Lisa Com
Lisa Com
Nani Wartanobe adalah putra Zakaria Watabone, seorang aparat yang bekerja
untuk Pemerintah Hindia Belanda. Ibunya adalah keturunan ningrat. Meskipun
ayahnya bekerja untuk Belanda, Ia memiliki pandangan yang berbeda pada penjajah.
Ia tak betah bersekolah karena menurutnya guru-gurunya yang berkebangsaan
Belanda terlalu mengagung-agungkan bangsa Barat dan merendahkan Bangsa
Indonesia. Ia bahkan pernah membebaskan tahanan orangtuanya karena tak sampai
hati melihat rakyat dihukum.
Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada
“ disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun
juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah
Indonesia Raya, pemerintahan Belanda telah diambil alih oleh
pemerintahan nasional ”
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan
Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih
sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah
rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan
kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Nani Wartabone ditangkap dan dipenjara di Manado
hingga Juni 1944. Dia kembali dipenjara dan dipindahkan ke Morotai, lalu ke penjara
Cipinang, Jakarta, karena menolak menyerahkan kekuasaan kepada Australia sebagai wakil
Sekutu. Dia dibebaskan pada tanggal 23 Desember 1949.
Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak
kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan
kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani
Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.
Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke
Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan Jepang
yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani
Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai
di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani
Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang
pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.
Jepang kalah
Setelah menyerah kepada Sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai
pemimpin rakyat Gorontalo. Ini terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari
Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari itu Sang Saka
Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni
1942. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan itu, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo
tidak mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta keesokan
harinya. Mereka baru mengetahuinya pada 28 Agustus 1945.
Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari
tangan Jepang itu, Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan
dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda.
Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di
Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari
oleh beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini pula,
raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani
Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk
mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para
ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G.A. Maengkom yang pernah menjadi Menteri
Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung
Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.
Ditangkap Belanda
Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang
memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka
untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo. Mereka berpura-pura mengundang
Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang
berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung
dibawa ke Manad
Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman
penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di
Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara
Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946. Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani
kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali mengalami siksaan fisik yang
sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke
Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan
Indonesia.
Kembali ke Gorontalo
Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo,
negeri yang diperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat dan Dewan Nasional yang berjuang
bersamanya menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira bercampur haru dan tangis.
Kapal Bateku yang membawa Nani Wartabone disambut di tengah laut oleh rakyat
Gorontalo. Nani Wartabone kemudian ditandu dari pelabuhan dibawa keliling kota dengan
semangat patriotis
Rakyat kemudian membaiatnya untuk menjadi kepala pemerintahan kembali. Namun Nani
Wartabone menentang bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang ada pada
saat itu. Gorontalo sendiri berada dalam Negara Indonesia Timur. Menurutnya, RIS hanyalah
pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah
dikuasai lagi.
Nani Wartabone kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada
tanggal 6 April 1950. Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak RIS dan bergabung dengan
NKRI. Peristiwa ini menandakan, bahwa Gorontalo adalah wilayah Indonesia pertama yang
menyatakan menolak RIS.
Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan
penting, di antaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi
Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas itu, Nani Wartabone memilih tinggal di
desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang dan memelihara ternak
layaknya petani biasa di daerah terpencil.
Melawan PERMESTA
Ketenangan hidup Nani Wartabone sebagai petani kembali terusik,
ketika PRRI/PERMESTA mengambil alih kekuasaan di Gorontalo setelah Letkol Ventje
Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di
Manado pada bulan Maret 1957. Jiwa patriotisme Nani Wartabone kembali bergejolak. la
kembali memimpin massa rakyat dan pemuda untuk merebut kembali kekuasaan
PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikannya ke pemerintahan pusat di Jakarta.
Sayangnya, pasukan Nani Wartabone masih kalah kuat persenjataanya dengan pasukan
pemberontak. Oleh karena itu, ia bersama keluarga dan pasukannya terpaksa masuk keluar
hutan sekadar menghindar dari sergapan tentara pemberontak. Saat bergerilya inilah, pasukan
Nani Wartabone digelari "Pasukan Rimba".
Berbagai cara dilakukan Nani Wartabone agar bisa mendapat bantuan senjata dan pasukan
dari Pusat. Baru pada bulan Ramadhan 1958 datang bantuan pasukan tentara dari Batalyon
512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1
Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Berkat bantuan kedua
pasukan dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan inilah, Nani Wartabone berhasil merebut
kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni
1958.
Politisi
Setelah PRRI/PERMESTA dikalahkan di Gorontalo itu, Nani Wartabone kembali
dipercaya memangku jabatan-jabatan penting. Misalnya, sebagai Residen Sulawesi
Utara di Gorontalo, lalu anggota DPRGR sebagai utusan golongan tani. Setelah
peristiwa G30S tahun 1965, Nani Wartabone kembali berdiri di barisan depan rakyat
Gorontalo guna mengikis habis akar-akar komunisme di wilayah itu.
Kematian
Nani Wartabone yang pernah menjadi anggota MPRS Rl, anggota Dewan Perancang Nasional
dan anggota DPA itu, akhirnya menutup mata bersamaan dengan berkumandangnya azan salat Jumat
pada tanggal 3 Januari 1986, sebagai seorang petani di desa terpencil, Suwawa, Gorontalo.
Penghargaan
Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar
Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah
seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7
November 2003. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasionalberdasarkan Keputusan
Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.
Untuk mengenang perjuangannya di Kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk
mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu