindahkan. Suatu keberadaan
yang sangat tinggi dalam al-Kitab karena keberadaannya
sebagai mu’jizat, yang memiliki hikmah, yang diturunkan
dari Allah SWT. (az-Zamakhsyary, Jilid 3, 1977: 477-478).
Menurut sepengetahuan penyusun, mengenai penafsiran
ayat tersebut di atas tidak ada perbedaan antara satu penafsir
dengan penafsir lainnya, semuanya sepakat bahwa al-Qur’an
asal mulanya tersimpan pada suatu tempat yang terjaga dari
jamahan Syaitan dan tangan-tangan makhluk lainnya, yaitu
suatu tempat yang berada di atas langit ke-7, yang disebut
dengan Lauh Mahfud (Ibn Katsir, Jilid 4, t.t.: 122, Ahmad
Musthofa al-Maraghi, Jilid 9, t.t.: 68, Tanwir al-Miqbas, t.t.:
411, dan Nawawi al-Bantani, Jilid 2, t.t.: 273). Hal ini sesuai
dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan Mujahid.
Menurut imam Qatadah, yang dimaksud La’aliyyun, yaitu

380 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

memiliki tempat yang agung atau mulya (Ibn Katsir, Jilid


4, t.t.: 122).
Menurut Ibnu Katsir, kesemuanya ini menunjukkan
kepada kemulyaan serta keagungan al-Qur’an, sebagaimana
firman Allah Tabarak Wata’ala dalam Q.S. al-Waqi’ah
(56) ayat 77-80, yang artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an
ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang
terpelihara (Lauh Mahfuz) Tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta
alam”.
Demikian juga firman Allah SWT dalam Q.S.
‘Abasa (80) ayat 11-16, yang artinya: “Sekali-kali jangan
(demikian)!. Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah
suatu peringatan. Maka barangsiapa yang menghendaki,
tentulah Ia memperlihatkannya di dalam kitab-kitab yang
dimuliakan (Lauh Mahfud). Yang ditinggikan lagi disucikan.
Di tangan para penulis (utusan). Yang mulia lagi berbakti”.
(6) Firman Allah SWT Q.S. al-Qadar (97) ayat 1-5:
Tafsir Imam az-Zamakhsyary: Al-Qur’an diagungkan
dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama, Sanad penurunannya
ditujukan hanya kepada Allah SWT dan Allah menjadikannya
lain dari yang lain. Kedua, sesungguhnya al-Qur’an datang
dengan zamir-nya, tidak dengan namanya, sebagai suatu
tanda kemasyhurannya, dan sangat sarat dengan tanbih.
Ketiga, ditinggikan atau dimuliakan dengan malam
kemuliaan, dimana pada waktu itu ia diturunkan.
Menurut satu riwayat, sesungguhnya diturunkan secara
keseluruhan ada malam Lailatul Qadr dari Lauh Mahfuz ke-
Langit Dunia. Dan Malaikat Jibril mengimlakannya untuk
menuliskan. Kemudian diturunkan kepada Rasulillah Saw
secara berangsur-angsur kurang-lebih selama duapuluh tiga

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 381


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

tahun.
Dari al-Sa’biy: ”Adapun yang dimaksud dengan awal-
mula penurunan al-Qur’an pada Malam Lailatul Qadr.
Mereka berbeda pendapat mengenai waktunya, kebanyakan
mereka berpendapat, sesungguhnya hal itu terjadi pada bulan
Ramadan dalam sepeuluh hari akhir Ramadan (malam ke-20
Ramadan).ada juga yang berpendapat tujuh hari sebelum
akhir Ramadan (malam tanggal 23).
Sedang yang dimaksud dengan Lailatul al-Q adr adalah
malam penentuan segala urusan. Sebagaimana firman Allah
SWT: Fiaha Yufraqu Kullu Amrin Hakiim, artinya: Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh dengan
hikmah (Q.S. ad-Dukhan (44) ayat 4). Menurut pendapat
lain, dinamai dengan Lailatul al-Qadr untuk meninggikan
serta memuliakannya atas malam-malma yang lain. Sebab
malam itu lebih baik dari seribu bulan. Sebab pada malam
itulah turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril, serta
penentuan segala urusan yang penuh dengan hikmah. Para
Malaikat itu turun ke Langit Dunia. Menurut pendapat lain,
yaitu turun ke bumi, untuk mengatur segala urusan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sehingga malam itu penuh
dengan kesejahteraan sampai terbit fajar (az-Zamakhsyary,
Jilid 4, 1977: 273).
Tingginya kemuliaan Malam Lailatul Qadr ini,
menggiring banyak sekali hadis Nabi Muhammad Saw yang
menceritakan akan kemuliaan malam mini. Diantara hadits-
hadits itu adalah, sabda Nabi Saw, yang artinya: “Rasulullah
Saw bersabda: “Sungguh telah dating kepada kamu sekalian
Bulan Ramadan, yaitu bulan yang penuh dengan keberkahan,
pada bulan ini Allah SWT telah memardukan berpuasa pada
kamu sekalian, pada bulan itu semua pintu surga dibukakan,

382 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

ditutup semua pintu neraka, dan semua Syaitan dikunci.


Pada bulan Ramadan itu terdapat satu malam yang lebih
baik dari seribu bulan” (Ibn Katsir, Jilid 4, t.t.: 531).
Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa yang mendirikan Malam Lailatul qadr dengan
berbagai macam ibadah dengan iman s erta mengharapkan
ridlo Allah SWT, maka baginya diampuni semua dosanya
yang telah lewat” (Ibn Katsir, Jilid 4, t.t.: 531).

Kesimpulan
Diktum al-Qur’an makhluq (hadis) yang dimaksudkan
oleh Imam az-Zamakhsyary, adalah al-Qur’an yang tersusun
oleh huruf-huruf, kalimat-kalimat, dan lafaz-lafaz. Beliau
berpendapat demikian adalah suatu hal wajar meurut hemat
penyusun, sebab beliau adalah salah seorang tokoh mufassir yang
beraliran mu’tazilah dalam bidang aqidah, serta bermazhabkan
Hanafi dalam masalah fiqh. Tentunya sedikit banyak beliau
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Pancasila Mu’tazilah. Jadi,
yang dimaksud al-Qur’an hadis oleh az-Zamakhsyary hádala al-
Qur’an dalam konteks sosiologis, yaitu al-Qur’an yang sudah
tersentuh oleh budaya umat manusia, seperti ada tulisannya,
huruf-huruf, dibukukan, dan dicetak oleh penerbit.
Sementara yang dimaksud dengan diktum “al-Qur’an
Qadim”, sebagaimana yang dikatakan oleh Sunni adalah al-
Qur’an yang tidak tersusun oleh huruf-huruf, tidak terdiri dari
kalimat-kalimat, dan tidak tersusun oleh lafaz-lafaz (suara-
suara). Hemat penyusun, adalah merupakan suatu kewajaran
beliau berpendapat demikian, sebab beliau adalah seorang
tokoh mufassir kenamaan, yang beraliran Asy’ariyah dan
bermazhabkan Syafi’iy dalam masalah fiqh. Yang tentunya ia
sangat kukuh dalam memegang prinsip ke Asy’ariyahannya. Jadi,

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 383


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

yang dimaksud dengan al-Qur’an Qadim oleh Sunni, demikian


juga lanilla, hádala al-Qur’an dalam konteks metafisik, yaitu al-
Qur’an yang Belem terdiri dari huruf, kalimat, atau ayat-ayat,
serta Belem berbunyi. Al-Qur’an seperti ini Belem tersentuk
oleh budaya umat manusia.
Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi antara
Imam az-Zamakhsyary dengan Sunni, demikian juga dengan
mufassir lanilla, adalah hanya terletak pada silang pendapat
mengenai hakikat esensi dari al-Qur’an. Imam az-Zamakhsyary
mengatakan: “Al-Qur’an adalah firman Allah, Allah berfirman
dengan firman-Nya, dan firman-Nya itu adalah Zat-Nya”.
Sedang ulama Sunni berpendapat: “Al-Qur’an adalah firman
Allah, Allah befirman dengan firman-Nya, dan fiman-Nya itu
adalah bukan Zat-Nya, tetapi sifat-Nya”. Ini lah sesungguhnya
silang pendapat yang pernah terjadi.

384 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hasan ibn Isma’il al-Asy’ari, Maqalat al Islamiyyin wa


Ikhtilaf al Mushallin, jilid I, (Kairo: Tp., t.t.).
Abdurrahman Badawi, Madzahibu al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-
‘Ilmi Li al-Malayin, 1971).
Abdul Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, al-Farq
Bayna l-Firaq, (Kairo: Dar al-Turats, t.t.).
Abu Lababah Husayn, Mawqif al-Mu’tazilah min al-Sunnah al-
Nabawiyyah wa Mawathin Inhirafihim ‘anha, (Riyadh:
Dar al-Liwa’, al-Tab’ah al-Daniyah, 1987).
Al-’Allamah ’Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun,
Muqaddimah Ibn Khaldun, (Ed.), Muhammad al-
Iskandarani, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Arabi, 2004).
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-
Islamiyyah fi l-Siyasah wa l-‘Aqaid wa Tarikh al-
Madzahib al-Fiqhiyyah, (Dar al-Fikri al-‘Arabi, t.p,
t.t.).
Ali Hasan al-Aridl, Tarikh Ilm’al Tafsir wa Manahij al Mufassirin,
Terj. Ahmad Karom, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).
Ali Musthafa al‑Ghurabi, Tarikh al-Firaq al‑Islamiyyah, Nasy’atu
‘Ilmi a- Kalam ‘Inda al-Muslimin, (Mesir: Muhammad
Ali Shabih Wa Auladuh, t.t.).
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf’an Haqaiqi at Tanzil wa ‘Uyuni al-
Aqawil, Jilid I, (Kairo: Cet. 1, 1977).
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran‑aliran, Sejarah, Analisa,
Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986).
Harun Nasution, Islam Rasionai: Gagasan dan Pemikiran,

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 385


Pandangan Imam Az-Zamakhsyary Tentang Kalam Allah (Oleh: Ma’mun Mu’min)

(Bandung: Mizan, 1998),


Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987).
Mana’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyad:
Mansyurat al-‘Ashriyah al-Hadits, 1973).
Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid
I, (Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961).
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jilid I, (Percetakan
Al-Manar, 1367 H).
Mahmud Al-Syarif, Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, (Dar
Ukaz, Jeddah, 1984).
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir
Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, (Dar Al-Tatuf lil
Mathbu’at, Beirut, 1980).
M. Ali Al-Hasan,. Al-Manar fi al-Ulm al-Qur’an,, (Amman:
Mathba’ah Asy-Syarq wa Maktabatuha; 1983).
Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Husaini, Zubdah al-Itqan fi
‘Ulum al-Qur’an, (Jeddah: Darusy Syuruq; 1983).
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
Cetakan II, Oktober 1992).
Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlu Sunnah wa al Jama’ah, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, Cetakan 14, 1988).
Shalah Zaky Ahmad, Qâdatu al-Fikr al-Arabiy, (Kairo: ‘Ashr al-
Nahdhah al-Arabiyyah, cet. 1, 1798/1930).

386 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


RESOLUSI KONFLIK BERLATAR AGAMA:
STUDI KASUS AHMADIYAH DI KUDUS

Moh. Rosyid
STAIN Kudus
Email: mrosyid@yahoo.co.id

ABSTRACT

Ahmadist community in Kudus resides in Colo village, Dawe,


Kudus, Central Java since 1998 after the election of village
chief. The losing party established religious activity as a
counter which was responded by Ahmadist preacher from
Pati – neighboring regency –through opening traditional
medication event to introduce Ahmadiyah. Until the end of
2012 there is no open conflict against Ahmadist community. The
key for harmony between Ahmadist and the majority is conflict
resolution based on mutual benefit and does no harm to others.
The forms of conflict resolution are: (1) distributing leaflets to
the public stating that they have the same god, the same prophet,
(2) writing an inscription of laailaha illallah, muhammadur
rosulullah on the mosque, after 10 years of its foundation, (3)
in collaboration with Indonesian Red Cross coordinating blood
donor every month, (4) distributing qurban meat to Ahmadist
and non-Ahmadist, as in 1433 H/2012 there are 4 goats which
are divided into 70 packages for non-Ahmadist and 13 for
Ahmadist. Thus, the Ahmadi community in the village of Colo,
Kudus is still exist because (a) the number of adherents are

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 387


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

only 10 families of 4,000 population of the village of Colo, (b)


they never violate social norms, the rule of law, and religious
norms in the society, (c) inviting non-Ahmadist in their religious
activities such as in public preaching and halal bi halal, (d) not
all of the residents of Colo are devout in religion, and mostly do
not care about the MUI fatwa concerning Ahmadiyah, because
of their economic activities (as traders, farmers, ojek, etc.) and
because of tolerance, (e) religious leader does not supporting
conflict against Ahmadiyah, (f) there is no Islamic based hard-
liner organization in Kudus and (e) there is family ties between
Ahmadists and non-Ahmadists.

Keywords: Ahmadist, Kudus, no conflict, conflict resolution

Pendahuluan
Pada Hari Amal Bakti/HUT Depag ke-62 pada 3 Januari
2007 Menag RI Maftuh Basuni (saat itu) dalam sambutan
tertulis pada upacara HUT Depag terdapat anggle “situasi
keagamaan bangsa kita akhir-akhir ini dilanda permasalahan
d)
yang meresahkan yaitu munculnya aliran sempalan dan paham
keagamaan menyimpang yang secara nyata menodai agama”.
Imbas lanjutan pernyataan tersebut gulung tikarnya Ahmadiyah
di beberapa daerah.1 Buntut kerusuhan di Cikeusik, Pemda

1
Ahmadiyah di wilayah Ungaran bagian selatan, Kab.Semarang,
Jateng, menghentikan aktivitas pascaterbitkannya SKB (Jawa Pos,12/6/2008,
hlm.5), Begitu pula di Surakarta (Jawa Pos dan Suara Merdeka,12/6/2008),
Ahmadiyah di Manis Lor, Kab. Kuningan, Jabar dicidrai masyarakatnya
(Kompas,28/12/2007). Ahmadiyah di lokasi pengungsian Transito, Mataram,
NTB mengharapkan suaka ke AS ketika Wakil Konsulat Jenderal AS, Jeffri
M.Loore, dan sejumlah konsulat yang mengunjunginya menjanjikan akan
menyampaikan keinginan pengungsi kepada pemerintah AS (Jawa Pos,
18/10/2008, hlm.13). Hingga ditulisnya naskah ini, informasi kelanjutannya
belum diperoleh penulis. Ahmadiyah di tempat lahirnya (Pakistan) sejak 1977,
era Presiden Ziaul Haq, bermarkas di Kota Rabwah, Provinsi Punjab, dibatasi
ruang geraknya tak boleh adzan secara terbuka, tak boleh membangun menara
yang tinggi menyerupai masjid, dilarang berhaji ke Makkah, tak memiliki hak
politik, dan tak diperbolehkan mengucapkan salam, jika mengucapkan salam dan

388 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Banten terbitkan Perda Pelarangan Ahmadiyah, disusul Pemda


Jatim melarang keberadaan Ahmadiyah dalam hal (1) penyebaran
ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, maupun melalui media
elektronik, (2) memasang papan nama organisasi JAI di tempat
umum, (3) memasang papan nama di masjid, musalla, lembaga
pendidikan, dll. dengan identitas JAI, dan (iv) menggunakan
atribut JAI dalam segala bentuk2.
Jawa Pos 7 Februari 2011 menampilkan headline,
Ahmadiyah Diserang, 3 tewas, 8 luka parah dan ringan. Kejadian
Ahad 6 Februari 2011 Pukul 10.45 WIB di rumah pengikut
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Suparman, Kampung
Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kec. Cikeusik, Pandeglang,
Banten dengan foto korban mengenaskan. Kompas,7 Februari
2011 memberitakan Pemerintah Mengecam Kekerasan di
Cikeusik, 3 Jemaah Ahmadiyah Tewas. Republika 7 Februari
2011 mewartakan Ahmadiyah-Warga Bentrok, 3 Tewas. Hal
itu direspon pemerintah3 dan Komnas HAM.4 Tragedi tersebut

dilaporkan ke kepolisian, divonis pidana setahun (Jawa Pos,5/3/2007,hlm.1).


Ahmadiyah di Kudus tetap eksis pascaditerbitkannya SKB bahkan hingga
ditulisnya naskah ini.
2
Jawa Pos, 1 Maret 2011, hlm.1.
3
Menkopolhukkam Djoko Suyanto 6/2/2011 didampingi Kapolri
Jend.Pol.Timur Pardopo, Menag Suryadharma Ali, Kejagung Basrief
Arief, dan Mendagri Gamawan Fauzi. Pemerintah meminta Polri mencari
dan mengungkap tuntas kekerasan tersebut. Staf Khusus Presiden, Daniel
Sparringa menyatakan, Presiden prihatin atas tragedi itu dan memerintahkan
aparat Polri bertindak tegas terhadap kelompok yang melakukan kekerasan
atas nama agama, konstitusi menjamin kemerdekaan beribadah (Kompas,
7/2/2011). Presiden SBY pada Jumpa Pers di Istana Kepresidenan, Jakarta,
Senin 7/2/2011 menginstruksikan agar diinvestigasi menyeluruh guna
mengetahui sebab-akibat kejadian yang sebenarnya. Siapa yang lalai, siapa
yang bersalah, dan siapa yang melanggar hukum harus diberi sanksi, termasuk
manakala sesungguhnya benturan itu bisa dicegah, tetapi pencegahan tidak
cukup dilakukan, baik oleh aparat keamanan maupun pemerintah setempat
(Kompas, 8/2/2011, hlm.1).
4
Komnas HAM meminta Polri mengusut tuntas dan menindak pelaku

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 389


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

bersamaan perayaan The World Interfaith Harmony Week di


Istora Senayan Jakarta.5Jauh sebelumnya, Republika 15 Oktober
2010 edisi tabloid headlinenya menggetarkan:
Ahmadiyah: Bubar atau Agama Baru. Islam dan Ahmadiyah
sangat berbeda secara teologis. Sejak tiga dekade silam,
ulama Indonesia menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran
sesat, menyesatkan, dan di luar ajaran Islam. Menteri
agama pun menegaskan Ahmadiyah harus dibubarkan
atau menjadi agama baru. Beranikah pemerintah
melakukannya?

