Vol. 1 N0. 2.
Juli- Desember 2013
ISSN : 2354-6174
Page: 1-206
fikrah
Diterbitkan oleh:
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51
Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322 Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JAWA TENGAH ‐ INDONESIA
FIKRAH
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
FIKRAH
FIKRAH
JurnalIlmu
Jurnal IlmuAqidah
Aqidahdan
danStudi
StudiKeagamaan
Keagamaan
Volume1,1 No
Volume Januari-Juni 2013
2. Juli - Desember 2013 ISSN: 2354-6174
ISSN: 2354-6174
PenanggungJawab
Penanggung Jawab
FathulMufid
Fathul Mufid
Redaktur
Redaktur
UmmaFarida
Umma Farida
Mas’udi
Mas’udi
Editor/Penyunting
Editor/Penyunting
AbdulKarim
Abdul Karim
AhmadAtabik
Ahmad Atabik Fikrah
Fikrah
Jurnal
Jurnal IlmuIlmu Aqidah
Aqidah dandan Studi
Studi Keagamaan
Keagamaan
DesainGrafis
Desain Grafis
Nur Sa’id
Nur Sa’id
Masdi Diterbitkan
Diterbitkan Oleh:
Oleh:
Masdi
Jurusan Ushuluddin Program Studi
Jurusan Ushuluddin Program Studi
Sekretariat
Sekretariat Ilmu Aqidah STAIN Kudus
Ilmu Aqidah STAIN Kudus
M.Nuruddin
M. Nuruddin Alamat
Alamat Redaksi
Redaksi
Ma’munMu’min
Mu’min Jl. Conge Ngembalrejo PO. Box. 51
Jl. Conge Ngembalrejo PO. Box. 51 Kudus Kudus
Ma’mun
59322. Telp. (0291) 432677. Fax. 441613.
59322. Telp. (0291) 432677. Fax. 441613.
Muchlisin
Muchlisin Email: msd.jufri@gmail.com
Email: msd.jufri@gmail.com
DwiSulistiono
Dwi Sulistiono Terbit 2 dua
Terbit 2 dua kalikali dalam
dalam satu
satu tahun
tahun
Marhamah
Marhamah Bulan Januari-Juni
Bulan Januari-Juni dandan
JuliJuli Desember
Desember
DAFTAR ISI
v
• Pandangan Imam Az-Zamakhsyari Tentang Kalam
Allah (Al-Qur’an)
—Ma’mun Mu’min—................................................. 365-386
vi
PENGANTAR REDAKSI
Bismillahirrahmanirrahim
Dari ungkap syukur dan puji kepada Ilahi, Allah swt.,
serta salawat dan salam kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad
saw., kehadiran Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
pada Volume 2. No. 2., ini dapat hadir ke hadapan para pembaca.
Sebagaimana catatan dari Volume 1. No. 1., untuk edisi Januari
– Juni secara niscaya kehadiran jurnal ini merupakan sebuah
kesyukuran tiada terhingga. Kenyataan ini berpijak kepada
eksistensi kehadiran jurnal ini untuk pemenuhan kebutuhan
akademis para ahli di bidang Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan.
Dalam perkembangannya, Kajian Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan merupakan hakikat yang senantiasa hangat untuk
ditelaah dan dikaji. Sebagai alasannya, dinamika kehidupan
keagamaan masyarakat menjadi kenyataan yang senantiasa
menggejala dan berkembang. Tidak ketinggalan pula, fenomena
keberagamaan mereka menjadi hal penting yang akan senatiasa
mengembang dan bahkan terkadang berakibat kepada konflik
interest yang tiada kunjung berakhir. Di atas fenomena inilah
maka penting untuk memberikan wawasan yang cukup integral
terhadap dinamika keagamaan dan keberagamaan masyarakat
melalui jurnal ini.
Pada volume ini, Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan mengarahkan kajiannya kepada aspek-aspek teoritis
kajian aqidah dan keagamaan. Perspektif Ilmu Aqidah yang telah
dibangun oleh banyak ahli dikupas dengan mendetail untuk
memberikan sinergi keagamaan dan keberagamaan masyarakat
masa kini. Tidak ketinggalan pula, kajian tentang fenomena
keberagamaan masyarakat dengan indikasi-indikasi analisa
vii
konflik menjadi bagian yang dirumuskan untuk Volume 2. No. 2.,
Juli – Desember ini.
Besar harapan redaksi untuk menyumbangkan khazanah
pemikiran tentang Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan dalam
meningkatkan aspek-aspek mutual keagamaan dan keberagamaan
masyarakat. Besarnya harapan tersebut dituntut sepenuhnya
mampu terwadahi melalui rangkaian editorial data dalam jurnal
tersaji ini. Untuk itulah, dari semua cita dan idealitas yang
ingin diwujudkan tersebut, mudah-mudahan edisi ini memenuhi
keseluruhannya secara komprehensif. Semoga bermanfaat…..!!!
Redaksi
viii
MENIMBANG POKOK-POKOK PEMIKIRAN
TEOLOGI IMAM AL-ASY’ARI DAN AL-
MATURIDI
Fathul Mufid
STAIN KUDUS
Email: fathulmufid2@gmail.com
ABSTRAK
1
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo, An-Nahdah, 1936), hlm. 67.
2
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta, Universitas Indonesia,
1986), hlm. 68.
3
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, hlm. 75.
4
Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal Wa al Nihal (Mesir: Darul
Fikri, Ttt), hlm. 101.
5
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 107.
7
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 76.
9
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 43.
yanqush” maka Islam pun tentu tidak jauh dari itu. Pendapat
Al-Maturidi di atas sejalan dengan guru utamanya, Abu
Hanifah y ang mengatakan bahwa seorang Muslim tidak
bisa menjadi kafir dengan berbuat dosa, kendatipun itu
adalah dosa besar (Hanifah, 1324 H: 5).
6. Masalah Baik dan Buruk
Syaikh Zadah menjelaskan (Nasyah, tt: 298) ;
Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat antara
golongan Al-Asy’ariah dengan golongan Al-Maturidiah
ketika membahas masalah baik dan buruk. Dalam hal ini
Maturidiah lebih dekat kepada Mu’tazilah. Ia berpendapat
bahwa sesungguhnya akal mampu mengidentifikasi sesuatu
yang baik dan buruk. Sementara Al-Asy’ariah berpendapat
lain, mereka memandang bahwasanya akal tidak mampu
mampu mengetahui baiknya sesuatu dari sesuatu, demikian
juga akal tidak mampu mengetahui jeleknya sesuatu dari
sesuatu. Dan sesungguhnya jalan ke arah sana hanya dapat
diketahui dengan melalui Syar’i. Maka dengan demikian,
sesuatu yang baik adalah sesuatu yang dipesan oleh Syar’i,
dan akan mendapat pahala bari yang melaksanakannya. Dan
kejelekan adalah sesuatu yang dijelaskan oleh Syar’i dan
akan mandapat dosa bagi siapa saja yang melakukannya.
Kesimpulan
Berangkat dari pembahasan di atas, dapat dipetik
beberapak kesimpulan sebagai berikut:
1. Jalan pemikiran Al-Maturidi lebih rasional ketimbang Al-
Asy’ari sebagaimnna tercermin dalam ajaran teologinya,
sehingga kendatipun ia banyak menyerang konstitusi Mu’tazilah
namun ia lebih dekat kepadanya ketimbang Asy’ariah. Bila
demikian keadaannya, maka posisi Al-Maturidi berada di
DAFTAR BACAAN
ABSTRAK
Pendahuluan
Oksidentalisme merupakan arah kajian baru dalam
menghadapi hegemoni keilmuan Barat. Hassan Hanafi
merupakan pemikir Islam yang secara aktif menjadikan
oksidentalisme sebagai gerakan penyeimbang kajian Timur dan
Barat dari berbagai aspeknya dengan prinsip relasi yang egaliter,
transformatif, dan ilmiah. Oksidentalisme ini dilawankan dengan
orientalisme, namun demikian oksidentalisme tidak memiliki
tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme.
Oksidentalisme yang diusung Hanafi ini tidak dapat
dilepaskan dari tiga pilar atau agenda dari proyek tradisi dan
pembaharuannya (at-turats wa at-tajdid), yang meliputi sikap
kritis terhadap tradisi, sikap kritis terhadap Barat—dan inilah
yang sering disebut dengan oksidentalisme—dan sikap kritis
terhadap realitas. Jika dicermati, tiga pilar ini sejatinya juga
mewakili tiga dimensi waktu. Pilar pertama mewakili masa lalu
yang mengikat kita, pilar kedua, mewakili masa depan yang kita
harapkan, dan pilar ketiga mewakili masa kini di mana kita hidup.1
Dalam pada itu, Hanafi berprinsip bahwa masa lalu bukan untuk
dipertahankan atau diserang, tetapi untuk direkonstruksi, masa
depan bukan untuk diserang atau dipertahankan, tetapi untuk
dipersiapkan dan direncanakan, dan masa kini tidak mungkin
dikembalikan ke masa lalu (salafiyyah) atau diajukan ke masa
depan (sekularisme), tetapi merupakan tempat berinteraksi
ketiga medan perlawanan di atas.2
3
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hlm. 59-61.
