Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Reumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit radang kronis dari etiologi


yang tidak diketahui dan ditandai dengan poliartritis perifer yang bersifat
simetris. Karena RA merupakan penyakit sistemik, RA dapat menyebabkan
berbagai manifestasi ekstra artikular yaitu kelelahan, nodul subkutan,
perikarditis, neuropati perifer, vaskulitis, dan kelainan hematologis. Penyakit
ini adalah bentuk arthritis radang kronis yang paling umum dan sering
mengakibatkan kerusakan sendi serta cacat fisik.1,2
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA
sekitar 1% pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan
Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di
Indonesia angka kejadian rheumatoid arthritis pada penduduk dewasa (di atas
18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%, sedangkan prevalensi pada anak dan
remaja ditemukan satu per 100.000 orang. Prevalensi rheumatoid arthritis
lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki
dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka
kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima kehidupan.
Beberapa teori menunjukkan bahwa estrogen punya andil penting dalam
menstimulasi respon imun.1,3,4
Keberadaan autoantibodi seperti rheumatoid factor (RF) dan anti-
citrullinated protein antibody (ACPA) (diuji dengan anti-cyclic citrullinated
peptide [anti-CCP]) dapat diidentifikasi 6-9 tahun sebelum manifestasi RA
muncul. Sehingga RA dapat dikatakan sebagai suatu penyakit autoimun.5,6
Dalam dekade terakhir, pengetahuan tentang mekanisme patogen RA
telah meningkat pesat, diikuti dengan pendekatan diagnostik serta terapeutik
terbaru yang mengarah pada manajemen dan prognosis yang lebih baik,
meskipun masih belum ada obat untuk penyembuhan penyakit ini.7 Selama
ini diagnosis RA memakai kriteria American College of Rheumatology

1|Page
(ACR) tahun 1987 dengan sensitivitas 77-95% dan spesifitas 85-98%.
Namun kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya dalam mendiagnosis
RA pada fase dini. Sedangkan secara ilmiah telah terbukti bahwa pengobatan
antirematik pada fase awal RA memainkan peranan penting dalam
memberikan hasil yang lebih baik. Kriteria klasifikasi baru untuk diagnosis
RA telah dikembangkan oleh konsensus antara ACR dan Europan League
Against Rheumatism (EULAR) yang diterbitkan pada tahun 2010.3,8
Dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan yang berarti dalam
pengobatan RA dan remisi penyakit dianggap sebagai tujuan realisitis bagi
banyak pasien. Pedoman terapi farmakologis terbaru dari penyakit RA
mengacu pada ACR 2015 dan EULAR 2016. Pemantaun aktivitas penyakit
dapat memfasilitasi pengambilan keputusan klinis dalam mencapai tujuan
yang diinginkan. Dari 63 alat ukur yang tersedia, 2012 ARC disease activity
measures telah menyaring dan merekomendasikan enam alat ukur untuk
pemantauan aktivitas penyakit RA yaitu Clinical Disease Activity Index
(CDAI), Disease Activity Score with 28-jont counts (DAS28), Patient
Activity Scale (PAS), PAS-II, Routine Assesment of Patient Index (RAPID-3)
dan Simplified Disease Activity Index SDAI.9,10,11

2|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Reumatoid Artritis


Reumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit radang kronis dari
etiologi yang tidak diketahui dan ditandai dengan poliartritis perifer yang
bersifat simetris. Karena RA merupakan penyakit sistemik, RA dapat
menyebabkan berbagai manifestasi ekstra artikular yaitu kelelahan, nodul
subkutan, perikarditis, neuropati perifer, vaskulitis, dan kelainan
hematologis. Penyakit ini adalah bentuk arthritis radang kronis yang
paling umum dan sering mengakibatkan kerusakan sendi serta cacat
fisik.1,2
RA adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui
dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Penyakit ini sering
menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar.3
Reumatoid Artritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target
utama. Manifestasi klinis RA adalah poliartritis simetrik yang terutama
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki.5