Membuat agama baru merupakan langkah ’terjal’


karena keberadaan agama yang ’resmi’ di negeri ini seperti
agama Konghucu belum mendapat perhatian proporsional oleh
Kemenag. Sebagaimana pejabat struktural yang menangani
agama Konghucu, terutama bidang pendidikan agama dan
keagamaan belum memiliki ‘meja’6. Aspek konstitusional,
mungkinkah membuat agama baru?7 Di antara pertimbangan
d)
yang anarkis (Kompas, 8/2/2011, hlm.1).
5
The World Interfaith Harmony Week merupakan program PBB hasil
inisiatif Raja Jordania, Abdullah II pada September 2010 dalam pertemuan
tahunan sidang PBB. Acara dihadiri perwakilan tokoh agama yakni Ketua
MUI Slamet Effendy Yusuf, Ketua Komisi Hubungan antaragama dan
Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Mandagi, Ketua Umum
Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) Wawan Wiratma, Wakil Ketua
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) I Dewa Putu Sukardi, Ketua MPR
Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, dan Ketua DPD Irman Gusman
(Kompas, 7/2/2011).
6
Jawa Pos, 5/2/2011.
7
Menag Suryadharma Ali menegaskan Ahmadiyah lebih baik
dibubarkan dari pada dibiarkan tetap menjalankan syariat. Lanjut Menag,
ada dua pilihan, membiarkan atau membubarkan sama-sama memiliki
risiko. Pembubaran berdasarkan SKB 3 Menteri dan UU No.1/PNPS/1965.
Membubarkan lebih baik daripada membiarkan, dengan membubarkan dapat
menghentikan kesesatan yang berkelanjutan. Menag meminta JAI membuat
agama baru di luar Islam jika tetap bersikukuh dengan keyakinannya dan tak
boleh menggunakan simbol-simbol Islam seperti al-Quran, masjid, dan ritual-
ritual yang merupakan tuntunan Islam yang benar. Bukan atas dalih kebebasan

390 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

yang memberatkan adalah aliran kepercayaan (kategori produk


budaya) ditutup peluangnya menjadi agama, di sisi lain agama
yang ada sering timbul konflik dan tak optimalnya pelayanan
negara pada umat beragama (tertentu).
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 hak
untuk hidup, tak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, beragama, untuk tak diperbudak, diakui sebagai pribadi
dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun.8 Hingga
kini Indonesia masih saja tak lepas dari konflik antarumat
beragama dan intern umat beragama. Agama yang semestinya
penyemangat pembebasan dan menebarkan kedamaian bagi
sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan,
bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk. Bagaimana
jalan keluarnya? Jalaluddin Rakhmat meresponnya bahwa kita
perlu mengembangkan pemahaman agama madani9.

agama lalu menginterpretasikan agama Islam dengan salah.


8
Meski Pasal tersebut ’dihadang’ oleh Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1/
PNPS/1965 agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Chu (Confusius). Keenam
agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.
Diperkuat PP 55/2007 Pasal 8 (1) tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan. Penjelasan UU No.1/PNPS/1965 kecuali agama yang tertera
dalam perundangan, pemeluk agama lain mendapat jaminan hukum tertuang
pada Pasal 29 (2) UUD ’45. Kata ’pemeluk agama lain’ merupakan frase yang
melelahkan jika ditelaah karena kepentingan politik lebih dominan.
9
Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-
nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan
bagi kemanusiaan dan peradaban. Pemahaman agama madani paling cocok
untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dan demokratis, seperti di
Indonesia sekarang ini. Ide agama madani bagi Kang Jalal, diilhami dari filusuf
kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau yang hidup semasa Revolusi Perancis
abad ke-18 yang mengusung konsep la religion civil (agama civil) sebagai
pengembangan dari dua tipe sebelumnya yakni agama yang menyatukan
kebangsaan serta agama institusional. Kang Jalal mengusung wacana agama

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 391


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Konflik agama dari aspek internal dapat berupa penodaan


agama, penyiaran agama, dan interpretasi atas teks agama.
Aspek eksternal berupa ekonomi, politik, hukum/kebijakan,
pendidikan agama, dan media massa. Isu pemicu konflik agama
karena pembangunan atau peran tempat ibadah, siar kebencian
agama (hate speech), penyiaran agama, aliran non-mainstream,
dan kebijakan bidang agama. Masalah yang muncul dapat berupa
delik penodaan agama, hubungan agama dengan negara, dan
perspektif untuk membaca kehidupan beragama. Hal tersebut
akan terminimalisasi bila umat beragama memahami bahwa
beragama adalah hak yang diyakini dalam batin (internum)
dan diekspresikan dalam kehidupan (eksternum) oleh pemeluk
agama sehingga tercipta social order dan social harmony. Peran
negara dalam bingkai HAM berupa melindungi (to protect),
menghormati, dan memenuhi hak.
Pola pikir beragama yang sempit berimbas fanatis
sebagian umat Islam Indonesia ketika berhadapan dengan aliran
d) lain yang dianggap berseberangan dengan kaidah agamanya

madani dan memetakan fenomena pemahaman keislaman Indonesia yang


dipilah tiga jenis pemahaman Islam yakni Islam fiqhiy, siyasiy, dan madani.
Pertama, Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fikih yang dipraktikkan
sehari-hari, Islam menjadi sangat ritual. Pemahaman ini umumnya hanya
memandang kelompoknya yang benar dan yang lain salah. Kemunduran Islam
karena dianggap meninggalkan al-Quran dan sunah. Agar maju harus kembali
berpedoman pada 2 sumber tersebut. Kedua, Islam siyasiy (Islam politik) yang
menjadikan Islam sebagai kegiatan politik yang memusatkan perjuangannya
untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat
Islam atau mendirikan khilafah. Keselamatan untuk seluruh umat Islam. Islam
politik melihat faktor kemunduran Islam karena dominasi dan konspirasi Barat
yang menghancurkan Islam. Kedua pandangan tersebut mengantarkan pada
Islam madani yakni semua agama bisa bertemu dengan mengkaji apa yang
bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban untuk mengambil
nilai universal dalam setiap agama. Islam madani berpusat pada kasih sayang
kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang,
rahmatan lil’alamin. Kesalehan seseorang diukur dari kecintaannya terhadap
sesama (Kompas, 6/2/2011, hlm.23).

392 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

diperlakukan nisata, sebagaimana dialami pengikut Ahmadiyah,


terutama pasca-fatwa sesat MUI No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980
1Juni 1980/17 Rajab 1400 H dipertegas pada Munas MUI ke-7,
27-29 Juli 2005.10 Sesatnya Ahmadiyah karena keyakinannya
bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah nabi terakhir, tapi
kenabiannya ‘diteruskan’ oleh Ghulam Ahmad. Ahmadiyah
pun memiliki Kitab Suci yakni Tadzkirah, dan anggapannya
jika salat dengan imam orang non-Ahmadiyah, salatnya tak
sah karena tak mengakui kenabian Ghulam Ahmad. Hal ini jika
dikonfirmasi pada warga Ahmadi, mereka tak mudah mengakui
tudingan tersebut.11
Masalah JAI menurut Mukri Ajie (Ketua MUI Kab.
Bogor) bukan lagi masalah fikih, tapi teologi. Berdasarkan
laporan Bupati Kuningan, Kejaksaan Kuningan, dan MUI Kab.
Kuningan Jabar, MUI Pusat, mendesak Menag, Mendagri,
dan Kejagung agar mengusulkan kepada Presiden untuk
membubarkan atau mendorong Ahmadiyah menjadi organisasi
non-Islam karena Ahmadiyah tak dapat diluruskan dan tak
mematuhi SKB 3 Menteri yang ditetapkan 9 Juni 2008.12 Seperti

Kinerja MUI (i) menasehati dan memberi fatwa masalah keagamaan


10

dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat, (ii) meningkatkan


ukhuwah islamiyah dan kerukunan hidup antarumat beragama dalam rangka
memantapkan kesatuan dan persatuan nasional, dan (iii) mewakili umat
Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama dan antara umat
beragama dengan pemerintah.
11
Menanggapi polemik, Juru Bicara JAI, Jafrullah Ahmad Pontoh,
menegaskan bahwa agama milik Tuhan, tak ada yang bisa menyuruh orang
membubarkan atau membuat agama. Ahmadiyah pun merasa masih tetap
bagian dari Islam karena rukun iman dan Islam yang diajarkan sebagaimana
ajaran Nabi Muhammad SAW. Kitab sucinya, menurut pengakuan Jafrullah
bukan Tadzkirah. Tadzkirah hanyalah kumpulan berbagai tulisan JAI yang
dikumpulkan dalam kompilasi yang menjadi satu buku. Perihal pembubaran,
JAI berpandangan bahwa pembubaran di negara hukum tentunya berkaitan
dengan tindak kriminal, JAI tak melakukan tindak kriminal (Republika,
15/10/2010).
12
Anggapan sesat ditujukan MUI terhadap Ahmadiyah Qadian,

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 393


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

apapun wujudnya realitas yang ada tak untuk dimusuhi, tapi


perlu dicari jalan tengah. Didasarkan pernyataan bahwa rasa
beragama bagi individu dan kelompok biasanya diidentikkan
sejauhmana memertahankan prinsip dan substansi pesan agama
ketika pihak lain diduga ‘menyelewengkan’ prinsip dan substansi
pesan agamanya. Namun sebaliknya, jika individu (pemilik
agama) menghadapi fenomena penyelewengan pihak lain tak
tersinggung, mendapat julukan tak memiliki ‘nasionalisme’
beragama. Pandangan ini bertolak belakang dengan madzhab
kemajemukan (pluralisme), keragaman (diversity), dan perbedaan
tetapi sama (multicultural) bahwa perbedaan tak perlu direspon
dengan ketersinggungan karena sunnatullah.

sedangkan Ahmadiyah Lahore tak memiliki ajaran yang menyesatkan versi


Islam. Tetapi, muslimin Indonesia pada umumnya tak memilah antara yang
Lahore dengan Qadian, asalkan ‘berbendera’Ahmadiyah maka dibasmi.
Kegarangan muslim Indonesia terhadap Ahmadiyah, tetapi penulis menemukan
fenomena lain bahwa Ahmadiyah di Kota Kudus damai bersama kaum
d) muslimin meski telah diterbitkannya SKB diterbitkan oleh 3 lembaga negara,
Menag, Mendagri, dan Kejagung No.3/2008; No.199/2008; dan No.KEP-
033/A/JA/6/2008, 9/6/2008 memuat 6 poin (1) peringatan kepada masyarakat
untuk mematuhi Pasal 1 UU No.1/PPNS/1965 yang berbunyi untuk tak
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan, dukungan umum melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu
yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu, (2) memberi peringatan dan
memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama Islam, (3) penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus JAI yang tidak mengindahkan perintah dan peringatan ini dapat
dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan, termasuk organisasi
dan badan hukumnya, (4) memberi peringatan dan memerintahkan kepada
warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama
dengan tidak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap JAI, (5) warga
masyarakat yang tak mengindahkan peringatan dan perintah ini dikenai sanksi
sesuai perundangan, dan (6) memerintahkan kepada aparat pemerintah dan
pemda untuk melakukan langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan
pengawasan keputusan bersama.

394 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Bagi yang tersinggung, reaksi yang muncul variatif (1)


perlawanan terbuka (konfrontasi), (2) terselubung/tak kasat
mata, (3) terpendam/perlawanan bersifat laten, meletup pada saat
pemicunya muncul atau tersinggung karena sikap the others, dan
(4) mendesak kebijakan penguasa. Bentuk perlawanan tersebut
sangat dipengaruhi kondisi dan karakter individu dan kelompok
ketika bereaksi menghadapi ‘penyelewengan’ dari the others.
Berbagai bentuk konfrontasi itu dipicu Era Reformasi ‘yang
mentradisikan’ demonstrasi, didukung kebijakan dan action
politik penguasa. Analisis Mudzakkir, era Orde Baru, selama
keberadaan kaum minoritas tak mengancam legitimasi penguasa,
selama itu pula mereka hanyalah subjek yang tak diperhitungkan
secara signifikan13.

Potret Ahmadiyah
Kelahiran Ahmadiyah tak dapat dipisahkan dengan
gerakan orientalisme dan kolonialisme di Asia Selatan. Tokoh
orientalis, Sayyid Ahmad Khan bahwa akhir abad ke-19
memprakondisikan masyarakat India dihadapkan dengan gagasan
yang menyimpang Islam. Didukung oleh kolonial Inggris yang
mengadudomba masyarakat, pada 23 Maret 1889 mendirikan
Ahmadiyah. Agar gerakannya mendapat wibawa, ditunjuklah
keluarga bangsawan India keturunan Kerajaan Moghul, putra
pasangan Mirza Ghulam Murtadha dengan Ciraagh Bibi, Mirza
Ghulam Ahmad (1839-1908). Nenek moyangnya berhubungan
keluarga dengan Zahiruddin Muhammad Babur, pendiri Dinasti
Mogul (1526-1530). Ayahnya seorang hakim pemerintah
kolonial Inggris di India. Ghulam lahir 13 Februari 1835, ada
yang menyebut 1839 M/1255 H di Desa Qadian, Punjab, India

Amin Mudzakkir. 2006.Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan:


13

Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay dalam Hak Minoritas


Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Tifa: Jakarta. Hlm. 200.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 395


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

dan wafat di Qadian 26 Mei 1908 M/1326 H.


Dalam Ensiklopedi Islam, Ghulam sejak kecil mendapat
pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya dan
menyukai meditasi sejak kecil, ia mengaku sering mendapat
petunjuk langsung dari Allah SWT, seperti mendapat makrifat
dalam dunia sufi, meskipun ia tak pernah dikenal sebagai sufi atau
murid dari guru sufi. Pada usia 40 tahun (1880), ia menulis buku
Barahini Ahmadiyah (argumentasi Ahmadiyah) berisi antara
lain pengakuan dirinya sebagai al-Mahdi. Semasa mudanya, ia
pernah bertempat tinggal di Sialkot, India mengikuti ayahnya
yang menyelesaikan perkara tanah, ia berkenalan dengan orang
Kristen mempelajari kitab sucinya, Injil dan menyaksikan
langsung betapa gencarnya misi kristenisasi, ia membaca
komentar Sir Sayid Ahmad Khan antara lain mengenai genesis
dan tafsir al-Quran.Ghulam mengkritik tafsir al-Quran karena
memandang tafsir menggunakan pendekatan netralistik (hukum
alam, misalnya, malaikat ditafsirkan dengan fungsi hukum
d) alam). Menurutnya, tulisan Ahmad Khan terlalu apologetik
dan membanggakan kejayaan masa lampau, padahal yang harus
dihadapi adalah keadaan obyektif masa kini. Ketika ayah Ghulam
wafat (1876), Ghulam kembali ke Qadian mengurus tanah milik
keluarganya dan meneruskan kebiasaan lamanya yaitu meditasi.
Tahun 1877, di Punjab, India, ia menyaksikan kebangkitan Arya
Samaj dan Brahma Samaj, yaitu gerakan kesadaran umat Hindu.
Peristiwa tersebut di Sialkot dan Punjab menimbulkan semangat
Ahmad untuk membangkitkan suatu gerakan Islam.
Pada 4 Maret 1889, Ghulam memproklamirkan diri
menerima wahyu langsung dari Allah SWT yang menunjuk
dirinya sebagai Al-Mahdi dan memberi petunjuk agar manusia
melakukan baiat kepadanya. Baiat pertama dilakukan 20 orang
pengikutnya di Ludiana, dekat Qadian, India. Salah seorang di

396 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

antara mereka, Maulwi (gelar kehormatan paduka/yang mulia)


Nuruddin kelak menjadi khalifah pertama sepeninggal Ahmad14.
Keberadaan Ghulam di tengah masyarakatnya sebagai dai tenar.
Ghulam memproklamirkan diri sebagai pembaru (mujaddid)
bergulir mahdi al-muntazhar dan al-masih al-mau’ud. Pada
1876, ia mengaku sebagai nabi yang kenabiannya lebih tinggi
daripada Nabi Muhammad SAW dan mengaku menerima wahyu
dari Tuhan dalam bahasa Inggris, yang dikumpulkan dalam kitab
disebut tadzkiroh 15.
Tahun 1914 aliran Ahmadiyah pecah menjadi dua
golongan, Lahore dan Qadian. Analisis Iskandar, Ahmadiyah
Lahore berprinsip memiliki pemahaman bahwa Nabi SAW
nabi terakhir dan keberadaan Mirza Ghulam Ahmad sebagai
mujadid (pembaru) abad ke-14 H. Ahmadiyah Qadian berprinsip
sepeninggal Nabi SAW, muncullah nabi buruzi yakni nabi yang
tak membawa syariat, sehingga keberadaan nabi dalam versi
Ahmadiyah Qadian terpilah (a) Nabi Shakib Asy-Syari’ah dan
Mustaqil. Shakib Asy-Syariah adalah nabi pembawa syariat
untuk manusia, seperti Nabi Muhammad SAW. Nabi mustaqil
adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tak mengikuti
nabi sebelumnya, misalnya nabi Musa AS, (b) Nabi Musytaqil
ghoir at Tasyri’ yakni nabi yang tak membawa syariat baru, tapi
menjalankan syariat yang dibawa nabi sebelumnya, seperti Nabi
Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa, dan (c) Zhilli
Ghoiru at-Tasyri’ yakni menjadi nabi karena semata-mata patuh
pada nabi sebelumnya, seperti Ghulam Ahmad. Pengakuan
pengikut aliran Ahmadiyah Lahore bahwa keberadaan nabi
terpilah atas nabi haqiqi (pembawa syariat) dan nabi lughowi

Republika, Kolom Dialog Jumat, 18 Januari 2008, hlm.2.


14

M.Yuanda Zara, dkk. 2007. Aliran-Aliran Sesat di Indonesia. Banyu


15

Media: Yogyakarta. Hlm.57.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 397


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

(nabi yang menerima wahyu, tidak mensiarkan syariat)16.


Ahmadiyah Qadian berpusat di Qadian, India berpendapat
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Ahmadiyah Lahore
berpusat di Lahore, komunitas ahmadi berpendapat Mirza
Ghulam adalah mujadid (pembaru), bukan nabi. Pada awalnya,
Mirza mengaku sebagai mujadid. Pada 4 Maret 1889 Mirza
mengaku dan mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung
dari Tuhan yang menunjuknya sebagi al-Mahdi al Ma’huud
(Imam Mahdi yang dijanjikan) agar umat Islam berbai’at
kepadanya. Pada 23 Maret 1889 Mirza menerima baiat dari 20
warga Kota Ludhiana, di antara yang membai’at adalah Hadrat
Nurudin yang kelak menjadi Khalifah al-Masih I, pimpinan
tertinggi Ahmadiyah. Pada 1890, Mirza mengaku sebagai al-
Mahdi dan mendapat wahyu dari Allah menyatakan bahwa Nabi
Isa AS -yang dipercaya umat Islam dan Kristen- bersemayam
di langit, menurut Mirza telah wafat dan janji Allah mengutus
Nabi Isa kedua kalinya dengan menunjuk Mirza sebagai al-Masih
d) al-Mau’ud (al-Masih yang dijanjikan). Menurut pengakuan
pengikut Ahmadiyah, Nabi Isa AS setelah dipaku di palang
salib oleh kaum Yahudi, tidak mati tapi hanya pingsan. Sesudah
sembuh menyingkir dari Palestina ke daerah timur bersama
sepuluh suku Israel lainnya. Sesampai Nabi Isa di Kashmir
wafat dikuburkan di Khan Yar Street Srinagar, sampai kini
kuburan masih ada. Pengakuan ini menurut Ahmadiyah dalam
diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi yaitu al-
Masih (yang dijanjikan) dan al-Mahdi (yang dinantikan). Pada
1901, Mirza Ghulam Ahmad mengaku diangkat Allah sebagai
nabi dan rasul17.

16
Iskandar.2005, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta:
LKiS, hlm.101-104.
17
Republika, 15/10/2010.

398 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Ahmadiyah dalam Lintasan HAM


Dalam tataran riil, jika sebuah komunitas mendapatkan
perlakuan yang tidak wajar dan melanggar hukum dari pihak
lain, diduga dapat menyulut reaksi (pembelaan) dari berbagai
kalangan, di antaranya pembela HAM, seperti Hendardi (Ketua
Badan Pengurus SETARA Institute for Democracy and Peace,
Jakarta) mengkritisi sikap masyarakat yang garang ketika
menghadapi aliran yang dianggap ‘lain’ dengan alirannya.
Pada dasarnya pelanggaran HAM yang memiliki dua prinsip
yakni nonderogable rights dan derogable rights. Nonderogable
rights adalah hak individu yang tak dapat ditangguhkan atau
ditunda dalam situasi dan kondisi apapun, seperti hak beragama,
berpikir, dan berkeyakinan. Satu dari ketiga atau ketiga-tiganya
jika diganggu, pada dasarnya melanggar HAM18.
Selain adanya pembelaan terhadap Ahmadiyah, akademisi
menolak Ahmadiyah karena pengakuan Ghulam adalah nabi dan
Nabi SAW bukanlah nabi terakhir. Di sisi lain, dengan prinsip
itu, Ahmadiyah membawa ‘bendera’ Islam sebagai agamanya,
perlu diluruskan, maksudnya jika Ahmadiyah mendirikan agama
baru, tentunya bukan persoalan bagi umat Islam. Ibarat merokok
di bus ber-AC, meskipun orang lain (dalam bus tak merokok)
tentunya terganggu ulah perokok. Tetapi suasana menjadi lain
jika perokok meninggalkan bus yang ber-AC menumpang bus
lain.

Ahmadiyah di Indonesia
Kehadiran aliran Ahmadiyah di Indonesia atas prakarsa
tiga pemuda yang baru berusia 16 s.d 20 tahun (Abu Bakar
Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan) asal Minangkabau,

Hendardi. Beragama, Kebebasan Dasar. Kompas, 10 September


18

2005. Hlm.6.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 399


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Padang yang tergabung dalam Sumatera Thawalib. Atas saran


guru ketiga pemuda tersebut, Zaenuddin Labai El-Junusi dan
Syekh Ibrahim Musa Paraek, semula mereka ingin belajar ke
Universitas Al-Azhar, Mesir, tetapi diarahkan ke Hindustan,
India dengan pertimbangan, Hindustan adalah pusat reformasi
dan modernisasi Islam dan banyaknya perguruan tinggi dan
tokoh Islam yang berkualitas. Setelah di Hindustan, mereka
bertiga melanjutkan perjalanan ke Kota Lahore selanjutnya
hijrah ke Qadian. Pada 1923, ketiga santri dibaiat oleh khalifah
pertama Ahmadiyah India, Hadhrat Hafiz H.Hakim. Selanjutnya,
mereka bertiga pulang ke tanah air sekaligus mensiarkan
Ahmadiyah di kota kelahirannya. Agar masyarakat yakin atas
keberadaan Ahmadiyah di muka bumi ini, ketiga santri tersebut
menghadirkan mubaligh dari India, Maulana Rahmat Ali, untuk
tablig di Padang19.
Pada 1924 muballigh Ahmadiyah asal Lahore, Mirza Wali
Ahmad Baig dan Maulana Ahmad datang ke Kota Yogyakarta.
d) Sekretaris Muhammadiyah Yogyakarta, Minhadjurrahman
Djojosoegito, mengundang Mirza dan Maulana berpidato
pada muktamar ke-13 Muhammadiyah. Pada 1929 muktamar
Muhammadiyah ke-18 di Kota Solo, disepakati oleh forum
muktamar Muhammadiyah bahwa orang yang percaya ada nabi
sesudah Nabi Muhammad SAW adalah kafir. Fatwa itulah,
Djojosoegito meninggalkan Ahmadiyah dan membentuk gerakan
Ahmadiyah Indonesia pada 4 April 1930. Pada 1953, Presiden
Soekarno menyetujui aliran Ahmadiyah berbadan hukum
berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman Nomor: JA.
5/23/13, 13 Maret 195320.

Yuanda Zara, 2007. hlm. 60.


19

Ibid. Hlm:61.
20

400 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Tindakan Pemkab Kudus terhadap Ahmadiyah


Pemerintah RI dalam mengatasi aliran yang menyimpang
dari frame perundangan, dilakukan penegakan hukum21,
pencegahan (preventif)22, penanggulangan (represif)23, dan
tindakan kuratif24. Mensikapi Ahmadiyah tergantung kondisi
kenyamanan sosial, karena tak terjadi gejolak maka tindakan
Pemkab Kudus adalah memantau kondisi25. SKB Menag,
Mendagri, dan Kejagung poin (6) memerintahkan kepada aparat
pemerintah dan pemda untuk melakukan langkah pembinaan
dalam rangka pengamanan dan pengawasan keputusan bersama.
Jadi, tindakan pemkab.Kudus memantau/pengawasan sesuai
amanat SKB, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan.
Dengan kata lain, relatif tak ada tindakan yang dilakukan aparat
pemerintah Kab. Kudus terhadap keberadaan warga Ahmadiyah,

21Berlandaskan UU No.1/PNPS/’65 Pasal 1 Setiap orang


dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau
mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan agama itu dan UU No.2/2002 tentang Kepolisian RI
Pasal 2 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan Pasal 15
(1) d mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa. Penjelasan pasal, aliran adalah semua aliran
atau faham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan
falsafah negara RI.
22
Berupa persuasif edukatif yaitu pengarahan dan bimbingan dengan
penyuluhan.
23
Yakni menanggulangi kasus yang terjadi dengan membatasi
akibat/risiko yang timbul dengan tindakan bersifat administratif, misalnya
pembinaan/sanksi administratif berupa pernyataan tertulis dan penindakan
yustisial dengan penyelidikan dan penyidikan hukum.
24
Yakni menghilangkan ajaran sesat disertai pembimbingan kesadaran
spiritual.
25
Dinyatakan oleh Kepala Kesbanglinmas Kab. Kudus (Jawa Pos,
Radar Kudus, 21/12/2010).

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 401


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

baik berupa penegakan hukum, tindakan preventif, kuratif,


apalagi represif.

Resolusi Konflik
Konflik merupakan keniscayaan sejarah dan berpeluang
muncul. Makna positif konflik berupa terjadinya perubahan
sosial, makna negatif berupa kerenggangan sosial dan kekerasan26.
Mengelola konflik menurut Solihan dengan memahami penyebab
konflik dan menyikapi tipe konflik. Jenis penyebab konflik
berupa pemicu (triggers), penyebab dasar (pivotal factors),
faktor yang memobilisasi (mobilizing factors), dan faktor yang
memperburuk (aggravating factors).27 Pemicu konflik karena
perbedaan bersifat teologis, meski belum terpicu secara terbuka
dan tak adanya faktor yang memobilisasi konflik. Penyebab
konflik menurut Solihan secara teoretis (1) terjadi polarisasi,
ketidakpercayaan, dan permusuhan antarkelompok yang berbeda
dalam satu komunitas, (2) disebabkan posisi yang diadopsi oleh
d) kelompok yang bertentangan semata, (3) kebutuhan manusia
yang tak tercukupi (fisik, psikologis, dan sosial), (4) identitas
yang terancam, (5) miskomunikasi antarbudaya karena gaya yang
berbeda, (6) transformasi konflik; disebabkan ketidaksetaraan

26
Jenis kekerasan menurut Salmi (2005:32) terpilah kekerasan
langsung (direct violence) yakni menyerang fisik dan psikis individu secara
langsung, kekerasan tidak langsung (indirect violence) yakni tindakan yang
membahayakan manusia bahkan ancaman kematian, tetapi tak melibatkan
hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggung jawab atas
tindak kekerasan. Kekerasan represif (repressive violence) berkaitan dengan
pencabutan hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi
dari kesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif (alienating violence)
berupa pencabutan hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan
kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual.
27
Sholihan, Memahami Konflik dalam Mengelola Konflik Membangun
Damai, Mukhsin Jamil (Ed) (Semarang: Wali Songo Media Center, 2007),
hlm.5.

402 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

dan ketidakadilan.28 Penyebab konflik tereduksi (tak terjadi)


antara komunitas Ahmadi dengan warga muslim Kudus karena
terjadinya rekonsiliasi konflik dengan kompromi.
Resolusi konflik menurut penulis sebagai tindakan
konstruktif yang diagendakan, dilakukan, dan dievaluasi
kedua belah pihak bertujuan menyelesaikan konflik. Tindakan
konstruktif tersebut sangat ditentukan kesediaan menggapai
perdamaian dengan prinsip saling menyadari dan memahami,
tanpa merasa dirugikan. Model penyelesaian konflik menurut
Schilling (1995) meliputi meninggalkan konflik (abandoning),
meghindari (avoiding), menguasai (dominating), melayani
(obliging), mencari bantuan (getting help), menunda
penyelesaian (postponing), menyatukan (integrating), mengurai
masalah (problem solving), dan kompromi (compromise).29
Konteks Ahmadiyah di Kudus, model penyelesaiannya dengan
kompromi.

Model Penyelesaian Konflik


Analisis terhadap fatwa sesat oleh MUI terhadap
Ahmadiyah jika dikaitkan dengan nihilnya konflik di Kudus
karena (1) mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam,
tetapi warga Ahmadi Kudus dalam beragama tak mengingkari
kedua sumber ajaran Islam, (2) meyakini atau mengikuti
akidah yang tak sesuai dengan dalil syarak. Data yang digali
peneliti, mereka secara lisan mengakui Nabi SAW sebagai
nabi, membantah jika non-Ahmadi salat di masjid Ahmadi
dicuci sebagai tanda bahwa warga non-Ahmad adalah najis,
masjid Ahmadiyah selalu terbuka untuk dijadikan ibadah bagi
siapa pun, (3) meyakini turunnya wahyu sesudah al-Quran.

Ibid, hlm.16-17.
28

Alo Liliweri, 2005. Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas


29

Budaya Masyarakat Multikultur. LKiS: Yogyakarta. Hlm.297.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 403


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Warga Ahmadiyah berdalih al-Quran kitab sucinya dengan


bukti ditelaah secara bersama-sama setiap selesai jamaah
salat mahrib di masjidnya, (4) mengingkari autentisitas dan
kebenaran al-Quran. Al-Quran dipahami sebagai kitab yang
otentik. Jika ada anggapan bahwa Muhamad SAW sebagai nabi
penutup, keberadaan Mirza Ghulam hanyalah sebagai penerus
perjuangan Nabi SAW (mujadid), (5) menafsirkan al-Quran
yang tak berdasar kaidah tafsir. Warga Ahmadiyah di Kudus,
belum mendalami tafsir quran, hanya belajar membaca quran,
(6) mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran
Islam. Hal ini tak menjadi karakter Ahmadiyah, (7) menghina,
melecehkan, dan/atau merendahkan nabi dan rasul. Warga
Ahmadiyah menghormati Nabi SAW, tak melecehkan atau tak
menghinanya, (8) mengingkari Nabi SAW sebagai nabi dan
rasul terakhir. Warga Ahmadiyah mengaku bahwa Nabi SAW
adalah nabi terakhir, (9) mengubah, menambah, dan mengurangi
pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat. Mereka
d) mengaku tak mengurangi atau menambah pokok ibadah dalam
Islam, (10) mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i. Poin
ini pun tidak menjadi ’lagu wajibnya’.
Kesepuluh kriteria tersebut oleh sebagian pengamat
mendapatkan kritik bahwa pencetus kriteria adalah manusia
(antara elemen yang menerima dengan yang memproduk sesama
manusia), sehingga ketika memahami wahyu memiliki derajat
yang sama, kebenaran kriteria adalah kebenaran manusiawi,
bukan kebenaran Ilahi. Pada dasarnya bahwa klaim aliran
sesat pada Ahmadiyah bukan didasarkan kebenaran substantif,
melainkan klaim kebenaran hegemonik. Artinya, klaim seperti
itu tak akan lahir dari kalangan minoritas terhadap mayoritas.
Dengan argumentasi, sesat atau tidak sesatnya lebih banyak
diukur dari kuantitas pendukung. Tetapi hal tersebut mungkinkah

404 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

strategi berkelitnya (taqiyah)30? Perlu pendalaman penelitian


berikutnya.

Strategi Resolusi Konflik Ahmadiyah di Kudus


Masyarakat Kudus dalam berinteraksi dengan komunitas
Ahmadiyah di Rt.1 Rw.3, Dukuh Pandak, Desa Colo, Dawe,
Kudus, Jateng yang keberadaannya sejak 1998 pascakekalahan
pilkades, reaksinya terselubung dan terpendam, meskipun dalam
jumlah mayoritas dan Ahmadiyah minoritas karena belum pernah
terjadi konfrontasi terbuka, hanya sebatas dentuman batin
komunitas muslim di Kudus yang berpeluang terjadi konflik.31
Desa Colo memiliki lima perdukuhan, setiap dukuh
memiliki musala, jumlah keseluruhan musala 11, 1 Vihara, 1

30
Pencegahan melawan penyiksaan dengan menyembunyikan
keyakinan dan praktik keagamaan melalui sikap pura-pura. Pengembangan
lebih jauh, menyembunyikan secara aktif keyakinan yang sesungguhnya demi
melindungi nyawa, harta benda, dan agama.
31
Reaksi masyarakat Kudus tahun 2006 kaitannnya dengan
sentimen agama-kepercayaan yakni ketegangan antara warga Desa Getas
Pejaten, Kecamatan Jati dengan umat Kristiani yang dilatarbelakangi oleh
pemanfaatan rumah toko (ruko) di gedung IPIEMS di jalan Agus Salim yang
dijadikan tempat ibadah (gereja) pimpinan pendeta F. Iskandar Wibawa karena
dianggap menyalahi fungsi. Hal tersebut direspon oleh Bupati Kudus dengan
menerbitkan surat No.450/7777/11/2006, 23/11/2006 yang ditandatangani
oleh Asisten Tata Praja Kudus. Isi surat, agar menghentikan penggunaan ruko
sebagai tempat ibadah. Untuk mengurangi tensi ketegangan, aparat Polres
Kudus pun disiagakan (Jawa Pos,Radar Kudus,27/11/2006, hlm.1). Juga
munculnya jamaah dzikrussholikhin pimpinan Nur Rokhim di wilayah Rt. 06
Rw. 01 Desa Golantepus, Mejobo, Kudus,2007. Sang tokoh mengakui bertemu
dengan malaikat yang diakibatkan (dalam pengakuannya) oleh ketaatannya
melakukan dzikir setiap malam. Sehingga pada suatu malam ditemui cahaya,
cahaya tersebut mengajak ruh Nur Rokhim bersinggah pada rumah mewah.
Oleh Rokhim, cahaya dianggap sebagai bentuk malaikat. Pengalaman
spiritual tersebut dipublikasikan melalui selebaran, sehingga oleh (sebagian)
masyarakat Kudus dianggap aliran sesat dan membuat tegangnya suasana
desa. Agar permasalahan tak meruncing menjadi konflik, maka aparat desa
dan kepolisian mendamaikan kedua belah pihak di balai desa setempat ( Jawa
Pos, Radar Kudus, 4 dan 8/9/2007, hlm.1).

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 405


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

gereja, dan 5 masjid berhaluan NU dan 1 ‘berbendera’Ahmadiyah.


Hal ini menandakan bahwa keberagamaan masyarakatnya
dinamis-variatif-nirkonflik. Mengapa aliran Ahmadiyah tak
dimusuhi? Meski kehidupan beragama muslim Kudus tak nihil
dari konflik.32
Kemunculan konflik laten sangat mungkin terjadi di
Kudus antara komunitas Ahmadiyah dengan non-Ahmadi
berdasarkan hasil deteksi dini peneliti dengan dalih. Pertama,
komunitas Ahmadiyah menyendiri dalam beribadah dan
pengajian rutin, tak terbuka (tanpa pengeras suara jika adzan
salat harian, bukan karena tak memiliki), tak sebagaimana umat
Islam Kota Kudus lazimnya. Kedua, struktur sosial masyarakat
pedesaan wilayah wisata Colo, Gunung Muria menjadi areal
wisata nasional (adanya makam Sunan Muria dan makam
Syekh Syadzali). Hal ini berimbas pada gaya hidup dan pola
pikir masyarakat yang terbuka dan tak tradisional an sich lagi.33
Ketiga, masyarakat Kudus variatif yakni santri dan abangan,
d) bila tanpa memahami kehidupan pluralis dan multikultur
mudah tersulut konflik. Nomenklatur santri memiliki adagium
32
Pemanfaatan ruko (rumah-toko) di Kelurahan Getas Pejaten untuk
dijadikan tempat ibadah, timbullah konflik. Rumah-toko (ruko) tersebut di
gedung IPIEMS jalan Agus Salim Kudus pimpinan pendeta Franciskus Iskandar
Wibawa. Hal ini menimbulkan ketegangan antara warga Kudus sekitar ruko
dengan umat beragama. Agar tidak terjadi konflik yang meruncing, Bupati
Kudus mengeluarkan surat No. 450/7777/11/2006, 23/11/2006 menghentikan
penggunaan ruko sebagai tempat ibadah (Radar Kudus, 27/11/2006, hlm.1).
Begitu pula, pengikut aliran tarekat yang mengakui bertemu malaikat
menyulut konflik dialami Nurrokhim, warga Kelurahan tenggeles Kecamatan
jekulo Kudus. Agar tidak berkecamuk, pemerintahan esa mendamaikan seluruh
komponen desa untuk damai. Akhirnya Rokhim mencabut pernyataannya.
33
Seperti terjadinya pergeseran fanatisme melaksanakan ritual rutin
organisasi keagamaan di perkampungan yang diselenggarakan setiap malam
Jumat. Jika malam Jumat pahing, diprediksi jumlah wisatawan yang memadati
areal wisata Colo melonjak, maka acara ritual rutin menyusut jumlah yang
hadir karena lebih memprioritaskan pekerjaannya menjadi pedagang kaki lima
dan tukang ojek wisata-ziarah.