4
Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukkan Timur sebagai Subjek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 4.
5
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme al-Qur’an di Mata Barat:
Sebuah Studi Evaluatif, (Semarang: Dimas, t.t), hlm. 5.
10
Michael Foucault, Power Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972-1977, (The Haervester Press, 1980), hlm. 133.
11
Hanafi, op.cit., hlm. 26.
12
Ibid., hlm. 29
13
Ibid., hlm. 36-37.
14
Ibid., hlm. 30.
15
Ibid., hlm. 32.
16
Ibid., hlm. 5.
17
Ibid., hlm. 21.
http://ediakhiles.blogspot.com/2011/10/oksidentalisme-dalam-
18
wacana-dialog.html
Penutup
Oksidentalisme mengupayakan kenetralan kemampuan
ego dalam memandang the other, mengkajinya, dan mengubahnya
menjadi obyek, setelah sekian lama the other menjadi
subyek yang menjadikan pihak lain sebagai obyek. Namun,
oksidentalisme tidak berambisi merebut kekuasaan, melainkan
hanya menginginkan pembebasan. Oksidentalisme bertujuan
mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat
manusia dan sebagai pusat kekuatan, sekaligus melenyapkan
inferioritas Timur serta mengembalikan ego ketimurannya.
Salah satu alternatif menyikapi Barat yaitu melalui ide
demitologisasi Barat dan mendorong adanya penyeimbangan
perspektif netral antara ego (Timur) dengan the other (Barat).
Relasi keduanya harus direkonstruksi kembali dari hierarkinya
yang superior dan inferior menuju model dialektika yang
berimbang. Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
1
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia:
Sebuah studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (Jakarta:
INIS, 1993), hlm. 17.
5
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 5.
Masehi.6
Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang
kegiatan para pedagang Arabia dalam penyebaran Islam, cukup
pantas jika mengasumsikan bahwa mereka ikut terlibat dalam
penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi
tersebut menjadi semakin pantas jika mempertimbangkan
sumber-sumber Cina yang mengabarkan bahwa menjelang akhir
perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai
Sumatra. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan
perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus
sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab
pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-
anggota komunitas Muslim ini juga melakukan aktivitas-
aktivitas penyebaran agama Islam kepada penduduk lokal.7
Ada banyak sumber-sumber klasik Islam yang
menerangkan berbagai hal tentang Nusantara. Misalnya,
Ya’qubi (w. 377 H/987 M) menulis tentang hubungan dagang
antara pelabuhan Kalah di pantai barat semenanjung Melayu
dan Aden di Yaman. Hasan Abu Zaid as-Sirafi (w. 304 H/916
M) menyatakan bahwa Kalah merupakan pusat perdagangan
rempah-rempah dan dupa yang disinggahi oleh kapal-kapal dari
Oman, bahkan as-Sirafi telah menjelaskan dengan panjang lebar
tentang kerajaan maharaja di Jawaga (Jawa) dan serangannya
atas Kamboja (Qimar atau Khmer). Ibnu Faqih (w. 290 H/902
M?) menyebutkan tentang hasil-hasil kerajaan Sriwijaya (Zabij)
dan sifat kosmopolitan daerah itu, di mana orang-orang berbicara
dalam bahasa Arab, Persia, dan Cina. Ibnu Khurdadbih (w.
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.
305.
14-15.
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
9
14-15.
10
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
15.
11
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 7.
2009), hlm. 314. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah, 4.
18
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, 11.
19
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 316.
20
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 22.
32
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
33
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
34
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
35
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 98-99.
36
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
37
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99, dan 100.
38
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
39
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
40
Wahdat al-wujud adalah ajaran dari Sufi besar Ibnu ‘Arabi, yang
menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu
wujud sejati yaitu Allah (al-Haqq), hlm. sedangkan alam tidak dari sekedar
manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut. Sebagian kalangan menyebut
aliran ini dengan panteisme. Lihat Mulyadi Kertanegara, Grebang Kearifan:
Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 61, dan
68. Oleh banyak kalangan (terutama sebagian Fuqaha) ajaran ini dianggap
menyimpang.
41
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99 - 100.
42
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
43
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 99 - 100.
“menggurui”.
Pada era Mataram Islam, Sultan Agung mengeluarkan
kebijakan agar kebudayaan lama Jawa (era Hindu-Budha)
diakulturasikan dengan ajaran-ajaran Islam. Kebijakan Sultan
Agung ini menghasilkan akulturasi budaya, sebagai berikut:46
a. Grebeg disesuaikan dengan hari besar Islam, yaitu hari raya
idul fitri dan Maulid Nabi, yang disebut Grebeg Poso dan
Grebeg Mulud.
b. Gamelan Sekaten dibunyikan pada Grebeg Mulud, dipukul di
halaman masjid Agung.
48
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al
Ma’arif, 1989), hlm. 19.
49
Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta :
Gunung Agung, 1981), hlm. 257.
50
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, 21.
51
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 99.
52
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta:
Aditya media, 1992), hlm. 14.
54
Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam (Jakarta : Bulan Bintang,
1984), hlm. hlm.260.
55
Muhaimin Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung :
Bumi Aksara, 1991), hlm. hlm.111.
56
Kamal al-Din Imam, Ushul al-Fiqh Al-Islami (Bairut:Dar al-Fikr,
1969), hlm. 183.
57
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 1993),
hlm. 120.
60
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 117.
61
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.
62
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb. 2013.
DAFTAR PUSTAKA
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
Mulyadi Kertanegara, Grebang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-
masa-islam-di-indonesia/. Diakses pada 3 Maret 2013.
Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama. Jakarta :
Bulan Bintang, 1976.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung :
Al Ma’arif, 1989.
Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta :
Gunung Agung, 1981.
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
Aditya media, 1992.
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2007. Zakiah Darajat, Dasar-
dasar Agama Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1984.
Muhaimin Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung :
Bumi Aksara, 1991.
Kamal al-Din Imam, Ushul al-Fiqh Al-Islami. Bairut: Dar al-Fikr,
1969.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara,
1993.
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat. Diakses pada 08 Feb.
2013.
Andi Hartoyo
Sekolah Harapan Utama Batam
Email: agha_media@ymail.com
ABSTRAK
5
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC Kehidupan,
(Jakarta, Gramedia, 2004), hlm. 64–65
6
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung
Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV (Jakarta, Gramedia, 1999),
hlm, 157
mereka cari itu tidak berada di luar, yang sedang mereka cari
itu berada dalam diri mereka sendiri. bahkan, sebetulnya yang
sedang mereka cari itu adalah diri mereka sendiri.7
Agama hanya berperan sebagai jari telunjuk. Mereka yang
pernah mencapai kebenaran dan ingin meninggalkan pesan
bahwa “Ada kebenaran di situ”, tetapi manusia harus
mencarinya sendiri.8… dan nantinya yang akan Tuhan
tanyakan – kamu berbuat baik atau tidak? Identitas agama
tidak akan ditanyakan, Islam tidak akan masuk surga atau
neraka. Hindu, Budha, Islam – tidak harus bertanggung
jawab kepada siapa-siapa. Manusianya lah yang harus
bertanggung jawab kepada Tuhan. Islam tidak harus
dibela, orang membela agama – bodoh. Kenapa agama
harus kamu bela? Bela dirimu saja dari adzab Allah.9
Agama tidak perlu dibela, agamalah yang seharusnya
membela manusia, jika manusia itu menyadari bahwa agama itu
berasal dari Tuhan. Dengan melalui fenomena spiritualitas yang
menuntut kepedulian terhadap sesama makhluk Tuhan yang
mengaplikasikan cinta kasih. Tetapi, jika sulit untuk merasakan
kasih di dalam diri, anggaplah Tuhan sebagai perwujudan kasih
sejati, yang sifat utama-Nya adalah Rahman dan Rahim (maha
pengasih dan maha penyayang), karena itu, bila seseorang
menerapkan kasih di dalam hidup sehari-hari sesungguhnya
seseorang itu sedang menerapkan “Tuhan”. “Berke-Tuhan-an”
berarti “mengasihi”.10
Agama Cinta
Tuhan sebagai zat Yang Satu adalah wujud muhith
7
Ibid.
8
Anand Krishna, Reinkarnasi–Hidup tak Pernah Berakhir, (Jakarta:
Gramedia, 1998), hlm. 33.
9
Ibid.
10
Anand Krishna, Narada Bakhti Sutra–Menggapai Cinta Tak
Bersyarat dan Tak Terbatas, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 29
11
Ishq tidak sama dengan Mahabbah. Bila cinta atau mahabbah sudah
mencapai titik “ketidak warasan duniawi” dan menjadi liar lahirlah Ishq.