2.2 Epidemiologi Reumatoid Artritis


Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu
dengan lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa
prevalensi AR sekitar 1% pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%,
Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan
di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di
Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan
hanya 9-24/100000. Di Indonesia angka kejadian rheumatoid arthritis
pada penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%,
3|Page
sedangkan prevalensi pada anak dan remaja ditemukan satu per 100.000
orang. Prevalensi rheumatoid arthritis lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat
terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi
didapatkan pada dekade keempat dan kelima kehidupan. Bahkan hasil
penelitian di sebagian negara Amerika Latin dan Afrika, menunjukkan
dominasi penyakit RA yang lebih tinggi dialami pada perempuan dengan
rasio 6-8:1. Beberapa teori menunjukkan bahwa estrogen punya andil
penting dalam menstimulasi respon imun.1,3,4

2.3 Patofisiologi Reumatoid Artritis 1


Mekanisme patogenik dari peradangan sinovial kemungkinan
merupakan hasil dari interaksi kompleks dari faktor genetik, lingkungan,
dan respon imunologi yang menghasilkan disregulasi sistem kekebalan
tubuh. Tahap praklinis RA ditandai oleh gangguan respon imunologi dan
hal ini ditunjukkan dengan penemuan autoantibodi seperti RF dan anti-
CCP antibodi beberapa tahun sebelum gejala klinis muncul. Anti-CCP dan
RF mengenali bagian yang mengandung citrulline dari beberapa protein
matriks yang berbeda, termasuk filaggrin, keratin, fibrinogen, dan
vimentin, dan hadir pada tingkat yang lebih tinggi dalam cairan sendi
dibandingkan dengan serum.
Berdasarkan teori, stimulan yang berasal dari lingkungan dapat
memicu reaksi inflamasi pada RA. Pada perokok didapatkan presentasi
citrulline yang lebih tinggi pada protein di cairan bronkoalveolar
dibandingkan dengan tidak perokok. Maka diperkirakan bahwa paparan
jangka panjang terhadap asap tembakau dapat memicu pembentukan
citrulline pada protein selular di paru serta menstimulasi ekspresi
neoepitope. Hal tersebut pada akhirnya mencetuskan pembentukan
kompleks imun dan peradangan sendi.
Sel T CD4+ yang aktif, menstimulasi macrophages dan fibroblast-
like synoviocytes kemudian mengeluarkan mediator pro-inflamasi dan
protease yang menyebabkan reaksi peradangan dan destruksi kartilago
4|Page
serta tulang. Aktivasi sel T CD4+ bergantung pada dua hal; 1) Sel T
reseptor berikatan dengan Major Histocompability Complex (MCH) pada
Antigen-Presenting Cell (APC); 2) CD28 berikatan dengan CD80/86 pada
APC. Sel T CD4+ juga membantu sel B untuk memproduksi antibodi yang
menyebabkan reaksi inflamasi.
Sinovial sel T CD4+ berdiferensiasi menjadi TH1 dan TH17 dan
memproduksi sitokin khususnya masing-masing. Sel T CD4+ kemudian
mengaktivasi Sel B dan sebagian berdiferensiasi menjadi autoantibody-
productin plasma cells. Reaksi komplek imun terdiri dari RF dan anti-CCP
antibodi terbentuk di dalam sendi serta mengaktivasi jalur komplemen dan
memperkuat reaksi inflamasi. T effector cell (Teff) menstimulasi makrofag
dan fibroblas untuk mensekresikan mediator proinflamasi, salah satunya
adalah tumor necrosis factor a (TNF-a). TNF-a menyebabkan adesi dari
molekul-molekul pada sel endotelial serta menarik leukosit ke dalam sendi.
TNF-a juga menstimulasi produksi mediator inflamasi lainnya seperi
interleukin 1 (IL-1), IL-6, dan Granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF). TNF-a punya peranan yang krusial pada
regulasi keseimbangan antara pembentukan dan penghancuran tulang.
TNF-a meningkatkan ekspresi dickkopf-1 (DKK-1), serta dapat
menginternalisasi reseptor Wnt pada prekursor osteoblas. Wnt adalah
mediator yang dapat menstimulai osteoblastogenesis dan pembentukan
tulang. Pada RA, pembentukan tulang, reseptor Wnt diinhibisi dan
diperkirakan penyebabnya adalah peningkatan kadar DKK-1. Di saat
bersamaan, TNF-a menstimulasi osteoklastogenesis. Diferensiasi
Osteoklas memerlukan keberadaan macrophage colony-stimulating factor
(M-CSF) dan aktivasi reseptor dari nucleas factor-kB (RANK) ligand
(RANKL), dimana berikatan dengan reseptor RANK pada permukaan Pre-
osteoklas. Osteoprotegerin (OPG) berperan sebagai penghancur reseptor
RANKL, bertujuan untuk menghambat osteoklastogenesis dan
penghancuran tulang.

