Anda di halaman 1dari 15

BAB II

ISI

2.1 Definisi Trauma Dentoalveolar


Trauma dentoalveolar menurut buku Contemporary Oral and Maxillofacial
adalah trauma yang terjadi akibat adanya kekuatan langsung pada gigi atau kekuatan
tidak langsung, paling sering ditransmisikan melalui jaringan lunak di atasnya
(misalnya bibir, gingiva), dan dapat mengenai ke area dentoalveolar. Contohnya
adalah jaringan gingiva mungkin robek yang dapat menyebabkan laserasi dengan
ketebalan penuh atau dasar mulut mungkin terlaserasi.

2.2 Etiologi Trauma Dentoalveolar


Cedera jaringan lunak dan dentoalveolar sering terjadi pada seseorang dan
disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Berikut ini adalah penyebab umum
terjadinya trauma dentoalveolar:

1. Terjatuh.
2. Kecelakaan lalu lintas.
3. Cedera akibat olahraga.
4. Kekerasan dalam keluarga.
5. Kecelakan kerja.
6. Kecelakaan pada taman bermain (pada anak – anak).

7
8

2.3 Klasifikasi Fraktur Gigi dan Pulpa (Menurut Ellis, Davey, dan Andreasen)
Berikut ini merupakan klasifikasi – klasifikasi fraktur gigi dan pulpa
menurut Ellis, Davey, dan Andreasen:

1. Menurut Ellis & Davey


a. Kelas 1 :  Fraktur yang meliputi email.
b. Kelas 2 :  Fraktur yang meliputi email dan dentin.
c. Kelas 3 :  Fraktur yang meliputi email, dentin, dan pulpa.
d. Kelas 4 :  Gigi yang mengalami trauma menjadi non-vital.
e. Kelas 5 :  Gigi hilang akibat trauma (avulsi atau eksartikulasi).
f. Kelas 6 :  Fraktur akar.
g. Kelas 7 : Displacement tanpa fraktur akar atau mahkota.
h. Kelas 8 :  Fraktur seluruh mahkota.

2. Menurut Andreasen
a. Cedera jaringan keras gigi dan pulpa
i. Infraksi enamel.
ii. Fraktur enamel
iii. Fraktur enamel – dentin
iv. Complicated crown fracture
v. Uncompliicated crown-root fracture
vi. Complicated crown-root fracture
vii. Root fracture

b. Cedera jaringan periodontal


i. Concussion
ii. Subluksasi
iii. Luksasi (extrusive luxation, lateral luxation)
iv. Avulsi
9

c. Cedera tulang pendukung alveolar


i. Pecahnya soket alveolar.
ii. Fraktur dinding soket alveolar.
iii. Fraktur prosesus alveolaris.
iv. Fraktur maksila atau mandibular (fraktur rahang).
v. Fraktur prosesus alveolaris.

d. Cedera gingiva dan mukosa oral


i. Laserasi pada gingiva atau mukosa oral.
ii. Contusion pada gingiva atau mukosa oral.
iii. Abrasi pada gingiva atau mukosa oral.

2.4 Definisi, Gambaran Klinis, Gambaran Radiografi, dan Diagnosis Banding


Fraktur Akar Gigi
2.4.1 Definisi
Fraktur akar gigi jarang terjadi dan menyebabkan kurang dari 7%
cedera traumatis pada gigi permanen dan sekitar setengahnya pada gigi
sulung. Perbedaan ini hasil dari fakta bahwa gigi sulung kurang kuat
penjangkarannya dalam prosesus alveolar.

2.4.2. Gambaran Klinis


Sebagian besar fraktur akar terjadi pada gigi insisivus sentral
maksila. Fragmen koronal biasanya dipindahkan ke lingual dan sedikit
diekstrusi. Tingkat mobilitas mahkota berhubungan dengan tingkat fraktur.
Artinya, semakin dekat bidang fraktur terletak ke apeks, gigi semakin stabil.
Saat menguji mobilitas gigi yang mengalami trauma, letakkan jari di atas
prosesus alveolar. Jika hanya pergerakan mahkota yang terdeteksi,
10

kemungkinan terjadi fraktur akar. Fraktur akar dapat terjadi dengan fraktur
prosesus alveolar, yang umumnya tidak terdeteksi. Paling sering diobservasi
di daerah anterior mandibula di mana fraktur akar jarang terjadi. Meskipun
fraktur akar biasanya dikaitkan dengan hilangnya sensitivitas sementara
(berdasarkan semua kriteria biasa), sensitivitas sebagian besar gigi kembali
normal dalam waktu sekitar 6 bulan.

