Disusun Oleh :
MUHAMMAD FAQIH AL-HIFNI NIM :11190860000100
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
1. Hadist Shahih
Kata shahih menurut bahasa berasal dari kata shahha, yashihhu, suhhan
wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang
selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama biasa menyebut
kata shahih sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka hadist shahih
menurut bahasa berarti hadist yang sah, hadist yang sehat atau hadist yang
selamat.
Hadist shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah sebagai berikut: "Hadist
yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan
oleh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada
kejanggalan dan tidak ber'illat."
Menurut ta'rif muhadditsin, suatu hadist dapat dikatakan shahih apabila telah
memenuhi lima syarat:
1. Sanadnya bersambung. Tiap–tiap periwayatan dalam sanad hadist menerima
periwayat hadist dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung
demikian sampai akhir anad dari hadits itu.
2. Periwayatan bersifat adil. Periwayat adalah seorang muslim yang baligh, berakal
sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan-
perbuatan maksiat.
3. Periwayatan bersifat dhabit. Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang
apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia
menghendakinya.
4. Tidak janggal atau Syadz. Adalah hadist yang tidak bertentangan dengan hadist
lain yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
5. Terhindar dari 'illat (cacat). Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang
disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik atau yang kelihatan samar-samar.
Terdapat macam-macam hadist shahih. Para ulama dan ahli hadist membaginya
menjadi dua macam yaitu:
1. Hadist Shahih Li-Dzatih
Adalah hadist shahih dengan sendirinya. Artinya hadist shahih yang
memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan di atas atau “hadist
yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya.”
Dengan demikian penyebutan hadist shahih li-dzatih dalam pemakaian sehari-
hari cukup disebut dengan hadist shahih.
2. Hadist Shahih Li-Ghairih
Adalah hadist yang keshahihannya dibantu oleh keterangan lain. Hadist
pada kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke-
dhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan
sebagai hadist shahih.
2. Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh
orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak
cacat dan tidak ganjil.
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut : “Tiap-tiap hadist yang
pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya)
tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui
jalan lain”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadist hasan tidak memperlihatkan
kelemahan dalam sanadnya. Disamping itu, hadist hasan hampir sama dengan
hadist shahih. Perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan
rawinya tidak kuat hafalannya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan
sebagai hadist hasan, yaitu:
a. Para perawinya yang adil,
b. Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
c. Sanad-sanadnya bersambung,
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
e. Tidak mengandung 'illat.
Pembagian Hadist Hasan
Terdapat macam-macam hadist hasan. Para ulama dan ahli hadist membaginya
menjadi dua macam yaitu:
1. Hadist Hasan Li-Dzatih
Adalah hadist hasan dengan sendirinya. Yakni hadist yang telah memenuhi
persyaratan hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist
hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya
ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat hafalan
para perawi yang shahih.
2. Hadist Hasan Li-Ghairih
Adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata
keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab
yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan
pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadist Hasan Li-Ghairihi adalah hadist hasan yang bukan dengan sendirinya.
Artinya, hadist tersebut berkualitas hasan karena dibantu oleh keterangan hadist
lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama dapat terangkat
derajatnya oleh keberadaan hadist yang kedua.
3. Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang
kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif secara bahasa berarti hadist
yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya secara berbeda-beda.
Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Pendapat An-
Nawawi mengenai hadist dhaif adalah sebagai berikut: “Hadist yang didalamnya
tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan.”
B. Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa adalah cara atau jalan yang biasa ditempuh, baik
terpuji maupun tercela. Sedangkan secara terminologi sunnah mempunyai
pengertian yang berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian sesuai
dengan disiplin ilmu masing-masing, diantaranya yaitu:
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penjelasan di atas terlihat jelas bahwa Rasulullah adalah seorang
pelaku bisnis yang sangat sukses di zaman beliau. Sifat egaliter, saling tolong
menolong, saling mengasihi dan saling menghormati dengan tanpa pandang
bulu dan status sosial bukanlah suatu kewajiban, tetapi sudah menjadi
kebutuhan. Sifat itu sangat ampuh dalam memperluas dan memperkokoh
jaringan (networking) serta meningkatkan kredibilitas Muhammad dalam hal
wirausaha. Keteladanan tuntunan ajaran Muhammad dalam menjalankan
roda perekonomian (bisnis) sehingga dapat berjalan dengan cara yang baik
dan beretika merupakan hal yang urgen untuk menjadi masukan dalam
prilaku bisnis Islam.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.merdeka.com/jatim/mengenal-macam-macam-hadist-dan-
pengertiannya-dalam-agama-islam-kln.html?page=all
https://wakidyusuf.wordpress.com/2016/04/10/hadits-sunnah-khabar-atsar-macam-
macam-sunnah/
Indriyani, Novi. "Prilaku Bisnis Muhammad Saw. Sebagai Entrepreneur Dalam Filsafat
Ekonomi Islam." HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 3.1 (2016): 18-33.