Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH,SEBAB,HAKEKAT,DAN JENIS IKHTILAF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Madzhab


Dosen Pembimbing :Mashadi., M.Pd.I.

Disusun Oleh:
Risma Ayu Nurun Nisa’ 23010190093
Siti Nur Sholikhah 23010190393
Arsy Fitrianti 23010190303

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) SALATIGA
2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, Rabb semesta alam. Tidak ada daya dan
upaya selain dari-Nya. Semoga kita senantiasa dilimpahkan rahmat serta karunia-Nya dalam
mengarungi hidup ini.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak Allah SWT, sehingga kita diberi kemudahan
dalam penyusunan makalah ini yang berjudul “Sejarah,Sebab,Hakikat,Jenis dan Ikhtilaf”.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu Mata Perbandingan Madhab,
yaitu Bapak Mashadi,M.Pd.I yang telah memberikan gambaran tentang materi yang harus
diselesaikan dan juga semua pihak yang turut membantu menyelesaikan makalah ini.
Terakhir penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih
menyempurnakan makalah ini, agar makalah ini lebih sempurna.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Salatiga,12 Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................3
C. Tujuan..................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4
A. Pengertian Ikhtilaf..............................................................................................................4
B. Sebab sebab Ikhtilaf (Perbedaan).....................................................................................5
C. Jenis jenis Ikhtilaf...............................................................................................................8
D. Cara Menyikapi Ikhtilaf....................................................................................................9
BAB III PENUTUP......................................................................................................................13
Kesimpulan...............................................................................................................................13
Saran.........................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................13

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbedaan adalah salah satu yang tidak bisa dielakkan dalam
kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Ia merupakan sunnatullah yang berlaku
sepanjang masa. Termasuk yang tidak bisa dielakkan adalah perbedaan pendapat
sekalipun dalam masalah pemahaman atau penafsiran hukum-hukum agama. Karena
perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan, maka hal tersebut tidak perlu
disesalkan  dan menjadi sebab kita berpeca belah dan bercerai-berai. Perbedaan harus
‘disyukuri’ dan merupakan rahmat bagi umat islam. Perbedaan juga terjadi dalam segi
penafsiran dan pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum
tidaklah selalu dalam hal penerapannya pada masa awal Islam. Pada masa itu Nabi
Muhammad sebagai tolak ukur  dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa
itu. Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para
tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak
kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Iktilaf ?
2. Apa saja sebab sebab Ikhtilaf ?
3. Apa saja jenis jenis Ikhtilaf ?
4. Bagaimana cara menyikapi Ikhtilaf ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ikhtilaf.
2. Untuk mengetahui sebab sebab ikhtilaf.
3. Untuk mengetahui jenis jenis ikhtilaf.
4. Untuk mengetahui cara menyikapi iktilaf.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhtilaf
Secara bahasa ikhtilaf berasal dari kata khalafa, yakhlifu, khalfan. Adapun makna
khilafan yaitu berbeda, mengganti, membelakangi, meninggalkan keturunan. Khilafan
dapat juga diartikan dengan bertentangan, tidak sepakat, berselisih paham, perbedaan
pendapat atau pikiran yang masih terjadi di kalangan ulama. Perbedaan pendapat secara
linguistik dalam kajian bahasa inggris, dapat diterjemahkan dalam beraneka ragam yaitu,
diffence of opinion, distingtion, atau controversi. 1
Sedangkan secara istilah ikhtilaf didefinisikan dengan beragam definisi di antaranya
adalah: Taha Jabir mengatakan bahwa ikhtilaf adalah: “Ikhtilaf dan Mukhalifah proses
yang dilalui melalui metode yang berbeda, antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk
perbuatan atau perkataan.”2 Dan menurut al Jurjani ikhtilaf yaitu, “Perbedaan pendapat
yang terjadi di antara beberapa pertentangan untuk menggali kebenarannya dan sekaligus
untuk menghilangkan kesalahannya.” 3
Dari dua definisi yang dijelaskan oleh beberapa pakar hukum Islam dapat dipahami
bahwa, perbedaan pendapat adalah perbedaan cara atau metode yang ditempuh oleh
seseorang yang berbeda dengan orang lain, baik perkataan, perbuatan, prinsip, keadaan.
Namun al-Jurjani menjelaskan bahwa, tujuan atau maksud dari perbedaan pendapat untuk
memastikan kebenaran atau menolak kebatilan. Hal ini berbeda dengan definisi lain yang
tidak menjelaskan tujuan dari ikhtilaf. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang
benar untuk mencari kebenaran dan kesalahan dalam ikhtilaf sebagai antisipasinya,
munculah ilmu khilaf.
Taha Jabir menjelaskan bahwa, ilmu khilaf adalah ilmu yang membahas
kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan oleh para
Imam mazhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa sandaran yang yang
jelas kepada dalil yang dimaksud. Ilmu ikhtilaf menekankan cara menetapkan hukum
1
Luis Ma‟luf, al-Munjid, hlm. 193. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketiga, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 2005), hlm. 420
2
Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani, Adabul Ikhtilaf fi al- Islam, terj. Abu Fahmi, (Jakarta: 1991), h. 22
3
„Ali Muhammad Al-Jurjani, At-Ta‟rifat, (Dar al Aqsa‟ t.t), h. 99

