Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di era ini, perubahan demografi atau kependudukan menjadi salah satu permasalahan yang
banyak terjadi di beberapa negara dunia, Permasalahan demografi ini bukan lagi hanya
permasalahan domestik suatu negara saja, namun telah menjadi pemasalahan dunia intenasional.
Perubahan demografi dapat berupa pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat secara cepat
(over population), penurunan jumlah penduduk (declining population), maupun penuaan (aging
population). Perubahan demografi ini pun dapat mempengaruhi berbagai sektor kehidupan
negara seperti dalam bidang ekonomi, sosial, petahanan, keaamanan, ekonomi dan tingkat
fertilitas, negara-negara dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu (1) negara berkembang
dengan tingkat fertilitas tinggi seperti Nigeria dan Kongo; (2) negara berkembang dengan
penurunan tingkat fertilitas namun tetap dapat melanjutkan pertumbuhan populasi seperti Mesir,
Tiongkok, India dan Indonesia; dan (3) negara maju dengan tingkat fertilitas berada di ambang
batas yang mana memerlukan populasi pengganti seperti Jepang dan Jerman.

Jepang adalah salah satu negara yang unggul dalam bidang Ekonomi. Jepang memiliki Ekonomi
terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Tiongkok dimana telah mencapai pertumbuhan pesat di
paruh kedua abad ke 20 setelah kehancurannya pada perang dunia II. Hal ini tentunya membuat
Jepang memerlukan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang melimpah sebagai tenaga kerja
dan penggerak perekonomian negara. Seiring dengan kemajuan perekonomiannya, permasalahan
demografi menjadi suatu hambatan bagi perekonomian Jepang di masa mendatang.
Permasalahan demografi yang dialami oleh Jepang yaitu berupa penurunan jumlah kelahiran dan
pesatnya pertumbuhan populasi lansia. Akibatnya, struktur demografi Jepang menunjukkan
kondisi masyarakat menua atau koreika shakai. Permasalahan aging population yang dialami
Jepang sudah masuk dalam kategori yang mengkhawatirkan. Pasalnya, laju penuaan populasi
yang terjadi di Jepang lebih cepat daripada negara-negara lain di dunia, dengan proporsi orang
dewasa yang berusia di atas 65 tahun (23%) tertinggi di dunia diikuti oleh Italia (20,4%). Jepang
juga memiliki rasio anak-anak di bawah 14 tahun (13%) terendah.

Proses modernisasi membuat Jepang menjadi negara industri. Industrialisasi ini sejalan dengan
kenaikan biaya hidup di suatu negara membuat masyarakat Jepang kini lebih berorientasi untuk
bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat di negara-negara industri seperti Jepang
cenderung menunda untuk menikah karena tuntutan pekerjaan dan biaya hidup yang harus
ditanggung cukup tinggi. Ketika akhirnya memutuskan untuk menikah pun, mereka akan
cenderung menunda atau bahkan tidak berencana anak, terutama bagi para wanita karier. Saat
ini, situasi tenaga kerja di Jepang kurang baik dimana banyak pekerjaan di berbagai bidang
kekurangan tenaga kerja seperti pada sektor pertanian, peternakan, industri manufaktur, dan
layanan kesehatan yang mulai ditinggalkan oleh pekerja Jepang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka rumusan masalah
yang muncul yaitu “Bagaimana strategi ketahanan Jepang dalam menangani ancaman aging society ?”

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi ketahanan Jepang untuk menangani
ancaman aging society

BAB II
TEORI KONSEP

2.1 Neo Realisme


Neorealisme atau realisme struktural adalah teori hubungan internasional yang muncul setelah
karya Waltz "Theory of International Politics" diterbitkan pada tahun 1979 [Waltz 1979: 251].
Peneliti terkenal lainnya di bidang hubungan internasional ini seperti Gilpin, Kennedy, Modelski,
Walt, Snyder, Wohlforth, Snow, Holsti. Secara khusus, dalam bidang teori hubungan
internasional yang realistis, isu-isu yang berkaitan dengan senjata nuklir pada umumnya,
khususnya masalah-masalah perkembangbiakannya sedang dikembangkan secara detail dan
komprehensif. Ini kasus keduanya, teori realisme klasik dan neorealisme modern.

Neorealisme atau realisme struktural adalah teori hubungan internasional yang muncul setelah
karya Waltz "Theory of International Politics" diterbitkan pada tahun 1979. Teori ini
menjelaskan perlunya negara memperoleh senjata nuklir di beberapa tingkatan. Dilema
keamanan mendefinisikan kebutuhan ini dalam teori-teori tingkat abstraksi tertinggi. Menurut
Waltz, keadaan dunia dapat diartikan sebagai anarki internasional yang tidak terbatas. Dalam
kondisi anarki internasional, prasyarat untuk mencapai tujuan lain oleh negara adalah menjamin
keamanannya sendiri, yang karenanya membuat mereka menerapkan politik garis keras [Waltz
1979: 93]. Meskipun, menurut Waltz, negara memainkan peran utama dalam politik
internasional dan memiliki kesamaan dalam hal kebutuhan, namun berbeda dalam kemampuan
mencapainya. Kemampuan dan potensi ini menentukan tempat mereka di dunia. Pembagian
struktur kekuasaan antar negara dibatasi oleh yang paling kuat di antara mereka karena takut
akan kesuksesan relatif, negara-negara kecil lainnya, dan juga karena ancaman ketergantungan
pada negara-negara baru ini.

Oleh karena itu, komitmen masing-masing negara untuk memaksimalkan kekuasaannya di arena
dunia menentukan keseimbangan kekuatan yang membentuk hubungan internasional saat ini.
Sejalan dengan itu, konsep awal dalam teori Waltz adalah struktur dan sistem politik
internasional. “Sistem adalah sekumpulan unit yang berinteraksi. Pada satu tingkat sistem terdiri
dari struktur, yang merupakan komponen dari tingkat sistemik dan memungkinkan untuk
memeriksa, dengan cara apa unit-unit membentuk spektrum tertentu, berbeda dari himpunan
sederhana. Di tingkat lain, sistem terdiri dari unit-unit yang berinteraksi '' [Konyshev 2004:
62-63]. Ketentuan utama neorealisme adalah sebagai berikut:

1. Neorealisme tidak berusaha menjadi metodologis yang ketat. Oleh karena itu, aktor
utama dalam sistem tersebut adalah negara dan serikatnya. Tujuan utama mereka adalah
perlindungan kepentingan nasional, keamanan negara dan pelestarian status quo dalam
hubungan internasional. Sarana utama untuk mengamankan tujuan ini adalah kekuatan
dan persatuan negara.

2. Neorealisme memberikan penjelasan tentang tingkah laku internasional pada tataran


sistem internasional, yang sifat strukturalnya terlepas dari upaya negara “kecil” dan
“menengah”, tetapi merupakan hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan besar.

3. Hubungan internasional adalah satu kesatuan sistem yang berfungsi sesuai dengan hukum
publik. Akibatnya, hanya analisis sistemik yang dapat mengungkapkan sifatnya.

4. Momentum hubungan internasional adalah kaku, menahan pengaruh kendala struktural


sistem internasional [Tsygankov 2003: 126-132].

Waltz menganut pendekatan sistemik: struktur internasional beroperasi sebagai pembatas


perilaku negara, jadi hanya negara yang bertahan, yang bertindak sesuai dengan ekspektasi
seluruh aktor lainnya. Terlepas dari kritik, neorealisme mempertahankan posisi sebagai arah
teoritis terkemuka.

1. Neorealisme tidak berusaha menjadi metodologis yang ketat. Oleh karena itu, aktor
utama dalam sistem tersebut adalah negara dan serikatnya. Tujuan utama mereka adalah
perlindungan kepentingan nasional, keamanan negara dan pelestarian status quo dalam
hubungan internasional. Sarana utama untuk mengamankan tujuan ini adalah kekuatan
dan persatuan negara.

2. Neorealisme memberikan penjelasan tentang tingkah laku internasional pada tataran


sistem internasional, yang sifat strukturalnya terlepas dari upaya negara “kecil” dan
“menengah”, tetapi merupakan hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan besar.

3. Hubungan internasional adalah satu kesatuan sistem yang berfungsi sesuai dengan hukum
publik. Akibatnya, hanya analisis sistemik yang dapat mengungkapkan sifatnya.

4. Momentum hubungan internasional adalah kaku, menahan pengaruh kendala struktural


sistem internasional [Tsygankov 2003: 126-132].
Waltz menganut pendekatan sistemik: struktur internasional beroperasi sebagai pembatas
perilaku negara, jadi hanya negara yang bertahan, yang bertindak sesuai dengan ekspektasi
seluruh aktor lainnya. Terlepas dari kritik, neorealisme mempertahankan posisi sebagai arah
teoritis terkemuka.

2.2 Konsep aging society

Konsep ini dalam istilah Jepang disebut koureisha yang bermakna usia lanjut secara resmi
digunakan oleh pemerintah pada tahun 1966 dalam keputusan “Kourei Shakai Seisaku Taikou”
(Pokok kebijakan Masyarakat Lansia). Dalam perkembangan selanjutnya konsep ini lebih sering
digunakan untuk orang-orang yang berumur panjang dengan nuansa yang lebih kompleks.
Kekompleksan makna tersebut meliputi perawatan dan perlindungan untuk mereka serta
kekhawatiran akan beratnya beban yang harus ditanggung dalam menjalankan penjagaan dan
perlindungan terhadap penduduk lansia diatas 65 tahun yang harus dipikul oleh masyarakat
sekitarnya. Menurut Makizono Kiyoko sebuah negara dapat disebut sebagai koureika
shakai/aging society apabila presentase penduduk lansia nya (presentase penduduk usia 65 tahun
keatas dari seluruh jumlah penduduk) mencapai 7% dan indeks penduduk lansia (indeks
penduduk lansia 65 tahun keatas terhadap penduduk usia produktif diatas 15 tahun dibawah 64
tahun) melewati sekitar 12,0. Awalnya koureika shakai merupakan sesuatu yang membanggakan
di Jepang karena menunjukkan tingkat harapan hidup masyarakat Jepang karena menunjukkan
tingkat harapan hidup masyarakat Jepang yang tinggi sehingga membuat orang-orang diluar
Jepang berfikir bahwa orang-orang Jepang memiliki kesadaran yang tinggi untuk hidup sehat.
Namun, semakin lama koureika shakai berubah menjadi suatu masalah yang cukup berpengaruh
bagi negara Jepang itu sendiri.
Hal ini dikarenakan tingkat harapan hidup masyarakat Jepang tinggi sedangkan angka kelahiran
di Jepang sangat rendah sehingga membuat ketidakstabilan demografi kependudukan Jepang.
Maka sekarang makna koureika shakai telah mengalami sedikit perubahan menjadi sesuatu yang
yang sedikit negative dan menjadikannya sebagai sesuatu fenomena yang berkembang pada
masyarakat Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Jo Yamada, Masahiro. (2008). Shoushika Shakai Nihon : Mou Hitotsu no Kakusa no


Yukue. Japan : Iwanami Shinsho urnal of Conflict Resolution, 59(1), 74–9

Hori, Masahiro. (2011). The Expenditure on Children in Japan. Tokyo : Economic and Social
Research Institute, Cabinet Office

Coulmas, Florian. (2007). Population Decline and Ageing in Japan – the Social Consequences.
New York : Routledge

Tsygankov, P. (1994). Political Sociology of International Relations. Moscow: Radix.

Tsygankov, P. (2003). Theory of International Relations. Moscow:

Gardariki. Waltz, K. (2000) Structural Realism after the Cold War. International Security, 25(1),
5–41.
Waltz, K. (1988). The Origins of War in the Neorealist Theory. The Journal of the
Interdisciplinary History, 18 (4), 615–628.
ASJI. (2013). Falling Birthrate And Ageing Society in Japan. Depok : Outlook Japan.

Anda mungkin juga menyukai