Anda di halaman 1dari 10

Rabu 08 Juli 2020, 14:17 WIB

Menaker: Masalah Ketenagakerjaan Saat Ini Adalah


Pendidikan M. Iqbal Al Machmudi | Humaniora
TANTANGAN terbesar kondisi ketenagakerjaan
saat ini adalah mayoritas penduduk 56% yang
bekerja memiliki pendidikan rendah SMP
kebawah. Sebelumnya, 57% karena pendidikan
semakin baik maka turun menjadi 56%. "Ini
artinya ada peningkatan presentase penduduk
yang bekerja muda 15-24 tahun dengan tingkat
pendidikan SMA dan SMK. dari sisi regional
provinsi tingkat dengan pengangguran tertinggi
terjadi di Banten, Jawa Barat, dan Maluku," kata
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah saat
Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi
IX DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/7).

Selain itu, Ida menyebutkan bahwa sebelum


adanya wabah covid-19, data per Februari 2020
angkatan kerja di Indonesia sebanyak 137,1
juta orang yang terdiri penduduk yang bekerja
sebanyak 131 juta orang dan pengangguran
terbuka sebanyak 6,88 juta orang.

Ida melanjutkan, sebelum adanya wabah covid kondisi ketenagakerjaan sedang


mengalami tren yang positif. Karena pada 2020 angka pengangguran turun yang
sebelumnya 7,50 juta menjadi 6,88 juta orang.
"Bila dilihat dari presentasenya sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja yakni
sektor pertanian, perikanan, dan perhutanan yang diikuti dengan sektor perdagangan
dan industri pengolahan. 61,7% tenaga kerja bekerja di 3 industri itu pertanian,
perikanan, dan perhutanan," ujar Ida.
Setelah adanya wabah covid pekerja formal maupun informal yang terdampak mencapai
1,7 juta orang jumlah pekerja sektor formal yang dirumahkan dan PHK mencapai 1,3
juta orang yang pekerja informal terdampak covid mencapai lebih dari 318 ribu orang.
"Data tersebut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dipegang by name by
address dari laporan dinas ketenagakerjaan dari seluruh provinsi," pungkasnya.(OL-2)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/326479-menaker-masalah-
ketenagakerjaan-saat-ini-adalah-pendidikan
16 Mar 19 | 09:01

Ini 4 Persoalan Ketenagakerjaan di Indonesia


Apakah kamu termasuk yang belum mendapat pekerjaan?

Jakarta, IDN Times – Masih galau belum dapat pekerjaan? Atau kamu
masih harap-harap cemas menanti panggilan kerja? Ada banyak
permasalahan ketenagakerjaan, seperti yang akan dibahas pada debat
ketiga antar calon wakil presiden (cawapres) Minggu, 18 Maret 2019
besok.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan


sejumlah isu ketenagakerjaan sebagai salah satu tema debat yang layak
untuk dibahas.

Bukan hanya masalah sulit mencari kerja, Ekonom Senior Indef Fadhil
Hasan mencatat setidaknya ada 4 permasalahan dalam bidang ini, apa
saja?
Lanjutan no 4

selanjutnya diikuti oleh tingkat pendidikan SMP, SD, Universitas, SD dan


Diploma, masing-masing sebesar 16 persen, 13 persen, 10 persen, 5
persen dan 3 persen.

“Ini yang menyebabkan adanya masalah produktivitas tenaga kerja kita,”


kata Fadhil.
1. Rendahnya produktivitas tenaga kerja kerja
Fadhil menyebut sebesar 60
persen tenaga kerja Indonesia
bekerja di sektor informal
seperti dan berdampak pada
penurunan ekonomi Indonesia.
“Total productivity sumbangan
dari faktor non-kapital terhadap
pertumbuhan ekonomi juga
rendah,” ucap Fadhil di
Pejaten, Jakarta, Kamis (14/3).

2. Meski banyak yang bekerja, tapi tingkat


pendidikannya minim
IDN Times/Ardiansyah Fajar

Angka tenaga kerja di


Indonesia jumlahnya
mencapai 131,55 juta
dengan serapan sebesar
124,54 juta atau mencapai
94 persen. Meski terlihat,
bagus permasalahan
muncul karena jika dilihat
dari angkatan kerja, sekitar
57 persen masyarakat
Indonesia yang bekerja
berpendidikan SMP ke
bawah.

Berdasarkan data survei angkatan kerja nasional (Sakernas) 2018 yang


dilansir Indef, sebesar 14,93 persen pekerja berasal dari mereka yang
berpendidikan kurang dari SD; 24,55 persen lulusan SD; dan 17,98 persen
lulusan SMP.

