Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

HUBUNGAN DEPRESI TERHADAP KANKER

Oleh :
Ririen Refrina Sari (G1A220089)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
1. Hubungan depresi terhadap kanker
Stres adalah respons non-spesifik generalisata tibuh terhadap setiap faktor yang
mengatasi, mengancam untuk mengatasi, kemampuan kompensasi tubuh untuk
mempertahankan homoestatis.1
Dalam keadaan normal, hormon stres dilepaskan dalam jumlah kecil sepanjang hari,
tetapi bila menghadapi stres kadar hormon ini meningkat secara dramatis (Stocker 2012).
Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun stres psikis dapat
meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar kortisol, Awal
pelepasan hormon stres dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing factor (CRF).
Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah, sehingga mencapai
kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di tempat ini CRF merangsang
pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh pituitary, yang pada gilirannya akan
merangsang kelenjar adrenalis untuk melepaskan berbagai hormon. Salah satunya adalah
kortisol. Kortisol beredar di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping
mechanism). Bila stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan
meningkat, sehingga rangsang yang diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi
kortisol oleh kelenjar adrenal juga meningkat. Apabila kondisi emosional telah stabil, coping
mecahnism menjadi positif, maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus
hormon-stres berulang lagi. Adanya stress pada penderita kanker akan memberikan efek
negatif pada sistem imun.2
Kanker seperti halnya dengan keganasan yang lain akan menstimulasi respon
imun baik imunitas seluler maupun humoral. Hal ini disebabkan oleh karena sel kanker
walaupun merupakan derivat sel tubuh sendiri, sel kanker akan mengekspresikan molekul
yang dikenali oleh sistem imun sebagai benda asing. Pada dasarnya respon imun terdiri
atas 3 fase yaitu: pengenalan, aktivasi dan efektor. Respon imun terutama tergantung
pada tiga tipe sel yaitu makrofag, limfosit T, dan limfosit B. Sel makrofag berperan
sebagai sel penyaji antigen agar antigen dapat dikenali oleh sistem imun. Ada beberapa
mekanisme efektor yang berperan terhadap sel kanker yaitu sel limfosit T sitotoksik
(Cytotoxic Toxic Lymphocyte=CTL), Natural Killer Cell (NK Cell), sel makrofag dan
antibodi. Respon imun terhadap sel kanker dimulai dengan pengenalan antigen sel kanker
oleh Limfosit T melalui mekanisme penyajian antigen oleh sel makrofag, selanjutya akan
terjadi aktivasi respon imun berupa proliferasi limfosit. Selanjutnya akan diaktifkannya
mekanisme efektor untuk mengeliminasi sel kanker.2
Sel imun khususnya limfosit T sitotoksik (CTL), Sel NK (Natural Killer) dan
makrofag berperan dalam immuno survailance terhadap sel kanker. Setelah pengenalan sel
8,9,10
kanker sebagai sel asing, sel-sel imun tersebut akan menghancurkan sel kanker . CTL
dan sel NK membunuh sel target dengan cara mensekresikan perforin dan granzyme serta
menggunakan reseptor famili TNF seperti Fas, TNF serta TNF-related apoptosis inducing
ligand (TRAIL) untuk menginduksi apoptosis.3
Sistem imun sangat diperlukan untuk membunuh sel-sel kanker dan pertahanan
tubuh terhadap antigen. Sel kanker dikenal tubuh sebagai benda asing, tubuh merespon
dengan sel imun secara humoral maupun seluler. Sistem imun seluler yang berperan
terletak pada sel T dan sel B. Sub populasi selT baik T helper maupun T sitotoksik
berperan dalam mengeliminasi antigen tumor. Antigen tumor bersama MHC kelas II akan
membentuk komplek T helper (CD4) yang akan menghasilkan Th1 dan Th2 . Th1
terutama akan mensekresi IFN け , TNF g dan IL2 yang berperan dalam penghancuran
sel tumor. CD4 berfungsi sebagai dasar dari sistem imun/ immune priming dari sel CTL.
CD4 T helper mempunyai peran yang penting dalan modulasi sistem imun terutama
mempertahankan efek antitumor jangka panjang. Sebukan limfosit disekitar sel kanker akan
menyebabkan penurunan kecepatan pertumbuhan sel kanker. Pada penelitian in vitro adanya
sel imun disekitar sel kanker menyebabkan kematian sel kanker.3
2. Neurotransmitter Yang Mengatur Tentang Perilaku Dan Mood Seseorang

Mekanisme neurofisiologis mendasar yang berperan dalam observasi psikologis emosi dan
perilaku termotivasi sebagian besar masih belum diketahui, meskipun neurotransmiter
norepinefrin, dopamin, dan serotonin diperkirakan berperan.