5
yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para Imam mazhab sebelumnya dan juga
untuk menolak perselisihan yang tidak diharapkan. Uraian di atas memperlihatkan
bahwa, ikhtilaf yang asalnya hanya sebatas diskusi atau bantahan tiap-tiap mazhab atau
pengikutnya, telah melahirkan ilmu yang mandiri, yakni ilmu khilaf. 4
Dari beberapa penjelasan pengertian di atas, maka yang dimaksud ikhtilaf dalam
pembahasan ini adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam dalam
menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’, bukan pada masalah hukum Islam
yang bersifat ushul, yang disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode
dalam menetapkan hukum suatu masalah.
B. Sebab sebab Ikhtilaf (Perbedaan)
Ikhtilaf dikalangan ummat islam telah terjadi sejak masa sahabat, ikhtilaf itu terjadi
karena perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai
kepada mereka. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak
sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan
berlainan tempat.
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar luas ke berbagai
penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke Negeri
yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan suatu masalah, sukar dilaksanakan.
Sampai saat ini fiqh ikhtilaf tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam
masalah furu’iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam
memahami nash dan mengistinbahtkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu
terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan
yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang
pada dzahir nash, antara yang mewajibkan bermazhab dan yang melarangnya. Perbedaan
pendapat dikalangan ummat ini, sampai kapanpun dan di tempat manapun akan terus
berlangsung dan hal iini menunjukkan kedinamisan hukum islam, karena pola pikir
manusia terus berkembang.
Di antara sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama (Mujtahidin)
adalah sebagai berikut:

4
Dedi Supriadi, Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 69-71

6
1. Sebab-Sebab Eksternal
a. Berbeda perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid.Hal ini terjadi
sebagaimana telah disebutkan diatas, bahewa para sahabat telah berpencar-pencar
keberbagai penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang hadis nabi, sukar
menemui mereka.Ada juga kemungkinan, bahwa sahabat nabi dapat djumpai,
tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya,
karena pergaulannya dengan rasullullah ikut menentukan banyak sedikitnya hadis
yang diterima.
b. Diantara ulama dan ummat islam, ada yang kurang memperhatikan situasi pada
waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku umum atau untuk orang
tertentu saja. Apakah perintah itu untuk selama-lamnya atau hanya bersifat
sementara.
c. Diantara ulama dan ummat islam kurang memperhatikan dan mempelajari,
bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruh orang,
karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk seseorang dan kadang-
kadang tidak tepat untuk orang lain.
d. Diantara ulama dan ummat islam banyak yang terpengaruh oleh pendapat yang
dterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan
“telah terjadi ijmak”, pada masalah-masalah yang tidak pernah terjadi ijmak.
e. Diantara ulama ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap amaliah-
amaliah yang disunnatkan, sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliyah
yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan.
f. Para sahabat yang tinggal terpencar-pencar diseluuh pelosok negeri, ada yang
meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa, sedangkan
yang mengigatkan diantara sahabat-sahabat itu tidak ada.
g. Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan pendapat yang
berbeda dalam menetapkan hukum islam.
2. Sebab-Sebab Internal
a. Kedudukan suatu hadis
Karena hadis-hadis yang datang dari rasullullah itu melewati banyak jalan,
maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu dengan yang

7
lainnya, bahkan bisa juga berlawanan. Bagi orang yang mantap hatinya
mempercayai perawinya maka hadis tersebut dijadikan landasan penetapan.
Begitu juga sebaliknya bagi orang yang tidak mempercayai perawinya akan
menyampingkan hadis tersebut.
b. Perbedaan penggunaan sumber hukm
Para ulama dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu dengan
yang lain. Hal ini disebabkan tidak sama dalam penggunaan sumbernya.
umpamanya:
 Dalam masalah hadis
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum tidak diperselisihkan oleh
para mujtahid (fukaha). Akan tetapi yang mereka perselisihkan adalah dari
segi sampa atau idaknya suatu hadis, percaya atau tidak terhadap seorang
perawi, sahih atau tidak suatu hadis.
 Dalam masalah Ijmak
Sebagai contoh dalam masalah ijmak yaitu dalam hal menjatuhkan
talak 3 sekaligus. Jumhur Fuqaha mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus
jatuh tiga juga dengan alasan telah ijmak pada masa khalifah Umar,
sedangkan ulama yang mengatakan, bahwa talak tiga sekaligus, hanya
jatuh satu dengan alasan, telah ijmak pada masa Nabi dan Abu Bakar.
 Istihsan
Imam Hanafi mempergunakan Istihsan dalam menetapkan
sebagian hukum, sedang Imam Syafi’i tidak memakainya. Sebagai contoh:
menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh membaca al-qur’an bagi orang
sedang haid, karena orang yang haid itu sama dengan orang junub. Sedang
menurut Imam Hanafi dibolehkan membacanya.
 Maslahah Mursalah
Penetapan hukum dengan Maslahah Mursalah adalah melihat
kepentingan umum, walaupun kelihatannya menyimpan dari ketentuan
yang biasa berlaku.
Sebagai contoh: menjatuhkan hukuman mati atas suatu kaum atau
kelompok manusia yang membunuh satu orang, bisa bisa dijatuhi

