Anda di halaman 1dari 5

Kerjasama Bilateral Indonesia-Singapura: Metode Singapura dalam Pembersihan Sampah sebagai

Pembimbing untuk Indonesia dalam Perspektif Neoliberalisme

Vania Aretha Xaviera


NIM. 071811233099
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlangga

Esai ini ditulis sebagai tugas akhir mata kuliah Teori Hubungan Internasional (SOH-201)

Bukan suatu hal yang baru lagi bahwa sampah telah meningkat dan bahkan tidak terkontrol jumlahnya di
seluruh negara. Berbagai kegiatan manusia telah menyebabkan kerusakan lingkungan serta polusi di bumi.
Isu-isu lingkungan seperti krisis air bersih, polusi dimana-mana, perubahan iklim, bahkan global warming.
Dalam perkembangan jaman yang sangat pesat, banyak pengaruh globalisasi yang mempunyai dampak
positif bagi negara berkembang maupun yang sudah maju. Sebagai contoh, pada negara Singapura,
meskipun tercatat sebagai negara yang wilayahnya kecil, namun Singapura sudah sangat maju dalam aspek
teknologinya. Hal ini dapat terlihat bahwa negara Singapura dengan baik memanfaatkan teknologi walaupun
masyarakatnya terbilang sedikit namun padat, dengan wilayah yang kecil namun masyarakatnya memenuhi
wilayahnya. Oleh karena itu, Singapura mempunyai strategi dalam mengolah sampah di negaranya dangan
memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga ia menjadi salah satu contoh terbaik sebagai negara terbersih di
Asia. Meskipun dengan wilayah yang sangat terbatas, Singapura unggul dalam hal kebersihan di wilayah
Asia.

Pasca kemerdekaan Singapura pada tahun 1965, rakyat Singapura masih dibayang-bayangi oleh kondisi
kebersihan dan masalah pekerjaan serta pengangguran. Kondisi ini menjadi semakin buruk dengan keadaan
kondisi lahan yang terbatas dan hampir tidak memiliki sumber daya alam. Hal tersebut menyebabkan Lee
Kuan Yew, perdana menteri Singapura saat itu, membuat kebijakan untuk membersihkan serta menata ulang
seluruh Singapura sehingga diluncurkanlah program sekitar 50 tahun yang lalu, yakni tahun 1968. Selama
dekade 1970 hingga 1980-an, pemerintah Singapura menghimbau warganya agar menjaga kebersihan pada
toilet, pabrik, dan halte. Kemudian berbagai aktivitas publik mulai ditekan atau ditegaskan seakan menjadi
kompetisi untuk tempat yang paling bersih dan kotor, seperti di gedung pemerintahan, sekolah, perkantoran,
hingga tempat umum. Pada tahun 1976, kampanye “Use Your Hand” mulai ditegaskan pula, yang mana
mewajibkan siswa, orang tua atau wali murid, guru, serta seluruh pihak sekolah untuk membersihkan
lingkungan sekolah setiap minggu, serta menekankan pentingnya penanaman pohon. Lee Kuan Yew juga
bersikeras dengan adanya berbagai inisiatif kampanye tersebut akan meningkatkan perekonomian negara.
Sebagaimana Edward D’Silva, yakni chairman dari Public Hygiene Council, mengatakan bahwa standarisasi
yang dilakukan di Singapura akan meningkatkan moral dan kondisi sosial dalam hal pertumbuhan ekonomi
di bidang industri dan pariwisata. Untuk memperketat lagi, pemerintahan Singapura juga menekankan denda
bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan atau mengotori tempat umum sebagai peraturan agar
dapat menjaga kebersihan lingkungan. Dengan adanya berbagai kampanye yang ditegaskan kepada
masyarakat, kondisi kota menjadi semakin bersih dan kondisi harapan hidup meningkat dari 66% menjadi
83%. Dalam waktu selama 50 tahun tersebut Singapura kian terus berkembang menjadi negara yang maju,
bahkan menjadi wilayah yang terbersih dan sangat ‘hijau’ (Kompas.com).