1. Neurotransmitter Serotonin
Serotonin disekresi oleh nukleus yang berasal dari rafe median batang otak dan
berproyeksi ke berbagai daerah otak dan medula spinalis, khususnya yang menuju
radiks dorsalis medula spinalis dan menuju hipotalamus. Serotonin bekerja sebagai
penghambat jaras rasa sakit dalam medula spinalis, dan kerjanya sebagai penghambat
di daerah sistem saraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan suasana
hati seseorang, bahkan mungkin juga menyebabkan tidur.1
Di bagian tengah pons dan medula terdapat beberapa nuklei kecil yang disebut
nuklei rafe. Kebanyakan neuron pada nuklei ini menyekresi serotonin. Neuron
tersebut mengirimkan serat-serat ke diensefalon dan sedikit serat ke korteks serebri;
dan serabut yang lain lagi turun ke medula spinalis. Serotonin yang disekresikan pada
ujung serat-serat medula spinalis memiliki kemampuan untuk menekan rasa nyeri,
yang telah dibicarakan pada Bab 48. Serotonin yang dilepaskan di diensefalon dan
serebrum hampir pasti berperan sebagai inhibitor penting untuk membantu
menghasilkan tidur yang normal. 1
Alasan utama untuk mempercayai bahwa depresi mungkin disebabkan oleh
penurunan aktivitas neuron penyekresi norepinefrin dan serotonin adalah, bahwa obat
yang menghambat sekresi norepinefrin dan serotonin, seperti reserpin, sering kali
menyebabkan depresi. Sebaliknya, sekitar 70 persen pasien depresi dapat diobati
secara efektif dengan obat yang meningkatkan efek eksitasi norepinefrin dan
serotonin pada ujung-ujung saraf contohnya, (1) inhibitor monoa- min oksidase, yang
menghambat penghancuran norepinefrin dan serotonin begitu keduanya terbentulc
dan (2) antidepresan trisiklik, seperti imipramin dan amitriptilin, yang menghambat
ambilan kembali norepinefrin dan serotonin oleh ujung-ujung saraf, sehingga
transmiter-transmiter ini dapat tetap aktif untuk jangka waktu lama setelah disekresi.
Beberapa pasien menderita depresi mental bentuk lain. yaitu depresi dan mania secara
bergantian, yang disebut gangguan bipolar atau psikosis manik-depresif dan sedikit
pasien yang hanya memperlihatkan episode mania tanpa episode depresif. Obat-obat
yang mengurangi pembentukan atau menurunkan kerja norepinefrin dan serotonin,
seperti senyawa litium, dapat menjadi obat yang efektif dalam mengobati fase manik
pada gangguan ini. 1
Ada anggapan bahwa sistem norepinefrin dan serotonin normalnya menimbulkan
dorongan bagi area limbik dalam otak untuk memperkuat rasa nyaman seseorang,
menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang baik, dorongan seksual yang
sesuai, dan keseimbangan psikomotor walaupun terlalu banyak hal baik dapat
menyebabkan mania. Kenyataan yang mendukung konsep ini adalah bahwa pusat-
pusat ganjaran dan kepuasan di hipotalamus dan daerah sekitarnya menerima
sejumlah besar ujung saraf dari sistem norepinefrin dan serotonin. 1
Ketika seseorang terjaga, neuron-neuron otak yang melepaskan neurotransmiter
norepinefrin dan serotonin menjadi aktif secara maksimal dan terus-menerus.
Pelepasan neurotransmiter-neurotransmiter ini berakhir selama tidur REM. Studi-studi
menunjukkan bahwa pelepasan konstan norepinefrin dan serotonin dapat
mendesensitisasi reseptor-reseptornya. Tidur REM mungkin diperlukan untuk
mengembalikan sensitivitas reseptor agar dapat berfungsi optimal selama periode
keadaan terjaga berikutnya. 1
2. Neurotransmitter Dopamin
Dopamin disekresi oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra.
Neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh
dopamin biasanya bersifat inhibisi. Dopamin juga berfungsi sebagai neurotransmiter
inhibitor pada hampir semua bagian otak, jadi dopamin juga berfungsi sebagai
stabilisator pada beberapa keadaan. 1
Substansia nigra terletak di sebelah anterior pada mesensefalon superior, dan
neuron-neuronnya terutama mengirimkan ujung-ujung saraf ke nukleus kaudatus dan
putamen serebrum, tempat nukleus kaudatus dan putamen tersebut menyekresi
dopamin. Neuron-neuron lain yang terletak pada regio yang berdekatan juga
menyekresi dopamin, tetapi neuron tersebut mengirimkan ujung-ujung sarafnya ke
area yang lebih ventral pada otak, terutama ke hipotalamus dan sistem limbik.
Dopamin diduga bekerja sebagai transmiter inhibitor di ganglia basalis, tetapi pada
beberapa area lain di otak mungkin mengeksitasi.1
Terdapat beberapa alasan untuk mempercayai bahwa skizofrenia disebabkan oleh
salah satu atau lebih dari tiga kemungkinan berikut: (1) hambatan terhadap sinyal-
sinyal saraf di berbagai area pada lobus prefrontalis korteks serebri atau kegagalan
fungsi pengolahan sinyal karena banyak sinaps yang tereksitasi secara normal oleh
neurotransmiter glutamat kehilangan responsnya terhadap neurotransmiter ini; (2)
perangsangan yang berlebihan terhadap sekelompok neuron yang menyekresi
dopamin di pusat-pusat perilaku otak, termasuk di lobus frontalis, dan/atau (3)
abnormalitas fungsi di bagian-bagian penting pada sistem pengatur perilaku limbik
yang terpusat di sekitar hipokampus. Alasan untuk mempercayai bahwa lobus
prefrontalis terlibat dalam skizofrenia adalah, bahwa pola aktivitas mental yang
menyerupai skizofrenia dapat dicetuskan pada kera dengan membuat lesi-lesi kecil di
area yang luas pada lobus prefrontalis. Dopamin telah diduga sebagai kemungkinan
penyebab skizofrenia secara tidak langsung, karena banyak pasien dengan penyakit
Parkinson mengalami gejala-gejala seperti skizofrenia ketika diobati dengan obat
yang disebut L-dopa. Obat ini melepaskan dopamin dalam otak, yang sangat
bermanfaat untuk mengobati penyakit Parkinson, tetapi pada waktu yang bersamaan
obat ini juga menekan berbagai bagian lobus prefrontalis dan area lain yang terkait.
Telah diduga bahwa pada skizofrenia terjadi kelebihan dopamin yang disekresikan
oleh sekelompok neuron penyekresi dopamin yang badan selnya terletak di
tegmentum ventral di mesensefalon, sebelah medial dan superior substansia nigra.
Neuron-neuron ini menghasilkan sistem dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serat-serat saraf dan sekresi dopamin ke bagian medial dan anterior dani sistem
limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior, dan
sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku
yang sangat berpengaruh. Suatu alasan yang lebih meyakinkan untuk mempercayai
bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh produksi dopamin yang berlebihan
adalah banyaknya obat yang bersifat efektif untuk mengobati skizofrenia seperti
klorpromazin, haloperidol, dan thiothixene semuanya dapat mengurangi sekresi
dopamin pada ujung-ujung saraf dopaminergik atau mengurangi efek dopamin pada
neuron berikutnya. 1
3. Neurotransmitter Norepinefrin
Sejumlah neuron penyekresi norepinefrin terletak di batang otak, terutama pada
lokus seruleus. Neuron-neuron ini mengirimkan serabut-serabutnya ke atas menuju
sebagian besar sistem limbik otak, talamus, dan korteks serebri. Lokus seruleus
adalah area kecil yang terletak bilateral dan di sebelah posterior pada pertemuan
antara pons dan mesensefalon. Serat-serat saraf area ini menyebar ke seluruh otak. 1
Norepinefrin umumnya merangsang otak untuk melakukan peningkatan aktivitas.
Namun, norepinefrin memiliki efek inhibisi pada beberapa area otak akibat adanya
reseptor-reseptor inhibisi pada sinaps persarafan tertentu. Defisiensi fungsional
serotonin, norepinefrin, atau keduanya diperkirakan berperan dalam depresi, suatu
penyakit yang ditandai oleh suasana hati yang negatif disertai oleh hilangnya minat,
ketidakmampuan merasakan kesenangan, dan kecenderungan bunuh-diri. Serotonin
dan norepinefrin adalah sinaps di daerah limbik otak yang terlibat dalam kesenangan
dan motivasi, yang mengisyaratkan bahwa kesedihan yang berlebihan dan hilangnya
minat (tidak ada motivasi) pada pasien depresi berkaitan paling sedikit dengan
gangguan daerah ini oleh defisiensi atau penurunan efektivitas neurotransmiter-
neurotransmiter ini. 1
Ketika seseorang terjaga, neuron-neuron otak yang melepaskan neurotransmiter
norepinefrin dan serotonin menjadi aktif secara maksimal dan terus-menerus.
Pelepasan neurotransmiter-neurotransmiter ini berakhir selama tidur REM. Studi-studi
menunjukkan bahwa pelepasan konstan norepinefrin dan serotonin dapat
mendesensitisasi reseptor-reseptornya. Tidur REM mungkin diperlukan untuk
mengembalikan sensitivitas reseptor agar dapat berfungsi optimal selama periode
keadaan terjaga berikutnya. 1
3. Efek Samping Antipsikosis dan Antipsikosis yang digunakan pada pasien
geriatri
1. Antipsikosis tipikal5
1. Haloperidol
Efek Samping: Kurang sedatif, gejala antimuskarinik dan hipotensif lebih ringan.
Jarang terjadi fotosensitisasi dan pigmentasi. Gejala ekstrapiramidal terutama distonia
dan akatisia lebih sering, terutama pada pasien tirotoksik.
2. Klorpomazin
Efek Samping: gejala ekstra piramidal, tardive dyskinesia, hipotermia (kadang-kadang
panas), mengantuk, apatis, pucat, mimpi buruk, insomnia, depresi, agitasi, perubahan
pola EEG, kejang, gejala anti muskarinik yang terdiri atas: mulut kering, hidung
tersumbat, konstipasi, kesulitan buang air kecil, dan pandangan kabur; gejala
kardiovaskular meliputi: hipotensi, takikardi dan aritmia. Terjadi perubahan EKG,
pengaruh endokrin seperti: gangguan menstruasi, galaktore, ginekomastia,
impotensia, dan perubahan berat badan. Terjadi reaksi sensitivitas seperti:
agranulositosis, leukopenia, leukositosis dan anemia hemolitik, fotosensitisasi,
sensitisasi kontak dan ruam, sakit kuning dan perubahan fungsi hati, sindrom
neuroleptik maligna; sindrom menyerupai lupus eritematosus juga dilaporkan.
Perubahan pada lensa dan kornea, pigmentasi kulit, kornea, konjungtiva dan retina.
Pigmentasi keunguan pada kulit, kornea, konjungtiva dan retina. Injeksi intramuskular
mungkin nyeri, menyebabkan hipotensi dan takikardi.
3. Levomeprorazin
Efek Samping: jarang, peningkatan laju endap darah
4. Paliperidon
Efek Samping: umum: infeksi saluran pernapasan atas, agitasi, insomnia, mimpi
buruk, akatisia, pusing, gangguan ekstrapiramidal, sakit kepala, somnolens/sedasi,
hipertensi, nyeri abdomen atas, konstipasi, diare, mulut kering, mual, muntah, sakit
gigi, nyeri, astenia, letih, nyeri pada tempat injeksi, peningkatan berat badan,
hiperprolaktinemia, penurunan/peningkatan nafsu makan, gelisah, bingung, dizzines
postural, drooling, disartria, diskinesia, distonia, sindrom malignan neuroleptik,
letargi, hipertonia, distoniaoromandibular, parkinson, hiperaktif psikomotor,
pingsan, oculogyric crisis , mata berputar, penglihatan kabur, vertigo,
bradikardi, bundle branch block, postural orthostatic tachycardia syndrome,
takikardi, hipotensi ortostatik, rasa tidak nyaman pada perut, hipersekresi saliva,
pruritus, ruam, amenore, disfungsi ereksi, galaktorea, ginekomastia, menstruasi tidak
teratur, disfungsi seksual, peningkatan kolesterol, peningkatan gula darah; telah
dilaporkan: reaksi anafilaktik, konvulsi grand mal, tremor, atrioventricular block first
degree, palpitasi, aritmia sinus, takikardi sinus, hipotensi, iskemia, muscle rigidity,
priapism, breast discharge, edema, EKG abnormal.
5. Perfenazin
Efek Samping: Koma, diskrasia darah, depresi sumsum tulang, kerusakan hati berat.
Dibanding dengan klorpromazin, efek sedasi kurang, gejala ekstrapiramidal terutama
distonia lebih sering, terutama pada dosis tinggi
6. Pimozid
Efek Samping: mengantuk; dilaporkan aritmia serius; glikosuria dan hiponatremia
(jarang).
7. Proklorferazin
Efek Samping: kurang sedatif, efek ekstrapiramidal terutama distonia lebih sering.
8. Tioridazin
Efek Samping: kurang sedatif. Gejala ekstrapiramidal dan hipotermi jarang terjadi,
lebih sering menyebabkan hipotensi dan mungkin meningkatkan risiko
kardiotoksisitas dan perpanjangan interval QT. Retinopati dengan pigmentasi jarang
terjadi pada dosis tinggi. Dapat terjadi disfungsi seksual, terutama ejakulasi retrograd;
porfiria
9. Trifluoperazin
Efek Samping: kurang sedatif. Lebih jarang terjadi hipotensi, hipotermia, dan efek
antimuskarinik. Gejala ekstrapiramidal, terutama reaksi distonia dan akatisia lebih
sering terjadi.
10. Ziprasidon
Efek Samping: mengantuk (somnolence), waspada dalam mengendarai dan
mengoperasikan mesin.