2.4.3. Gambaran Radiografi


Fraktur akar gigi dapat terjadi pada tingkat apa pun dan
melibatkan satu atau lebih akar gigi. Sebagian besar fraktur terbatas pada
akar terjadi di sepertiga tengah akar.

Gambar 4. A, Fraktur horizontal dari gigi insisif pertama kanan


maksila dan osteitis apikal jarang yang melibatkan gigi insisif
pertama sebelah kiri yang berdekatan. B, Fraktur yang sembuh
dengan sedikit perpindahan fragmen. C, Fraktur yang sembuh
dengan peningkatan jarak antara segmen fraktur akibat resorpsi akar.

Kemampuan suatu gambar untuk menujukan adanya fraktur akar


tergantung pada angulasi relatif dari berkas sinar-x yang terjadi pada bidang
fraktur dan tingkat gangguan fragmen. Jika sinar x-ray sejajar dengan bidang
fraktur, garis radiolusen tunggal yang didefinisikan secara tajam terbatas
pada batas anatomi akar dapat terlihat. Namun, jika orientasi sinar x-ray
11

tidak selaras dengan baik dan memenuhi bidang fraktur dalam cara yang
lebih miring, bidang fraktur dapat muncul sebagai garis tunggal yang lebih
buruk didefinisikan atau sebagai dua garis yang bertemu di mesial dan
permukaan distal akar. Penampilan fraktur akar kominutif juga dapat tampak
tidak jelas. Kebanyakan fraktur akar yang tidak ditempatkan biasanya sulit
untuk ditunjukkan secara radiografi, dan beberapa pandangan dengan sudut
yang berbeda mungkin diperlukan. Dalam beberapa kasus ketika garis
fraktur tidak terlihat, satu-satunya bukti fraktur mungkin adalah peningkatan
lokal pada lebar ruang ligamen periodontal yang berdekatan dengan lokasi
fraktur.

Gambar 5. A, Fraktur akar yang melibatkan akar gigi insisif pertama


kanan maksila. Meskipun bidang fraktur tidak jelas pada aspek
mesial akar karena ketidakselarasan dari sinar x-ray, ada pelebaran
ruang membran periodontal pada permukaan mesial (panah) di lokasi
fraktur. B, dislokasi fragmen akar.

Fraktur akar longitudinal relatif jarang terjadi tetapi paling


mungkin pada gigi yang mengalami trauma. Lebar bidang fraktur cenderung
meningkat seiring waktu, mungkin karena resorpsi permukaan yang retak.
Seiring waktu, kalsifikasi dan obliterasi ruang pulpa dan kanal dapat terlihat.
12

2.4.4. Diagnosis Banding


Superimposisi struktur jaringan lunak seperti bibir, hidung, atau
lipatan nasolabial di atas akar mungkin menunjukkan fraktur akar. Untuk
menghindari kesalahan diagnostik, perlu dicatat bahwa gambar garis
jaringan lunak bibir biasanya melampaui batas gigi. Fraktur dari prosesus
alveolar juga dapat tumpang tindih dengan akar dan menunjukkan fraktur
akar.

2.5 Definisi, Gambaran Klinis, dan Gambaran Radiografi Fraktur Akar


Vertikal
2.5.1. Definisi

Fraktur akar vertikal merupakan bidang fraktur yang memanjang


dari mahkota menuju apeks gigi. Biasanya kedua sisi akar terlibat. Keretakan
biasanya berorientasi pada bidang facial-lingual di kedua gigi anterior dan
posterior. Fraktur biasanya terjadi pada gigi posterior pada orang dewasa,
terutama pada gigi molar rahang bawah. Biasanya terjadi iatrogenik, setelah
insersi dari retensi sekrup atau pin ke gigi. Pada gigi posterior uncrowned
yang telah dirawat endodontik paling berisiko. Kekuatan oklusal yang besar
adalah etiologi lain untuk fraktur akar vertikal, terutama pada restorasi gigi.

2.5.2. Gambaran Klinis


Pasien dengan fraktur akar vertikal mengeluh tingkat nyeri yang
rendah (nyeri tumpul), berdurasi lama, disebut cracked tooth syndrome
(sindrom gigi retak). Rasa sakit ini ditimbulkan dengan memberikan tekanan
pada gigi yang terlibat. Pasien mungkin jarang mengalami osteitis atau
13

riwayat terapi endodontic yang gagal berulang. Kadang, diagnosis pasti


hanya dapat dilakukan dengan inspeksi setelah pembedahan dilakukan.