Pada tanggal 30 Oktober 2012, tepat di Denpasar, Bali terjadi kerjasama bilateral lingkungan hidup ke-6
antara Indonesia dengan Singapura. Kementrian lingkungan hidup dan sumber daya air Singapura
melakukan pertemuan Indonesia-Singapore Environmental Partnership (ISEP) yang dihadiri oleh Menteri
Lingkungan Hidup NKRI, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA serta Menteri Lingkungan Hidup dan
Sumber Day Air Singapura, Dr. Vivian Balakrishnan. Kedua negara membahas isu-isu lingkungaan hidup
yang menjadi kepentingan negara masing-masing, dan bertukar pandangan agar dapat menghadapi tantangan
dengan harapan mencapai lingkungan yang lebih baik. Lebih jauh, para menteri mendiskusikan mengenai
bagaimana agar kedua negara dapat bekerja lebih erat yang bertujuan untuk mewujudkan berbagai
kemungkingan atau peluang dalam perjanjian lingkungan hidup yang lebih dalam, terutama pada bidang
perubahan iklim dan pembangunan yang berkelanjutan. Diskusi pada pertemuan ini kemudian menghasilkan
kegiatan atau aksi yang akan dilakukan terkait dengan isu lingkungan, seperti manajemen limbah elektronik,
pengelolaan sungai, dan pendidikan lingkungan di kedua negara berdasarkan kemajuan kerjasama yang telah
dilakukan oleh Indonesia-Singapore Joint Working Group on the Environment (ISWG). Selain itu, para
menteri juga mempertimbangkan berupa peningkatan kapasitas bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumber daya air, serta membahas mengenai penggunaan teknologi pemetaan dan Geographic Information
System (GIS) untuk memantau apabila terdapat kabut asap (menlh.go.id).

Berdasarkan hasil survei penduduk antar sensus (Supas, 2019), Indonesia sebagai negara dengan populasi
yang kini mencapai 267 juta jiwa, kota-kota sibuk dan dapat dibilang tidak pernah tidur, namun masih
menjadi negara berkembang dengan kondisi lingkungan yang sangat memprihatinkan. Kondisi udara, air,
serta lingkungan sekitar kerap menjadi hal-hal yang tidak diperhatikan oleh masyarakat. Padahal Badan
Kesehatan Dunia (WHO) telah menemukan berdasarkan penelitiannya bahwa sebanyak 12,5 juta kematian
di seluruh dunia per-tahunnya disebabkan oleh kondisi lingkungan manusia. Banyak sungai yang terkotori
oleh sampah, lahan pohon yang ditebang namun tidak dilakukan penanaman ulang, asap pabrik yang
mencemari udara, dan masih banyak lagi dikarenakan kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab serta
perilaku yang careless.

Berbeda dengan negara di Asia lainnya seperti Cina, India, ataupun Indonesia, landfill atau tempat
pembuangan sampah di Singapura bukanlah tempat dengan sampah yang berserakan dan bertumpukan
hingga menjadi gunung kotoran terutama plastik, namun justru sebuah pulau dengan pepohonan hijau,
perairan bersih bahkan terumbu karang hidup sehat dalam laut sekitarnya. Pulau Semakau milik Singapura
inilah yang menjadi TPA untuk membuang sampah dengan metode yang sangat menarik, bahkan menjadi
ecological offshore landfill pertama di dunia. Tempat pembuangan sampah ini dirancang khusus oleh
insinyur dan environmentalists dari Singapore’s National Environtment Agency (NEA). Didirikan pada
tahun 1999, TPA ini menelan biaya sekitar 400 juta dollar dan dapat menampung hingga 63 juta meter kubik
sampah yang cukup baik bagi Singapura untuk membuang sampah mereka hingga tahun 2040. Metode ini
dimulai dengan pemusnahan sampah hingga berubah menjadi abu oleh pabrik pembakaran Singapura,
dengan suhu api 1.000 celcius namun asap yang dikeluarkan telah disaring atau filter ramah lingkungan dan
tidak membahayakan lingkungan kemudian dikirim ke pulau itu. Hasil pembakaran diolah agar dapat
digunakan untuk sumber daya listrik kota Singapura. Air di antara kedua pulau ini dibagi menjadi sel-sel.
Sel-sel ini dikeringkan sebelum abu mengisinya. Setelah itu, ditutupi dengan tanah sehingga burung dan
serangga dapat menyerbuki dan memberi makan kepada tanaman. Sebelum air yang diisi abu dibuang ke
laut, pabrik pengolahan air limbah memastikan bahwa air tersebut dirawat dengan benar dan aman. Instalasi
pengolahan air limbah dilapisi dengan membran kedap air untuk mencegah zat berbahaya bocor ke perairan
sekitarnya (Dharni, 2018).

Akibat praktik “tebang-dan-bakar” untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terjadi
kebakaran hutan pada Juni 2013 di provinsi Riau, Sumatera. Kebakaran hutan tersebut menghasilkan kabut
hingga mencapai Singapura dan menjadi kabut dengan tingkat polutan tertinggi sejak 1997. Hal ini telah
mendorong peringatan kesehatan dari pemerintah Singapura, warga Singapura yang marah juga
menyebabkan beberapa ketegangan diplomatik, pemerintah Singapura memprotes keterlambatan di
Indonesia dalam menangani masalah ini dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mencari langkah-
langkah efektif untuk mencegah terjadinya dan mengurangi polusi kabut asap lintas batas (BBC News,
2013).

Dalam hal ini, apabila dilihat dari perspektif neoliberalisme yang memiliki asumsi dasar bahwa kooperasi
dapat tetap terjadi meskipun adanya konflik, seperti halnya Indonesia-Singapura yang telah menjalin
kerjasama namun sempat dilanda masalah ketika terjadi pembakaran hutan yang mengakibatkan Singapura
terselimuti oleh kabut polusi. Tetapi menurut Lamy (2001), negara akan mengalihkan loyalitas dan sumber-
sumber yang dimilikinya kepada institusi jika pengalihan ini menguntungkan semua pihak, serta institusi
menyediakan peningkatan kesempatan bagi negara untuk mengamankan kepentingan nasionalnya pada level
internasional (Lamy, 2001). Negara tetaplah aktor kunci dalam Hubungan Internasional, namun bukan satu-
satunya aktor yang berpengaruh dalam isu ini masyarakat negara masing-masing juga memegang peran
penting untuk mengontrol kondisi lingkungan di sekitarnya, bahkan organisasi non-pemerintah seperti WHO
turut serta berperan dalam isu ini. Sebagaimana neoliberalis berfokus terhadap kerja sama antarnegara dalam
situasi sistem internasional yang anarkis, sehingga prinsip utama yang terdapat pada neoliberalis merupakan
optimisme terhadap kemungkinan kerja sama di bawah sistem internasional yang anarkis (Dugis, 2018).
Tetap terjadinya kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Singapura namun tetap untuk mencapai
absolute gain negara masing-masing. Dari kajian ini, dapat dipahami bagaimana pentingnya suatu kooperasi
yang terjadi antar negara secara internasional serta pentingnya peran mulai dari individu dalam
keberlangsungan negara. Dalam kooperasi pun tidak luput dari adanya masalah, namun demi melanjutkan
kerjasama tersebut maka masalah dapat diselesaikan dengan kedua belah pihak secara rasional agar tetap
dapat melaksanakan kepentingan nasional masing-masing negara.

Daftar Pustaka
Buku:

Lamy, Steven L., 2001. Contemporary Mainstream Approaches: Neo-realism and Neo-liberalism. Dalam,
John Baylis & Steve Smith (eds.) The Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford, pp. 182-
199.

Vinsensio, Dugis. 2018. Neoliberalisme, dalam; Vinsensio Dugis (eds.) Teori Hubungan Internasional
(Perspektif-Perspektif Klasik). Surabaya: Airlangga University Press, pp. 83-96. Edisi revisi

Publikasi Online:

BBC News Indonesia, 2013. Kabut Asap di Singapura ‘Mengancam Jiwa’. Tersedia dalam
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/06/130621_singapura_haze [diakses pada 12 Juni 2019]
Dharni, Aishwarya, 2018. What Singapore Does With Its Garbage Is A Lesson For The World In How To
Save The Planet. Tersedia dalam https://www.scoopwhoop.com/singapore-trash-island/ [diakses
pada 2 Juni 2019]
Haryanti, Rosiana, 2018. Cara Singapura Jadi Kota Paling Bersih di Asia. tersedia dalam
https://properti.kompas.com/read/2018/10/31/160519321/cara-singapura-jadi-kota-paling-bersih-di-
asia [diakses pada 7 Juni 2019]
Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia, 2012. Kerjasama Bilateral Lingkungan Hidup ke 6 Indonesia-
Singapore. Tersedia dalam http://www.menlh.go.id/kerjasama-bilateral-ke-6-indonesia-singapore/
[diakses pada 9 Juni 2019]
SUPAS, 2019. Jumlah Penduduk Indonesia 2019 Mencapai 267 Juta Jiwa. Tersedia dalam
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-indonesia-2019-mencapai-
267-juta-jiwa [diakses pada 12 Juni 2019]

Anda mungkin juga menyukai