5|Page
Gambar 2.1 Patofisiologi Inflamasi dan Destruksi Sendi pada RA

2.4 Manifestasi Klinis Reumatoid Artritis


Insidensi RA meningkat di antara umur 25-55 tahun, kemudian
cenderung stabil sampai umur 75 tahun dan setelahnya mulai menurun.
Gejala yang muncul pada RA merupakan hasil dari peradangan sendi,
tendon, dan bursa. Pasien umumnya mengeluh kekakuan sendi pada pagi
hari dengan durasi >1 jam dan terasa lebih baik dengan aktivitas fisik.
Sendi yang terkena pertama kali biasanya adalah sendi-sendi kecil di
tangan dan kaki. Pola dari sendi yang terlibat dapat bersifat monoartikular,
oligoartikular (≤ 4 sendi), atau poliartikular (>5 sendi) dan tersebar
simetris. Sendi yang paling sering terlibat dalam proses penyakit RA
adalah pergelangan tangan, MCP, dan PIP. Fleksor tendon tenosinovitis
merupakan tanda paling sering dijumpai pada RA sehingga menurunkan
kekuatan genggam dan menunjukkan trigger finger. Deviasi ulnar
merupakan hasil dari subluksasi sendi MCP dengan proksimal phalang
yang mengarah pada volar. Hiperekstensi dari PIP, disertai fleksi dari DIP
merupakan tanda dari swan neck deformity, fleksi dari PIP disertai

6|Page
hiperekstensi sendi DIP merupakan tanda dari boutonniere deformity, serta
subluksasi dari sendi MCP disertai hiperekstensi IP-I diseut sebagai Z-line
deformity.
Pada pasien dengan riwayat merokok, manifestasi ekstraartikular
dapat terjadi berupa nodul subkutaneus, secondary Sjogren’s syndrome
(keratokonjungtivits sika dan xesortomia), pleuritis, anemia normositik
normokrom, dan Felty’s syndrome.1