“Angka ini semakin miris jika melihat mereka yang lulusan SMK, SMA,
bahkan diploma dan universitas memperoleh angka tenaga kerja yang
lebih rendah. Masing-masing 10,72 persen, 11,76 persen, 2,8 persen dan
9,45 persen,”jelas Fadhil.
3. Kemampuan yang gak sesuai sama yang diminta
dunia kerja
Pernah gak kamu
melamar kerja tapi
ternyata
banyak skill atau
kemampuan di luar atau
tidak kamu pelajari saat
kuliah? Ini adalah
masalah ketiga
ketenagakerjaan: suplai
tenaga kerja tidak
sejalan dengan
kebutuhan industri.
“Sekarang ini orang yang lulus SMK atau perguruan tinggi ketika
masuk pasar tenaga kerja butuh berbagai training untuk
meningkatkan skill mereka,” ujar Fadhil.

Menurutnya saat ini kita terlalu fokus kepada supply side, sebuah
kebijakan yang menitikberatkan pada peningkatan sektor penawaran
alih-alih pada demand drive mengharapkan dunia usaha berperan
menggerakkan pendidikan.

“Tenaga kerja memenuhi kebutuhan dari pihak yang perlu tenaga


kerja tersebut, yang terjadi supply driven. Pemerintah atau swasta
yang mengadakan tenaga kerja harusnya melakukan demand
driver,” ujar Fadhil.

4. Dari mana pengangguran terbesar berasal?


Dalam acara diskusi tersebut, Fadhil
juga menjelaskan dari tingkatan apa
paling banyak terjadi pengangguran
yang totalnya mencapai 7,01 juta
orang.
Merujuk data Sakernas 2018,
pengangguran terbanyak berasal dari
SMA dan SMK sebesar 28 dan 25
persen. Pengangguran terbanyak
Lembaga Demografi UI Beberkan
Serentetan Masalah Tenaga Kerja dalam
Omnibus Law
Reporter: Fajar Pebrianto

Editor: Ali Akhmad Noor Hidayat


Jumat, 11 September 2020 17:56 WIB

Ribuan massa buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama-sama dengan elemen serikat pekerja
yang lain melakukan aksi demo di depan gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 25 Agustus 2020. Dalam aksinya massa
buruh menolak omnibus law RUU Cipta Kerja dan Stop PHK. TEMPO/Subekti.

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) membeberkan


sejumlah masalah dan tantangan dalam pasar tenaga kerja indonesia. Sejumlah
masalah ini terjadi di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang sedang berlangsung.
Kepala Lembaga Demografi UI Turro Selrits Wongkaren mengatakan supply
tenaga kerja saat ini kian bertambah akibat bonus demografi. Tapi aturan mainnya
masih Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Kondisi 17 tahun yang lalu sangat berbeda dengan kondisi sekarang," kata Turro
dalam webinar di Jakarta, Jumat, 11 September 2020.

Dalam 17 tahun ini, kata Turro, penduduk Indonesia sudah bertambah hingga 40
juta lebih. Sehingga mau tidak mau, terjadi perubahan signifikan pada pasar
tenaga kerja di Indonesia. Hingga Februari 2020 saja, angkatan kerja di Indonesia
sudah mencapai 138 juta orang.

Ke depan, jumlah ini akan terus bertambah. Jika tidak diimbangi dari segi demand
side alias penyerapan tenaga kerja, maka akan muncul kelompok pengangguran
baru. Bonus demografi yang mencapai puncak pada 2020 hingga 2024 ini berubah
menjadi bencana demografi.

Di tengah situasi ini, pemerintah kemudian menawarkan kebijakan Rancangan UU


Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut Turro, RUU ini diharapkan dapat menciptakan
lapangan kerja baru. Sehingga, dapat menyerap angkatan kerja.

Tapi, Turro mengingatkan perlunya keseimbangan antara perusahaan yang


menghadapi ketidakpastian, terutama di masa pandemi ini, dengan perlindungan
pekerja. Sehingga, pembahasan RUU ini dinilai harus mendengarkan masukan
pihak yang terlibat. "Harus selalu ada dialog di negara ini," kata dia.

Di tengah masalah ini, sejumlah poin dalam Global Talent Competitiveness Index
(GCTI) 2020 dinilai bisa menjadi indikator perbaikan pasar tenaga kerja Indonesia.
Keempatnya yaitu enable, attract, growth, dan retain.

Pada poin enable, pemerintah perlu membuat situasi yang memungkinkan pekerja
bekerja dengan optimal. Salah satunya menekan angka korupsi. "Kalau banyak
korupsi, orang mikir saya mau kerja kok uang saya sudah diambil duluan?"

Dalam poin attract, pemerintah harus memastikan para pekerja mau tetap bertahan
di wilayah kerja mereka masing-masing. Pekerja di kota tetap di kota, yang di
daerah tetap di daerah. Kuncinya adalah tidak ada diskriminasi di dalam pekerjaan.

Dalam poin growth, seorang pekerja harus dipastikan bisa memperbaiki keahlian
dan pengetahuannya dalam bekerja. Lalu poin terakhir yaitu retain, bagaimana
memastikan pekerja bisa tetap bertahan di pekerjaannya. "Salah satu caranya
yaitu dengan memberikan perlindungan bagi mereka," kata Turro.

Masalah Ketenagakerjaan Ini Patut Dibahas


di Debat Cawapres
Ketenagakerjaan akan menjadi salah satu tema yang diangkat dalam Debat Pilpres III antarcawapres
di Hoten Sultan, Jakarta Pusat, Minggu (17/3/2019).
Selain soal lapangan kerja, persoalan lain dalam ketenagakerjaan pantas dinarasikan para cawapres – Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA — Ketenagakerjaan akan menjadi salah satu tema yang


diangkat dalam Debat Pilpres III antarcawapres di Hoten Sultan, Jakarta Pusat,
Minggu (17/3/2019).

Kendati demikian, beberapa pengamat, salah satunya aktivis hak asasi manusia
(HAM) Haris Azhar menilai debat yang akan menghadirkan dua kandidat
cawapres ini memiliki kecenderungan hanya akan membahas tema
ketenagakerjaan dari sisi pembukaan lapangan kerja saja.

Padahal, masih banyak masalah ketenagakerjaan menghantui masyarakat


Indonesia dan urgen untuk segera diselesaikan pemerintah. Direktur Eksekutif
Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation ini pun memaparkan beberapa
temuannya kepada Bisnis, Rabu (13/3/2019).

"Pertama, Soal PHK [Pemutusan Hubungan Kerja] banyak terjadi. Hal ini bukan
sekadar karena perusahaan gulung tikar, tapi juga karena praktik manipulatif data
keuntungan atau kerugian di perusahaan-perusahaan, dengan klaim bahwa
mereka merugi lalu pecat karyawan secara massal," jelas Haris.

Menyambung kasus tersebut, Haris menuturkan kasus kedua yang terbanyak


dirinya temukan, yaitu perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya cenderung
memilih karyawan kontrak. Sayangnya, banyak perusahaan hanya berpikir hemat
dengan memanfaatkan pencari kerja membeludak akibat bonus demografi, tapi
tidak memberikan hak-hak pekerja seperti upah dan jaminan sosial yang layak.

"Ketiga, banyak kasus [perdata] yang sudah dimenangkan oleh karyawan tapi
perusahaan tidak mau eksekusi. Keempat, hak-hak para pensiunan karyawan
BUMN tidak dibayarkan seperti [kasus] BNI dan BRI," ungkap Haris.
"Kelima, persekusi, kekerasan, dan pemidanaan yang dipaksakan kepada buruh.
Banyak sekali terjadi. Keenam, transparansi penggunaan uang BPJS
Ketenagakerjaan," tambah Haris.

Melengkapi pendapat Haris, anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK) Poempida Hidayatulloh menjelaskan
kepada Bisnis, bahwa pemerintah memang perlu menertibkan "perusahaan nakal"
agar sanggup menjamin kesejahteraan tenaga kerja sesuai ketentuan konstitusi.

"Seorang pengusaha boleh saja bertepuk dada bahwa ia telah menciptakan 1.000
lapangan pekerjaan. Tapi apakah pekerjaan yang diberikan dapat memberikan
kesejahteraan yang layak?" ujar Peompida retoris.

"Daendels pada saat membangun Jalan Anyer-Panarukan juga mempekerjakan


ribuan orang. Tapi apakah mereka mendapatkan kesejahteraan rakyat?" tambah
mantan politisi Partai Golkar ini.

Poempida menyebutkan bahwa penyelenggaraan BPJS merupakan amanat


undang-undang. Oleh sebab itu, dirinya berharap para kandidat menghadirkan
solusi ideologis, seperti kepastian, keadilan, kesetaraan, serta jaminan perlakuan
berbeda bagi pekerja yang rajin atau berprestasi.

Tetapi, lanjut Peompida, tidak pula mengesampingkan masalah yang sedang


dihadapi BPJS terkait "perusahaan nakal" tersebut. Di antaranya, masih banyak
perusahaan yang menunggak iuran BPJS TK, tidak mendaftarkan semua
pekerjanya ke sistem jaminan sosial, dan lain sebagainya.

"Narasi-narasi berbasis masalah ideologis inilah yang menurut saya patut


dinantikan dari debat baik capres maupun cawapres, karena peradaban yang
dibangun ke depan adalah suatu tantangan untuk mencapai cita-cita ideologis
tersebut," jelas Poempida.

"Tugas dari pemerintahan mengawal peta jalan untuk lebih dirasakan manfaatnya
oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk para tenaga kerja. Teknisnya silakan
dinarasikan oleh masing-masing kandidat. Terpenting, rakyat harus paham bahwa
pemikiran atau pun program yang ditawarkan para kandidat tidak boleh
mengkhianati cita-cita ideologis," tegas Peompida.

Debat Pilpres III antarcawapres akan menghadirkan cawapres nomor urut 01


Ma'ruf Amin dan nomor urut 02 Sandiaga Uno dengan tema pendidikan,
ketenagakerjaan, kesehatan, serta sosial dan budaya.

Debat akan digelar di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Minggu (17/3/2019), dipandu
oleh moderator Alfito Deannova dan Putri Ayuningtyas, serta disiarkan secara
langsung oleh Trans 7, Trans TV, dan CNN Indonesia TV.
Pengangguran Jadi Masalah
Pembangunan Ketenagakerjaan
Selasa 04 Feb 2020 14:34 WIB
Red: Ratna Puspita

Ilustrasi bursa pencari kerja. Tantangan berat pembangunan ketenagakerjaan Indonesia ke depan masih, yakni
mengatasi masalah pengangguran dan setengah pengangguran yang masih tinggi.
Foto: Republika/Putra M. Akbar

Jumlah pencari kerja baru sekitar dua juta setiap tahunnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Nawawi menjelaskan tantangan
berat pembangunan ketenagakerjaan Indonesia ke depan masih. Tantangan
tersebut, yakni mengatasi masalah pengangguran dan setengah pengangguran
yang masih tinggi.

"Angka pengangguran yang masih tinggi, ditambah dengan meningkatnya


jumlah pencari kerja baru sekitar dua juta orang setiap tahunnya, merupakan
masalah yang dihadapi saat ini," kata Nawawi dalam Seminar Indonesia
Demographic Outlook 2020 di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (4/2).

Seminar itu diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Lembaga


Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, dan Ikatan Praktisi
dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI). Masalah lain yang dihadapi dalam
pembangunan ketenagakerjaan Indonesia adalah masalah tambahan pencari kerja
baru sekitar 2 juta orang setiap tahunnya, dan dominasi sektor informal dalam
struktur pasar kerja Indonesia.
Karena itu, diperlukan kebijakan yang bersifat terobosan baru khususnya program
penyiapan bagi tenaga kerja yang akan masuk pasar kerja melalui peningkatan
kualitas dan keterampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja. Saat ini,
penduduk usia kerja dengan usia di atas 15 tahun berjumlah 197,91 juta orang, yang
mana 133,56 juta orang masuk angkatan kerja dan 64,35 juta orang masuk kategori
bukan angkatan kerja.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Agustus 2019, 133,56 juta orang yang
masuk angkatan kerja terdiri atas pengangguran dengan jumlah 7,05 juta orang dan
yang bekerja sebanyak 126,51 juta orang. Jumlah 126,51 juta orang yang bekerja itu
terdiri atas tiga golongan yaitu setengah pengangguran 8,13 juta orang, pekerja
paruh waktu 28,41 juta orang, dan pekerja penuh 89,97 juta orang.

Sementara selama 5 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di


kisaran 5 persen, dan kontribusi industri pengolahan terhadap penciptaan Produk
Domestik Bruto dan penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan. Sementara,
berdasarkan Global competitiveness Index (GCI) 2019, Indonesia menempati
peringkat 50 dari 140 negara yang turun dari sebelumnya di peringkat 45, dan
tertinggal jauh dari Thailand di peringkat 40 dan Malaysia di peringkat 27.

Selain itu, untuk kemudahan berbisnis Indonesia menempati peringkat 73 dari 190
negara, yang mana hanya naik satu tingkat dari tahun 2018, sementara Thailand
naik 6 tingkat menjadi peringkat 21, Malaysia naik 3 tingkat jadi peringkat 12 dan
Filipina naik 29 tingkat menjadi peringkat 95.

Untuk itu, prioritas pembangunan manusia berkualitas, produktif dan adaptif


terhadap perkembangan teknologi menjadi tepat, dan itu merupakan modal besar
dalam pemanfaatan bonus demografi untuk meningkatkan ekonomi Indonesia.

Hal itu juga harus didukung dengan penataan regulasi. Melalui Omnibus Law,
pemerintah berupaya untuk menata regulasi untuk harmonisasi dan sinkronisasi
peraturan perundang-undangan yang menghambat peningkatan kegiatan investasi
dan penciptaan lapangan kerja baik dengan dipangkas, disederhanakan maupun
diselaraskan.

Anda mungkin juga menyukai