Mahabbah menunggu, menanti. Ia tunggu dijemput sang kekasih. Ishq enggan
menunggu, ia akan mendatangi sang kekasih dimanapun ia berada. Mahabbah
masih bisa menyabarkan diri. Ishq berkata “sabar apa? Adakah kesabaran
di luar yang maha sabar?” dan dalam ketidak sabaran semacam itu, ia pun
mencari yang sabar. Mencari yang sabar dalam ketidak sabaran diri. Anand
Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya Batas Kewarasan Duniawi dan Lahirnya
Cinta Ilahi, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 4
12
Orang bisu tidak bisa menjelaskan ap yang dirasakannya. Diberi
sesuatu yang enak, lezat, dia senang dan menikmatinya, tetapi bagaimana ia
menjelaskannya. Untuk definisi cinta baca lagi Anand Krishna, Narada Bakhti
Sutra–Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas, hlm. 212
13
Cinta tidak memiliki definisi yang melalui esensinya cinta menjadi
bisa dikenal. Sebaliknya yang dimilikinya hanya definisi-definisi deskriptif dan
verbal tidak lebih dari itu. Siapa pun yang mendefinisikan cinta sesungguhnya
tidak pernah mengenal cinta, siapa pun tidak pernah mereguknya, tidak pernah
mengenalnya. Dan siapa pun yang telah mengatakan bahwa mereka telah
merasa puas olehnya berarti tidak pernah mengenalnya, karena cinta adalah
mereguk tanpa pernah merasa puas. Lihat lagi buku Anand Krishna yang
berbicara masalah Cinta.
14
Ibid, hlm. 216
Manusia Spiritual
Dari sudut pandang mistisisme, pengalaman mistik-
spiritual memiliki beragam variasi. Dalam tradisi spiritual
Budha misalnya penghayatan pengalaman mistik-spiritual
biasa dipakai manusia untuk mencapai “Nirvana”. Zen untuk
menggapai “satori”sebagai pengalaman kebenaran. Sedangkan
dari sudut pandang epistemologi keagamaan, manusia spiritual
bukan sekedar bermakna fisik (badan bersih), tetapi justru lebih
bermakna metafisik, beresensi kerohanian, sehingga sempurna
secara spiritual.17 Pada dataran spiritual ini, manusia spiritual
tidak akan membedakan agama, karena roh yang menghidupkan
badan itu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan (Allah).18
Nama kita berbeda, tapi sinar Ilahi dalam diri kita satu adanya.
Cahaya kasih yang menggerakkan kita sama adanya. … dan
entah kamu beragama Kristen atau Islam atau Hindu atau
Budha atau entah apa saja atau bahkan bila kamu mengaku
tidak beragama–tidak menjadi masalah. Seperti darah yang
mengalir dalam badanmu tidak mengenali perbedaan agama,
begitu pula sinar Ilahi dalam dirimu, begitu pula cahaya
kasih dalam dirimu, tidak mengenali perbedaan agama. lalu
kenapa mereka mempermasalahkan agama?, karena mereka
tidak menyadari sinar Ilahi dalam diri mereka, mereka tidak
dalam bentuk pola hubungan antar sesama manusia, tetapi lebih merupakan
relasi antar manusia dengan benda suatu objek yang dapat ditata sesuai dengan
kehendaknya, diperalat sesuai dengan kepentingannya, serta tidak boleh
mengganggu kepentingannya. Dikutip dari Abd ‘A’la, Melampaui Dialog
Agama, Qomaruddin SF, ed., (Jakarta: Kompas, 2002), hlm, 60. dan lihat
juga K.Berten, Filsafat Barat Abat XX; Inggris – Jerman, (Jakarta: Gramedia,
1983), hlm. 163-164.
17
Ada tiga hal yang biasanya dapat diperoleh dalam kehidupan
ini; kemulian, keseimbangan dan kesadaran. Apabila tidak satupun yang
diperolehnya, maka hidup manusia menjadi hampa dan sangat tidak berguna.
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Karya Agung Sripaduka
Mangkunagoro IV, hlm. 105-106.
18
Anand Krishna, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi, hlm.
152.
22
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC
Kehidupan, hlm. 80-81
23
Ibid, dan Anand Krishna, Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir,
hlm. 85, serta Anand Krishna, Kehidupan – Panduan Untuk Meniti Jalan Ke
Dalam Diri, hlm. 80
24
Mewujudkan Surga di dalam dunia adalah Surga dalam arti yang
merupakan suatu keadaan (tingkat kesadaran). Istilah ‘Surga’ yang digunakan
dalam bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Sansekerta “Svarga”. Svarga
berarti Suvarga. Kemudian dalam bahasa Indonesia ada istilah ‘Warga’ yang
dalam bahasa Sansekerta ‘Varga’. Warga dan Varga dapat diartikan sebagai
dalam hidup ini, sekarang, saat ini dan di tempat ini, berarti
menyadari kehadiran Allah disini, sekarang, saat ini dan di
tempat ini juga.
Semesta ini adalah bait Allah. Rumah Allah yang ada di Mekah
dan di Yerussalem dan di Himalaya – dan dimana pun anda
kira – itu hanya simbolik. Sesungguhnya alam semsta ini
adalah rumah-Nya. … seandainya kita bisa berpikir demikian,
maka definisi kata Islam akan menjadi luas sekali, seandainya
kita beranggapan demikian kasih Kristiani akan merangkul
lebih banyak orang lagi, seandainya kita memahami hal
ini, kehinduan dan kebudhaan umat Hindu dan Budha akan
memperoleh makna tambahan. Tetapi, sebaliknya apabila anda
tidak dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidup ini, sia-
sialah hidup anda. Jangan mengharapkan bisa melihat kerajaan
Allah setelah mati nanti, jika anda tidak dapat melihatnya
dalam hidup ini.25
fenomena baru yaitu fenomena kuno, namun tetap baru yaitu Kasih. Lihat lagi
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Karya Agung Sripaduka
Mangkunagoro IV, hlm. 228-232
27
Anand Krishna, Bersama Khalil Gibran – Menyelami ABC
Kehidupan, hlm. 88
28
Ibid, hlm. 89
29
Dia itulah “Aku”. “Aku”, “Dia”, “Kau” pun sama, Dia, Dia…. Bila
kamu tidak senang dengan “Aku” maka katakana Dia, Dia,Dia….yang ada
hanyalah Dia, sama saja anatara “Aku”, “Kau” dan “Dia”. Dan bila manusia
masih memisahkan diri dengan Allah, maka itu, berlaku pemahaman mu
bagimu, pemahaman ku bagiku. Anand Krishna, Ishq Allah – Terlampauinya
Batas Kewarasan Duniawi dan Lahirnya Cinta Ilahi, hlm. 54-55
30
Anand Krishna, Atma Bodha,….., hlm. 60
31
Brahman berasal dari sebuah suku kata yang berarti “Berkembang
Terus”, kebenaran tidak pernah berhenti berkembang. Ia berkembang terus.
Brahman juga disebut Anaadi dan Ananta – tak berawal dan tak berakhir. Ibid,
hlm. 122
32
Ibid, hlm. 102
Kesimpulan
Pluralitas agama dalam pandangan Anand Krishna
secara niscaya berhubungan erat dengan perspektif yang bisa
dimunculkan oleh masing-masing pribadi tentang agama.
Agama bagi individu merupakan suatu jalan untuk membentuk
kepribadian mereka menjadi manusia seutuhnya. Agama dalam
pandangan Anand Krishna tidak diorientasikan membentuk
manusia menjadi Hindu, Sikh, Budha, dan Islam atau dalam
bentuk agama apapun. Akan tetapi, agama hadir ke tengah-
tengah kehidupan dalam rangka menciptakan manusia menjadi
manusia seutuhnya.
Agama menurut Anand Krishna merupakan jalan
individu untuk mencapai suatu tempat. Pencapaian tersebut
akan dilakukan oleh setiap pribadi melalui agama yang diyakini.
Untuk itulah, selama pencapaian terhadap tempat-tempat
tersebut terus dilakukan maka jalan-jalan menuju ke arahnya
akan senantiasa dicipta dan dihadirkan.
35
Ibid, hlm. 109
DAFTAR PUSTAKA
Mas’udi
STAIN KUDUS
Email: msd.jufri@gmail.com
ABSTRAK
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj., Abdul Hadi
1
Ibid.
5
7
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj., Suharsono.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 108.
itu datang untuk umat manusia maka mau tidak mau agama
harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan sifat-sifat
kemanusiaan dengan berbagai dinamikanya. Untuk mewujudkan
nilai keseragaman dalam dimensi keagamaan, Frithjof Schuon
mengatakan:
Agar agama dianggap tetap ortodoks, ia harus didukung
sepenuhnya oleh doktrin yang memadai tentang Yang
mutlak. Ia juga harus menjunjung tinggi dan mewujudkan
suatu kerohanian yang sesuai dengan doktrin tersebut
baik sebagai konsep maupun realitas. Ini berarti ia harus
berhulu Ilahi dan karenanya diikuti dengan sakramental
atau kehadiran supranatural yang menjelmakan dirinya
terutama di dalam mukjizat-mukjizat dan dalam seni
sakral. Unsur-unsur formal tertentu seperti tokoh-tokoh
rasul dan kejadian-kejadian keramat berada di dalam unsur-
unsur utama di atas. Oleh karena itu semua ini mungkin
yang membedakan dalam signifikansi dan nilai antara satu
agama dengan agama lainnya, karena perbedaan manusiawi
menjadikan perbedaan semacam itu tidak terelakkan,
tanpa menyebabkan timbulnya pertentangan dalam
kriteria penting yang menyangkut kebenaran metafisis dan
kekuatan penyelamat serta stabilitas manusia.8
9
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 8.