406 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Gusjigang; dari kata ’Gus’, bagus (baik) perilakunya, ji; dari kata
kaji (haji) atau ngaji (mengaji), dan gang bermakna pedagang.
Keempat, kehidupannya semi individualis imbas pelaku wisata
yang berhadapan dengan ‘dunia jalanan’ dan penyelesaian
dengan cara demonstrasi menjadi tren, sebagaimana tayangan
media massa yang memberitakan realitas Ahmadiyah di wilayah
Jawa Tengah.
Ahmadiyah di Kudus memiliki strategi resolusi konflik
dengan ‘mengamankan’ kelompoknya, memberi pemahaman
pada masyarakat umum bahwa alirannya tak sesat dengan siasat
(1) membuat selebaran yang dibagikan pada warga Colo pada
2006 bertuliskan tuhannya sama, nabinya sama, (2) masjid
yang mereka bangun diberi tulisan kalimat Laailaha illallah
Muhammdurrosulullah, lafal baru muncul setelah 10 tahun
berdiri semenjak gejolak terhadap Ahmadiyahan di Indonesia,
(3) menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan dengan warga
Desa Colo yang non-Ahmadi, seperti menjadi pedagang dan
anggota perkumpulan sosial-keagamaan yang terdiri warga
nahdliyin, (4) proaktif terhadap kebijakan pemerintah dan
taat terhadap norma sosial yang berlaku di lingkungannya,
(5) tempat tinggalnya bergabung dengan warga non-Ahmadi,
dan (6) interaksi sosialnya positif sebagaimana pembagian
daging kurban warga Ahmadi pada warga non-Ahmadi. Pada
1433 H/2012 M terdapat 4 kambing kurban warga Ahmadi a.n
Sukardi, Mubarik, Endro, dan Kasminah, sebanyak 70 bungkus
untuk warga non-Ahmadi dan 13 bungkus untuk warga ahmadi.
Setiap bungkus minimal berisi 1 kg daging. Pada 2013 terdapat
2 kambing kurban warga Ahmadi yakni Bpk. Endro dan warga
ahmadi dari Solo. Daging terbungkus 42 kantung plastik yang
dibagikan pada 14 KK warga ahmadi dan 28 untuk tetangga
ahmadi yang muslim. Begitu pula warga Ahmadi mendapatkan

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 407


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

pembagian daging kurban dari warga muslim non-Ahmadi di


lingkungannya.
Selain strategi di atas, adem-ayemnya Ahmadiyah di Desa
Colo karena (1) jumlah pemeluknya hanya 14 kepala keluarga
dari 4 ribu jumlah penduduk Desa Colo, meski tidak setiap rumah
yang kepala keluarganya ahmadi menjadi pengikut ahmadi, (2)
tak pernah melanggar norma sosial, hukum, dan agama, (3)
mengadakan ritual yang kolosal menyertakan tetangganya yang
non-Ahmadi, (4) refleksi keagamaan masyarakat Desa Colo
kurang peduli dengan fatwa MUI yang memfatwa Ahmadiyah
sesat, tetapi karena tak fanatis dan dipicu pemahan terhadap
agama warga tak semua mendalam, kesibukan sehari-hari
‘ditelan’ aktivitas ekonomi (pedagang, petani, pengojek sepeda
motor, dsb.), bukan karena tingginya rasa toleransi terhadap aliran
sesat, (5) tak adanya ormas Islam bergaris keras di Kudus, (6)
tokoh agama setempat tak berperan sebagai lokomotif melawan
Ahmadi, dan (7) ada hubungan kekerabatan dan pertemanan
d) antara warga Ahmadi dengan non-Ahmadi.34

Penutup
Resolusi menangkal konflik yang dilakukan komunitas
Ahmadiyah di Kudus berupa (1) membuat selebaran yang
dibagikan pada warga Colo pada 2006 bertuliskan tuhannya
sama, nabinya sama, (2) masjidnya diberi tulisan kalimat
laailaha illallah muhammdurrasulullah, meski setelah 10
tahun berdiri semenjak gejolak keahmadiyahan di Indonesia,
(3) menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan dengan warga
Desa Colo yang non-Ahmadiyah, (4) proaktif terhadap semua
kebijakan pemerintah dan taat terhadap norma sosial yang
34
Moh. Rosyid, ”Ahmadiyah di Kabupaten Kudus”, Analisa, Jurnal
Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Vol.XVIII, No.01, Januari-Juni 2011.
Balai Litbang, Kemenag, Semarang. hlm.91.

408 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

berlaku di lingkungannya, dan (5) bertempat tinggal bergabung


di tengah-tengah kerumunan rukun tetangga (RT) masyarakat
Desa Colo.
Keberadaan komunitas Ahmadiyah di Desa Colo tetap
eksis karena (a) jumlah pemeluknya hanya 10 kepala keluarga
(KK) dari 4 ribu jumlah penduduk Desa Colo, (b) pengikut
aliran Ahmadiyah tak pernah membuat pelanggaran norma
sosial, hukum, dan agama, sehingga tak muncul reaktif dari
lingkungannya (non-Ahmadiyah), (c) dalam aktifitas beragama,
tak menampakkan ‘gebyar’ (show of force), sehingga tak
mengundang kecurigaan, dan (d) masyarakat Colo mensikapi
aliran Ahmadiyah tak fanatis dipicu keberagamaan yang tak
semua warga mendalam, kesibukan sehari-hari di bidang
ekonomi (pedagang, petani, pengojek sepeda motor, dsb.).
Dalam hal ini pihak-pihak terkait seperti pemerintah,
agar : 1.Melaksanakan amanat UUD 1945 dan perundangan
lain yang esensinya menghormati hak individu, terutama
dalam hal beragama dan kenyamanan bagi pemeluknya, 2.)
Melaksanakan UU No.7/2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial menegaskan bahwa NKRI melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga
negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram,
tertib, damai, dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai
wujud hak setiap orang atas perlindungan agama, diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Pasal 10 (1)
Pemerintah dan Pemda membangun sistem peringatan dini
untuk mencegah konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai
daerah potensi konflik; dan/atau perluasan konflik di daerah
yang sedang terjadi konflik. (2) Sistem peringatan dini dapat
berupa penyampaian informasi mengenai potensi konflik atau

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 409


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

terjadinya konflik di daerah tertentu pada masyarakat. (3)


Sistem peringatan dini melalui media komunikasi. Pasal 11
Membangun sistem peringatan dini dilakukan Pemerintah dan
Pemda dengan cara penelitian dan pemetaan wilayah potensi
konflik; penyampaian data dan informasi mengenai konflik
secara cepat dan akurat; penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan; peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan
penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai ketentuan
perundangan. Pasal 12 Penghentian konflik dilakukan melalui:
penghentian kekerasan fisik; penetapan status keadaan konflik;
tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban; dan/
atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI. Pasal
11 tersebut perlunya Pemda menggandeng akademisi yang
juga peneliti untuk mewujudkan simbiosis mutualisme dalam
menangkal konflik sosial.
Selain itu juga para tokoh masyarakat juga dituntut peran
aktifnya agar : 1). mengendalikan perilaku diri dan komunitasnya
d) agar tak berbuat kriminal terhadap sesama umat manusia, 2)
berperan sebagai lentera kehidupan yang menyejukkan dan tak
menjadi provokator bagi komunitasnya untuk melawan yang
lemah. Di sampng itu pihak intelektual yakni para aAkademisi/
Peneliti, agar: 1)mempublikasikan situasi yang santun di tengah
perbedaan umat manusia dari hasil risetnya; 2)merumuskan
kondisi damai di tengah potensi konflik yang ada di tengah
masyarakat. Terakhir adalah masyarakat itu sendiri agar:1)tidak
mudah tersulut konflik dari manapun sumbernya karena akan
menderita kerugian pada diri dan keluarganya jika tak mampu
mengendalikan diri; 2) berpikir kritis dan waspada bahwa
berbagai dalih untuk memprovokasi pada pihak yang lemah
selalu mengintai kita.

410 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

DAFTAR PUSTAKA

Haq Al-Badri, Hamka, Koreksi Total terhadap Ahmadiyah,


Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981.
Hendardi, “Beragama, Kebebasan Dasar”, Kompas, 10 September
2005.
Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Mudzakkir, Amin, “Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan:
Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay” dalam
Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara
Bangsa, Jakarta: Tifa, 2007.
Rosyid, Moh., ”Ahmadiyah di Kabupaten Kudus”, Analisa, Jurnal
Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Vol.XVIII,
No.01, Januari-Juni 2011. Balai Litbang, Kemenag,
Semarang.
Salmi, Jamil, Violence and Democratic Society Hooliganisme
dan Masyarakat Demokrasi Yogyakarta: Pilar Media,
2005.
Scott, James C., Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993.
--------, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts,
New Haven & London: Yale University Press, 1990.
Sholihan, “Memahami Konflik” dalam Mengelola Konflik
Membangun Damai, Mukhsin Jamil (Ed), Semarang:
Wali Songo Media Center, 2007.
Sidiq, Ahmad dan Masfiyah, Umi, “Organisasi Ahmadiyah
Qadian di Surakarta” dalam Analisa Jurnal Pengkajian

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 411


Resolusi Konflik Berlatar Agama (Oleh: Moh. Rosyid)

Masalah Sosial Agama, No. 21 Th XI April 2006. Balai


Litbang, Kemenag, Semarang.
Sulhan, Moh., “Akar Diskriminasi Minoritas dan Pluralisme
Agama Studi Kasus Kekerasan terhadap Jamaah
Ahmadiyah di Kuningan” dalam Holistik, Journal for
Islamic Social Sciences. Vol. 07, No.1, 1427/2006,
STAIN Cirebon.
Zara, M.Yuanda, dkk., Aliran-Aliran Sesat di Indonesia,
Yogyakarta: Banyu Media, 2007.
Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesi,
Yogyakarta: LKiS, 2005.

d)

412 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


MENGKONSTRUK AKHLAK KEMANUSIAAN
DENGAN TEOLOGI KEPRIBADIAN HASAN
HANAFI
(Perspektif Teologi Antroposentris)

Manijo
Dosen STAIN Kudus
Email: jojomanijo@gmail.com

ABTRAK

Manusia adalah makhluk komplek dan dinamis kemudian


keadaannya lahir dengan seperangkat potensi yang diberikan
Allah SWT, sehingga dengan potensi itu manusia siap hidup
sempurna serta mampu menjaga kemanusiaannya. Namun,
dalam perjalanannya banyak manusia yang tidak bisa
menemukan jati dirinya, tidak bisa mengembangkan potensinya,
bahkan tidak mampu hidup mencapai derajat kesempurnaan.
Salah satu persoalan kemanusiaan yang sulit untuk dibangun
adalah persoalan akhlak kemanusiaan atau karakter manusia
itu sendiri, karena akhlak adalah akibat dari potensi teologi
yang ada dalam batin. Hasilnya, bila manusia secara teologi
telah menemukan kepribadian kemanusiaan yang kokoh, maka
akhlak yang dimunculkan adalah akibat dari nilai teologi yang
diyakini. Kemunculan ini bisa berbentuk cipta, karsa, dan rasa
manusia yang ditampilkan. Teologi Antroposentris dari Hasan
Hanafi adalah salah satu solusi alternatif yang bisa dijadikan
dasar pembentukan akhlak kemanusiaan atau karakter

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 413


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

manusia yang akan direalisasikan dalam bentuk tiga kekuatan


manusia tersebut. Sifat Wujud, Qidam, Baqa, Mukhaalafatu
lilhawadits, Qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyyah, adalah
sifat-sifat yang selama ini dimaknai dan ditujukan pada Allah
SWT, yang menurutnya Allah SWT tidak butuh disifati, karena
tanpa disifatipun Allah SWT sudah tinggi, namun manusialah
yang butuh pada Allah SWT. Inilah yang menjadi dasar
Hasan Hanafi beralih dari Teologi Teosentris menuju Teologi
Antroposentris.

Kata kunci: Akhlak, Manusiaan, Teologi antroposentris,


Hasan Hanafi

Pendahuluan
Indonesia harus bangkit, Indonesia harus maju ke depan,
Indonesia harus modern, adalah slogan-slogan motivasi bagi
bangsa Indonesia terutama manusia Indonesia, dimana posisi
manusia dalam pembangunan ada pada wilayah sebagai subyek
dan obyek pembangunan yang lazim disebut Sumber Daya
manusia (SDM). SDM adalah pusat perubahan dalam kemodernan,
SDM merupakan kunci kemajuan dalam kehidupan, manusia juga
sebagai penggerak (motor) bagi semua sektor turunanya. Bila
manusia baik, produktif, inovatif, kreatif dan progresif, maka
roda kehidupan dalam berbangsa dan bernegara juga akan cepat
)
maju, dan mungkin lebih cepat sejahtera.Tapi bila SDM tidak
bisa diandalkan semua serba minus dan pasif, maka apa jadinya
Negara dan bangsa pada masa depannya.
Tanggal 28 Oktober1 dalam setiap tahunnya di Indonesia

1
Hari sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah
hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena tekad dan keberanian
para pemuda kala itu untuk tetap pada satu Indonesia. Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia.Kedua Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu,

414 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

selalu diperingati sebagai hari sumpah pemuda, di mana dalam


hal ini mengingatkan pada sejarah masa lalu bahwa lewat pemuda
kemajuan bangsa Indonesia akan lebih cepat, lebih bergairah dan
mungkin lebih cepat sejahtera. Momentum ini patut diapresiasi
dan didukung terus agar semangat dan ruh sumpah pemuda betul-
betul ada dan jelas kontribusinya, baik dalam sektor politik,
budaya, seni, teknoilogi, bahkan pendidikan dan dakwah Islamnya.
Fiolosofi pemuda adalah jenjang manusia yang mempunyai
potensi bahkan mempunyai sejuta progresifitasnya.
Tapi kenyataan dan harapan kadang bertemu sangat jauh,
bahkan terkadang tidak ketemu sama sekali, asal tidak saling
berkelahi.2 Baru kemarin (2013) tokoh pemuda dan sekaligus
tokoh reformasi Indonesia banyak yang ditahan KPK dengan
tuduhan korupsi. Baru kemarin juga (Masih di tahun yang sama)
KPK menangkap para pemuda yang kebetulan menjabat dalam
jabatan yang cukup strategis dalam wilayah kebijaksanaanya.
Sungguh sangat ironis, pada sisi yang lain kita cukup bangga
dengan adanya anak-anak muda Indonesia yang sudah mampu
berprestasi di tingkat dunia, baik pada sektor pendidikan, sains,
olah raga, dan termasuk seni kebudayaan.
Indonesia adalah Negara besar dengan penduduk lebih
dari 250 juta jiwa3, pulau tersebar mulai Sabang sampai Merauke,

bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
2
Seperti tokoh pemuda Andi malarangeng, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap mantan Menpora
Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi proyek hambalang.
Ini merupakan pemeriksaan kedua Andi dalam sepekan, setelah Jumat 11
Oktober 2013 pekan lalu dia diperiksa penyidik KPK sebagai tersangka.dan
akhirnya ditahan oleh KPK.
3
Jumlah penduduk menurut Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan kalau tahun ini penduduk
Indonesia diperkirakan akan mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan
penduduk 1,49% per tahun. Liputan6.com.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 415


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

kebudayaan yang beragam, termasuk juga agama yang plural.


Dengan banyaknya kebaragaman ini, tentu pada satu sisi menjadi
kendala tapi pada sisi yang lain justru menjadi peluang untuk
bergerak maju yang lebih kuat.
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, kualitas
beragama penduduknya sangat menjiwai perjalanan panjang
bangsa Indonesia. Islam sebagai idiologi sangat mendasar
dalam membimbing perjalanan seseorang yang hidup di Negara
Indonesia, nilai-nilai Islam yang ada dalam pancasila dan yang
ada dalam nafas undang-undang dasar Negara Indonesia adalah
bukti adanya spirit Islam dalam Negara dan bangsa.
Islam adalah agama terbesar pemeluknya di Indonesia,
Islam menjadi pandangan hidup bagi setiap penduduk Indonesia,
dan juga dengan Islam Indonesia menata dan membangun bangsa
dan Negara. Islam semenjak masuk ke negeri ini, telah diterima
dengan damai, Islam mampu berakulturasi dengan budaya pribumi
saat itu, Islam masuk tanpa kekerasan, bahkan kala itu Islam
mampu memasuki dari semua kasta kehidupan, mulai rakyat
jelata sampai pejabat dan para raja di waktu itu.
Islam adalah agama Rahmatan lilálamin, bukan saja
menjanjikan kebahagiaan di dunia saja, namun juga menjanjikan
kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Islam dengan tauhid
) (ketuhanan yang maha esa) mampu mengukir dan sekaligus
penggerak manusia yang progresif dengan akhlakul karimah yang
ditampilkan dalam kehidupan, sehingga manusia dalam kehidupan
seraya tangguh dalam teologi, anggun dalam perbuatan dan kaya
akan amal dan perbuatan.
Manusia yang berkualitas dengan dasar teologi yang kuat
inilah yang dalam konsep kepribadian pembangunan karakter
manusia sering disebuat sebagai kepribadian muslim. Cukup
banyak pembangunan karakter manusia Indonesia, baik dari sisi

416 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

fiqh, pemikiran Islam, muammalah, dan mungkin juga filsafat


Islam, namun integralistik, dan multi disipliner akan lebih baik
untuk membangun manusia yang berkepribadian muslim.
Secara historis Islam telah diterjemahkan (keberagamaan)
berdasarkan fase dan era dan tempat di masing-masing waktu
sejarah, seperti Islam masa khulafaurrosidin, Islam masa
Abbasiyah, Islam wilayah arab, Islam Asia, termasuk juga
Islam Indonesia.Perjalanan panjang Islam, tentu membawa
konsekwensi-konsekwensi logis dari masing-masing era, inilah
yang kemudian menampilkan wajah Islam dalam bentuk budaya
dan gaya atau corak pemikiran yang berbeda-beda.
Abad ke XI M adalah era kejatuhan peradaban Islam
dimana-mana, yang sebelumnya kebudayaan Islam telah bercokol
di puncak keemasan (The Golden Age). Pada masa itu muncul
corak dan gerakan keras dari pihak luar yaitu serangan pasukan
Salib yang mengumandangkan perang suci melawan umat Islam,
ini berlangsung kurang lebih dua abad lamanya. Akibat dari
kondisi ini kehancuran peradaban Islam ada dimana-mana dan
hampir di semua sektor, termasuk juga dalam literatur Islam
sebagai hasil pergumulan umat Islam atas respon terhadap wahyu
kala itu, sehingga hampir-hampir sendi-sendi peradabanpun
hampir hilang.
Akibat dari itu, peradaban Islam porak-poranda hancur
berkeping-keping. Islam mengalami kemunduran, stagnan dan
masa kegelapan. Sementara itu di Eropa (Barat) mengalami
kebangkitan, kemajuan yang ditandai dengan adanya revolusi
industri dan Renaisan. Munculnya kebangkitan Eropa dan
melemahnya peradaban Islam dalam kancah dunia melahirkan
kepahitan yang harus ditelan, berkat kegagagalan, kejumudaan,
dan kegelapan pemikiran yang cukup panjang. Mesir umpanya,
yang dulu sebagai pusat peradaban Islam saat itu hancur dan