2.5.3. Gambaran Radiografi

Jika central ray dari sinar X-ray terletak di sepanjang bidang


fraktur, fraktur dapat terlihat sebagai radiolusen pada gambar. Biasanya
radiografi tidak berguna dalam mengidentifikasikan fraktur akar vertikal
pada tahap awal. Jika orsteitis yang jarang terjadi berkembang, aka nada
bukti pengkeroposan tulang.

Gambar 6. Fraktur vertikal melalui akar premolar pertama mandibula yang


telah dirawat endodontik. Bidang fraktur meluas melalui saluran akar dan
ada lebih banyak perpindahan antara fragmen akar di puncak akar.
14

Gambar 7. Fraktur akar vertikal melalui akar kaninus mandibula dengan


perpindahan fragmen yang signifikan. Lesi inflamasi juga dapat meluas
secara apikal dari puncak alveolar dan mungkin menyerupai lesi
periodontal.

Gigi yang berakar tunggal dengan patah akar vertikal harus


diekstrasi. Gigi yang memiliki banyak akar dapat dilakukan hemiseksi dan
sisa gigi yang utuh dirawat dengan terapi endodontik dan pemasangan
mahkota.
15

2.6 Definisi Vulnus, Klasifikasi Vulnus, Klasifikasi Luka Bedah, Manajemen


Vulnus
2.6.1. Definisi
Vulnus adalah cedera berbatas tegas yang disebabkan oleh
kekuatan eksternal dan dapat melibatkan jaringan atau organ apa pun. (bedah
dan traumatis / tidak disengaja).
injury Hal ini disebabkan oleh noxa eksternal yang menyebabkan
trauma dan disfungsi seluler dan / atau jaringan. Noxa eksternal:
mekanis,fisik, uv, kimia, radiasi, atau kombinasi.

2.6.2. Klasifikasi Vulnus


Berdasarkan asal:
a. Mekanik:
i. Luka abrasi (vulnus abrasum).
ii. Luka tertusuk (v. Punctum).
iii. Luka iris (v. Scissum).
iv. Luka potong (v. Caesum).
v. Crush wound (v . contusum).
vi. Luka robek (v. lacerum).
vii. Luka gigitan (v. morsum).

viii. Luka tertembak (v. sclopetarium).

b. Kimia
i. Asam.

ii. Basa.

c. Luka yang disebabkan oleh radiasi.


16

d. Luka yang disebabkan oleh gaya termal:


i. Pembakaran.

ii. Pembekuan.

e. V. Special
i. Nekrosis kulit.
ii. Racun.

2.6.3. Klasifikasi Luka Bedah


Klasifikasi Menurut WHO:
1. Luka Bersih.
2. Luka bersih terkontaminasi yang melibatkan jaringan
yang normal namun terdapat koloni.
3. Luka terkontaminasi yaitu luka yang mengandung
benda asing atau material yg terinfeksi.
4. Luka Terinfeksi yaitu luka dengan pus.

2.6.4. Manajemen Vulnus


1. Prinsip Penanganan Luka:
a. Tutup luka bersih sesegera mungkin agar terjadi
penyembuhan primer.
b. Jangan tutup luka terkontaminasi dan luka terinfeksi,
biarkan terbuka dan akan sembuh melalui penyembuhan
sekunder.
c. Dalam merawat luka bersih terkontaminasi dan luka
bersih yang telah terjadi lebih dari 6 jam, lakukan
management surgical toilet, biarkan terbuka kemudian
17

tutup 48 jam kemudian untuk merangsang delayed


primary closure.
2. Manajemen Primary Closure
a. Primary closure menggunakan jaringan bersih tanpa
regangan.
b. Penutupan yang tidak tepat dari luka terkontaminasi
dapat menyebabkan infeksi dan penyembuhan luka
yang lambat.
c. Teknik penjahitan: simple interrupted, continuous
simple, vertical mattress, horizontal mattress,
intradermal, staples.
d. Tujuan dari semua teknik adalah mendekatkan tepi luka
tanpa celah dan regangan.
e. Ukuran ‘gigitan’ jahitan dan interval diantaranya harus
berjarak sama dan proporsional terhadap jaringan yang
didekatkan.
f. Karena benang jahit adalah benda asing, gunakan
ukuran dan jumlah material jahitan seminimal mungkin
utk menutup luka.
g. Biarkan jahitan selama 5 hari, biarkan jahitan lebih lama
jika diperkirakan penyembuhan luka lebih lambat
karena vaskularisasi yg minimum di lokasi tertentu.
h. Jika estetik penting dan bekas jahitan tidak boleh
terlihat, lepaskan jahitan dalam waktu 3 hari, perkuat
bekas luka dengan skin tapes.
i. Tutup luka yang dalam dengan cara layering,
menggunakan benang jahit yang dapat diabsorpsi untuk
lapisan dalam.
18

j. Tempatkan latex drain pd luka yg merembes untuk


mencegah hematoma.