Gambar 2.2 Deformitas pada RA

2.5 Diagnosis Reumatoid Artritis 3,8,11


Selama ini diagnosis RA memakai kriteria American College of
Rheumatology (ACR) tahun 1987 dengan sensitivitas 77-95% dan
spesifitas 85-98%. Namun kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya
dalam mendiagnosis RA pada fase dini. Sedangkan secara ilmiah telah
terbukti bahwa pengobatan antirematik pada fase awal RA memainkan
peranan penting dalam memberikan hasil yang lebih baik. Kriteria
klasifikasi baru untuk diagnosis RA telah dikembangkan oleh konsensus
antara ACR dan Europan League Against Rheumatism (EULAR) yang
diterbitkan pada tahun 2010 dengan tujuan utama ialah mampu
menetapkan diagnosis RA pada fase awal penyakit. Poin-poin seperti
nodul reumatoid atau didapatkan gambaran erosi pada radiografi tidak lagi
7|Page
diikutsertakan dalam kriteria ACR/EULAR 2010. Kriteria baru ini
memiliki sensifitas yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya namun
dengan spesifitasnya yang rendah sehingga ada kemungkinan terjadi
kesalahan diagnosis dari RA. Untuk itu diferensial diagnosis dari segala
bentuk artritis perlu dipertimbangkan seperti Systemic Lupus
Erythematosus (SLE), Psoriatic artritis, mycrocrystalline arthritis, dan
oesteoartritis. Peneliti berfokus pada indentifikasi faktor-faktor prognosis
pada pasien dengan artritis dini dimana dapat berkembang menjadi artritis
persisten maupun RA.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis RA berdasarkan ACR 1987

ACR 1987 Criteria


1. Morning stiffness (at least one hour)
2. Arthritis of three or more joint areas
3. Arthritis of hand joints
4. Symmetrical arthritis
5. Rheumatoid nodules
6. Rheumatoid factor positive
7. Radiographic changes
Harus terdapat empat kriteria di atas. Kriteria 1-4 harus berlangsung
setidaknya selama enam minggu.

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis RA berdasarkan ACR/EULAR 2010


ACR/EULAR 2010 Criteria
JOINTS (0-5)
1 large joint 0
2-10 large joints 1
1-3 small joints (large joints not counted) 2
4-10 small joints (large joints not counted) 3
>10 joints (at least one small joint) 5
SEROLOGY (0-3)
Negative RF AND negative ACPA 0
Low positive RF OR low positive ACPA 2
High positive RF OR high positive ACPA 3
SYMPTOM DURATION (0-1)
<6 weeks 0
>6 weeks 1
ACUTE-PHASE REACTANTS (0-1)
Normal CRP AND normal ESR 0
Abnormal CRP OR abnormal ESR 1

8|Page
Kriteria klasifikasi ACR/EULAR 2010 dapat diterapkan pada
pasien maupun orang sehat, selama dua ketentuan wajib ini terpenuhi; 1)
ditemukannya bukti klinis aktif sinovitis (pembengkakan) pada setidaknya
satu sendi (DIP, MTP, dan CMC I tidak dihitung karena keterlibatan sendi-
sendi ini umumnya didapatkan pada osteoartritis) yang ditentukan oleh
penilai ahli; 2) sinovitis yang tidak tergolongkan dalam diagnosis lain.
Disamping itu, pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas RA dengan
riwayat penyakit yang cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasi
sebagai RA. Pasien dengan penyakit yang lama termasuk yang penyakit
tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan data-data
sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap diklasifikasikan sebagai RA.
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dantidak diklasifikasikan sebagai
RA, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat
terpenuhi seiring berjalannya waktu. Untuk menentukan pasien dengan RA
pasti atau tidak, setidaknya dibutuhkan minimal satu tes serologi (RF atau
ACPA) dan satu acute-phase respone measure (LED dan C-reactive
protein [CRP]). Pada pasien dengan jumlah keterlibatan sendi yang cukup
ditambah dengan durasi gejala yang lama telah memperlihatkan hasil
minimal enam poin, sudah dapat dikatakan RA tanpa harus memperhatikan
status serologi dan acute-phase respone.
Definisi dari sendi kecil adalah metacarpophalangeal, PIP, MTP II-
IV, IP ibu jari dan pergelangan tangan.
Definisi dari sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha dan
pergelangan kaki.
Keterlibatan sendi dikategorikan berdasarkan jumlah dan lokasi
dari sendi yang terlibat dengan menempatkan mereka pada kategori dengan
kemungkinan nilai tertinggi. Sebagai contoh, bila terlibat dua sendi besar
dan dua sendi kecil maka akan dikategorikan sebagai “1-3 sendi kecil”.
Keterlibatan pada sendi temporomandibular, sternocalvicular, dan
acromioclavicular patut diperhitungkan.
Definisi kategori serologi meliputi hasil ACPA dan IgM-RF dalam
International Unit. Hasil laboratorium negatif bila nilai yang kurang atau
sama dengan batas ambang batas normal; positif rendah bila nilai yang
9|Page
lebih tinggi dari batas normal namun sama atau kurang dari 3 kali nilai
tersebut; positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas.
Bila RF hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harud dianggap
sebagai positif rendah.
Bila pemeriksaan acute-phase respone (APR) tidak tersedia atau
informasi tentang batas normal dari hasil tes tidak tersedia, maka hasil
APR diasumsikan sebagai negatif / normal.
Definisi dari durasi gejala adalah bergantung pada pelaporan pasien
akan durasi maksimum dari tanda dan gejala sinovitis (nyeri, bengkak, dan
nyeri / tidak nyaman bila disentuh) pada sendi manapun yang ditemukan
pada saat penilaian.

Gambar 2.3 Algoritma untuk mengklasifikasi Artritis Reumatoid3

10 | P a g e
2.6 Tatalaksana Reumatoid Artritis
a. Obat-obat Reumatoid Artritis
Hingga saat ini, banyak agen pengobatan yang efektif, di antaranya
ada convensional synthetic (cs) disease-modyfiyng antirheumatic drugs
(DMARDs) seperti methotrexate, leflonumide, sulfasalazine, dan
hydroxychloroquine, biological (b) DMARDs, dan targeted synthetic (ts)
DMARDs seperti tofacinitib dan baricitinib (Janus Kinease [JAK] inhibitors). 11

Tabel 2.3 DMARD yang digunakan pada pengobatan RA3


DMARDS MEKANISM DOSIS EFEKTIFITA EFEK PERSIAPAN -
E S SAMPING PEMANTAUA
N
Metotreksat Menurunkan 7.5 – 25 mg / +++ Fibrosis hati, Awal: foto
kemotaksis minggu pneumonia, thorax, DPL,
PMN dan supresi TFG, TFH.
mempengaru sumsum Selanjutnya
hi sintesis tulang DPL dan TFH
DNA setiap bulan

Sulfasalasin Menghambat 2x500mg/ha ++ Supresi Awal: DPL tiap


angiogenesis ri sumsum 4 minggu
dan migrasi ditingkatkan tulang selama 3 bulan,
PMN sampai selanjutnya tiap
3x1000mg 3 bulan, TFH 1
bulan dan
selanjutnya 3
bulan.
Klorokuin Menghambat 6.5 + Jarang, Pemeriksaan
basa lisosom dan mg/kg/bb/ha kerusakan mata pada awal
pelepasan IL- ri (150mg) makula pengobatan,
1 lalu setiap 3-6
bulan
Leflunomid Menghambat 20mg/hari +++ Diare, rash, DPL, TFG,
e enzim sakit kepala, TFH
dihidroorotat berisiko
dehidrogenas infeksi karena
e sehingga immunosupre
pembelahan si
sel limfosit T
auto reaktif
menjadi
terhambat
Siklosporin Memblok 2.5- +++ Gagal jantung Kliren
sintesis IL-1 5mg/kgbb kreatinin; DPL,
dan IL-2 TFG, TFH tiap
2 minggu, 3
minggu dan
11 | P a g e
selanjutnya tiap
4 minggu.