10
Ibid.
19
William E. Phipps, Muhammad dan Isa, terj., Ilyas Hasan (Bandung:
Mizan, 200), hlm. 305.
20
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj., Zaimul Am (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 27.
21
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over, hlm.
7.
Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science (Albany: State
28
35
Seyyed hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 188.
36
William E. Phipps, Muhammad dan Isa, hlm. 311.
37
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan, hlm. 59.
38
Nama lengkap as-Suhrawardi al-Maqtul adalah Syihab al-Din
Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al-Futh Suhrawardi, beliau sangat terkenal
dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru Iluminasi (Syaikh al-Isyraq), suatu
sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri madzhab baru filsafat yang
berbeda dengan madzhab Peripatetik (madzhab, atau maktab al-Masysya’un).
Suhrawardi lahir di kota kecil Suhraward di Persia Barat Laut pada 459
H/1154 M. Ia menemui kematian tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587
H/1191 M dan karena itulah terkadang disebut guru yang terbunuh (al-Syaikh
al-Maqtul). Lebih lanjut baca, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed.,
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj., Tim Penerjemah Mizan (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 544.
39
Taufiq Abdullah, et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran
dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 216.
40
Ibid., hlm. 215.
41
Isma’il Raji al-Faruqi, ed., Trialogue of the Abrahamic Faiths (New
Delhi: Genuine Publication Pvt. Ltd, 1989), hlm. 7.
42
Ibid., hlm. 9.
Tuhan.44
Tatanan hirarkis hubungan manusia di atas adalah
dimensi logis yang harus dipahami oleh masing-masing orang
akan keterikatannya dengan manusia lebih-lebih hubungan
mereka dengan Tuhan. Lebih jauh lagi Nasr memberikan suatu
tatanan bahwa al-Tauhid atau kesatuan, yang merupakan doktrin
sentral Islam dan juga bermakna “integrasi”, karenanya dimulai
dengan integrasi jiwa individu ke dalam lokus tempat Tuhan
bersemayam, baru kemudian ditarik kepada ikatan-ikatan antara
anggota keluarga dan selanjutnya kepada kelompok-kelompok
yang lebih besar dan seterusnya sampai akhirnya melingkupi
seluruh makhluk hidup.45
44
Seyyed Hossein Nasr, The Hearts of Islam, hlm. 237.
45
Ibid., hlm. 238.
46
Ahmad Norma Permata, ed., Perenialisme Melacak Jejak Filsafat
Abadi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 150.
50
Abdul Basir Solissa, “Tradisi dalam Pemikiran Seyyed Hossein
Nasr”, hlm. 20.
51
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 1.
Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science, hlm. 64.
57
60
Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan yang lain”
(taqdir al-Shay’ bigairih), penetapan suatu hukum yang disebutkan dalam
suatu nas (al-Qur’an atau al-Hadits)untuk suatu peristiwa hukum yang belum
ditentukan hukumnya karena di antara kedua hukum itu terdapat kesamaan.
Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, Jilid. III (Jakarta: DEPAG.
R. I., 1993), hlm. 967.
61
Ijma’ (Bahasa Arab) mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan
mengatur suatu hal yang tak teratur, atau menetapkan dan memutuskan suatu
perkara. Menurut istilah ulama fiqih, ijma’ adalah kesepakatan pendapat di
antara para mujtahid (ulama) atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqh
pada periode tertentu mengenai masalah hukum. Kesepakatan tersebut dapat
terjadi dengan 3 cara: A. Dengan ucapan (qaul), yaitu berdasarkan pendapat-
pendapat yang dikeluarkan oleh para mujtahid yang diakui sah tentang suatu
masalah. B. Dengan perbuatan (fi’il) yaitu kesepakatan pengalaman di antara
mujtahid atau ulama. C. Kesepakatan secara diam (sukut) yaitu apabila para
mujtahid tidak membantah suatu pendapat dari satu atau beberapa mujtahid.
Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, jilid. II, hlm. 430.
62
Istihsan adalah suatu cara penetapan hukum dalam Islam melalui
ijtihad bi ra’iy yang berkaitan erat dengan qiyas. Arti istihsan yang lebih luas
dikemukakan oleh Abu Hasan al-Karakhy (ulama Hanafiah) bahwa istihsan
pada hakikatnya adalah berpalingnya mujtahud dari memberikan hukum pada
suatu masalah dengan hukum seperti yang telah diberikan kepada masalah
yang sebanding, karena ada sebab kuat yang menghendaki mujtahid berpaling
dari yang pertama. Lebih lanjut baca, DEPAG. R. I, Ensiklopedi Islam, jilid. II,
hlm. 488.
63
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 5.
Penutup
Dogma yang membenarkan agama sendiri atas agama lain
harus ditiadakan sebagai suatu pengejawantahan dari Realitas
Ilahi Yang Universal. Hal inilah yang antara lain digelisahkan oleh
beberapa tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr dan Frithjof Schuon,
karena bagi keduanya kesatuan agama yang termanifestasikan
dalam nilai-nilai esoteris agama harus senantiasa dihidupkan.
Bagi mereka, aspek esoteris itu sendiri tidak lain dari pancaran
dan inti yang berada di balik yang eksoteris. Oleh karena
itu, agama yang menolak kenyataan metafisis dan bangunan
kerohanian dan kemudian hanya berpegang pada dogma lahiriah
akan menimbulkan kekafiran yang tidak terelakkan. Abdul
Basir dalam pernyataannya mengatakan bahwa dogma agama
yang tercabut dari dimensi rohaniah akan menjadi bumerang
dan potensial melahirkan bid’ah bahkan sikap ateistik.
Nasr mengungkapkan, dalam mewujudkan masyarakat
yang tradisionalis, manusia dibimbing untuk senantiasa mengerti
dan memahami hakekat dari perwujudan tradisi itu sendiri.
Tradisi, dalam pengertiannya yang universal, adalah usaha untuk
membimbing manusia menuju surga dengan prinsip-prinsip yang
mengikat mereka. Agama dalam dimensi ini sebagai manifestasi
dari bimbingan ini ketika dilihat dari esensinya tidak lain adalah
upaya pengejawantahan dari prinsip-prinsip yang mengikat
ini atau penampakan dari surga untuk membimbing manusia
kembali kepada permulaannya. Semua tradisi, secara duniawi
adalah manifestasi pola dasar surgawi yang pada akhirnya
berhubungan dengan pola dasar abadi Tradisi Sejati. Dalam cara
yang sama, semua wahyu itu dihubungkan dengan logos atau
64
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 182.
DAFTAR PUSTAKA
Nur Ahmad
STAIN KUDUS
Email: ahmadnur73@gmail.com
ABSTRAK
Pendahuluan
Dakwah Islam tidak hanya mengajak dan menyeru umat
manusia agar memeluk Islam, akan tetapi lebih dari itu dakwah
juga berarti upaya membina muslim agar mampu menjadi
masyarakat yang lebih berkualitas (khairu ummah) yang selalu
dibina dalam nilai-nilai keislaman. Islam merupakan konsepsi
yang sempurna karena meliputi segala aspek kehidupan manusia
baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Secara teologis Islam
merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah. Sedang
dalam aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban,
kultur dan realitas sosial dalam kehidupan.1
Selanjutnya dakwah merupakan proses yang
berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban
dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk
ke jalan Allah, dan mentransformasikan sikap batin dan prilaku
warga masyarakat menuju suatu tatanan kesalehan individu
serta kesalehan sosial dan secara bertahap menuju tatanan
1
Elizabeth K. Notthingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pende
katan Sosiologi agama, Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2002, hal : 31.
2
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta, PT. Amzah, 2009, hal
95-98.
Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan
3
4
Noor Ma’rufin, Sosiologi Agama STAIN Kudus, 2006, hal 244.
5
Baehaqi Imam, 2002, Agama dan Relasi Sosial, Yogyakarta, LKiS,
2005, hal 51.
6
http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-dan-
kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-rumah-ibadah, diunduh 3 juni
2013.
7http://www.kemenkumham.go.id/berita-pusat/9-biro-humas-dan-
kln/318-upaya-pencegahan-konflik-pendirian-rumah-ibadah, diunduh 3 juni
2013
8K
ustini, Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, Jakarta:
Balitbang Departemen Agama RI, 2009 hal 2
9
Ibid, Kustini
http://www.membuatblog.web.id/2010/07/kemajemukan-
13
14
Hasil wawancara dengan KH. Ahmad Shobar, selaku tokoh agama
Islam di Desa Payaman pada bulan Juni 2013.
Penutup
Konflik yang disebabkan persoalan rumah ibadah
misalnya, ini merupakan persoalan yang serius dan cukup sensitif.