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 417


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

ditaklukkan Barat, Turki mengalami kekalahan, semua Negara


Asia termasuk Indonesia dan Afrika jadi bulan-bulanan bangsa-
bangsa Eropa.
Untuk Mesir untung lahir pahlawan seperti Napoleon
Bonaparte tahun 1798 M yang menyadarkan rakyatnya atas
kemunduran dan kelemahannya, sehingga Mesir lambat laun
mulai bangkit. Sir Sayyid Ahmad Khan di India (Pakistan) yang
membukakan pintu ilmu bagi umat Islam India sehingga mampu
bangkit dari penjajahan selama ini. Mohammad Hatta dan tokoh-
tokoh pembaharu lainnya dengan kesabaran dan keteguhan
teologi, sedikit demi sedikit mampu menyadarkan sekaligus
membuat gerakan Islam, sehingga Islam Indonesia tampil dengan
Islam kemodernan.
Negara-negara Asia dan Afrika mulai abad ke 19 sadar
dan cepat bangun dari keterpurukan selama ini dan membangun
Islam dari bawah dengan penuh kemerdekaan.4 Satu dua Negara
akhirnya merdeka dari tangan penjajah Eropa sampai akhir abah
ke 20. termasuk Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945.
Pembaharuan yang dilakukan para tokoh untuk
membangkitkan umat Islam dilakukan dari semua sektor termasuk
juga teknologi pemikiran intelektal muslim, lihatlah Mohammad
) Abduh di Mesir yang ingin memasukan ilmu empiris dalam ilmu
Islam yang sebelumnya didominasi pemikiran deduktif daripada
berfikir induktif, dari berfikir tektualis menjadi kontektual,
dari dogmatis normativitas menjadi historisitas. Arkoen dengan
teknologi wacananya Nalar Islami dan nalar Modernnya,
4
Konfrensi Asia Afrika di Bandung adalah bukti kesadaran bersama
atas pemindasan dan eksploitasi Negara-negara Barat atas wilayah Asia dan
Afrika, sehingga momentum inipun dari sudut pandang pemikiran Islam
disebut juga sebagai awal kebangkitan Islam dari kolonialisme barat dan
program marginalisasi bagi kaum pribumi.

418 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Abdullahi Ahmed An-Naím dengan Dekontruksi Syariáhnya.


Termasuk Hasan Hanafi dengan Islam kirinya dan Teologi
Antroposentrisnya.
Melanjutnya beberapa nalar pemikiran tentang teologi
yang disampaikan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa Islam bisa dibangkitkan dari pemahaman fundamentalnya
terutama teologi. Menurut Hasan Hanfi, selama ini teologi umat
Islam hanya untuk Tuhan (Allah) dengan berbagai sifat dan
asmaul husna-Nya, padahal Tuhan tanpa harus diberi sifat, asma
dan embel-embel apapun tetap suci, Tuhan tidak butuh disifati,
bahkan Tuhan tidak butuh manusia, namun manusialah yang butuh
Tuhan. Inilah yang menyebabkan pemikian Islam sangat abstrak
dan non dialektis serta bersifat teosentris sehingga tampilan
Islam menjadi sangat melangit dan tidak membumi. Hasilnya
umat Islam sangat sulit untuk maju. Bahkan dalam perjalanan
sejarah mungkin kita hanya sibuk berfikir metodologi atau alat
saja, sehingga tidak sampai-sampai pada tujuan dan kemakmuran
umatnya. Teologi hanya cukup di hafal dan di sebutkan, tidak
pernah menjadi foundamen berfikir dan bertindak, sehingga
manusia cukup terpuaskan hanya pada dataran hafalan saja.
Pada dataran lain, Islam masih banyak ternostalgia dengan
kabar kebahagiaan yang sengaja melemahkan potensi rasional
manusia, Islam ada di mana-mana, Islam sebagai jawaban semua
persoalan umat, Islam sudah kumplit, dan Islam sudah tahu dari
awal, bahkan Islam tidak perlu lagi dipikirkan dan dikaji semua
sudah ada, pintu ijtihad sudah tertutup, dan kata-kata metofor
yang lain, sehingga tampilan empirisnya menjadi serba pasrah,
pasif, regresif, mundur, bahagia dalam angan-angan, dan mungkin
jumud. Kondisi ini cukup membingungkan umat Islam dalam
menghadapi budaya luar yang kala itu Eropa yang sudah mampu
bangkit, sehingga peradaban Islam yang sudah cukup lama

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 419


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

dibangun, hancur dalam hitungan tahun, bahkan kualitas manusia


sebagai pribadi yang muslim sangat jauh dari membumi, bahkan
cenderung melangit.
Teologi Islam (ilm al-kalâm asy`ari), secara teoritis,
menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’
maupun filosofis.5 Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan
untuk mempertahankan doktrin, bahkan kemunculannya
lebih banyak sebagai jawaban kesamaan atas kasus atau
permasalahan yang dihadapi umat non Islam, sehingga Islam
tinggal menyesuaikan, Jawaban atas hal ini demi memelihara
kemurniannya, dan mungkin juga menangkis atas tuduhan
tersebut, atas hal ini menjadikan manusia tinggalah menerima
dan melaksanakannya, bukan dialektika konsep tentang watak
sosial dan sejarah yang bisa dijadikan rancang bangun pemikiran
dan kebudayaan sosial, disamping itu ilmu kalam juga sering
disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang
dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sedemikian, hingga
pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang
manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status
quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah

5
Apa yang dimaksud ilmiah dalam pandangan Hanafi disini adalah
jika teologi tidak asing dari dirinya sendiri. Artinya, teologi tidak hanya berupa
)
ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan
dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Lihat Hanafi, Agama,
Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), 408-9. Adapun statementnya
bahwa teologi tidak bisa dibuktikan secara filosofis, sama sebagaimana yang
pernah disampaikan al-Farabi, adalah bahwa metodologi teologi tidak bisa
mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang
Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan
tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga
teologi hanya cocok untuk komunitas non-filosofis, bukan kaum filosofis.
Lihat Osman Bakar, Herarkhi Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 149. Statement
ini juga pernah disampaikan oleh Al-Ghazali, dalam Al-Munqid Min al-Dlalâl,
( Beirut, dar al-Fikr, tt), 36.

420 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

kemandirian dan kesadaran.6


Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi
‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi
tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Teologi tidak patut
untuk diperbincangkan atau diperdebatkan, teologi hanya bisa
sebagai alat pemaham manusia yang sifatnya sangat sacral, dan
suci. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran
murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul
keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan
praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap
moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’. Fenomena sinkritis
ini tampak jelas, menurut Hanafi,7 dengan adanya ‘faham’
keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional
dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik),
konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme
dan sosialisme (dalam ekonomi).
Di sinilah keberadaan teologi menjadi menarik untuk
dikaji ulang dan dipikirkan ulang, sehingga teologi tidak lagi
bicara bahasa langit yang hanya milik Tuhan, tapi teologi
lebih bersifat antroposentris dan humanis dengan landasan dan
prinsip-prinsip sifat-sifat yang ada pada Tuhan selama ini. Kini
saatnya untuk meretingking kembali atas makna dan maksud dari
sifat-sifat tersebut dalam kehidupan manusia (antroposentris),
sehingga kita bisa masuk menjadi manusia dengan akhlak
kepribadian yang tangguh dengan landasan teologi menurut
paradigma berfikir Tokoh Islam sebesar Hasan Hanafi.

AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogya, Ittaqa Press, 1998),


6

44-5. Atas dasar inilah kemudian Hanafi menuduh teologi Asyari sebagai salah
satu penyebab kemunduran Islam, disamping sufisme.
7
Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I, (Kairo; Maktabah Matbuli,
1991), Historis/Rekonstruksi Teologi

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 421


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Riwayat Hidup
Hassan Hanafi adalah pemikir Arab dalam bidang teologi.
Sebelum menulis buku teologi antroposentris, beliau juga pernah
menulis buku tentang teologi dengan judul Teologi Islam. Buku
pertama ini Beliau masih mengartikan teologi sebagaimana
pemikir Islam lakukan yaitu teologi teosentris, namun pada buku
teologi kedua ini Beliau justru bertolak 180 derajat. Dulu teologi
bermuara pada Tuhan, namun sekarang teologi bermuara pada
manusia, itulah sebabnya disebuat teologi antroposentris.
Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935,8 dari
keluarga musisi. Layaknya anak-anak di Mesir Hassan Hanafi
belajar dan menimba ilmu mulai dasar sampai ke jenjang
berikutnya, Pendidikannya diawali di pendidikan dasar di
wilayahnya, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah
‘Khalil Agha’, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini,
Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul
Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan
dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga
mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial
dan keislaman.
Kebiasaan berfikir dalam Islam, sudah terlihat sejak kecil,
pemikirannya yang cerdas, telah menghantarkan beliau lebih
)
banyak mengkaji ilmu-ilmu Islam termasuk teologi. Pengaruh
kehidupan politik, dan sosial saat itu berimbas juga pada cara
pandang Hanafi dalam berfikir Islam. Tahun 1952 itu juga,
setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen
Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang
gelar sarjana muda, Berkat dukungan keluarga dan budaya kala
itu Hanafi terus melanjutkan pendidikannya ke luar Negeri yang

John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic


8

World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm.98.

422 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

didambakannya sejak kecil, Universitas Sorbone, Prancis adalah


pilihannya, mengigat Prancis saat itu sangat maju dalam berfikir.
9
Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master
dan Doktornya sekaligus dengan tesis ‘Les Methodes d’Exegeses:
Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu
Ushul Fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de la Phenomenologie,
L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application
au Phenomene Religiux’.10
Hassan Hanafi tidak membutuhkan waktu lama untuk
merealisasikan ide-idenya dalam kehiduan nyata, hanya satu tahun
Hassan Hanafi dari pendidikan ke karier. Karier akademiknya
dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian
Lektor Kepala (1973), Profesor Filsafat (1980) pada jurusan
Filsafat Universitas Kairo, dan diserahi jabatan sebagai Ketua
Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Beliau orang cerdas,
ide-ide beliau sangat brilian, sehingga beliau banyak diminta
untuk memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi baik di dalam
Mesir sendiri maupun di luar Negeri, Hanafi aktif memberi kuliah
dibeberapa negara, seperti di Perancis (1969) padahal beliau
pernah mengenyam ilmu di negeri ini, Belgia (1970), Temple
University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait
(1979) dan Universitas Fez Maroko (1982-1984).11 Selanjutnya,

Hanafi, Al-Dîn wa al-Tsaurah fî Misra 1952-1981, VII, (Mesir;


9

Maktabah Madbuli), 332. Selama di Perancis ini, Hanafi mendalami berbagai


disiplin ilmu. Ia belajar metode berfikir, pembaharua dan sejarah filsafat dari
Jean Gitton, belajar fenomenologi dari Husserl, belajar analisa kesadaran pada
Paul Ricouer dan pada bidnag pembaharuan pada Massignon yang sekaligus
bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasnya.
10
Lutfi Syaukani, ‘Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik
Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an, Vol. V, tahun 1994, 121.
11
John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia, 98. Keberangkatannya
ke Amerika sebagai dosen tamu ini, sebenarnya, dikarenakan perselsihannya
dengan Anwar Sadat yang memaksanya meninggalkan Mesir. Lihat pula
Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, 16.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 423


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

diangkat sebagai guru besar tamu pada Universitas Tokyo (1984-


1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasehat
program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).
Historis/Rekonstruksi Teologi, Di samping dunia
akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan
kemasyarakatan. Aktif sebagai sekretaris umum Persatuan
Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika,
anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil
presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya
tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai
dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah
Al-Yasar al-Islamî. Pemikirannya yang terkenal dalam jurnal
ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu,
Anwar Sadat, sehingga menyeretnya dalam penjara.12

Kondisi Sosial
Mesir secara sosial merupakan negara yang tidak pernah
berhenti dalam percaturan peradaban dunia, Mesir mulai awal
adanya ilmu pengetahuan, Mesir tetap menjadi perhatian para
peikir dunia, politik dan letak geografisnya yang strategis mampu
menjadi daya tarik tersendiri dalam perebutan kekuasaan, Mesir
selalu meninggalkan peradaban yang mendunia, sebut saja
seperti Raja Firáun, Piramid, bahkan Terusan Sueznya. Mungkin
)
atas dasar itu pula mesir sampai sekarang tetap menarik untuk
berubah secara dinamis.
Kedinamisan masyarakat Mesir itu jugalah yang

12
Ridwan,Ibid. Lebih lengkap tentang gagasan dan apa yang dimaksud
dengan ‘Islam Kiri’ oleh Hanafi, lihat tulisan Hanafi Al-Yasar al-Islamî dalam
Jurnal Islamika edisi 1 Juli- September 1993, atau bisa juga dilihat pada
bagian apendik dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan
Postmodernisme Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogya, LKiS,
1994).

424 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

melatarbelakangi lahirnya tokoh-tokoh besar Mesir yang


sampai tingkat dunia, Hanafi lahir dan dibesarkan juga pada
suasana sosio-historis masyarakat Mesir yang plural, dengan
berbagai kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan
dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua
kelompok ekstrem yang saling berebut pengaruh dan simpatisan
dari masyarakat, mengingat masyarakat Mesir adalah masyarakat
majemuk yang sedang mencari bentuk dan pengaruh. Selain itu
masyarakat Mesir adalah masyarakat dengan tingkat keterbukaan
yang tinggi, dan ini merupakan modal dalam budaya dan peradaban
dunia nantinya.
Dua kelompok ekstrim itu, pada sayap kiri ada partai
komunis yang keberadaannya samakin kuat berkat pengaruh
Sovyet diseluruh dunia, dan Mesir adalah salah satu yang
dijadikan obyek keterpengaruhannya saat itu. Kemenangan
Sovyet selama perang menjadikan Sovyet membutuhkan badan
perwakilan sehingga tahun1942 dikukuhkannya perwakilan
Sovyet di Kairo (1942), Atas prakarsa inilah Sovyet dengan partai
komunisnya merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum
muda untuk belajar komunisme. Sementara di sayap kanan, ada
Ikhwanul Muslimin, yang didirikan Hassan Al-Banna tahun 1929
di Ismailia yang pro-Islam dan anti Barat.13 Kelompok ini sangat
berseberangan dengan kelompok komunis, Ikhwanul Muslimin
memiliki sejumlah besar pengikut, yang mayoritas dari orang-
orang Islam, termasuk Hanafi sendiri pada awalnya. Pengaruh
kelompok ikhwanul muslimin pada masyarakat Mesir saat itu
menjadi penting dan harga mati untuk menang dalam perpolitikan,

George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj.


13

Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992), 298. Istilah ‘sayap kanan’ dan
‘sayap kiri’ ini semata hanya untuk mepermudah pemahaman. Golongan
Ikhwan Al-Muslimin menolak dirinya disebut sebagai ‘sayap kanan’ dan ini
disadari oleh Hanafi sendiri. Lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, 88-89.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 425


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Hebatnya kelompok ini justru menjadi ikon Islam, bukan hanya di


Mesir dan Arab sekitarnya tapi sudah berpengaruh di Asia bahkan
Eropa, termasuk Indonesia saat itu dan mempunyai jaringan yang
kuat diseluruh dunia.
Pada percaturan politik di Mesir, akhirnya kelompok
Ikhwanul musliminlah yang menang dan mereka duduk dalam
pemerintahan. Selain bekerja memajukan Mesir, kelompok ini
ternyata dengan nama Pemerintah Mesir sendiri juga ambil bagian
dalam pergolakan selanjutnya, dengan melakukan pembersihan
terhadap kaum komunis (1946), bahkan kemudian melakukan
pembunuhan terhadap al- Banna (1949) setelah setahun
sebelumnya melarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan ini terus
berlanjut setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh
Ahmad Husain, tokoh partai sosialis. Beberapa bulan kemudian,
pada tahun yang sama, sekelompok perwira muda yang dikenal
dengan Free Officers yang dikomandoi Muhammad Najib14
mengambil kesempatan Historis/Rekonstruksi Teologi dengan
melakukan kudeta terhadap raja Faruq, saat situasi tidak dapat
dikendalikan.
Saat pengambil alihan kekuasaan ini, Najib sebenarnya
menggandeng Ikhwan al-Muslimin yang mempunyai basis kuat
dikalangan masyarakat bawah. Akan tetapi, setelah ia menjadi
)
presiden dengan Gamal Abdul Naser sebagai Perdana Menteri,
Najib menendang Ikhwanul Muslimin karena menganggap
bahwa kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsungan
kekuasaannya.
Dari sisi pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran yang

14
The Free Officers adalah kelompok rahasia yang dibentuk tahun
1947, yang terdiri atas sebelas perwira dipimpin Mayor Jenderal Muhlammad
Najîb, yang saat itu menjadi kepala staf 3 angkatan bersenjata Mesir. George
Lenczowski,Ibid, 318

426 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung


pada Islam (the Islamic trend) yang diwakili oleh al- Banna dengan
Ikhwanul Muslimin-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada
pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal
trend) yang diwakili oleh antara lain, Luthfi al-Sayyid dan para
emigran Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini
bukan Islam tetapi peradaban Barat dengan prestasi-prestasinya.
Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan Barat
(the syntetic trend) yang diwakili oleh `Ali `Abdul Raziq (1966).
Atas dasar inilah mungkin menjadi motivasi gerakan
sekarang ini di Mesir pasca diturunkannya prediden Mesir
Husni Mubarrok, dan sampai sekarangpun diantara kelompok-
kelompok yang ingin berkecimpung di pemerintahan Mesir
terilhami dari kelompok-kelompok pemikiran di atas tadi. Oleh
karena itu isu Islam dan Barat serta pemaduan antara keduanya
juga masih tetap sebagai isu sentralnya.
Dalam menghadapi tantangan modernitas dan leberalisme
politik, kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif
menganggap bahwa politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir,
bid’ah. Pengadopsian sistem politik Barat oleh pemerintah Mesir
berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya,
kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan Barat
menganggap bahwa jika Mesir ingin maju, ia harus menerapkan
sistem Barat. Mereka menganggap bahwa ulama adalah kendala
modernisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam
sosial-politik dan ekonomi. Pemikiran dan gerakan kelompok
kedua ini banyak mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga
dalam hal tertentu mereka berhasil mencanangkan program-
programnya. Dukungan ini dikarenakan adanya keinginan
pemerintah untuk memperluas perannya dalam berbagai sektor
kehidupan, disamping semakin dominannya pengaruh Barat pada

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 427


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Mesir.15
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-
gagasan kelompok pemikiran diatas, meski pada awal karier
intelektualnya pernah berfihak pada kelompok pertama. Tetapi,
pemikirannya mengalami proses dengan banyak dipengaruhi
oleh kelompok kedua dan ketiga, terutama setelah belajar di
Perancis. Walhasil, bangunan pemikirannya akhir-akhir dalam
kehidupannya terbangun lewat situasi gerak pemikiran di Mesir
dan di Perancis. Termasuk dalam hal ini pemikiran tentang
teologi antrposentrisnya, padahal beliau pula yang menulis
teologi tradisional yang bercorak teosentris.