8
hukuman mati menurut Fuqaha Hanafiah, Malik dan Syafi’i untuk
menghindari usaha jahat dari kelompok tertentu yang ingin melakukan
pembunuhan dengan cara sengaja.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali, tidak boleh dijatuhi
hukuman mati, karena tidak sepadan.
 Urf
Urf biasanya diarikan dengan kebiasaan, apakah kebiasaan itu baik
atau buruk. Sebenarnya penggunaan urf berkaitan erat dengan maslahah
mursalah, hanya saja hukum-hukum yang diterangkan dapat berubah-ubah
enurut suatu daerah.
c. Perbedaan pemahaman5
C. Jenis jenis Ikhtilaf
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua.
a. Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk
kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir.
Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang
terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor
penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain.
Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga
memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya,
maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir.
b. Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:

 Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip).
Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq(perpecahan) dan oleh
karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak
termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah,
yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih
perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-

5
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta : PT.RajaGrafiindo Persada, 1998), h.117-122

9
kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal
dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal
ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij,
Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah,
Murji-ah, dan lain-lain.
 Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip).
Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk
kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan
ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati.
Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul
ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.6
D. Cara Menyikapi Ikhtilaf
1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan
akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit
sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat
dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah
kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar
seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan)
dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian
dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-
salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang
kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-
jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan
bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang
berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan ummatku adalah rahmat),
bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya
bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai

6
Mahmud Syaltut dan M. Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Bulan Bintang, Jakarta, 1996), h. 16-17

10
rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama
salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada
ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil
Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para imam).
4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus
mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita
bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap
kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih
dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi
khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika
mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain
yang berbeda madzhab atau pendapat).
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih
pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan
metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik
dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut
ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka
batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja
pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan
kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih,
mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa
nafsu.
6. Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal
individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan
pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun
dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang
lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan
kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah
sangat dianjurkan).
7. Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan
kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan

11
dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan
sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual,
adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka
kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat
kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan
mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap
kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain
yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
8. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya
dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-
masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis,
tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan
manhaj dan sikap para ulama salaf)!
9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah
disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata
lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’
atas masalah-masalah khilafiyah.
10. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap
fenomena ikhtilaf  dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena
bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-
masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-
masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah
ijma’) – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah
khilafiyah) – sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang
muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau
tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah.
Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab
atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika
menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai
istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan

12
madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun.
Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi
dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan,
tidak berpendirian, dan tidak istiqamah (?). Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan
yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar
batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun
madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat
ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap
bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah
ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan
keistiqamahan itu sendiri! http://nalar-langit.blogspot.co.id/
12. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap
berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke
wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-
tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa
kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin. 7

7
Dedi Supriadi, Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 69-71

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ikhtilaf menurut Bahasa berasal dari kata khalafa, yakhlifu, khalfan. Adapun
makna khilafan yaitu berbeda, mengganti, membelakangi, meninggalkan keturunan.
Secara ikhtilaf dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat di antara ahli
hukum Islam dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’, bukan
pada masalah hukum Islam yang bersifat ushul, yang disebabkan perbedaan
pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah. Sebab
sebab ikhtilaf ada dua yaitu internal dan eksternal.
Jenis jenis ikhtilaf ada 2 yaitu
1. Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati)
2. 2. Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran
dan pemahaman)
Ada 2 itu :
- Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip).
- Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip).
Saran
Bagi pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami tentang
ilmu perbandingan madzhab dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat sesuai
dengan anjuran agama islam agar tidak terjadi perselisihan karena kurangnya
pengetahuan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Supriadi Dedi. 2008. Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru.Bandung: Pustaka Setia.
Syaltut Mahmud dan M. Ali al-Sayis. 1996 . Perbandingan Mazhab.Bulan Bintang, Jakarta.
Hasan M. Ali Perbandingan Mazhab. 1998 Jakarta : PT.RajaGrafiindo Persada.
al-Munjid Luis Ma‟luf. 2005. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketiga, Jakarta:
PN Balai Pustaka.
Al-Ulwani Taha Jabir Fayyadl. 1991Adabul Ikhtilaf fi al- Islam, terj. Abu Fahmi,Jakarta.
Al-Jurjani Ali Muhammad, At-Ta‟rifat, Dar al Aqsa‟ t.t

15

Anda mungkin juga menyukai