Oleh karenanya masalah ini harus disikapi dengan bijaksana
atau dengan pendekatan aturan hukum Negara. Gagasan ini
dapat diartikan bahwa negara menjadi tempat dan mekanisme
transformasi yang disepakati, dengan sendirinya wilayah negara
melahirkan entitas negara dan entitas warga, maka negara harus
menjamin kebebasan keyakinan dan keberagaman masing-masing
kelompok, bukan memberi hak luas kepada satu kelompok dan
mendiskriminasikan kelompok lain dan tentunya aturan hukum
tersebut bukan untuk mengawasi dan mengintimidasi warga
negara atau mendiskriminasikan kelompok agama lain.
Menurut Alwi Shihab bahwa ada banyak faktor yang
menyebabkan ketegangan, perselisihan dan permusuhan kaum
Muslimin dan kaum Kristen. Ada banyak kepentingan terlibat
didalamnya, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, social,
budaya hingga keamanan. Namun ada satu faktor yang senantiasa
mewarnai setiap konflik Muslim-Kristen yakni perbedaan
teologi, dimana Islam hanya menganut system kepercayaan
yang dikenal Islam dengan istilah tauhid (satu Tuhan).
Beberapa peristiwa yang memicu terjadinya konflik
muncul berkaitan dengan pembangunan sarana ibadah
adalah munculnya bangunan-bangunan yang berkelamin
agama (terutama agama minoritas). Pada umumnya potensi
konflik tersebut biasanya muncul karena beberapa persoalan,
diantaranya belum adanya penjelasan mengenai persyaratan dan
tata cara pendirian rumah ibadah, proses perizinan rumah ibadat
yang sering berlarut-larut, penyalahgunaan rumah tinggal atau
bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibadat, pendirian
atau keberadaan rumah ibadat yang sesuai dengan prosedur
DAFTAR PUSTAKA
Ma’mun Mu’min
STAIN Kudus
Email: makmunmukmin@yahoo.co.id
ABSTRAK
1
Baca juga, Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-
Mufassirun, jilid I, (Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961), hlm. 430.
2
Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I,
hlm. 431.
3
Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I,
hlm. 429. Baca juga, Muhammad Ali ash-Shobuni, 1982: 197 dan Abdul Halim
Mahmud, 1984, hlm. 105, kemudian Manna’ul Qaththan, 1987, 369.
4
Baca, Mahmud Basuni Faudah, 1987: 116, Ibn Khaldun, t.t.: 491,
dan Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, hlm.
440.
tahun.
Dari al-Sa’biy: ”Adapun yang dimaksud dengan awal-
mula penurunan al-Qur’an pada Malam Lailatul Qadr.
Mereka berbeda pendapat mengenai waktunya, kebanyakan
mereka berpendapat, sesungguhnya hal itu terjadi pada bulan
Ramadan dalam sepeuluh hari akhir Ramadan (malam ke-20
Ramadan).ada juga yang berpendapat tujuh hari sebelum
akhir Ramadan (malam tanggal 23).
Sedang yang dimaksud dengan Lailatul al-Q adr adalah
malam penentuan segala urusan. Sebagaimana firman Allah
SWT: Fiaha Yufraqu Kullu Amrin Hakiim, artinya: Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh dengan
hikmah (Q.S. ad-Dukhan (44) ayat 4). Menurut pendapat
lain, dinamai dengan Lailatul al-Qadr untuk meninggikan
serta memuliakannya atas malam-malma yang lain. Sebab
malam itu lebih baik dari seribu bulan. Sebab pada malam
itulah turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril, serta
penentuan segala urusan yang penuh dengan hikmah. Para
Malaikat itu turun ke Langit Dunia. Menurut pendapat lain,
yaitu turun ke bumi, untuk mengatur segala urusan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sehingga malam itu penuh
dengan kesejahteraan sampai terbit fajar (az-Zamakhsyary,
Jilid 4, 1977: 273).
Tingginya kemuliaan Malam Lailatul Qadr ini,
menggiring banyak sekali hadis Nabi Muhammad Saw yang
menceritakan akan kemuliaan malam mini. Diantara hadits-
hadits itu adalah, sabda Nabi Saw, yang artinya: “Rasulullah
Saw bersabda: “Sungguh telah dating kepada kamu sekalian
Bulan Ramadan, yaitu bulan yang penuh dengan keberkahan,
pada bulan ini Allah SWT telah memardukan berpuasa pada
kamu sekalian, pada bulan itu semua pintu surga dibukakan,
Kesimpulan
Diktum al-Qur’an makhluq (hadis) yang dimaksudkan
oleh Imam az-Zamakhsyary, adalah al-Qur’an yang tersusun
oleh huruf-huruf, kalimat-kalimat, dan lafaz-lafaz. Beliau
berpendapat demikian adalah suatu hal wajar meurut hemat
penyusun, sebab beliau adalah salah seorang tokoh mufassir yang
beraliran mu’tazilah dalam bidang aqidah, serta bermazhabkan
Hanafi dalam masalah fiqh. Tentunya sedikit banyak beliau
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Pancasila Mu’tazilah. Jadi,
yang dimaksud al-Qur’an hadis oleh az-Zamakhsyary hádala al-
Qur’an dalam konteks sosiologis, yaitu al-Qur’an yang sudah
tersentuh oleh budaya umat manusia, seperti ada tulisannya,
huruf-huruf, dibukukan, dan dicetak oleh penerbit.
Sementara yang dimaksud dengan diktum “al-Qur’an
Qadim”, sebagaimana yang dikatakan oleh Sunni adalah al-
Qur’an yang tidak tersusun oleh huruf-huruf, tidak terdiri dari
kalimat-kalimat, dan tidak tersusun oleh lafaz-lafaz (suara-
suara). Hemat penyusun, adalah merupakan suatu kewajaran
beliau berpendapat demikian, sebab beliau adalah seorang
tokoh mufassir kenamaan, yang beraliran Asy’ariyah dan
bermazhabkan Syafi’iy dalam masalah fiqh. Yang tentunya ia
sangat kukuh dalam memegang prinsip ke Asy’ariyahannya. Jadi,
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Rosyid
STAIN Kudus
Email: mrosyid@yahoo.co.id
ABSTRACT
Pendahuluan
Pada Hari Amal Bakti/HUT Depag ke-62 pada 3 Januari
2007 Menag RI Maftuh Basuni (saat itu) dalam sambutan
tertulis pada upacara HUT Depag terdapat anggle “situasi
keagamaan bangsa kita akhir-akhir ini dilanda permasalahan
d)
yang meresahkan yaitu munculnya aliran sempalan dan paham
keagamaan menyimpang yang secara nyata menodai agama”.
Imbas lanjutan pernyataan tersebut gulung tikarnya Ahmadiyah
di beberapa daerah.1 Buntut kerusuhan di Cikeusik, Pemda
1
Ahmadiyah di wilayah Ungaran bagian selatan, Kab.Semarang,
Jateng, menghentikan aktivitas pascaterbitkannya SKB (Jawa Pos,12/6/2008,
hlm.5), Begitu pula di Surakarta (Jawa Pos dan Suara Merdeka,12/6/2008),
Ahmadiyah di Manis Lor, Kab. Kuningan, Jabar dicidrai masyarakatnya
(Kompas,28/12/2007). Ahmadiyah di lokasi pengungsian Transito, Mataram,
NTB mengharapkan suaka ke AS ketika Wakil Konsulat Jenderal AS, Jeffri
M.Loore, dan sejumlah konsulat yang mengunjunginya menjanjikan akan
menyampaikan keinginan pengungsi kepada pemerintah AS (Jawa Pos,
18/10/2008, hlm.13). Hingga ditulisnya naskah ini, informasi kelanjutannya
belum diperoleh penulis. Ahmadiyah di tempat lahirnya (Pakistan) sejak 1977,
era Presiden Ziaul Haq, bermarkas di Kota Rabwah, Provinsi Punjab, dibatasi
ruang geraknya tak boleh adzan secara terbuka, tak boleh membangun menara
yang tinggi menyerupai masjid, dilarang berhaji ke Makkah, tak memiliki hak
politik, dan tak diperbolehkan mengucapkan salam, jika mengucapkan salam dan
Potret Ahmadiyah
Kelahiran Ahmadiyah tak dapat dipisahkan dengan
gerakan orientalisme dan kolonialisme di Asia Selatan. Tokoh
orientalis, Sayyid Ahmad Khan bahwa akhir abad ke-19
memprakondisikan masyarakat India dihadapkan dengan gagasan
yang menyimpang Islam. Didukung oleh kolonial Inggris yang
mengadudomba masyarakat, pada 23 Maret 1889 mendirikan
Ahmadiyah. Agar gerakannya mendapat wibawa, ditunjuklah
keluarga bangsawan India keturunan Kerajaan Moghul, putra
pasangan Mirza Ghulam Murtadha dengan Ciraagh Bibi, Mirza
Ghulam Ahmad (1839-1908). Nenek moyangnya berhubungan
keluarga dengan Zahiruddin Muhammad Babur, pendiri Dinasti
Mogul (1526-1530). Ayahnya seorang hakim pemerintah
kolonial Inggris di India. Ghulam lahir 13 Februari 1835, ada
yang menyebut 1839 M/1255 H di Desa Qadian, Punjab, India
16
Iskandar.2005, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta:
LKiS, hlm.101-104.