Teologi Antroposentris
Sosio-Historis kehidupan Hasan Hanafi dengan berbagai
lawatan keilmuannya, juga kondisi empiris masyarakat Islam di
dunia, menjadikan pemikiran Beliau semakin terbuka dan banyak
melahirkan ide-ide besarnya. Sebagaimana disiplin keilmuan
yang beliau geluti selama ini dalam bidang filsafat, Hanafi ingin
merubah umat Islam justru dari posisi yang sangat fundamental
yaitu teologi Islam. Beliau sadar dengan berubahnya cara pandang
dan paradigma berfikir umat Islam, akan melahirkan akhlak
kepribadian manusia yang berkebudayaan yang positif sehingga
dari dasar inilah umat Islam bisa merubah peradaban dunia.
)
Berlatar belakang pada pemikiran sebagai mana tersebut
di atas, Hanafi mencoba untuk memberi solusi alternatif yang
sifatnya fundamental, yaitu membangun akhlak kepribadian
atau karakter manusia yang tangguh (Kepribadian muslim)
dengan teologi Islam yang membumi dengan nama teologi
antroposentris.

Syahrin Harahap, Alqur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis Terhadap


15

Pemikiran Taha Husain, (Yogya, Tiara Wacana, 1994), 26.

428 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Salah satu ”asbabul wurudnya” secara sosio historis, Umat


Islam yang belum beranjak dari cara pandang Islam atas realita
kehidupan di Negara-negara Timur tengah dan negara-negara di
Asia. Islam terlalu pasif, Islam terlalu lambat, dan Islam terlalu
menunggu, sehingga agar tidak terjadi hal seperti itu perlu ada
motor penggerak umat Islam itu sendiri. Bidang yang cukup vital
dan strategis dalam memotinasi umat Islam adalah dari dimensi
teologi.
Selain itu juga, karena menganggap bahwa teologi Islam
yang ada selama ini tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, lebih
bersifat teosentris, sehingga Umat Islam bagai hidup dalam angan-
angan yang kosong, oleh karena itu Hanafi mengajukan konsep
baru tentang teologi Islam yang tidak lagi bersifat teosentris tapi
bercorak antroposentris. Tujuannya untuk menjadikan teologi
tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan
keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan
motivasi tindakan manusia.
Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan
dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi
tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari
Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual,
dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas.
Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama,
kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di
tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua,
pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi
sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan
dalam sejarah.16

16
Ridwan,Reformasi……, 50.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 429


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Lebih lanjut, untuk mengatasi kekurangan teologi klasik


yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi
menawarkan dua teori.17 Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan
istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang
dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi
doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-
istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada
yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang
sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-rasional seperti
iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada
pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat. Kedua, analisa
realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui
latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu
dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau
para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk
menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer
terutama dalam membentuk manusia yang berakhlak kepribadian
yang tangguh dan berkarakter.
Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi
paling tidak menggunakan tiga metode berfikir; dialektika,
fenomenologi dan hermeunetik.18 dari ketiga metode berfikir
inilah yang menjadi landasan pijakan pemikiran teologi
antroposentrisnya. Ketiga metode berfikir itu adalah:
)
Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan
atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat
konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yang
dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan

17
Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan……, 408-409.
18
Menurut Boullata, pemikiran Hanafi didasarkan tiga metodologi;
analisan sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Maxsian. Boullata,
‘Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika, edisi, I,
(Juni-Sept, 1993), 21.

430 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah


perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha
untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang
dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana
yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx,
pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan
normal ia harus dijalankan diatas kakinya.19 Artinya, kalam
klasik yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persoalan
‘material’ agar bisa berjalan normal.
Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau
mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal
jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan
dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang dilakukan
semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan
realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya- miskin, atasan-
bawahan dan seterusnya yang kebetulan sama dengan konsep
Hegel maupun Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik secara tajam
metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada
kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme.20
Disini mungkin ia terilhami oleh inspirator revolosi sosial
Iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dialektikanya Syariati
menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan
(tesa) dan setan (anti-tesa).
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang
berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas.
Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859- 1938)
sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui -- minimal--

Lihat Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, (Jakarta, Gramedia, 1996),


19

235; Berten, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogya, Kanisius, 1983), 80.


20
Lihat Hanafi, Origin of Modern Conservation and Islamic
Fundamentalism, (Amsterdam, University of Amsterdam, 1979), 1-2,
sebagaimana dikutip oleh Ridwan dalam Reformasi Intelektual..., 70.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 431


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan


reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan
metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap
fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan
persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari
objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi eidetis, peneliti masuk
lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi
menyaring intisarinya.21
Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa,
memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik
ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat,
yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolusi.22 ‘Sebagai
bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain
kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa
Islam di Mesir’, katanya.23 Dengan metode ini, Hanafi ingin agar
realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah
Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari
Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga
dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.24
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau
simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke
)
masa sekarang, yang aktivitas penafsirannya itu sendiri merupakan
proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan,

21 Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta, Pembangunan, 1984), 121-


124; Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung, Alumni,
1980), 52. Lihat juga Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta, Ghalia,
1984), 113-7
22
Hanafi, Muqadimah fi ilm al-Istighrâb, (Kairo, Dar al-Faniyah,
1981), 84-6
23
Ridwan, Reformasi Intelektual..., 22 yang dikutip dari Hanafi, Dirasah
al-Islamiyah, (Kairo, al-Maktabah al-Misriyah, 1981), 415.
24
Hanafi,Muqaddimah, 63-4.

432 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

yakni teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada


audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan
atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari
yang pada mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsir sendiri.25
Hanafi menggunakan metode untuk hermaunetik
melandingkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari
wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran
Tuhan sampai manusia.26 Sebab, apa yang dimaksud dengan
hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi
juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat
dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial. Menurut AH.
Ridwan,27 hermeneutik Hanafi dipengaruhi metode hermeneutik
Bultman. Akan tetapi, penulis tidak melihat signifikansi yang
jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi. Kelihatannya
Hanafi menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang
bersifat triadic kemudian mengisinya dengan nuansa Islam
sehingga menjadi khas Hanafian.

Akhlak Kepribadian Teologi Hasan Hanafi.


Akhlak kepribadian adalah puncak dari pergulatan antara
keyakinan dan pemikiran yang diejawantahkan dalam bentuk
aplikasi dalam kehidupan, baik dalam bentuk ide dan gagasan,
pekataan, atau pemkiran dan tindakan manusia yang ini semua
adalah bentuk ekpresi atau tanda dari gerakan “dalam” yang telah
terkonsepkan dalam hal ini adalah teologi.
Dari dua tawaran konsep diatas, ditambah metode
pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi

Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, (Yogya, Kanisius,


25

1993), 31.
26
Hanafi, Dialog Agama dan Revolosi, (Jakarta, Pustaka Firdaus,
1991), 1.
27
Ridwan, Reformasi Intelektual.., 170

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 433


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

teologi dengan cara menafsir ulang tema-tema teologi klasik


secara metaforis-analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga pemikiran
penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam; zat
Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan soal tauhid.
Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan
sifat- sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian
Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan
tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan
tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-
Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana
yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih
mengarah pada pembentukan akhlak kepribadian manusia yang
baik, manusia ideal, atau insan kamil.28
Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi
pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri
(cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri
(self feeling). Penyebutan Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis
dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito
yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya.
Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama
tentang Tuhan (aushâf) adalah wujud (keberadaan). Adapun
deskrip-Nya tentang sifat- sifat-Nya (aushâf) berarti ajaran
)
tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran
yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai

28
Penafsiran Hanafi bahwa deskripsi dzat dan sifat Tuhan lebih
mengarah pada pembentukan manusia ideal, bukan tentang transendensi Tuhan,
jelas sangat dipengaruhi pemikiran Muktazilah. Menurut kum Muktazailah,
sifata-sifat Tuhan sebagaimana yang dideskripsikan dalam Asma Al-Husna
sebenarnya adalah palajaran bagaimana manusia harus bertindak dan bersikap.
Artinya, itu adalah sifat-sifat yang harus dipunyai dan dilakukan oleh seorang
muslim. Jadi bukan penjelasan tentang eksistensi Tuhan, apalagi tentang
ke-Maha Kuasaan Tuhan. Lihat, Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam,
(Istambul, Hakekat Kitabevi, 1985), 21-26.

434 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu


pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya
adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka
sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.29
Disini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term
keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar
material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi
melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan
pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap
yang lebih berorentasi pada realitas empirik.30 Lebih jelas tentang
penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang
enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm
binafsihdan wahdaniyah, menafsirkan sebagai berikut.
Pertama,wujûd. Menurut Hanafi, wujud disini tidak
menjelaskan wujud Tuhan, karena --sekali lagi-- Tuhan tidak
memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud.
Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, tuntutan
pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya.
Manusia harus ”menjadi dirinya sendiri” bukankah manusia telah
dibekali dengan potensi? karena dengan potensi ini, yakinlah
manusia akan menjadi dan mampu bereksistensi dalam kehidupan,
manusia akan menjelma dan berdiri sendiri walaupun dalam
proses penjelmaan ini butuh bantuan orang lain, namun dalam

Konsep ini juga tidak berbeda dengan apa yang dimaksud oleh kaum
29

sufi dengan istilah insan kamil. Menurut Al-Jilli, insan kamil adalah orang
yang mampu merefleksikan sifat-sifat keagungan Tuhan, sehingga ia menjadi
manifestasi Tuhan di bumi. Lihat, Ibrahim Al-Jilli,Al- Insan Al-Kamil, II,
(Bairut, Dar Al-Fikr, tt), 71-77. Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-aurah, II, p. 600
dan seterusnya
30
Menurut Hanafi, Tuhan dalam Islam tidak sekedar Tuhan langit tetapi
juga Tuhan bumi (rabb al-samawat wa al-ardl), sehingga berjuang membela
dan mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis dengan membela dan
mempertahankan kekuasaan Tuhan.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 435


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

hal ini, penjelmaan tidak seketika datang lansung, mengingat


manusia berkembang dan bertahap, tapi yakinlah bahwa potensi
manusia akan menjadi dan berbeda dengan yang lainnya. Batas
akhir dari bereksistensinya manusia adalah kemandulan, Inilah
yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan
nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan
eksistensi diri.31
Kedua,qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan
yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia didalam
sejarah. Sifat akhlak kepribadian manusia yang kedua ini akan
muncul tatkala sifat pertama wujud (bereksistensi) muncul. Sifat
kedua ini sifatnya adalah sosio-historis keagamaan, manuisa
tidak bisa berdiri dengan kekuatan nafsu yang menguasai atas
segalanya, ingat manusia hidup sebagai rentetan manusia pada
masa sebelumnya, sehingga benar dan lurusnya kehidupan
manusia sekarang akan ditentukan atas progresifitas dari manusia
sebelumnya, mungkin inilah pesan yang dimaksud dalam ”Ulama
adalah pewaris Nabi”. Setelah manusia bereksistensi dalam
kehidupan, maka baru selanjutnya manusia harus berQidam,
sehingga Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan
kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa
depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid
dan kesalahan.32
)
Ketiga, baqa berarti kekal, Sifat yang diharapkan
muncul dari manusia adalah penjelmaan setelah sifat wujud
dan qidam bersemayam dalam diri manusia, alangkah indahnya

31
Hanafi,Ibid, 112-114. Ini tidak berbeda dengan apa yang dikatakan
Iqbal; apa yang dinamakan hidup adanya kemauan untuk terus berusaha dan
menunjukkan dirinya ada sedang kematian adalah ketidakmaun untuk maju
dan berusaha. Lihat Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, (Jakarta, Panjimas,
1987), 8.
32
Hanafi,Ibid, 130-132.

436 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

bila memunculkan sifat keteguhan, kebenaran, kelurusan, dan


kebijaksanaan yang dijadikan sandaran jelas benarnya, jelas
kelurusannya dan jelas kebenarannya, ini tentu akan menjadikan
manusia dalam kualitas hidup yang ”ighdinas syirotol mustaqim”.
Sifat baqa ini adalah sebagai bentuk pengalaman kemanusiaan
yang muncul dari lawan sifat fana. Berarti tuntutan pada manusia
untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, karena apa
yang dilakukan benar-benar sebagai bentuk keteguhan dan jalan
yang lurus yang jelas kebenarannya, yang itu bisa dilakukan
dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif;
dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-
tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi.33 Jelasnya,
baqa adalah ajaran pada manusia untuk mempunyai sifat menjaga
senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar
manusia mampu berbudaya dan mewariskan karya-karya besar
yang bersifat monumental.
Keempat, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan
yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya memberi
tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya
secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid
pada pemikiran dan budaya orang lain. Manusia yang berakhlak
kemandirian sebenarnya telah dibekali oleh Allah SWT dengan
sifat yang tidak sama satu dengan yang lainnya, ini tentu akan
melahirkan sifat pembeda yang bisa dijadikan unggulan sekaligus
koreksi dari yang lain. Beda bukan berarti jelak, tapi beda adalah
kekuatan yang menjadi pengisi kelemahan dari sifat manusia
yang lain. Keperbedaan bukan halangan tapi keperbedaan
adalah keindahan yang melahirkan keanekaragaman. Sedangkan
sifat Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan
gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh

33
Ibid,137- 142

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 437


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan


segala potensi dan kemampuan diri.34 Budaya yang dihasilkan
manusia, sekali lagi bukan barang yang seketika itu jadi, tapi
sebuah perjalanan panjang dengan banyak pertimbangan atas
potensi manusia dan realitas alam yang digelar, sehingga apa
yang telah diciptakan, dikarsakan dan dirasakan adalah bentuk
akhir dari penjelmaan diri manusia atas proses panjang itu
tadi, hasilnya adalah kemandirian yang betul-betul kokoh dan
membanggakan serta bermanfaat, bukan hasil pengadopsian
dan penjiplakan dari hasil karya orang lain yang belum tentu
sama. Inilah, mengapa dicipkakan manusia dengan bentuk
yang berbeda, ras yang berbeda dan bangsa yang berbeda, ini
semua menunjukkan bahwa manusia adalah sudah dikondisikan
sebagaimana keseimbangannya, dan yakinlah bahwa manusia di
hidupkan sudah sesuai dengan kemampuanya.
Kelima,wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada
keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang
diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih
mengarah eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniah adalah
pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan
tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air,
kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.35 Sifat ke lima
ini sebagai bentuk kemanusiaan manusia yang tidak bisa hidup
)
sendirian secara individu person, tapi manusia harus hidup
berkelompok dengan kemampuan dan sifat dan potensi yang
mempunyai kesamaan walaupun tetap berbeda. Artinya adalah

34
Ibid, 143-303. Pemikiran Hanafî ini sangat mungkin dipengaruhi oleh
slogan-slogan revolosi Iran yang menyatakan, ‘la syarqiyah wala gharbiyah’
(tidak ke Barat dan tidak ke Timur), mengingat bahwa pemikiran revolosioner
Hanafî, sebagaimana diakui, salah satunya diilhami dari keberhasilan revolosi
Iran pimpinan Imam Khumaini. Lihat Kazuo Shimogaki, Islam Islam, 92.
35
Hanafi,Ibid, 309-311.

438 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

manusia pada dataran tertentu perlu untuk membentuk kekuatan


yang besar, kekuatan yang bermaslahah dan kemampuan hidup
untuk kelangsungan bersama, bukan untuk bermusuhan, bukan
untuk mencari kemenagan melainkan untuk hidup bersama,
berdampingan dan hidup untuk perdamaian. Oleh karena itu
manusia harus mampu menundukan sifat kebinatangan yang
sebagai bentuk lawan dari kemanusiaan, sifat kebinatangan
sangat merugikan manusia, karena sifat yang keluar dari sifat ini
bukan berdasar pada sifat-sifat dan potensi baik manusia, tapi
lebh terarahkan pada sifat keburukan dan kesombongan serta
keserakahan.
Keenam sifat ini adalah sifat dasar pembangunan dan
kemandirian manusia, sifat-sifat setelah keenam ini sebagai bentuk
kekuatan potensi dalam manusia, mungkin pada kesempatan lain
bisa penulis lanjutkan, namun dasar dari teologi antroposentris
Hasan Hanafi secara esensi sudah tegambar dan terangkum dari
keenam sifat di atas.
Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba
materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan
istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang
menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham
trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan
pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrit,
kemunafikan ataupun perilaku oportunistik. Menurut Hanafi,36
apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah
dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang
hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk
sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun
menetapkan (itsbat).37 Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep

36
Ibid, 324-329.
37
Hanafî menyatakan bahwa tauhid mengandung dua dimensi; penafian

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 439


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami
kecuali dengan ditampakkan.
Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa
direalisasikan dalam kehidupan kongkrit.38 Perealisasian nafi
(pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan
modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan
yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi
terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan
yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan)
adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan
membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan
modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih
kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat
tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan
kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti
kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan
ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang,
Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.39
Teologi antroposentris Hasan Hanafi adalah salah

dan penetapan (itsbat). Kata ‘Lailaha’ berarti penafian terhadap segala bentuk
ketuhanan, sedang ‘Illallah’ adalah penetapan tentang adanya Tuhan yang Esa.
Ibid, 326.
) 38
Statemen ini sama sebagaimana dikatakan Muthahhari, meski dalam
pengertian yang berbeda. Menurut Muthahari, konsep-konsep tauhid tidak
akan punya makna tanpa direalisasikan dalam perbuatan, yang dalam faham
Mutahari difokuskan dalam bentuk ibadah. Lihat Muthahhari, Allah Dalam
Kehidupan Manusia, (Bandung, Yayasan Mutahhari, 1992), 7-23.
39
Hanafi, Min al-Aqîdah, 330. Pandangan seperti ini pernah disampaikan
oleh Mutahhari dengan konsep yang masih lebih luas. Bahwa tauhid adalah
kesatuan ciptaan tanpa membedakan antara yang duniawi maupun ukhrawi,
manusia dengan binatang, spiritual dengan kewadagan dan seterusnya. Lihat
Muthahhari, Fundamentals of Islamic Though, sebagaimana yang dikutip
Shimogaki dalam Islam Kiri, 19. Hanya saja, disini, Hanafi lebih jelas dan
terfokus pada manusia.