2. Antipsikosis Atipikal5

1. Amilsuprid
Efek Samping: peningkatan kadar prolaktin serum sehingga menyebabkan galaktorea,
amenorea, ginekomastia, payudara membengkak, impotensi, frigiditas; berat badan
meningkat, gejala ekstrapiramidal (tremor, hipertonia, hipersalivasi, akatisia,
hipokinesia); mengantuk, gangguan saluran cerna seperti konstipasi, mual, muntah,
mulut kering.
2. Aripiprazol
Efek Samping: umum pada pasien dewasa: mual, muntah, konstipasi, sakit kepala,
pusing, akatisia, ansietas, insomnia, gelisah, penglihatan kabur, dispepsia, mulut
kering, sakit gigi, rasa tidak nyampan pada perut, letih, nyeri, kekakuan pada
muskuloskeletal, nyeri ekstremitas, mialgia, spasme otot, sedasi, gangguan
ekstrapiramidal, tremor, somnolens, agitasi, insomnia, ansietas, gelisah, nyeri
faringolaringeal, batuk; umum pada anak dan remaja: somnolen, sakit kepala,
muntah, gangguan ekstrapiramidal, letih, peningkatan nafsu makan, insomnia, mual,
nasofaringitis dan peningkatan berat badan; jarang: takikardia, kejang; sangat
jarang: salivasi meningkat, pankreatitis, nyeri dada, agitasi, gangguan bicara,
kekakuan, rhabdomiolisis
3. Klozapin
Efek Samping: lihat catatan di atas; konstipasi (lihat obstruksi gastrointestinal, di
atas), hipersalivasi, mual, muntah; takikardia, perubahan pada EKG, hipertensi;
mengantuk, pandangan kabur, sakit kepala, tremor, rigiditas, gejala ekstrapiramidal,
kejang, fatigue, gangguan pengaturan suhu, demam; hepatitis, jaundice kolestatik,
pankreatitis; inkontinensia urin dan retensi urin; agranulositosis (penting: lihat
Agranulositosis, di atas), leukopenia, eosinofilia, leukositosis; jarang: disfagia, kopars
sirkulasi, aritmia, miokarditis (penting: lihat Miokarditis dan Kardiomiopati, di atas),
perikarditis, tromboemboli, bingung, delirium, gelisah, agitasi, diabetes melitus; juga
dilaporkan, obstruksi usus halus, ileus paralitik (lihat obstruksi gastrointestinal, di
atas), pembesaran kelenjar parotis, nekrosis heptatis fulminan, trombositopenia,
trombositemia hipertrigliseridemia, hiperkolesterolemia, kardiomiopati, henti jantung,
henti nafas, nefritis interstisial, priapismus, reaksi kulit.
4. Olanzapin
Efek Samping: lihat keterangan di atas; efek antimuskarinik ringan dan sementara;
mengantuk, kesulitan bicara; memburuknya penyakit parkinson; gaya berjalan
abnormal, halusinasi, akathisia, asthenia, nafsu makan meningkat, sutu tubuh
meningkat, konsentrasi trigleserida meningkat, udem, hiperprolaktin (tetapi
manifestasi klinik jarang); inkontinensia urin; eosinofilia; hipotensi, bradikardi,
fotosensitif; kadang tromboembolisme, kejang, retensi urin, priapismus, leukopenia,
neutropenia, trombositoenia, rhabdomiolisis, ruam kulit, hepatitis, pankreatitis;
dengan injeksi, reaksi lokasi injeksi: sinus pause, hipoventilasi.
5. Quetiapin
Efek Samping: lihat keterangan di atas; mengantuk, dispepsia, konstipasi, mulut
kering, asthenia ringan, rhinitis, takikardi; leukopenia, neutropenia dan kadang-
kadang dilaporkan eosinofilia; peningkatan plasma trigliserida; dan kadar kolesterol,
penurunan kadar plasma hormon tiroid; kemungkinan perpanjangan interval QT;
udem (jarang); priapismus (sangat jarang).
6. Risperidon
Efek Samping: Lihat keterangan di atas; insomnia, agitasi, ansietas, sakit kepala.
Kurang umum terjadi: Mengantuk, gangguan konsentrasi, lelah, pandangan kabur,
konstipasi, mual dan muntah, dispepsia, nyeri abdominal, hiperprolaktinemia (dengan
galaktorea, gangguan menstruasi, ginekomastia), disfungsi seksual, priapisme,
inkontinensia urin, takikardi, hipertensi, udem, ruam kulit, rhinitis, trauma
serebrovaskular, dilaporkan juga terjadinya neutropenia dan trombositopenia. Jarang
terjadi: kejang, hiponatremia, pengaturan temperatur yang abnormal, serta epitaksis.
3. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis Penderita Usia
Lanjut.6

Tatalaksana Farmakologi
Penggunaan obat antipsikotik baik yang tipikal maupun atipikal merupakan pilihan
terapi dan yang paling sering digunakan untuk mengobati gejala psikotik. Penggunaan
obat tersebut terbukti memberikan perbaikan gejala dan mempertahankan pasien dari
keberulangan. 6

Antipsikotik Tipikal6
Penggunaan obat antipsikotik tipikal dalam beberapa penelitian terakhir mulai
jarang dikarenakan efek samping dan ketersediaan obat antipsikotik atipikal yang
semakin luas. Haloperidol dan trifluoperazine dengan dosis 10-30 mg/ hari
memberikan perbaikan pada gejala psikotik pasien usia lanjut. Penggunaan depot juga
berguna bagi pasien usia lanjut yang memiliki masalah penggunaan secara oral. Dosis
rendah flupenazine dekanoat (9 mg tiap 2 minggu) terbukti dapat memperbaiki gejala
psikotik pasien. 6
Antipsikotik Atipikal6
Penggunaan antipsikotik atipikal saat ini merupakan lini pertama pengobatan
gejala psikotik pasien usia lanjut karena efek sampingnya yang lebih dapat ditolerir
daripada antipsikotik tipikal ataupun obat golongan non antipsikotik. Namun
demikian, tidak banyak penelitian yang menggunakan sampel populasi pasien usia
lanjut sehingga efikasi dan keamanannya secara ilmiah masih perlu diteliti lebih
lanjut. Secara klinis antipsikotik atipikal telah terbukti
mempunyai efektifitas dan keamanan yang cukup dalam mengobati gejala psikotik
pasien usia lanjut. Obat yang akan disebutkan selanjutnya adalah obatobat antipiskotik
atipikal yang saat ini beredar di Indonesia dan telah disetujui oleh Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia. 6
Risperidone
Dibandingkan dengan semua jenis antipsikotik atipikal, risperidone merupakan
yang paling banyak diteliti. Hal tersebut disebabkan efektifitas risperidone, dapat
ditoleransi pada dosis rendah (1,5-6mg/hari) dan memberikan perbaikan yang nyata
pada pasien skizofrenia usia lanjut. Rainer et al meneliti penggunaan Risperidone
dalam rentang dosis fleksibel 0,5-2mg/hari untuk mengatasi agresi, agitasi dan
gangguan psikotik pada 34 pasien demensia rawat inap dengan rata-rata usia 76 tahun.
Hasilnya terjadi perbaikan gejala yang dinilai dari Clinical Global Impression (CGI)
pada 82% responden penelitian. Frekuensi dan keparahan halusinasi, waham, agresi
dan iritabilitas juga menurun, yang dilihat dari rating Neuropsychiatric Inventory
(NPI). 6
Penelitian yang melibatkan lebih banyak pasien dan tempat dilakukan oleh Arriola
et al pada 263 pasien dengan rata-rata usia 75,5 tahun. Dosis risperidone yang
digunakan pada penelitian (rata-rata(SD)) adalah 1,4 (0,7) mg/day pada 1 bulan dan
1,5 (0,8) mg/hari pada 3 bulan. Perbaikan gejala diukur menggunakan
Neuropsychiatric Inventory (NPI) dan skala Clinical Global Impression of Severity
(CGI-S). Hasilnya terdapat penurunan skor NPI dan CGI-S yang secara statistik
bermakna. Perbaikan gejala terutama pada gejala agitasi/ agresif dan ganguan tidur.
Penelitian tersebut juga mencatat adanya perbaikan dari gejala ekstrapiramidal. 6
Penelitian lain melibatkan pengumpulan data dari tiga penelitian acak dengan
menggunakan plasebo (randomized, placebo-controlled trials) untuk melihat efikasi
dan keamanan risperidone dalam mengobati agitasi, afresi dan gejala psikosis pada
pasien demensia usia lanjut pada panti werdha. Dosis rata-rata yang digunakan adalah
1mg/hari. Ditemukan adanya perbaikan skor CGI, Cohen-Mansfield agitation
inventory (CMAI) dan behavioral pathology in Alzheimer’s disease (BEHAVE-AD)
pada semua responden penelitian yang menggunakan risperidone dibandingkan
plasebo. Penelitian tersebut seperti penelitian yang lain yang menggunakan
risperidone juga tidak menemukan adanya efek samping ortostatik, antikolinergik,
jatuh dan penurunan kognitif pada penggunaan sesuai rentang dosis pada penelitian. 6
Selain untuk mengatasi gejala agresivitas, agitasi dan psikotik yang berkaitan
dengan demensia, risperidone juga digunakan pada pasien usia lanjut yang menderita
skizofrenia. Kepustakaan mencatat risperidone dan olanzapine adalah dua antipsikotik
atipikal yang paling sering digunakan pada populasi pasien usia lanjut. Penelitian
tersamar berganda dilakukan selama 8 minggu terhadap 175 pasien rawat jalan, pasien
rawat inap dan panti werdha yang berusia 60 tahun ke atas menggunakan risperidone
(1 mg to 3 mg/hari) atau olanzapine (5 mg to 20 mg/hari). Hasilnya terdapat perbaikan
pada nilai skor PANSS pada kedua kelompok. Efek samping ektrapiramidal terlihat
pada 9,2% pasien kelompok risperidone dan 15,9% pasien kelompok olanzapine.
Secara umum skor total dari Extra pyramidal Symptom Rating Scale menurun pada
kedua kelompok di akhir penelitian. Peningkatan berat badan juga didapatkan di dua
kelompok namun lebih jarang terjadi pada pasien yang menggunakan risperidone. 6
Quetiapine6
Pada tinjauan pustaka yang dilakukan oleh Zayas dan Grossberg quetiapine
dilakukan aman untuk pasien geriatri dan tidak dihubungkan dengan peningkatan
berat badan. Untuk menghindari efek samping yang sering timbul pada usia lanjut;
hipotensi postural, dizziness dan agitasi, direkomendasikan permulaan dosis awal
yang rendah (25mg) yang dititrasi sampai 100-300mg/hari. 6
Penelitian lain mengatakan bahwa efek samping yang sering mucul akibat
penggunaan quetiapine adalah somnolen, kelemahan bagian kaki bawah dan dizziness.
Angka kejadian sindrom ekstrapiramidal adalah 7% dari total 91 responden yang
mengikuti penelitian. Tidak didapatkan adanya gangguan pada sistem kardiovaskuler
dan jatuh pada penelitian tersebut. Quetiapine juga terbukti bermanfaat dalam
penanganan gejala psikotik yang muncul akibat penggunaan obat agonis dopamin
pada pasien Parkinson. 6
Olanzapine6
Data mengenai penggunaan olanzapine lebih terbatas daripada risperidone. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Madhusoodanan et al, olanzapine terbukti aman dan
efektif pada populasi pasien geriatri dan menimbulkan efek samping ekstrapiramidal
yang minimal serta tidak mempengaruhi kondisi medis umum pasien. Olanzapine juga
dihubungkan dengan manfaat terhadap kognisi pasien geriatri daripada dengan
penggunaan haloperidol. 6
Dosis olanzapine yang diberikan di beberapa penelitian pada populasi pasien usia
lanjut berkisar 5-20 mg/hari. Namun demikian peneliti melihat bahwa dosis yang
lebih berkisar antara 5-7,5mg/hari ternyata merupakan dosis yang paling banyak
memperlihatkan efektifitas pengobatan. 6
Clozapine6
Penggunaan clozapine untuk mengatasi gejala psikotik pada pasien parkinson
sudah diteliti secara luas. Terdapat bukti dari penelitian tersamar berganda bahwa
clozapine secara signifikan berguna memperbaiki gejala psikotik pada pasien
Parkinson. Dosis yang digunakan juga jauh lebih kecil yaitu berkisar antara 6,25–
50mg/hari. 6
Faktor usia juga menjadi faktor peningkatan kejadian leukopenia/agranulositosis
pada pasien yang memakai clozapine. Dosis clozapine yang disarankan untuk
digunakan pada populasi pasien usia lanjut adalah 25-150 mg/hari. Pasien juga
disarankan untuk tidak merokok karena akan mengurangi konsentrasi clozapine di
dalam plasma akibat peningkatan bersihan di dalam darah. 6
Zotepine
Zotepine dikatakan efektif dalam mengobati gejala negatif pasien skizofrenia dan
mencegah kekambuhan pada pasien dengan skizofrenia yang kronik. Penggunaannya
pada pasien usia lanut harus hati-hati dengan kisaran dosis 75- 150mg/hari. Efek
samping yang pernah dilaporkan adalah takikardia, hipotensi, perpanjangan interval
QTc, somnolen dan gangguan tidur. 6
Aripriprazole
Aripriprazole tergolong baru dalam dunia psikiatri. Cara kerjanya yang unik
sebagai parsial agonis di reseptor D2 mampu memperbaiki gejala positif maupun
negatif pasien psikotik. Lebih jauh lagi aripriprazole dikatakan memiliki efek samping
yang lebih kecil untuk terjadinya sindrom ekstrapiramidal, sedasi, peningkatan berat
badan dan efek samping kardiovaskular. Sayangnya data penelitian masih sangat
sedikit mengenai manfaat, keamanan dan dosis obat bagi pasien geriatri.
Madhusoodanan et al pada penelitiannya tahun 2004 menjelaskan tentang pengalaman
klinis penggunaan aripriprazole pada 10 pasien geriatri dengan skizofrenia. Hasilnya,
aripriprazole dinilai aman, memperbaiki gejala positif dan negatif dan memiliki efek
samping yang sedikit. Satu hal yang harus diperhatikan adalah aripriprazole berbeda
dengan antipsikotik yang lain memiliki waktu paruh yang relatif lebih panjang yaitu
sekitar 75 jam. Untuk itu penggunaan pada pasien usia lanjut yang memiliki fungsi
ginjal yang kurang baik harus diperhatikan. 6
4. Antipsikotik atipikal yang mana yang paling aman pada lansia dan anak-anak? Efek
samping berat badan yang minimal yang mana?

a. Antipsikotik atipikal pada anak-anak


Risperidone dengan dosis rendah atau sedang dapat digunakan pada anak-anak dan
remaja yang memiliki gangguan psikotik. Risperidone disetujui untuk pengobatan
iritabilitas terkait dengan gangguan autistik pada anak-anak dan remaja (usia 5-16),
termasuk gejala agresi terhadap orang lain, melukai diri sendiri dengan sengaja,
mengamuk, dan perubahan suasana hati yang cepat, untuk gangguan bipolar (usia 10-
17), dan skizofrenia (usia 13–17). Meskipun "atipikal" dalam menunjukkan efek
samping yang kurang dari EPS pada dosis rendah, risperidone dapat meningkatkan
kadar prolaktin bahkan pada dosis rendah. Risperidone dapat menimbulkan risiko
sedang pada kenaikan berat badan dan dislipidemia. Penambahan berat badan ini, dapat
menjadi masalah pada anak-anak. risperidone, terutama ketika awal pengobatan pada
anak-anak atau orang tua, mungkin perlu diberikan dua kali sehari untuk menghindari
sedasi dan ortostasis.7
Aripiprazole efektif dalam mengobati skizofrenia dan mania, dan juga disetujui untuk
digunakan di berbagai kelompok anak dan remaja, termasuk skizofrenia (usia 13 tahun
ke atas), mania akut / mania campuran (usia 10 tahun dan yang lebih tua), dan
iritabilitas terkait autisme pada anak-anak usia 6–17 tahun. Aripiprazole tidak memiliki
sifat farmakologis yang biasanya dikaitkan dengan sedasi, yaitu, sifat antagonis M1-
muskarinik kolinergik dan H1-histaminik, sehingga umumnya tidak bersifat
menenangkan. Ziprasidone dan lurasidone memiliki kecenderungan kenaikan berat
badan yang rendah, namun dapat menjadi masalah bagi beberapa orang dengan
kenaikan berat badan tanpa dislipidemia, termasuk anak-anak dan remaja. Ziprasidone
dan lurasidone efektif dalam dan penurunan berat badan tingkat trigliserida puasa
sehingga dapat digunakan saat antipsikotik lain memiliki risiko pada penderita dengan
kenaikan berat badan dan dislipidemia. 7
b. Antipsikotik atipikal pada lansia
Clozapine dapat digunakan pada lansia dengan indikasi psikosis pada parkinson
dengan efek samping minimal pada fungsi motorik. Clozapine digunakan pada
skizofrenia yang refrakter terhadap obat lain dan pada gangguan bipolar; telah terbukti
sangat efektif pada dosis yang sangat rendah untuk pengelolaan psikosis pada pasien
lanjut usia dengan penyakit Parkinson, skizofrenia, dan demensia. 7
Risperidone dengan dosisi rendah efektif dalam pengobatan perilaku agresif pada
demensia. Risperidone juga biasa digunakan dalam pengobatan gangguan psikotik pada
orang tua, risperidon yang bekerja lama juga dapat ditoleransi dengan baik dan aman
pada psikosis orang lanjut usia dan bagi pasien dengan disfagia. Risperidone harus
mulai dengan konsumsi oral (dari 0,5-3 mg / hari) untuk memastikan tolerabilitas
sebelum pemberian jangka panjang. Risperdione telah terbukti aman dan efektif pada
pasien lanjut usia dengan skizofrenia dan gangguan skizoafektif. Selain itu, adanya efek
positif pada kognisi mungkin karena kurangnya aktivitas antimuskarinik. Paliperidone
(9-hydroxyrisperidone, metabolit aktif utama risperidone) adalah obat antipsikotik baru
untuk pengobatan skizofrenia yang aman pada pasien tua (usia rata-rata 70 tahun). 7
Olanzapine aman untuk usia berapa pun dengan skizofrenia. Madhusoodanan et al
mendemonstrasikan efektifitas dan keamanan olanzapine (5-20 mg / hari) pada sebelas
pasien lanjut usia berusia antara 60-85 tahun dengan skizofrenia atau gangguan
skizoafektif; dapat ditoleransi dengan baik bahkan beberapa pasien lanjut usia lainnya. 7
Aripiprazole juga efektif untuk pengobatan berbagai kondisi kejiwaan pada orang
tua, seperti psikosis akibat skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, penyakit Parkinson,
dan demensia. aripiprazole 15 mg / hari secara signifikan mengurangi skor skala
Sindrom Positif dan Negatif dan mencegah kekambuhan.
Rekomendasi lini pertama para ahli untuk skizofrenia di usia lanjut adalah risperidone
(1,25-3,5 mg / hari). Quetiapine (100-300 mg / hari), olanzapine (7,5-15 mg / hari), dan
aripiprazole (15-30 mg / hari) adalah lini kedua.8,9
c. Efek samping kenaikan berat badan pada antipsikotik atipikal

Antipsychotic Risk for weight Gain


Clozapine +++
Olanzapine +++
Risperidone ++
Quetiapine ++
Ziprasidone +/-
Aripiprazole +/-
Tabel ini menunjukkan antipsikotik atipikal dan risiko kenaikan berat badan menurut FDA
and expert agree on three tiers of risk

Antipsikotik dengan risiko kenaikan berat badan lebih rendah, yaitu aripriprazole dan
ziprasidone. Sedangkan dengan risiko kenaikan berat badan lebih tinggi, yaitu clozapine dan
olanzapine dengan paliperidone, quetiapine, dan risperidone memiliki risiko sedang dalam
kenaikan berat badan. Risperidon aktif metabolit paliperidone kemungkinan besar
menimbulkan risiko kenaikan berat badan yang sama dengan risperidone itu sendiri menurut
FDA, US Food and Drug Administration.10
5. Mengapa Trihexyphenidil dan Dipenhidramin dapat memperbaiki efek samping
(EPS) yang ditimbulkan oleh pengobatan antipsikotik?
I. Trihexyphenidil
Trihexyphenidil adalah obat yang sering digunakan apabila didapatkan sindroma
ekstrapiramidal akibat penggunaan antipsikotik. Trihexyphenidil merupakan
antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih kuat dari pada perifer. Trihexyphenidil
bekerja melalui neuron dopaminergik. Mekanisme kerjanya meningkatkan pelepasan
dopamin dari vesikel prasinaptik, penghambatan ambilan kembali dopamin ke dalam
terminal saraf prasinaptik atau menimbulkan suatu efek agonis pada reseptor dopamine
pasca sinaptik. Trihexyphenidil sebagai terapi efek samping esktrapiramidal yang
diinduksi oleh antipsikotik dan obat-obatan sistem saraf sentral, seperti akathisia,
distonia, dan pseudoparkinsonism (tremor, rigiditas, akinesia) dan sindroma
ekstrapiramidal (EPS).(11)
Diketahui efek samping obat antipsikotik dapat diketahui dalam bentuk obat-obatan
yang bekerja sebagai bloking reseptor. Antipsikotik mengurangi aktivitas dopamin di
jalur nigrostriatal (melalui blokade reseptor dopamin), sehingga tanda ekstrapiramidal
dan gejalanya mirip penyakit Parkinson’s. Dopamin berfungsi sebagai faktor inhibisi dari
hormon prolaktin pada reseptor dopamin di pituitari dan hipotalamus (sistem
tuberoinfundibular) yang mengakibatkan hiperprolaktinemia, dan juga memblok reseptor
muskarinik sehingga menimbulkan gejala mulut kering, pandangan kabur, dan
konstipasi.(11)
Trihexyphenidil spesifik untuk reseptor muskarinik (menghambat reseptor
asetilkolin muskarinik), dan memblokade aktivitas kolinergik secara sentral maupun
perifer. Trihexyohenidil bekerja melaui neuron dopaminergik. Mekanismenya mungkin
melibatkan peningkatan pelepasan dopamin dari vesikel prasinaptik, penghambatan
ambilan kembali dopamin ke dalam terminal saraf prasinaptik atau menimbulkan suatu
efek agonis pada reseptor dopamin pascasinaptik. Trihexyphenidil juga meningkatkan
ketersediaan dopamin, yang merupakan kimia otak yang penting dalam menginisiasi
kontrol halus pada pergerakan otot volunteer.11,12
Trihexyphenidil memiliki efek menekan dan menghambat reseptor muskarinik
sehingga menghambat sistem saraf parasimpatetik (parasimpatolitik), dan juga memblok
reseptor muskarinik pada sambungan saraf otot sehingga terjadi relaksasi. Pemberian
secara oral trihexyphenidil diabsorbsi cukup baik dan tidak terakumulasi dijaringan.
Ekskresi terutama bersama urin dalam bentuk metabolitnya.11
Tardif dyskinesia akan muncul pada beberapa pasien dengan terapi antipsikotik
jangka panjang atau dapat terjadi setelah penghentian terapi antipsikotik.
Antiparkinsonism tidak dapat meringankan gejala tardif dyskinesia dan pada beberapa
contoh kasus malah memperburuknya. Parkinsonism dan tardif dyskinesia biasanya
terjadi bersamaan pada pasien yang mendapat terapi antipsikotik kronis, dan terapi
antikolinergik dengan trihexyphenidil mungkin dapat mengurangi beberapa gejala
parkinsonism.11
II. Dipenhidramin
Aspek penting dari farmakologi obat diphenhydramine adalah sebagai antagonis
reseptor histamin H1 generasi pertama sehingga dapat mengurangi kadar histamin dalam
tubuh, sebagai antiparkinson, antiemesis, antikolinergik dan sedasi.(13,15)
Diphenhydramine berperan sebagai antagonis reseptor histamin H1.
Diphenhydramine bersaing dengan histamin bebas untuk menempati reseptor histamin
H1 terutama di saluran pencernaan, uterus, pembuluh darah besar dan otot bronkus.
Ikatan obat diphenhydramine dengan reseptor histamin H1 mengurangi efek negatif yang
diakibatkan oleh ikatan histamin bebas dengan reseptor histamin H1 seperti reaksi
inflamasi, vasodilatasi, bronkokonstriksi dan edema. Ikatan obat antihistamin H1 dengan
reseptor histamin dapat mengurangi faktor transkripsi respons imun NF-ĸß melalui
fosfolipase C. Jalur sinyal fosfatidilinositol (PIP2) juga dapat mengurangi presentasi
antigen dan mengurangi pengeluran sitokin pro inflamasi dan faktor kemotaksis.
Antihistamin juga dapat menurunkan konsentrasi ion kalsium sehingga dapat
menstabilkan sel mast sehingga pengeluaran histamin berkurang. Antihistamin generasi
pertama seperti diphenhydramine dapat melewati sawar otak (blood brain barrier) dan
dapat berikatan dengan reseptor histamin H1 di otak sehingga dapat menyebabkan efek
sedasi walaupun diberikan dalam dosis terapeutik.(13,14,15,16)
Sama seperti trihexyphenidil, diphenhydramine juga memiliki efek antikolinergik
berkaitan dengan afinitasnya terhadap cholinoceptors muskarinik. Obat ini memiliki efek
sedative yang bermakna, dikarenakan blockade reseptor histamine H1 sentral dan
cholinoceptors muskarinik sentral.13 Diphenhydramin memiliki efek menekan dan
menghambat reseptor muskarinik sehingga menghambat sistem saraf parasimpatetik
(parasimpatolitik), dan juga memblok reseptor muskarinik pada sambungan saraf otot
sehingga terjadi relaksasi.(11) Difenhidramin dapat merangsang maupun menghambat
SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya adalah
insomnia, gelisah, dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan
AH1. Dosis terapi AH1 pada umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala
misalnya mengantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat.
Difenhidramin dapat mengatasi paralisis agitasi, mengurangi rigiditas, dan memperbaiki
kelainan pergerakan.13,14