17
Republika, 15/10/2010.
Ahmadiyah di Indonesia
Kehadiran aliran Ahmadiyah di Indonesia atas prakarsa
tiga pemuda yang baru berusia 16 s.d 20 tahun (Abu Bakar
Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan) asal Minangkabau,
2005. Hlm.6.
Ibid. Hlm:61.
20
Resolusi Konflik
Konflik merupakan keniscayaan sejarah dan berpeluang
muncul. Makna positif konflik berupa terjadinya perubahan
sosial, makna negatif berupa kerenggangan sosial dan kekerasan26.
Mengelola konflik menurut Solihan dengan memahami penyebab
konflik dan menyikapi tipe konflik. Jenis penyebab konflik
berupa pemicu (triggers), penyebab dasar (pivotal factors),
faktor yang memobilisasi (mobilizing factors), dan faktor yang
memperburuk (aggravating factors).27 Pemicu konflik karena
perbedaan bersifat teologis, meski belum terpicu secara terbuka
dan tak adanya faktor yang memobilisasi konflik. Penyebab
konflik menurut Solihan secara teoretis (1) terjadi polarisasi,
ketidakpercayaan, dan permusuhan antarkelompok yang berbeda
dalam satu komunitas, (2) disebabkan posisi yang diadopsi oleh
d) kelompok yang bertentangan semata, (3) kebutuhan manusia
yang tak tercukupi (fisik, psikologis, dan sosial), (4) identitas
yang terancam, (5) miskomunikasi antarbudaya karena gaya yang
berbeda, (6) transformasi konflik; disebabkan ketidaksetaraan
26
Jenis kekerasan menurut Salmi (2005:32) terpilah kekerasan
langsung (direct violence) yakni menyerang fisik dan psikis individu secara
langsung, kekerasan tidak langsung (indirect violence) yakni tindakan yang
membahayakan manusia bahkan ancaman kematian, tetapi tak melibatkan
hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggung jawab atas
tindak kekerasan. Kekerasan represif (repressive violence) berkaitan dengan
pencabutan hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi
dari kesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif (alienating violence)
berupa pencabutan hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan
kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual.
27
Sholihan, Memahami Konflik dalam Mengelola Konflik Membangun
Damai, Mukhsin Jamil (Ed) (Semarang: Wali Songo Media Center, 2007),
hlm.5.
Ibid, hlm.16-17.
28
30
Pencegahan melawan penyiksaan dengan menyembunyikan
keyakinan dan praktik keagamaan melalui sikap pura-pura. Pengembangan
lebih jauh, menyembunyikan secara aktif keyakinan yang sesungguhnya demi
melindungi nyawa, harta benda, dan agama.
31
Reaksi masyarakat Kudus tahun 2006 kaitannnya dengan
sentimen agama-kepercayaan yakni ketegangan antara warga Desa Getas
Pejaten, Kecamatan Jati dengan umat Kristiani yang dilatarbelakangi oleh
pemanfaatan rumah toko (ruko) di gedung IPIEMS di jalan Agus Salim yang
dijadikan tempat ibadah (gereja) pimpinan pendeta F. Iskandar Wibawa karena
dianggap menyalahi fungsi. Hal tersebut direspon oleh Bupati Kudus dengan
menerbitkan surat No.450/7777/11/2006, 23/11/2006 yang ditandatangani
oleh Asisten Tata Praja Kudus. Isi surat, agar menghentikan penggunaan ruko
sebagai tempat ibadah. Untuk mengurangi tensi ketegangan, aparat Polres
Kudus pun disiagakan (Jawa Pos,Radar Kudus,27/11/2006, hlm.1). Juga
munculnya jamaah dzikrussholikhin pimpinan Nur Rokhim di wilayah Rt. 06
Rw. 01 Desa Golantepus, Mejobo, Kudus,2007. Sang tokoh mengakui bertemu
dengan malaikat yang diakibatkan (dalam pengakuannya) oleh ketaatannya
melakukan dzikir setiap malam. Sehingga pada suatu malam ditemui cahaya,
cahaya tersebut mengajak ruh Nur Rokhim bersinggah pada rumah mewah.
Oleh Rokhim, cahaya dianggap sebagai bentuk malaikat. Pengalaman
spiritual tersebut dipublikasikan melalui selebaran, sehingga oleh (sebagian)
masyarakat Kudus dianggap aliran sesat dan membuat tegangnya suasana
desa. Agar permasalahan tak meruncing menjadi konflik, maka aparat desa
dan kepolisian mendamaikan kedua belah pihak di balai desa setempat ( Jawa
Pos, Radar Kudus, 4 dan 8/9/2007, hlm.1).
Gusjigang; dari kata ’Gus’, bagus (baik) perilakunya, ji; dari kata
kaji (haji) atau ngaji (mengaji), dan gang bermakna pedagang.
Keempat, kehidupannya semi individualis imbas pelaku wisata
yang berhadapan dengan ‘dunia jalanan’ dan penyelesaian
dengan cara demonstrasi menjadi tren, sebagaimana tayangan
media massa yang memberitakan realitas Ahmadiyah di wilayah
Jawa Tengah.
Ahmadiyah di Kudus memiliki strategi resolusi konflik
dengan ‘mengamankan’ kelompoknya, memberi pemahaman
pada masyarakat umum bahwa alirannya tak sesat dengan siasat
(1) membuat selebaran yang dibagikan pada warga Colo pada
2006 bertuliskan tuhannya sama, nabinya sama, (2) masjid
yang mereka bangun diberi tulisan kalimat Laailaha illallah
Muhammdurrosulullah, lafal baru muncul setelah 10 tahun
berdiri semenjak gejolak terhadap Ahmadiyahan di Indonesia,
(3) menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan dengan warga
Desa Colo yang non-Ahmadi, seperti menjadi pedagang dan
anggota perkumpulan sosial-keagamaan yang terdiri warga
nahdliyin, (4) proaktif terhadap kebijakan pemerintah dan
taat terhadap norma sosial yang berlaku di lingkungannya,
(5) tempat tinggalnya bergabung dengan warga non-Ahmadi,
dan (6) interaksi sosialnya positif sebagaimana pembagian
daging kurban warga Ahmadi pada warga non-Ahmadi. Pada
1433 H/2012 M terdapat 4 kambing kurban warga Ahmadi a.n
Sukardi, Mubarik, Endro, dan Kasminah, sebanyak 70 bungkus
untuk warga non-Ahmadi dan 13 bungkus untuk warga ahmadi.
Setiap bungkus minimal berisi 1 kg daging. Pada 2013 terdapat
2 kambing kurban warga Ahmadi yakni Bpk. Endro dan warga
ahmadi dari Solo. Daging terbungkus 42 kantung plastik yang
dibagikan pada 14 KK warga ahmadi dan 28 untuk tetangga
ahmadi yang muslim. Begitu pula warga Ahmadi mendapatkan
Penutup
Resolusi menangkal konflik yang dilakukan komunitas
Ahmadiyah di Kudus berupa (1) membuat selebaran yang
dibagikan pada warga Colo pada 2006 bertuliskan tuhannya
sama, nabinya sama, (2) masjidnya diberi tulisan kalimat
laailaha illallah muhammdurrasulullah, meski setelah 10
tahun berdiri semenjak gejolak keahmadiyahan di Indonesia,
(3) menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan dengan warga
Desa Colo yang non-Ahmadiyah, (4) proaktif terhadap semua
kebijakan pemerintah dan taat terhadap norma sosial yang
34
Moh. Rosyid, ”Ahmadiyah di Kabupaten Kudus”, Analisa, Jurnal
Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan, Vol.XVIII, No.01, Januari-Juni 2011.
Balai Litbang, Kemenag, Semarang. hlm.91.
DAFTAR PUSTAKA
d)
Manijo
Dosen STAIN Kudus
Email: jojomanijo@gmail.com
ABTRAK
Pendahuluan
Indonesia harus bangkit, Indonesia harus maju ke depan,
Indonesia harus modern, adalah slogan-slogan motivasi bagi
bangsa Indonesia terutama manusia Indonesia, dimana posisi
manusia dalam pembangunan ada pada wilayah sebagai subyek
dan obyek pembangunan yang lazim disebut Sumber Daya
manusia (SDM). SDM adalah pusat perubahan dalam kemodernan,
SDM merupakan kunci kemajuan dalam kehidupan, manusia juga
sebagai penggerak (motor) bagi semua sektor turunanya. Bila
manusia baik, produktif, inovatif, kreatif dan progresif, maka
roda kehidupan dalam berbangsa dan bernegara juga akan cepat
)
maju, dan mungkin lebih cepat sejahtera.Tapi bila SDM tidak
bisa diandalkan semua serba minus dan pasif, maka apa jadinya
Negara dan bangsa pada masa depannya.