440 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

satu bukti pemikiran keislaman yang lebih pada pemikiran


kemanusiaan dari pada bahasa dan agama yang melangit, dengan
tujuan membangkitkan manusia dari kejumudannya dan kelesuan
berfikirnya, namun walaupun banyak pakar yang mengatakan
bahwa pemikiran sebagaimana Hanafi bangun sudah ada dalam
pemikiran sufi, terlepas dari itu, bagi saya hal ini menarik untuk
dijadikan metodologi kritis yang selama ini (masa tahun 2000an)
cenderung pasif dan stagnan, kurang berani untuk memikirkan
ulang teks-teks besar apalagi pada ranah teologi.
Pemikiran antroposentris dengan manusia sebagai
pusatnya adalah hal lain yang cukup menarik apalagi kaitannya
dengan pembentukan akhlak kepribadian muslim yang tersusun
atas wujud (keberadaan manusia bereksistensi, qidam yang
lebih pada berlatar belakang kesejarahan budaya dan agama,
baqo sebagai bukti kemandirian yang tidak bisa tergiyahkan,
mukholafatu lil hawadisi, dan qiyamuhu bnafsihi sebagai bentuk
keberadaannya sebagai wujud yang unik dan bermanfaat tidak
ada tandingannya, tidak mengekor pada budaya lain, wahdaniyah
sebagai sifat kesamaan hak, kesamaan kepentingan, kesamaan
teologi, dan kesamaaan kebangsaan, sehingga muncul sifat
kemanusiaan, dan perdamaian bersama.

Penutup
Cara berfikir Hanafi tidak bisa terlepas dari latar belakang
pemikiran Hanafi ketika beliau belajar, juga tidak bisa terlepas
dari soosio historis masyarakat Mesir pada khususnya dan umat
Islam pada umumnya yang cenderung stagnan, diam dan jumud,
serta pengaruh tekanan barat atas cengkraman kekuasaannya
yang seakan ingin menguasai umat Islam terutama Mesir, dalam
hal ini adalah Sofyet.
Berdasar uraian diatas disampaikan kekukuhan dan

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 441


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

pengaruh pemikiran beliau beberapa hal. Pertama, dari sisi


metodologis, Hasan Hanafi dipengaruhi --atau ada kesamaan
dengan-- cara berfikir Barat, terutama pemikiran Marxis dan
Husserl, mungkin ini sebagai oleh-oleh pendidikan di Prancis.
Pengaruh atau tepatnya kesamaan dengan metode Husserl
terlihat ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam)
dalam konteksnya sendiri (kebangsaan dan nasionalisme), lepas
pengaruh Barat. Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa
dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi
harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri terutama
membangun paradigma berfikir teologi yang membebaskan
(antroposentris) cara ini juga yang dilakukan modal pemikiran
fenomenologi Husserl. Adapun kesamaannya dengan Marxisme
terlihat ketika Hanafi menempatkan persoalan sosial praktis
sebagai dasar bagi pemikiran teologinya. Ini juga yang mengilhami
bahwa teori kebangsaan yang didengungkan Abdurrahman Wahid
dengan bangga atas milik sendiri dari pada milik orang lain yang
belum tentu tepat untuk kita. dari sinilah mula lahir nasionalisme
Indonesia.
Teologi dimulai dari titik praktis (Empiris antroposentris)
pembebasan rakyat tertindas. Umat Islam yang cenderung diam,
stagnasi dan jumud. Slogan-slogannya yang dipergunakan,
pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan
)
derajat muslimin dihadapan Barat dan sejenisnya adalah jargon-
jargon Marxisme. Kesamannya dengan metode dialektika Marxis
juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran
Islam dan usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran
teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat
Barat untuk kemudian mensintetiskannya. Hanya saja, bedanya,
jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan
pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong

442 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam Hanafi diberi roh yang
tidak sekedar materialistik malah justru pondasi teologi dan
pemikiran dasar manusia bergerak.
Ada pranata- pranata yang bersifat religius atau kerohanian
yang menggerakkan sebuah perjuangan muslim. Juga, jika dalam
perjuangan ala Marxis bisa dengan menghalalkan segala cara,
rekonstruksi kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan,
kemanusiaan, dan kebangsaan, bahwa perjuangan mesti
memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga
pemikiran Hanafi bisa disebut, Barat tetapi tidak ‘sekuler’.40 Ada
metode- metode yang orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi
sendiri.
Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-
kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, terus terang, apa
yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya
sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang
sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat
Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal, telah disampaikan
oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu pula konsepnya tentang
tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan
Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah
bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara
lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru. Disinilah
orisinalitasan pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi
teologisnya.
Selanjutnya, mengikuti apa yang digagas Hanafi, ada
cacatan yang perlu disampaikan. Pertama, pemikiran Hanafi

Hanafi sendiri, sebagaimana dikatakan didepan, memang menolak


40

jika dikatakan bahwa dirinya dipengaruh pemikiran Barat apalagi Maxsisme.


Menurutnya, apa yang dilakukan semata berdasarkan dan diambil dari khazanah
keilmuan Islam sendiri dan berkandaskan akan realitas sosial muslim.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 443


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam kadar yang


relatif kecil; yakni gagasan rekonstruksi yang berbasis pada
rasionalitas Muktazilah. Keberfihakan Hanafi pada rasionalitas
Muktazilah ini menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada
pada muktazilah, yakni bahwa mereka pernah melakukan mihnah.
Kedua, kritik Hanafi bahwa kalam Asy’ari adalah penyebab
kemunduran Islam terasa terlalu menyederhakan masalah
disamping tidak didasarkan investigasi historis yang memadai
dan kongkrit. Kenyataannya, sebagaimana dikatakan Shimogaki,41
Asy’ariyah telah berjasa dalam menemukan keharmonisan
mistis antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dipungkiri
bahwa kebanyakan masyarakat muslim yang asy’ariyah sangat
terbelakang di banding Barat.
Ketiga, terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan
bisa direalisasikan atau tidak sebagaimana diragukan Boullata,42
jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam
upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar
ketertinggalannya dihadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi
yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang
bersifat spiritual-religius menjadi sekedar material-duniawi akan
bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai
agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan- muatan
spiritual dan transenden.
)
Akhirnya saya mengapresiasi pemikiran teologi
antroposentris Hasan Hanafi yang mengilhami pembentukan
manusia terutama kemandirian akhlak manusia yang tergambar
dalam makna teologinya. Manusia sempurna ada dalam akhlak
kepribadian muslim yang tercermin dari makna teologi wujud,

Shimogaki, Kiri Islam, 46.


41

42
Issa J. Boullata, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan’
dalam Islamika (Bandung, Mizan, 1993), 20

444 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

qidam, baqa, mukholafatu lil hawadis dan qiyamuhu binafsihi


serta wahdaniyyah.
Memang belum ada contoh manusia biasa sebagaimana
yang diinginkan dalam teologi Hasan Hanafi namun siapa tahu
pada masa yang akan datang akan muncul manusia-manusia
sebagaimana yang dinginkan dalam teologi antroposentris
Hasan Hanafi.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 445


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

DAFTAR PUSTAKA

AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta: Ittaqa


Press, 1998.
Al-Ghazali, Al-Munqid Min al-Dlalâl, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Anton Bekker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia, 1984.
Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, Jakarta: Gramedia, 1996.
Boullata, ‘Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan’
dalam Islamika, edisi, I, Juni-Sept, 1993.
Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, Bandung:
Alumni, 1980.
Drijarkara, Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan, 1984.
George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj.
Asgar Bixby, Bandung: Sinar Baru, 1992.
Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M,
1991.
………, Al-Dîn wa al-Tsaurah fî Misra 1952-1981, VII, Mesir:
Maktabah Madbuli
………., Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus,
1991.
)
............, Dirasah al-Islamiyah, Kairo: al-Maktabah al-Misriyah,
1981 .
………., Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I, Kairo: Maktabah
Matbuli, 1991.
............., Muqadimah fi ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Faniyah,
1981.
………., Origin of Modern Conservation and Islamic
Fundamentalism, Amsterdam: University of

446 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

Amsterdam, 1979.
Ibrahim Al-Jilli, Al- Insan Al-Kamil, II, Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, Jakarta: Panjimas, 1987.
Issa J. Boullata, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk
Dipraktekkan’ dalam Islamika Bandung: Mizan, 1993.
Jurnal Islamika edisi 1 Juli- September 1993.
John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic
World, New York: Oxford University Press, 1995.
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan
Postmodernisme Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan
Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, Istambul: Hakekat
Kitabevi, 1985.
Lutfi Syaukani, ‘Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik
Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an, Vol. V, tahun
1994.
Muthahhari, Allah Dalam Kehidupan Manusia, Bandung: Yayasan
Mutahhari, 1992.
Osman Bakar, Hirarkhi Ilmu, Bandung, Mizan, 1997.
Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, 1986.
Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
1983.
Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis
Terhadap Pemikiran Taha Husain, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 447


Mengkonstruk Akhlak Kemanusiaan ............... (Oleh: Manijo)

448 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

MEMAHAMI KONSEP HERMENEUTIKA


KRITIS HABERMAS

Ahmad Atabik
STAIN Kudus
Email: atabik78@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini coba menguak tentang teori hermeneutika kritis


Habermas. Teori hermeneutika kritis Habermas merupakan
sebuah terobosan baru untuk menjembatani ketegangan
antara obyektifitas dengan subyektifitas, antara yang idealitas
dengan realitas, antara yang teoritis dengan yang praktis. Dan
inilah sebuah prestasi Habermas dalam disiplin hermeneutika.
Hermeneutika yang awal mulanya berkutat pada wilayah
idealisme, oleh Habermas telah ditarik secara “paksa” turun
untuk bisa memahami lapangan realisme-empiris. Pada era ini
aspek subyektifitas dan obyektifitas sudah mulai diperhitungkan
untuk menafsirkan tek dan realitas sosial. Hal ini sebagai upaya
untuk mengcounter balik terhadap arogansi ilmu eksakta yang
mulai mendominasi wilayah ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Kata Kunci: Hermeneutika, Kritis, Habermas

Pendahuluan
Diskursus permasalahan hermeneutik –walaupun

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 449


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

merupakan topik bahasan lama—dewasa ini telah menjadi


sesuatu yang baru yang menarik dalam bidang filsafat.
Hermeneutik seakan-akan lahir dan bangkit kembali dari masa
lalu yang dianggap penting. Disamping itu hermeneutik telah
menjadi telaah ilmiah yang meliputi beberapa aspek. Aspek
sejarah lahirnya wacana tersebut memunculkan beberapa tokoh
–termasuk Habermas yang akan kita kaji—serta pemikirannya
tentang hermeneutik. Sedang aspek isi kajian, yang terkandung
dalam wacana hermeneutika menghadirkan berbagai macam
pandangan dan berbagai fungsi konsep hermenerutika
sebagaimana dimunculkan oleh para penggagasnya. Hal lain yang
kirannya cukup penting adalah dalam aspek analisis wacana.
Aspek tersebut sesungguhnya dapat membantu baik dalam
pemahaman tentang konsep hermeneutika, pengembangan,
aplikasi, kritik, serta konsekuensi-konsekuensi logisnya.
Dalam pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu
diketahui ketika kita memasuki zona kawasan hermeneutika
jurgen Habermas. Pertama, Habermas sendiri dalam kapasitas
intelektual lebih dikenal sebagai pemikir ilmu-ilmu sosial. Kedua,
Habermas adalah seorang filosof yang berusaha “mengawinkan”
dimensi teori dan praksis melalui prespektif hermeneutika.
Makanya wajar bila hasil pengawinan ini muncul dalam istilah
Habermas dengan konsep hermeneutik kritis-komunikatif.
Dari dua poin diatas, maka sudah sedikit banyak
dapat mendeskripsikan “keunikan” hermeneutika Habermas.
Bagaimana konstruksi pemikiran hermeneutika tumbuh dan
berkembang dalam kapasitas subyek yang sangat intens pada
bidang social-filsafat non hermeneutika? Betapa terjadi lompatan
atau reformulasi hermeneutis yang cukup mengagumkan ketika
hermeneutika yang dalam tradisinya hanya berkutat pada
lapangan idealisme, tiba-tiba oleh Habermas “dipaksa” turun

450 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

untuk bisa memahami lapangan realisme-empiris?1

Habermas dan Cultural Background yang Melingkupinya


Jurgen Habermas adalah salah seorang filosof
kontemporer yang lahir di Gummersbach pada tahun 1929. Ia
belajar kesusastraan Jerman, sejarah dan filsafat di Göttingen,
disamping ia juga mempelajari bidang-bidang lain seperti
misalnya sikologi dan ekonomi. Selang beberapa setelah ia
pindah ke Zurichk Habermas melajutkan studi filsafatnya di
Universitas Bonn dimana ia memperoleh gelar doctor bidang
filsafat seteleah ia mempertahankan disertasinya yang berjudul
“Das Absolute und die Geschichte” (yang absolute dan sejarah).
Dalam karya tulis ini ia banyak mendapat pengaruh dari
pemikiran Heideger.
Disamping ia tekun dalam meniti karier dibidang
filsafat ia ia meperlajari dan bahkan menerkuni bidan politik
dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang “persenjatan
kembali” (rearmament) di Jerman. Pada tahun 1956 Habermas
berkenalan dengan lembaga penelitian sosial di Frankfurt dan
menjadi asisten Adorno. Bersama suah tim (Von Friedburg,
Oehler, Wedltz) ia mengambil bagian dalam suatu proyek riset
mengenai sikap politik mahasiswa-mahasiswa di Universitas
Frankfurt. Habermas terutama mengerjakan segi teoretisnya.
Hasil penelitian itu terdapat dalam buku Studen und politik
(mahasiswa dan politik) 19642.
Pada awal tahun 1960-an Habermas sangat popular

1
Arif Fahruddin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika
Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, dari konfigurasi
filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Atho’ Nafisul dkk. Yogyakarta;
IRciSoD, 2003 hlm. 188.
2
K. Bertens, Filsafat Barat abad XX Ingris-Jerman, Jakarta;
Gramedia, 1990, hlm. 213.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 451


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa gologan


dianggap sebagai ideology mereka, khusunya bebarapa golongan
“Sozialistische Deutsche Studentenbund” (ikatan mahasiswa
sosialis Jerman). Tetapi ketika aksi-aksi mahasiswa mulai
melewati batas karena mulai menggunkan kekerasan, Habermas
tidak segan mengemukankan kritiknya sehingga ia terlibat
konflik dengan mahasiswa.
Pada tahun 1964 ia diangkat sebagai professor sosiologi
dan fisafat untuk menggatikan Horkheimer. Sesuai dengan
tradisi mazhab Frankfurt ia juga tidak asing di amerika serikat,
sebab selama beberapa waktu ia mengajar pada New School for
Social research di New York3.
Di tahun 1969 ia menerbitkan buku yang berjudul
“Protesbewegung und Hochschul reform” (gerakan perlawanan
dan pembaharuan perguruan tinggi), tahun 1970 Habermas
meninggalkan Frankfurt dan pindah ke Starnberg untuk
meneriman tawaran menjadi direktur pada ‘Maz Planck Institut’,
sebuah lembaga yang mempelajari kondisi-kondisi kehidupan
dalam dunia ilmiah-teknis. Karya tulisnya cukup banyak dan
seperti pendahulu-pendahulunya dalam mazhab Frankfurt, ia
juga mencoba mempraktekkan filsafat dan sosiologi tanpa
membedakan secara tajam antara dua jenis disiplin ilmu
tersebut4. Dalam hal-hal pemikirannya, di Jerman, Habermas
merupakan filosof yang paling banyak didiskusikan. Sejak tahun
70-an Habermas semakin diperhatikan juga didaerah berbahasa
Inggris dan Prancis5.
Habermas dikenal luas sebagai salah seorang tokoh

3
Ibid, 215.
4
Ibid, 215-216.
5
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Yogyakarta;
Penerbit Kanisius 2000) hlm.215.

452 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Shule)


adalah sebuah komunitas intelektual di lingkungan institute fur
Sozialforschung, sebutah universitas di kota Frankfurt, Jerman.
Di Frankfurt lah sebuah gerakan filsafat dilancarkan. Itulah
filsafat kritis atau kritis. Mazhab bisa dikategorikan dalam
dua fase; pertama, generasi pertama, semisal Maz Horkheimer,
Herbert Marcuse dan Theodore Adorno. Pada fase ini deklarasi
filsafat kritis pertama kali didengungkan oleh Horkheimer,
melalui karyanya, “Traditional dan Critical Theory”, generasi
pertama ini mengalami kebuntuan atau pesimisme dalam
implementasi teori kritis yang mereka dengungkan. Kedua,
generasi pencerahan, semisal Habermas, kemudian Georg Lukacs,
Karl Korsch dan Atonio Gramsci. Dimulai dari Habermaslah
teori kritis benar-benar mencapai puncak performnya6.

Habermas Dan Teori Kritis


Sebagai generasi kedua madzhab Frankfurt, Habermas
berupaya mengatasi kebuntuan dan merekonstruksi ulang
bangunan pemikiran yang telah dibangun oleh generasi
pertamanya. Madzhab ini dikenal dengan teori kritisnya. Teori
ini sebenarnya dirumuskan oleh Horkheimer. Secara sederhana
teori ini dapat diartikan sebagai rumusan konsep yang diarahkan
untuk menguji kembali konsepsi pengetahuan social yang sudah
mapan pada waktu itu. Kelompok mapan ini tidak lain adalah
aliran positivistic-kapitalistik dengan topangan metode-metode
tradisionalnya dan bahkan didalam kelompok sosialis itu sendiri.
Kondisi social seperti itu perlu ditelaah kembali karena dalam
dataran realitasnya mereka tidak mampu lagi menjawab problem

Arif Fahrudin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika


6

Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, Yogyakarta;


IRcisoD, 2000, hlm. 189.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 453


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

dan tantangan yang dihadapi masyarakat pada waktu itu7.


Untuk menjalankan kembali kemacetan pemikiran dan
program tersebut Habermas mencoba berusaha membangun
kembali kerangka epistemology dan metodologis pemikiran
para pendahulunya dengan paradigmaa baru. Paradigma ini
dimaksudkan untuk dapat mendapatkan metodologi kritis atas
pemikiran pendahulunya.
Salah satu sasaran kritik Habermas adalah pemikiran
dialektika Hegel. Bagi Habermas dialektika yang ditawarkan
Hegel belum sepenuhnya memadai, karena ia baru sebatas teori
dan pemahaman saja. Dialektik Hegel masih melangit dan belum
punya “kaki”. Filsafat dialektik Hegel (1770-1831) menyatakan
bahwa proses sejarah itu tidak lain merupakan perkembangan
terus-menerus dari apa yang disebut dengan idea. Oleh sebab itu,
bagi Hegel cita pikiran lebih penting daripada benda (materi).
Teori dialektika ini kemudian dikritik dengan
dialektika Marx dan diberi “kaki” supaya dapat membumi.
Karena menurutnya berpikir dialektik sesungguhnya berpikir
dalam kerangka kesatuan teori dan praktek. Dengan pemikiran
Marx ini pemikiran dialektik Hegel dibalikkan dan diberi “kaki”
sehingga memungkinkan perubahan dalam masyarakat. Berkaitan
dengan teori kritik Habermas, sebenarnya ia muncul sebagai
kritik terhadap teori kritis mazhab Frankfurt sebelumnya. Teori
kritis tersebut bertujuan untuk mengembangkan pembebasan
(imansipasi), pemberdayaan dan penarikan diri masyarakat yang
bertujuan untuk refleksi diri. Habermas berusah melakukan
rekonstruksi terhadap pandangan-pandangan Hegelian-Marxis
sebelumnya. Tawaran rekonstruksi Habermas dimulai dengan
suatu hipotesa antropologis bahwa kerja dan komunikasi adalah

7
Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”,dalam Refleksi
Vol. 4. No.1 Junuari 2004. hlm. 15-16.

454 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

syarat masyarakat yang tak dapat direduksi8.


Sebenarnya, inti dari pemikiran Habermas adalah kritik
terhadap Marx. Menurut Habermas meskipun pandangan
Marx merupakan suatu teori kritis, tetapi Marx terjebak pada
positivistic social, sebab Marx mereduksi manusia pada suatu
macam tindakan saja, yaitu kerja. Bagi Habermas pandangan
Marx ini harus direkonstruksi, yaitu bahwa dimensi kerja
saja tidaklah cukup dan belum memadai, sebab manusia akan
“teraliensi”. Oleh sebab itu, harus ditambah dengan dimensi
komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua macam
tindakan dasar manusia. Jika kerja merupakan sikap manusia
kepada alam, maka komunikasi merupakan sikap manusia
terhadap yang lain.
Hubungan manusia dengan alam tidaklah berjalan
simetris, sebab ketika manusia mengerjakan alam ini senantiasa
aktif, sedangkan alam sebagai bahan bersikap pasif. Dengan
demikian, kerja tidak lain artinya bahwa manusia menguasai
alam, sedangkan komunikasi merupakan hubungan yang simetris
atau timbal-balik. Komunikasi bukanlah hubungan kekuasaan,
sebab hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling
mengakui kebebasan dan saling percaya9.
Sementara karakter dari sebuah pemahaman adalah
kebalikan dari karaktr penjelasan. Ia bersifat experiental-
oriented-subjektif, ia juga mrupakan lokus bertemunya
pengertian teoritis (penjelasan) dan pengalaman (pemahaman),
sehingga bangunan makna yang terdapat di dalam obyek juga
terpengaruh oleh sang subyek. Jadi subyek brhak memaknai

8
Lihat Rick Roderick, Habermas and the Foundation of Critical
Theory, New York; St. Martins Press 1980) 100.
9
Abd. Mustaqim, Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan
Implikasinya di era Pluralisme, Reflesi, Vol. 2, No. 1. Januari 2002, hlm. 20.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 455


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

sebuah obyek. Dari sifat-sifat pemahaman ini subtyek dituntut


aktif dalam usaha menemukan makna. Tanpa subyek tak akan
ditemukan makna obyek.
Dengan kombinasi dialektis anatara konsep penjelasan
dan pemahaman, maka Habrmas berusha mengawinkan anatra
subyektifitas dengan obyektifitas, antara yang otentik dengan
akulturatif, antara yang saintis dengan yang filosofis. Dengan ini,
dari sudut saintis, Habermas berusaha melakukan pembumian
makna, supaya ia bisa ditangkap oleh otak manusia. Sementara
dalam sudut filosofis, ia hendak melakukan dialogisasi makna
antara bahasa murni dan bahsa tak murni(filosofis).
Dengan demikian, rekonstruksi teori kritis sosial
Habermas secara tegas diwujudkan pada teori komunikasi10
sosialnya. Teori ini merupakan salah satu upaya utnuk
membangun kembali teori kritik yang dikemukakan oleh Karl
Marx sebagai representasi mazhab Frankfurt waktu itu.

Habermas dan Psikoanalisis Freud


Habermas dalam membangun kembali bangunan teori
kritis sangat terpengaruhi dengan teori psikoanalisnya Freud.
Habermas memandang bahwa apa yang dikemukakan Freud
dengan psikoanalisisnya, khususnya teori tafsir mimpi, bukan
saja dipandang sebagai sebuah konsep fenomena ketidaksadaran

10
Teori komunikatif ini muncul sebagai pembaharuan atas teori Karl
Marx yang anti dialogis. Kontribusi teori komunikatif Habermas adalah alat
teori elaborasi yang dia paparkan dala karyanya The Theory of Communicative
Action. Communicative action dapat dipahami sebagai proses sirkulasi yang
dimiliki pelaku bermata dua; sebagai pemprakarsa (intiator), yang menguasai
situasi melalui tindakan yang dikerjakan, dan sebuah produksi perubahan
yang mengelilingi dirinya, dari kelompok yang kohesi yang didasarkan
pada solidaritas untuk mengikutinya, dan pada proses sosialisasi yang
melatarbelakanginya. “The Criticl Theory of Jurgen Habermas” dalam http://
www.physics.nau.edu/

456 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

manusia dengan berbagai pengembangan konsepsinya, namun,


juga dapat dijadikan sebagai metode dan sekaligus sebagai kritik
untuk membebaskan ketidak sadaran dan distorsi manusia.
Habermas kemudain memformulasikannya dalam sebuah konsep
“refleksi diri metodis”. Jelasnya tafsir mimpi yang diajukan
freud oleh Habermas tidak dilihat sebagai bentuk interpretasi
hermeneutika belaka sebagaimana terjadi pada umumnya namun
juga dapat dilihat sebagi bentuk interpretasi dan pemahaman
terhadap teks-teks bawah sadar yang terselubung.
Oleh Habermas konsep hermeneutiknya ini dinamakan
dengan “depth hermeneutic” atau “critical hermeneutic”11.
Habermas menegaskan bahwa kinerja hermeneutika yang
dicanangkan hampir sama dengan teori tafsir mimpi yang
dikembangkan oleh Freud. Dalam tafsir mimpi, Freud memberi
perhatian terhadap persoalan ketidaksadaran dalam diri manusia.
Menurut Habermas apa yang dilakukan oleh Freud sesungguhnya
telah mempratekkan teori kritis. Bentuk praktek tersebut
konkritnya adalah upaya mengembangkan sikap emansipatoris
dalam diri manusia dimana didalam dirinya memang terdapat
ketidaksadaran dan kesadaran dalam dunia nyata ini12.
Habermas dalam mengembangkan konsep psikoanalisis
tersebut kedalam konsep hermeneutika sebagai upaya untuk
menguatkan apa yang ia rumuskan sebagai suatu konsep
masyarakat komunikatif. Persoalan kemudian berkembang
ketika apa yang ia rumuskan tersebut ternyata berhadapan
dengan berbagai konsep hermeneutika pendahulunya yang

11
Tentang critical hermeneutic ini Josef Blecheir mengatakan bahwa
diantara tokoh yang masuk dalam hermeneutika kritis adalah Karl Otto Apel,
Lorenze dan Sandkuhler. Josef Blacher, Contemporary Hermeneutics, (London;
Routledge, 1980) 141-148.
12
Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”,dalam Refleksi,
Vol. 4. No. 1. Januari 2004, hlm 18.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 457


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

memang sudah mapan.


Untuk menghadapi permasalahan ini, Habermas berusaha
untuk selalu menjelaskan konsep yang sesungguhnya ia ajukan.
Usaha tersebut terlihat sekali dalam perdebatannya dengan
Gadamer, filosof hermeneutic yang dikelompokkan dalam
hermeneutika filosofis, termasuk juga kelebihan hermeneutika
yan gia rumuskan dibanding dengan hermeneutika lainnya.
Kajian hermeneutika yang dikembangkan oleh
Gadamer, secara sederhana, adalah universalitas hermeneutika
sehingga seluruh upaya pemahaman selalu berangkat dari
lingkaran-lingkaran spiral hermeneutic. Itulah yang pada
akhirnya hermeneutikanya cenderung bernuansa ontologism.
Bagi Habermas kecenderungan Gadamer tersebut tercakup
dalam kompentensi komunikasi. Oleh karena itu, bisa saja
bahwa pemahaman melampaui dialog namun bukan berarti
hermeneutika dapat mencapai pada universalitasnya. Habermas
jelas menolak universalitas hermeneutika.
Pada tataran perkembangan konsep selanjutnya, tidak
banyak bicara tentang hermeneutika. Konsentrasi Habermas
lebih pada tema-tema kesaling-pemahaman atau understanding
sebagai dasar pemikiran untuk mewujudkan cita-citanya yaitu
terwujudnya suatu system kemasyarakatan yang komunikatif.
Tema tentang pemahaman atau kesaling-pemahaman itu diawali
dengan konsep depth hermeneutik yang bertujuan pada upaya
penemuan berbagai sebab terjadinya distorsi dalam pemahaman
dan komunikasi atau tepatnya adalah dilema pemahaman13.

Habermas dan Hermeneutika


Secara etimologis, “hermeneutika” berasal dari bahasa
Yunani hermeneuein yan berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata

Ibid., hlm 21.


13

458 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau


interpretasi. Sedangkan secara terminologis, hermeneutika
berarti proses mengubah sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan
menjadi ketahuan atau mengerti14.
Walaupun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat
pada hermeneutik, namun gagasan-gagasannya itu mendukung
pustaka hermeneutik. Bahkan karya-karyanya pun tidak secara
khusus membicarakan hermeneutik sebagai gagasan tunggalnya.
Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan didalam tulisannya
yang diberi judul Knowledge and human interests (pengetahuan
dan minat manusia)15.
Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa konstruksi
dari hermeneutika Habermas membentuk beberapa metode
pemahaman dan jenis pemahaman.
Dalam “metode memahami” Habermas membedakan
antara pemahaman dan penjelasan. Ia memperingatkan kita
bahwa; kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu
fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi.
Bahkan kita tidak dapat menginterpretasikan fakta secara tuntas.
Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat
lebih, yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang
terdapat di dalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’,
‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan diluar pikiran kita. Semua hal
tersebut mengalir secara terus-menerus didalam hidup kita.

14
Istilah Hermeneutik dalam bahasa Yunani ini mengingatkan
kita pada tokoh mitologis yang ernama Hermas, yaitu seorang utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas
Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Oliympus ke
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Lihat E. Sumaryono,
Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta; Penerbit Kanisius 1999)
hlm. 23-24.
15
Ibid, 88.

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 459


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

Pemahaman hermeneutik sedikit berbeda dari jenis


pemahaman yang lainnya sebab pemahaman hermeneutik
diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas
membicarakan tentang “pemahaman monologis atas makna”,
yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan
faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti
misalnya bahasa symbol. Dari pembedaan itu kita mengetahui
bahwa monologika adalah pemahaman atas symbol-simbol
yang disebut Habermas sebagai “bahasa murni”, karena symbol-
simbol mempunyai makna yang definitive, sebagaimana terdapat
dalam setiap rumusannya16.
Dapat dikatakan bahwa proyek hermeneutika Habermas
adalah proyek hermeneutik sosio-kritis (social-critical
hermeneutic) yang dapat diberangkatkan dari sisi epistemologis
pemahaman manusia maupun sisi metodologis dan pendekatan
komunikatif baik dalam teks, tradisi maupun institusi
masyarakat.

Kontribusi Hermeneutik Habermas terhadap Pemahaman


Keislaman
Salah satu tujuan dipelajarinya hermeneutik adalah
untuk menelaah dan menginterpretasi hal-hal yang berkenaan
dengan teks-teks kitab suci agama-agama. Kelayakan teks
kitab suci ditengah masyarakat dewasa ini kadang masih
dipertanyakan, sebab relevansinya dirasa kurang cocok dengan
kondisi sekarang. Maka, salah satu tawaran atau konsep yang
kiranya dapat diterapkan adalah dengan merujuk pada teori-teori
hermeneutik yang dirasa sesuai dengan kondisi pengkonsumsi
teks-teks tersebut.
Berangkat dari view point diatas, ada beberapa agenda

16
Ibid, 90.

460 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

atau tawaran dari Habermas mengenai teorinya yang patut


dipertimbangkan untuk direkomendasikan pada pemahaman
teks-teks kitab suci. Dari pelajaran yang dapat kita ambil dari
Habermas adalah mengenai proyek peradaban kritis-komunikatif.
Hermeneutika Habermas adalah dealektis, dimana antara subjek
(interpreter) dan objek (teks/yang ditafsir) memiliki hak untuk
menyodorkan wacana dirinya secara terbuka. Tidak ada dominasi
karena disana ada saling kritik-konstruktif-dinamis. Wacana
kritik-komunikatif ini dapat diambil sebagai pelajaran yang
berharga dalam studi Islam. Khususnya dalam pengembangan
pemikiran terhadap Al-Qur’an.
Pemikiran tentang pemahaman Al-Qur’an (tafsir) selama
ini telah di kultuskan lebih dari posisinya yang sebagai produk
budaya manusia yang tentu ada kesalahan dalam memahami
Al-Qur’an itu sendiri. Dari sini kiranya tidak ada salahnya
apabila dirumuskan kembali reorientasi pemahaman terhadap
teks Al-Qur’an yang berwacana suprioritas Al-Qur’an menuju
Al-Qur’an yang komunikatif. Memang, Al-Qur’an merupakan
“benda suci” atau “kalam ilahi” yang tidak salah. Akan tetapi,
penafsiran-penafsiran yang selama ini dianggap “semua benar”
harus dipertanyakan kembali mengingat bahwa banyak tafsiran-
tafsiran yang kiranya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
yang ada.
Maka dari situ diperlukan suatu paradigma berpikir yang
tidak bisa dilepaskan dari Al-Qur’an sendiri sebagai “produk
budaya manusia” dalam menangkap eksistensi Tuhan. Kerangka
inilah yang disebut sebagai “Al-Qur’an komunikatif” dimana
setiap individu diberi kebebasan dan ruang gerak seutuhnya
dalam menginterpretasikan Al-Qur’an sebagai kebenaran
menurut ukuran manusia itu sendiri. Al-Qur’an tidak bisa
menunjukkan kebenarannya tanpa disokong oleh pandangan

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 461


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

kebenaran dari diri manusia. Jadi, kebenaran Al-Qur’an adalah


kebenaran yang bersifat manusiawi dan sudah sewajarnya jika
manusia diberi ruang dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.

Simpulan
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa konsepn hermeneutika kritik Habermas merupakan jenis
hermeneutika yang berusaha mengawinkan antara obyektifitas
dengan subyektifitas, antara yang saintis dengan filosofis, antara
yang ontentik dengan yang artikulatif. Teori kritis juga berusaha
untuk menelanjangi teori tradisional, karena ia memposisikan
obyek sebagai sesuatu yang tak tersentuh (untouchable) alias
obyektif, apa adanya. Sehingga sulit ditangkap maknanya oleh
manusia. Hal ini menjadikan obyek terkesan sangat sakral dan
harus diterima secara bulat-bulat.
Berdasar pada hermeneutika kritis tidak lepas dari yang
terkandung dalam obyektifisme, yaitu bahwa obyektifisme
sendiri tak bisa lepas dari peran interpretasi manusia sebagai
subyek. Maka obyketiifisme itu nihilisme dan absurd.
Bagaimanapun juga subyek dan interpretasi tak bisa lepas dari
hukum sejarah. Maka bagi habermas antara konsep penjelasan
dan pemahaman harus selalu didialogkan untuk menggapai
sebuah makna obyek.

462 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens, Filsafat Barat abad XX Ingris-Jerman, Jakarta;


Gramedia, 1990.
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Yogyakarta;
Penerbit Kanisius 2000)
Arif Fahrudin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika
Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika
Transendental, Yogyakarta; IRciSoD, 2000.
Rick Roderick, Habermas and the Foundation of Critical Theory,
New York; St. Martins Press 1980).
Abd. Mustaqim, Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan
Implikasinya di era Pluralisme, Reflesi, Vol. 2, No. 1.
Januari 2002.
“The Criticl Theory of Jurgen Habermas” dalam http://www.
physics.nau.edu/.
Fransisco Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas,
(Yogyakarta; Kanisius 2003)
E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta;
Penerbit Kanisius 1999)
Zuhri, Hermeneutika dalam Pemikiran Habermas, Jurnal Refleksi.
Vol. 4. No. 1, Januari 2004.
Josef Blacher, Contemporary Hermeneutics, (London; Routledge,
1980)

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013 463


Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas (Oleh: Ahmad Atabik)

464 Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013


fikrah
Vol. 1 N0. 2.
Juli- Desember 2013
ISSN : 2354-6174
Page: 1-206
fikrah

Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan


Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

MENIMBANG POKOK‐POKOK PEMIKIRAN TEOLOGI IMAM AL‐


ASY'ARI DAN AL‐MATURIDI

Vol. 1 N0.2. Juli- Desember 2013


Fathul Mufid

OKSIDENTALISME SEBAGAI PILAR PEMBAHARUAN (Telaah


terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)
Abdurrohman Kasdi & Umma Farida

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA


Donny Khoirul Aziz

PLURALISME AGAMA MENURUT ANAND KRISHNA


Andi Hartoyo

IMPLIKASI PERENIAL ISLAM TERHADAP KEBERAGAMAAN UMAT


KONTEMPORER MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR
Mas'udi

P ESA N DA KWA H DA L A M M E N Y E L ESA I K A N KO N F L I K


ISSN :2354-6174

PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH (Kasus Pembangunan Rumah


Ibadah Antara Islam dan Kristen Desa Payaman)

Diterbitkan oleh:
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51
Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322 Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JAWA TENGAH ‐ INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai