Anda di halaman 1dari 7

Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum

dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU

No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7. Kestabilan rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan

nilai rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi.

Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.

Dalam konteks perkembangan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain, Indonesia menganut sistem nilai tukar

mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem

keuangan. Oleh karena itu, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar agar sesuai

dengan nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.

Dalam upaya mencapai tujuan rersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka kebijakan moneter

Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek

kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan

(overriding objective). Bank Indonesia secara konsisten terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan

moneter, sesuai dengan perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.

(sumber: www.bi.go.id)

Tujuan & Tugas Bank Indonesia:

Kegiatan moneter merupakan kegiatan pengendalian jumlah uang beredar oleh otoritas moneter atau bank sentral guna

mencapai suatu tingkat perekonomian tertentu.

Peranan Bank Indonesia dalam sistem pembayaran sangat luas, karena sebagai operator, regulator, dan sekaligus sebagai

pengawas.

Bank Indonesia berwenang untuk mengeluarkan uang dan mengatur peredaran uang rupiah. Masyarakat dapat melakukan

penukaran uang dalam setiap bentuk pecahan bernilai sama, baik utuh, maupun cacat atau rusak (tergantung tingkat

kerusakan). Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah cukup dan kualitas memadai.

Tujuan tunggal: mencapai dan memelihara kestabilan rupiah.

Aspek kestabilan rupiah:

1. Terhadap barang & jasa: tercermin dalam laju inflasi.

2. Terhadap valas: tercermin dalam nilai tukar terhadap valas.


Tugas BI dalam menstabilkan rupiah

1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter

2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran

3. Mengatur dan mengawasi bank

BI berwenang menetapkan sasaran-sasaran moneter dan melakukan pengendalian moneter

a. Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan

b. Mengelola cadangan devisa - pemenuhan kebutuhan luar negeri

c. Memelihara keseimbangan neraca pembayaran

d. Menerima pinjaman luar negeri

Bank Indonesia bertugas dan berkewajiban membantu pemerintah dalam hal:

 Mengatur, menjaga dan memelihara stabilitas nilai Rupiah

 Menggalakkan kegiatan produksi dan pembangunan serta memperluas penciptaan kesempatan kerja.

Rincian Tugas Bank Indonesia

1. Menetapkan sasaran moneter dengan:

a) Memperhatikan sasaran laju inflasi,

b) Melakukan pengendalian moneter,

c) Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan

pendanaan jangka pendek,

d) Memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah dalam hal suatu bank

mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang

membahayakan sistem keuangan,

e) Melaksanakan kebijakan nilai tukar,

f) Mengelola cadangan devisa.

2. a) Menetapkan penggunaan alat pembayaran,

b) Mengatur sistem kliring antar bank,

c) Menyelenggarakan kegiatan kliring,

d) Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank,


e) Mengeluarkan, mengedarkan, mencabut, menarik serta memusnahkan uang Rupiah dari peredaran.

3. a) Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,

b) Menetapkan peraturan, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

Bank Indonesia mengawasi dan membina bank–bank komersial agar tercapai:

 Kestabilan nilai Rupiah

 Sistem perbankan dan perkreditan yang tepat

 Kreditur bank – bank komersial yang terlindungi

Bank Indonesia: Hubungan dengan Pemerintah

• Bertindak sebagai pemegang kas pemerintah

• Memberikan bunga atas saldo kas pemerintah

• Memberikan pendapat mengenai masalah ekonomi, perbankan dan keuangan

• Memberikan pendapat dalam Rancangan APBN

• Memberikan konsultasi dan membantu dalam penerbitan SUN

• Menyampaikan laporan tahunan kepada DPR

Sisa surplus kegiatan BI dikurangi 30% untuk cadangan tujuan & 10% untuk cadangan umum membayar kewajiban

pemerintah ke BI lalu diserahkan ke pemerintah

Bank Indonesia: Hubungan Internasional

• Melakukan kerjasama dengan bank sentral negara lain dan organisasi atau lembaga internasional.

• Bertindak atas nama Republik Indonesia dalam mengambil keputusan pada organisasi atau lembaga internasional.
Inflasi

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau

mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK

dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Penentuan

barang dan jasa dalam keranjang IHK dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat

Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di

beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:

1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).

Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar

pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas.

[Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik https://bps.go.id.

2. Indeks Harga Produsen (IHP)

Indikator ini mengukur perubahan rata-rata harga yang diterima produsen domestik untuk barang yang mereka

hasilkan.

3. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB)

menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.

Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.

4. Indeks Harga Aset

Indeks ini mengukur pergerakan harga aset antara lain properti dan saham yang dapat dijadikan indikator adanya

tekanan terhadap harga secara keseluruhan.

Pengelompokan Inflasi

Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the

Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :

1. Kelompok Bahan Makanan

2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau


3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar

4. Kelompok Sandang

5. Kelompok Kesehatan

6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga

7. Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan

pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk

menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam

pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:

o Interaksi permintaan-penawaran

o Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang

o Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor

fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :

o Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) : Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan)

dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga

komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

o Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) : Inflasi yang dominan

dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif

listrik, tarif angkutan, dll.

Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan

dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak

inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah

(administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap

ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output

potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor

ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi

dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward

looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang

hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP). Meskipun

ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang

dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian halnya

pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu

signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada

akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan

pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi

masyarakat.

Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari

masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.

Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil

keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat

dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat

bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

(sumber: www.bi.go.id)
(sumber: www.bi.go.id)

Anda mungkin juga menyukai