3. Manajemen Delayed Primary Closure

a. Irigasi luka bersih terkontaminasi, kemudian buka


dengan saline gauze yang basah.
b. Tutup luka dengan jahitan setelah 2 hari.

c. Jahitan ini dapat dilakukan saat irigasi luka atau pada


saat penutupan luka.

4. Manajemen Secondary Healing

a. Surgical wound toilet:


I. Membersihkan kulit dengan antiseptic.
II. Irigasi luka dengan saline solution.

III. Surgical debridement dari semua jaringan


nekrotik dan benda asing. Jaringan nekrotik
tidak akan berdarah saat dipotong.

a. Wound debridement

I. Penanganan yang hati - hati terhadap jaringan


untuk meminimalisir pendarahan.
II. Mengontrol pedarahan dengan kompresi, ligasi,
atau kauterisasi.
III. Otot yang nekrotik atau terdevitalisasi biasanya
berwarna gelap, mudah rusak dan tidak kontraksi
saat ditekan.
19

IV. Selama debridement, eksisi selapis tipis margin


kulit dari tepi luka.

5. Tahapan Manajemen Luka


a. Lakukan wound toilet dan surgical debridement secara
sistematis, diawali dengan lapisan superfisial jaringan
kemudian jaringan yang lebh dalam.
b. Setelah mengusap kulit menggunakan sabun dan saline,
bersihkan kulit dengan antiseptic.
c. Jangan gunakan antiseptik pada luka yang terbuka.
d. Lakukan debridement luka dengan teliti untuk
membuang semua benda asing seperti debu, rumput,
kayu, kaca, dan lain lain.
e. Menggunakan pisau bedah, buang semua material asing
dan tepian tipis dari jaringan, kemudian lakukan irigasi
pada luka.
f. Ulangi siklus surgical debridement dan saline irrigation
hingga luka benar-benar bersih.
g. Biarkan luka terbuka setelah debridement untuk
merangsang penyembuhan sekunder.
h. Pack dengan saline gauze kemudian tutup
menggunakan kasa kering.
i. Ganti packing dan dressing setiap hari atau sesering
mungkin, ketika kasa sudah mulai basah oleh darah atau
cairan tubuh lain.
20

j. Defek besar mungkin membutuhkan penutupan flap


atau cangkok kulit.

2.7 Penatalaksanaan Fraktur Dentoalveolar dan Jaringan Periodontal


Penatalaksanaan fraktur dentoalveolar dan jaringan periodontal dibagi
menjadi dua yaitu dengan perawatan emergency (kegawat daruratan) dan perawatan
definitif.
Perawatan emergency (kegawat daruratan) terdiri atas debridement atau
membersihkan luka, pengunaan antibiotik untuk mencegah infeksi, menghentikan
perdarahan, dan profilaksis tetanus (injeksi anti tetanus).
Perawatan definitif ketika terjadi fraktur dentoalveolar tahapannya adalah
melakukan reduksi, fiksasi, immobilisasi, dan mobilisasi. Ketika terjadi pada jaringan
keras gigi, maka perawatan yang dapat dilakukan adalah dengan restorasi, perawatan
saluran akar, dan dengan menggunakan mahkota jaket. Ketika terjadu pada jaringan
keras gigi dan pulpa, maka yang dilakukan adalah perawatan endodontik. Ketika
terjadi fraktur gigi, maka tahapan perawatannya adalah melakukan reduksi, fiksasi,
imobilisasi, dan mobilisasi.

TABEL 1
JENIS FRAKTUR DAN PENATALAKSANAANNYA

Jenis Fraktur Penatalaksanaan


Fraktur mahkota Penambalan, dengan atau tanpa
endodontik
Fraktur mahkota dan akar Fraktur mahkota  konservasi
21

Fraktur akar mencapai apikal 


endodontik
Fraktur mahkota, akar, dan tulang Ekstraksi gigi
alveolar
Fraktur akar 1/3 apikal  observasi
Fraktur vertikal  ekstraksi
1/2 apikal  splinting atau interdental
wiring
Concussion Observasi
Subluxation Splinting atau interdental wiring
Avulsion Open apex  MTA, CaOH
Closed apex  pulpektomi, root canal
treatment
Fraktur alveolar Reduksi, fiksasi, immobilisasi, dan
mobilisasi

TABEL 2
PERIODE STABILISASI UNTUK FRAKTUR DENTOALVEOLAR

Anda mungkin juga menyukai