6. Jenis-jenis Autism Spectrum Disorder (ASD) dan Cara menilai Retardasi Mental
A. Jenis-jenis Autism Spectrum Disorder (ASD)
Kata “autisme” berasal dari bahasa Yunani “Autos” yang berarti “sendiri”,
autisme pertamakali dipaparkan oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943, ia
menggambarkan sebagai gangguan penyempitan daya terima sensor seseorang,
termasuk dalam berhubungan dengan orang lain.17
Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis dari
masalah neurologis yang mempengaruhi pikiran, persepsi dan perhatian. Kelainan
ini dapat menghambat, memperlambat atau menggangu sinyal dari mata, telinga dan
organ sensori yang lainnya. Hal ini umumnya memperlemah kemampuan seseorang
untuk berinteraksi dengan orang lain, mungkin pada aktivitas sosial atau
penggunaan keterampilan komunikasi seperti bicara, kemampuan imajinasi dan
menarik kesimpulan. 17
Klasifikasi Autisme
Gangguan autisme memiliki beberapa klasifikasi didalamnya, klasifikasi
gangguan autisme diantaranya sebagai berikut:18
1. Klasifikasi autisme berdasarkan saat menculnya kelainan. Terdapat dua jenis
autisme yaitu (1) Autisme Infantil berasaldari kata “infant” yang berarti bayi
sehingga istilah ini digunakan dalam penyebutan anak autis yang memiliki
kelainan sejak lahir. Sedangkan (2) Autisme Fiksasi merupakan anak autis pada
saat kelahiran dalam keadaan normal, tanda-tanda dan gejala autis muncul
setelah beberapa waktu, biasanya berusia dua hingga tiga tahun. 18
2. Klasifikasi autisme berdasarkan interaksi sosial. Terdapat tiga kelompok anak
autis yaitu, (1) Kelompok menyendiri, terlihat anak mengucilkan diri, tidak
menerima pendekatan sosial hingga menimbulkan perilaku dan perhatian yang
kurang friendly. (2) Kelompok pasif, anak dapat menerima pendekatan sosial dan
mampu bergaul dengan teman sebaya namun tidak begitu interaktif. Dan (3)
Kelompok aktif, anak akan mendekati anak lain secara spontan, tetapi
menimbulkan perilaku aneh dan perilaku sepihak untuk dirinya sendiri. 18
3. Klasifikasi autisme berdasarkan prediksi kemandirian. Terdapat tiga jenis
autisme yaitu, (1) Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (jumlah 2/3 penyandang
autisme. (2) Prognosis sedang, terdapat kemajuan dalam bidang sosial dan
pendidikan meski persoalan perilaku tetap ada (1/4 penyandang autisme). dan (3)
Progonsis baik, memiliki kehidupan sosial normal atau bahkan mendekati
normal yang berfungsi dengan baik dilingkungan sekitar (1/10 dari seluruh
penyandang autisme) yang tergolong individu yang mandiri. 18
Selain itu terdapat kelainan-kelainan yang termasuk dalam Autism Spectrum
Disorder (ASD) yang memiliki gangguan seperti; kemampuan komunikasi, interaksi
sosial, serta pola perilaku yang repetitif dan stereotip.19
Adapun lima kelainan yang termasuk dalam ASD diantaranya sebagai berikut: 19
1) Autisme. Autime merupakan penarikan diri yang ekstrim dari lingkungan
sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, bertingkah laku yang terbatas dan
berulang yang muncul sebelum usia 3 tahun. Gangguan lebih banyak terjadi pada
anak laki-laki.
2) Asperger Syndrome (AS)/Autisme Ringan. Memiliki persamaan dengan autisme
namun tidak memiliki gangguan kognitif dan bahasa yang signifikan. Gangguan
dominan pada interaksi sosial. Inteligensi dan kemampuan berkomuniasi lebih
tinggi dari anak autisme. Ceroboh,permasalahan tidur, dan sikap keras kepala.
Gangguan ini muncul pada usia 4 tahun
3) Rett Syndrome. Umumnya dialami anak perempuan usia 2-5 tahun. Pada awalnya
anak berkembang normal, secara perlahan terjadi kemunduran seperti
kemampuan motorik halus (gerak tangan). Muncul gerakan stereoptik, mencuci
tangan, fleksi lengan ditangan dan dagu, membahsahi tangan dengan air liur.
Kemunduran pada gangguan bahasa. Serta anak Rett Syndrome mengalami
hambatan dalam mengunyah makanan.
4) Childhood Disintegrative Disorder. Perkembangan yang normal hingga usia 2
sampai 10 tahun, kemudian diikuti dengan kemunduran kemampuan. Awalnya
anak berkembang normal, secara perlahan terjadi kemunduran. Kemunduran
pada fungsi sosial, komunikasi dan perilaku.Dari beberapa macam kelainan
dalam Autism Spectrum Disorder (ASD), yang sering muncul yaitu kelainan
autisme dan asperger disorder.
5) Pervasive Developmental Disorder not Otherwise Specified (PDD-NOS).
Memiliki perilaku yang sama dengan autisme dalam tingkat yang lebih ringan.
Gangguan muncul setelah usia 3 tahun atau lebih.
B. Cara Menilai Retardasi Mental
Retardasi mental (RM) merupakan masalah dunia terutama di negara
berkembang. Diperkirakan hampir 3 % populasi mempunyai IQ < 70 dan 0.3 % dari
populasi mengalami RM yang berat. Menurut AAMD (American Association for
Mental Dificiency) RM didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana inteligensi
umum berfungsi di bawah rata-rata, bermula dari masa perkembangan, disertai
gangguan tingkah laku penyesuaian. Sedangkan menurut ICD 10 (International
Code of Disease), RM adalah perkembangan mental yang terhenti atau tidak
lengkap, terutama ditandai dengan adanya hendaya (impairment) keterampilan
(skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua aspek
inteligensi, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. 20
Diagnostic and Statistic Manual edisi IV (DSM-IV) mendefinisikan RM sebagai:
a. Fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata, dengan IQ rata-rata 70 atau
kurang.
b. Terdapat defisit atau gangguan fungsi adaptif pada minimal 2 area: komunikasi,
perawatan diri sendiri, hidup berkeluarga, kemampuan sosial/interpersonal,
kemampuan bermasyarakat, kemampuan akademik fungsional dan pekerjaan.
c. Timbul sebelum umur 18 tahun.
Disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental, tetapi sebanyak 30-50%
kasus RM tidak dapat diidentifikasi penyebabnya, biasanya merupakan campuran
faktor bawaan, lingkungan atau sosiokultural. 21
Berbagai penyebab RM bisa dikelompokkan sebagai berikut:
1. Selama kehamilan: 21
a. Kelainan bawaan: kelainan kromosom, sindrom down, dll
b. Kelainan genetik (single gene dan polygenic), seperti tuberoussclerosis,
penyakit-penyakit metabolik, fragile-X syndrome dll.
c. Didapat: gangguan pertumbuhan janin di dalam kandungan, seperti infeksi,
keracunan, insufisiensi placenta.
2. Perinatal: prematuritas, infeksi perinatal, asfiksia, ensefalopati hipoksik-iskemik,
trauma lahir, hipoglikemia. 21
a. Setelah persalinan: hiperbilirubinemia, infeksi, trauma berat pada kepala
atau susunan saraf pusat, neurotoksin (misalnya tembaga lead poisoning),
CVA (cerebrovascular accident), anoksia serebri, keganasan susunan saraf
pusat, gangguan metabolik, gizi buruk, kelainan hormonal (misalnya
hipotiroid).
b. Masalah psikososial, seperti penyakit kejiwaan atau penyakit kronis lain
pada ibu, keminskinan, malnutrisi, penyiksaan (abuse), penelantaran, dan
lain-lain
Klasifikasi RM menurut DSM-IV: 21
1. RM ringan (IQ 55-70, terdidik, intensitas bantuan: intermiten)
2. RM sedang (IQ 40-54, terlatih, intensitas bantuan: terbatas)
3. RM berat (IQ 25-29, tidak terlatih, intensitas bantuan: ekstensif)
4. RM sangat berat (IQ < 25, tidak terlatih, intensitas bantuan: pervasif)
Klasifikasi lain dari RM adalah: 21
1. RM patologis, gangguan mental berat (IQ kurang dari 20), idiot dan imbesil (IQ
20 45), kelompok ini sering disertai dengan defisit neurologik lain.
2. RM subkultural, fisiologik atau familial, biasanya gangguan mental tidak begitu
berat, imbesil ringan atau pikiran lemah (feeble minded) dengan IQ 45-70.
Orangtua dan saudara sering subnormal dengan tingkatan yang berbeda.
Gejala-gejala yang ditemukan pada RM mencakup: 21
1. Keterlambatan berbahasa
2. Gangguan gerakan motorik halus dan gangguan adaptasi (toileting, kemampuan
bermain)
3. Keterlambatan perkembangan motorik kasar, jarang ditemui, kecuali kalau RM
disertai dengan kondisi lain, seperti palsi serebral.
4. Gangguan perilaku, antara lain agresi, menyakiti diri sendiri, deviasi perilaku,
inatensi, hiperaktifitas, kecemasan, depresi, gangguan tidur dan gerakan
sterotipik.
Kriteria diagnosis: 21
1. Terdapat kendala perilaku adaptif sosial (kemampuan untuk mandiri)
2. Gejala timbul pada umur yang kurang dari 18 tahun
3. Fungsi intelektual kurang dari normal (IQ <70).
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup faktor risiko bagi retardasi
mental, di antaranya: 21
1. Faktor ibu: usia ibu waktu melahirkan (40 tahun), hubungan darah/keluarga yang
dekat antara suami-istri.
2. Faktor perinatal
3. Faktor neonatal
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. 2013. Introduction to human physiology. 8th ed. Canada: Nelson


education, Ltd. p. 165, 204-206.
2. Lisdiana. Regulasi Kortisol Pada Kondisi Stres Dan Addiction. Biosaintifika. 2012; 4
(1):22-24.
3. Rosyanti L, Devianty R, Hadi I , Sahrianti. Kajian Teoritis: Hubunggan Antara Depresi
Dengan Sistem Neuroimun ( Sitokin-Hpa Aksis). Health Information : Jurnal Penelitian.
2017;9(2): 36-45.
4. Dharmayanti AWS. Pengaruh Stresor Renjatan Listrik Pada Kadar Kolesterol Total
Pada Serum Tikus Jantan (Rattus Norvegicus) Strain Wistar. Stomatognatic (J.K.G
Unej). 2012;9(1): 54-57.
5. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia.
6. Andri.Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis. Maj Kedokt
Indon. 2009; 59(9): 446-448.
7. Stahl, Stephen M. Stahl's Essential Psycopharmacology Neurosciencetific Basis and
Practical Application. Fourth Edition. New York: Cambridge University Press; 2013.
193-204p.
8. Gareri P, Segura-García C, Manfredi VG, et al. Use of atypical antipsychotics in the
elderly: a clinical review. Clin Interv Aging.2014;9:1363-1373. Published 2014 Aug 16.
9. Alexopoulos GS, Streim J, Carpenter D, Docherty JP; Expert Consensus Panel for
Using Antipsychotic Drugs in Older Patients. Using antipsychotic agents in older
patients. J Clin Psychiatry. 2004;65.
10. Stahl, Stephen M. Antipsycothics and Mood Stabilizers Stahl's Essential
Psycopharmacology. New York: Cambridge University Press; 2008. 140p.
11. Vivi Swayami I. Aspek Biologi Triheksifenidil Di Bidang Psikiatri. Medicina (B Aires).
2014;45(2).
12. Harvey Ar, Baker Lb, Reddihough Ds, Scheinberg A, Williams K. Trihexyphenidyl For
Dystonia In Cerebral Palsy. Cochrane Database Syst Rev. 2018;2018(5).
13. Gelotte Ck, Zimmerman Ba, Thompson Ga. Single-Dose Pharmacokinetic Study Of
Diphenhydramine Hcl In Children And Adolescents. Clin Pharmacol Drug Dev.
2018;7(4):400–7.
14. Hou Rh, Scaife J, Freeman C, Langley Rw, Szabadi E, Bradshaw Cm. Relationship
Between Sedation And Pupillary Function: Comparison Of Diazepam And
Diphenhydramine. Br J Clin Pharmacol. 2006;61(6):752–60.
15. Mims Indonesia. Diphenhydramine. 2017. Diunduh Dari:
Http://Www.Mims.Com/Indonesia/Drug/Info/Diphenhydramine?Mtype=Generic
16. Drugbanks. Diphenhydramine. 2018. Diunduh Dari:
Https://Www.Drugbank.Ca/Drugs/Db01075.

17. Rinarki JA. Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Remaja
Rosda kary; 2018.
18. Handoyo. Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Anak Normal, Autis,
dan Perilaku Sosial Lain. Jakarta: Gramedia; 2004.
19. Hallahan DP, Kauffman JM. Exceptional learner: An Introduction to Special Education,
international Edition: 10. 2006.
20. Shonkoff JP. Mental Retardation. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia;
Saunders Elsevier: 2007. h. 125-9.
21. Kastner W. Mental Retardation: Behavioral Probelms Palsy. Dalam Parker S,
Zuckerman B. Development and Behavioral Pediatric. 2nd ed. Philadelphia; Lippincott
2005. p 234.

Anda mungkin juga menyukai