Tanggal 28 Oktober1 dalam setiap tahunnya di Indonesia
1
Hari sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah
hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena tekad dan keberanian
para pemuda kala itu untuk tetap pada satu Indonesia. Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia.Kedua Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
2
Seperti tokoh pemuda Andi malarangeng, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap mantan Menpora
Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi proyek hambalang.
Ini merupakan pemeriksaan kedua Andi dalam sepekan, setelah Jumat 11
Oktober 2013 pekan lalu dia diperiksa penyidik KPK sebagai tersangka.dan
akhirnya ditahan oleh KPK.
3
Jumlah penduduk menurut Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan kalau tahun ini penduduk
Indonesia diperkirakan akan mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan
penduduk 1,49% per tahun. Liputan6.com.
5
Apa yang dimaksud ilmiah dalam pandangan Hanafi disini adalah
jika teologi tidak asing dari dirinya sendiri. Artinya, teologi tidak hanya berupa
)
ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan
dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Lihat Hanafi, Agama,
Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), 408-9. Adapun statementnya
bahwa teologi tidak bisa dibuktikan secara filosofis, sama sebagaimana yang
pernah disampaikan al-Farabi, adalah bahwa metodologi teologi tidak bisa
mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang
Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan
tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga
teologi hanya cocok untuk komunitas non-filosofis, bukan kaum filosofis.
Lihat Osman Bakar, Herarkhi Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 149. Statement
ini juga pernah disampaikan oleh Al-Ghazali, dalam Al-Munqid Min al-Dlalâl,
( Beirut, dar al-Fikr, tt), 36.
44-5. Atas dasar inilah kemudian Hanafi menuduh teologi Asyari sebagai salah
satu penyebab kemunduran Islam, disamping sufisme.
7
Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I, (Kairo; Maktabah Matbuli,
1991), Historis/Rekonstruksi Teologi
Riwayat Hidup
Hassan Hanafi adalah pemikir Arab dalam bidang teologi.
Sebelum menulis buku teologi antroposentris, beliau juga pernah
menulis buku tentang teologi dengan judul Teologi Islam. Buku
pertama ini Beliau masih mengartikan teologi sebagaimana
pemikir Islam lakukan yaitu teologi teosentris, namun pada buku
teologi kedua ini Beliau justru bertolak 180 derajat. Dulu teologi
bermuara pada Tuhan, namun sekarang teologi bermuara pada
manusia, itulah sebabnya disebuat teologi antroposentris.
Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935,8 dari
keluarga musisi. Layaknya anak-anak di Mesir Hassan Hanafi
belajar dan menimba ilmu mulai dasar sampai ke jenjang
berikutnya, Pendidikannya diawali di pendidikan dasar di
wilayahnya, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah
‘Khalil Agha’, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini,
Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul
Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan
dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga
mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial
dan keislaman.
Kebiasaan berfikir dalam Islam, sudah terlihat sejak kecil,
pemikirannya yang cerdas, telah menghantarkan beliau lebih
)
banyak mengkaji ilmu-ilmu Islam termasuk teologi. Pengaruh
kehidupan politik, dan sosial saat itu berimbas juga pada cara
pandang Hanafi dalam berfikir Islam. Tahun 1952 itu juga,
setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen
Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang
gelar sarjana muda, Berkat dukungan keluarga dan budaya kala
itu Hanafi terus melanjutkan pendidikannya ke luar Negeri yang
Kondisi Sosial
Mesir secara sosial merupakan negara yang tidak pernah
berhenti dalam percaturan peradaban dunia, Mesir mulai awal
adanya ilmu pengetahuan, Mesir tetap menjadi perhatian para
peikir dunia, politik dan letak geografisnya yang strategis mampu
menjadi daya tarik tersendiri dalam perebutan kekuasaan, Mesir
selalu meninggalkan peradaban yang mendunia, sebut saja
seperti Raja Firáun, Piramid, bahkan Terusan Sueznya. Mungkin
)
atas dasar itu pula mesir sampai sekarang tetap menarik untuk
berubah secara dinamis.
Kedinamisan masyarakat Mesir itu jugalah yang
12
Ridwan,Ibid. Lebih lengkap tentang gagasan dan apa yang dimaksud
dengan ‘Islam Kiri’ oleh Hanafi, lihat tulisan Hanafi Al-Yasar al-Islamî dalam
Jurnal Islamika edisi 1 Juli- September 1993, atau bisa juga dilihat pada
bagian apendik dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan
Postmodernisme Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogya, LKiS,
1994).
Asgar Bixby, (Bandung: Sinar Baru, 1992), 298. Istilah ‘sayap kanan’ dan
‘sayap kiri’ ini semata hanya untuk mepermudah pemahaman. Golongan
Ikhwan Al-Muslimin menolak dirinya disebut sebagai ‘sayap kanan’ dan ini
disadari oleh Hanafi sendiri. Lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, 88-89.
14
The Free Officers adalah kelompok rahasia yang dibentuk tahun
1947, yang terdiri atas sebelas perwira dipimpin Mayor Jenderal Muhlammad
Najîb, yang saat itu menjadi kepala staf 3 angkatan bersenjata Mesir. George
Lenczowski,Ibid, 318
Mesir.15
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-
gagasan kelompok pemikiran diatas, meski pada awal karier
intelektualnya pernah berfihak pada kelompok pertama. Tetapi,
pemikirannya mengalami proses dengan banyak dipengaruhi
oleh kelompok kedua dan ketiga, terutama setelah belajar di
Perancis. Walhasil, bangunan pemikirannya akhir-akhir dalam
kehidupannya terbangun lewat situasi gerak pemikiran di Mesir
dan di Perancis. Termasuk dalam hal ini pemikiran tentang
teologi antrposentrisnya, padahal beliau pula yang menulis
teologi tradisional yang bercorak teosentris.
Teologi Antroposentris
Sosio-Historis kehidupan Hasan Hanafi dengan berbagai
lawatan keilmuannya, juga kondisi empiris masyarakat Islam di
dunia, menjadikan pemikiran Beliau semakin terbuka dan banyak
melahirkan ide-ide besarnya. Sebagaimana disiplin keilmuan
yang beliau geluti selama ini dalam bidang filsafat, Hanafi ingin
merubah umat Islam justru dari posisi yang sangat fundamental
yaitu teologi Islam. Beliau sadar dengan berubahnya cara pandang
dan paradigma berfikir umat Islam, akan melahirkan akhlak
kepribadian manusia yang berkebudayaan yang positif sehingga
dari dasar inilah umat Islam bisa merubah peradaban dunia.
)
Berlatar belakang pada pemikiran sebagai mana tersebut
di atas, Hanafi mencoba untuk memberi solusi alternatif yang
sifatnya fundamental, yaitu membangun akhlak kepribadian
atau karakter manusia yang tangguh (Kepribadian muslim)
dengan teologi Islam yang membumi dengan nama teologi
antroposentris.
16
Ridwan,Reformasi……, 50.
17
Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan……, 408-409.
18
Menurut Boullata, pemikiran Hanafi didasarkan tiga metodologi;
analisan sejarah, analisa fenomenologi, dan analisa sosial Maxsian. Boullata,
‘Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika, edisi, I,
(Juni-Sept, 1993), 21.
1993), 31.
26
Hanafi, Dialog Agama dan Revolosi, (Jakarta, Pustaka Firdaus,
1991), 1.
27
Ridwan, Reformasi Intelektual.., 170
28
Penafsiran Hanafi bahwa deskripsi dzat dan sifat Tuhan lebih
mengarah pada pembentukan manusia ideal, bukan tentang transendensi Tuhan,
jelas sangat dipengaruhi pemikiran Muktazilah. Menurut kum Muktazailah,
sifata-sifat Tuhan sebagaimana yang dideskripsikan dalam Asma Al-Husna
sebenarnya adalah palajaran bagaimana manusia harus bertindak dan bersikap.
Artinya, itu adalah sifat-sifat yang harus dipunyai dan dilakukan oleh seorang
muslim. Jadi bukan penjelasan tentang eksistensi Tuhan, apalagi tentang
ke-Maha Kuasaan Tuhan. Lihat, Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam,
(Istambul, Hakekat Kitabevi, 1985), 21-26.
Konsep ini juga tidak berbeda dengan apa yang dimaksud oleh kaum
29
sufi dengan istilah insan kamil. Menurut Al-Jilli, insan kamil adalah orang
yang mampu merefleksikan sifat-sifat keagungan Tuhan, sehingga ia menjadi
manifestasi Tuhan di bumi. Lihat, Ibrahim Al-Jilli,Al- Insan Al-Kamil, II,
(Bairut, Dar Al-Fikr, tt), 71-77. Hanafi, Min al-Aqîdah ila al-aurah, II, p. 600
dan seterusnya
30
Menurut Hanafi, Tuhan dalam Islam tidak sekedar Tuhan langit tetapi
juga Tuhan bumi (rabb al-samawat wa al-ardl), sehingga berjuang membela
dan mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis dengan membela dan
mempertahankan kekuasaan Tuhan.
31
Hanafi,Ibid, 112-114. Ini tidak berbeda dengan apa yang dikatakan
Iqbal; apa yang dinamakan hidup adanya kemauan untuk terus berusaha dan
menunjukkan dirinya ada sedang kematian adalah ketidakmaun untuk maju
dan berusaha. Lihat Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, (Jakarta, Panjimas,
1987), 8.
32
Hanafi,Ibid, 130-132.
33
Ibid,137- 142
34
Ibid, 143-303. Pemikiran Hanafî ini sangat mungkin dipengaruhi oleh
slogan-slogan revolosi Iran yang menyatakan, ‘la syarqiyah wala gharbiyah’
(tidak ke Barat dan tidak ke Timur), mengingat bahwa pemikiran revolosioner
Hanafî, sebagaimana diakui, salah satunya diilhami dari keberhasilan revolosi
Iran pimpinan Imam Khumaini. Lihat Kazuo Shimogaki, Islam Islam, 92.
35
Hanafi,Ibid, 309-311.
36
Ibid, 324-329.
37
Hanafî menyatakan bahwa tauhid mengandung dua dimensi; penafian
tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami
kecuali dengan ditampakkan.
Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa
direalisasikan dalam kehidupan kongkrit.38 Perealisasian nafi
(pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan
modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan
yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi
terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan
yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan)
adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan
membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan
modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih
kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat
tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan
kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti
kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan
ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang,
Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.39
Teologi antroposentris Hasan Hanafi adalah salah
dan penetapan (itsbat). Kata ‘Lailaha’ berarti penafian terhadap segala bentuk
ketuhanan, sedang ‘Illallah’ adalah penetapan tentang adanya Tuhan yang Esa.
Ibid, 326.
) 38
Statemen ini sama sebagaimana dikatakan Muthahhari, meski dalam
pengertian yang berbeda. Menurut Muthahari, konsep-konsep tauhid tidak
akan punya makna tanpa direalisasikan dalam perbuatan, yang dalam faham
Mutahari difokuskan dalam bentuk ibadah. Lihat Muthahhari, Allah Dalam
Kehidupan Manusia, (Bandung, Yayasan Mutahhari, 1992), 7-23.
39
Hanafi, Min al-Aqîdah, 330. Pandangan seperti ini pernah disampaikan
oleh Mutahhari dengan konsep yang masih lebih luas. Bahwa tauhid adalah
kesatuan ciptaan tanpa membedakan antara yang duniawi maupun ukhrawi,
manusia dengan binatang, spiritual dengan kewadagan dan seterusnya. Lihat
Muthahhari, Fundamentals of Islamic Though, sebagaimana yang dikutip
Shimogaki dalam Islam Kiri, 19. Hanya saja, disini, Hanafi lebih jelas dan
terfokus pada manusia.
Penutup
Cara berfikir Hanafi tidak bisa terlepas dari latar belakang
pemikiran Hanafi ketika beliau belajar, juga tidak bisa terlepas
dari soosio historis masyarakat Mesir pada khususnya dan umat
Islam pada umumnya yang cenderung stagnan, diam dan jumud,
serta pengaruh tekanan barat atas cengkraman kekuasaannya
yang seakan ingin menguasai umat Islam terutama Mesir, dalam
hal ini adalah Sofyet.
Berdasar uraian diatas disampaikan kekukuhan dan
oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam Hanafi diberi roh yang
tidak sekedar materialistik malah justru pondasi teologi dan
pemikiran dasar manusia bergerak.
Ada pranata- pranata yang bersifat religius atau kerohanian
yang menggerakkan sebuah perjuangan muslim. Juga, jika dalam
perjuangan ala Marxis bisa dengan menghalalkan segala cara,
rekonstruksi kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan,
kemanusiaan, dan kebangsaan, bahwa perjuangan mesti
memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga
pemikiran Hanafi bisa disebut, Barat tetapi tidak ‘sekuler’.40 Ada
metode- metode yang orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi
sendiri.
Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-
kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, terus terang, apa
yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya
sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang
sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat
Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal, telah disampaikan
oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu pula konsepnya tentang
tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan
Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah
bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara
lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru. Disinilah
orisinalitasan pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi
teologisnya.
Selanjutnya, mengikuti apa yang digagas Hanafi, ada
cacatan yang perlu disampaikan. Pertama, pemikiran Hanafi
42
Issa J. Boullata, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan’
dalam Islamika (Bandung, Mizan, 1993), 20
DAFTAR PUSTAKA
Amsterdam, 1979.
Ibrahim Al-Jilli, Al- Insan Al-Kamil, II, Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin, Jakarta: Panjimas, 1987.
Issa J. Boullata, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk
Dipraktekkan’ dalam Islamika Bandung: Mizan, 1993.
Jurnal Islamika edisi 1 Juli- September 1993.
John L. Esposito, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic
World, New York: Oxford University Press, 1995.
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan
Postmodernisme Telaah Kritis Atas Pemikiran Hassan
Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al-Islam, Istambul: Hakekat
Kitabevi, 1985.
Lutfi Syaukani, ‘Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik
Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an, Vol. V, tahun
1994.
Muthahhari, Allah Dalam Kehidupan Manusia, Bandung: Yayasan
Mutahhari, 1992.
Osman Bakar, Hirarkhi Ilmu, Bandung, Mizan, 1997.
Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, 1986.
Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
1983.
Sumaryono, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis
Terhadap Pemikiran Taha Husain, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994.
Ahmad Atabik
STAIN Kudus
Email: atabik78@gmail.com
ABSTRAK
Pendahuluan
Diskursus permasalahan hermeneutik –walaupun
1
Arif Fahruddin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika
Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, dari konfigurasi
filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Atho’ Nafisul dkk. Yogyakarta;
IRciSoD, 2003 hlm. 188.
2
K. Bertens, Filsafat Barat abad XX Ingris-Jerman, Jakarta;
Gramedia, 1990, hlm. 213.
3
Ibid, 215.
4
Ibid, 215-216.
5
Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Yogyakarta;
Penerbit Kanisius 2000) hlm.215.
7
Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”,dalam Refleksi
Vol. 4. No.1 Junuari 2004. hlm. 15-16.
8
Lihat Rick Roderick, Habermas and the Foundation of Critical
Theory, New York; St. Martins Press 1980) 100.
9
Abd. Mustaqim, Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan
Implikasinya di era Pluralisme, Reflesi, Vol. 2, No. 1. Januari 2002, hlm. 20.
10
Teori komunikatif ini muncul sebagai pembaharuan atas teori Karl
Marx yang anti dialogis. Kontribusi teori komunikatif Habermas adalah alat
teori elaborasi yang dia paparkan dala karyanya The Theory of Communicative
Action. Communicative action dapat dipahami sebagai proses sirkulasi yang
dimiliki pelaku bermata dua; sebagai pemprakarsa (intiator), yang menguasai
situasi melalui tindakan yang dikerjakan, dan sebuah produksi perubahan
yang mengelilingi dirinya, dari kelompok yang kohesi yang didasarkan
pada solidaritas untuk mengikutinya, dan pada proses sosialisasi yang
melatarbelakanginya. “The Criticl Theory of Jurgen Habermas” dalam http://
www.physics.nau.edu/
11
Tentang critical hermeneutic ini Josef Blecheir mengatakan bahwa
diantara tokoh yang masuk dalam hermeneutika kritis adalah Karl Otto Apel,
Lorenze dan Sandkuhler. Josef Blacher, Contemporary Hermeneutics, (London;
Routledge, 1980) 141-148.
12
Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”,dalam Refleksi,
Vol. 4. No. 1. Januari 2004, hlm 18.
14
Istilah Hermeneutik dalam bahasa Yunani ini mengingatkan
kita pada tokoh mitologis yang ernama Hermas, yaitu seorang utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas
Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Oliympus ke
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Lihat E. Sumaryono,
Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta; Penerbit Kanisius 1999)
hlm. 23-24.
15
Ibid, 88.
16
Ibid, 90.
Simpulan
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa konsepn hermeneutika kritik Habermas merupakan jenis
hermeneutika yang berusaha mengawinkan antara obyektifitas
dengan subyektifitas, antara yang saintis dengan filosofis, antara
yang ontentik dengan yang artikulatif. Teori kritis juga berusaha
untuk menelanjangi teori tradisional, karena ia memposisikan
obyek sebagai sesuatu yang tak tersentuh (untouchable) alias
obyektif, apa adanya. Sehingga sulit ditangkap maknanya oleh
manusia. Hal ini menjadikan obyek terkesan sangat sakral dan
harus diterima secara bulat-bulat.
Berdasar pada hermeneutika kritis tidak lepas dari yang
terkandung dalam obyektifisme, yaitu bahwa obyektifisme
sendiri tak bisa lepas dari peran interpretasi manusia sebagai
subyek. Maka obyketiifisme itu nihilisme dan absurd.
Bagaimanapun juga subyek dan interpretasi tak bisa lepas dari
hukum sejarah. Maka bagi habermas antara konsep penjelasan
dan pemahaman harus selalu didialogkan untuk menggapai
sebuah makna obyek.
DAFTAR PUSTAKA
Diterbitkan oleh:
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51
Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322 Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JAWA TENGAH ‐ INDONESIA