Tabel 2.4 bDMARD yang digunakan untuk pengobatan RA3


Obat Mekanisme Dosis Waktu EFEK Monitoring
timbulnya SAMPING
Respon
Etanercept Anti TNF-a 25mg sc 2-12 minggu Infeksi, TB, TB, jamur,
2x/mingg demielinisasi infeksi lain; TT,
u atau saraf DPL, TFH saat
50mg awal tiap 2-3
sc/minggu bulan

Infliximab Anti TNF-a 3mg/kg iv 2-12 minggu Infeksi, TB, TB,


pada demielinisasi demielinisasi
minggu saraf saraf, jamur,
0,2 & 4, infeksi lain; TT,
kemudian DPL, TFH saat
tiap 8 awal lalu tiap 2-3
minggu bulan
Golimumab Anti TNF-a 50mg IM 2-12 minggu Infeksi, TB, TB, jamur,
tiap 4 demielinisasi infeksi lain; TT,
minggu saraf DPL, TFH saat
awal lalu tiap 2-3
bulan
Rituximab Anti CD20 1000mg 12 minggu HT, infeksi, TB, jamur,
IV pada reaktivasi infeksi lain; TT,
hari 0, 15 Hepatitis B DPL, TFH saat
awal lalu tiap 2-3
bulan
Tocilizumab Anti IL-6R 8mg/kg 2 minggu Infeksi, TB, Jamur, infeksi
IV tiap 4 HT, lain; TT, DPL,
minggu gangguan TFH, profil lipid
fungsi hati saat awal lalu
tiap 2-3 bulan

b. Pengkuruan Aktivitas Penyakit Reumatoid Artritis


Pada 2012, ACR menerbitkan rekomendasi yang direvisi untuk
pengukuran aktivitas penyakit untuk penggunaan klinis di titik perawatan.
Timbangan yang digunakan termasuk langkah-langkah yang
direkomendasikan berikut:

i. Patient Activity Scale (PAS): skala, 0-10; PAS II: skala, 0-10
ii. Routine Assessment of Patient Index Data with 3 Measures
(RAPID-3): skala, 0-10

12 | P a g e
iii. Clinical Disease Activity Index (CDAI)): skala, 0-76
iv. DAS28 (28-joint disease activity score) baik menggunakan tingkat
sedimentasi eritrosit [ESR] atau tingkat protein C-reaktif [CRP]):
skala, 0-9,4
v. Simplifided Disease Activity Index (SDAI): skala, 0-86

6 langkah di atas menghasilkan indeks kontinu tunggal dengan kisaran


yang ditetapkan untuk aktivitas penyakit atau remisi klinis rendah, sedang,
atau tinggi.9

Tabel 2.5 Batasan Aktivitas Penyakit Reumatoid Artritis


Tool type Tool Low/Minimal Moderate High/Seevere
Disease Disease Disease
Patient- PAS 0.26-3.70 3.71 to 8.00-10.0
driven <8.0
composite
PASII 0.26-3.70 3.71 to 8.00-10.0
<8.0
Patient and RAPID-3 >1.0-2.0 >2.0-4.0 >4.0-10
provider
composite
Patient, CDAI 2.8-10.0 >10.0-22.0 >22.0
provider,
and
laboratory
composite
DAS28 2.6 to <3.2 3.2-5.1 >5.1
SDAI 3.3-11.0 >11.0 to 26 >26

Pada tahun 2011, ACR dan EULAR bersama-sama merilis dua definisi
untuk mengevaluasi remisi RA dalam uji klinis, satu berbasis Boolean dan
yang kedua berdasarkan indeks komposit aktivitas RA, SDAI. Definisi
berbasis Boolean mensyaratkan bahwa pasien memenuhi semua hal berikut
untuk dipertimbangkan dalam remisi :

1. Hitungan nyeri tekan sendi berjumlah ≤1


13 | P a g e
2. Hitungan sendi bengkak berjumlah ≤1
3. Level CRP ≤1 mg / dL
4. Patient Global Assassment ≤1 (pada skala 0-10)

Untuk kriteria remisi menggunakan SDAI, pasien harus memiliki skor


SDAI kurang dari 3,3.13

Gambar 2.5 Simple Disease Activity Index

14 | P a g e
c. Tatalaksana Pada Reumatoid Artritis
Pedoman terapi farmakologi RA mengacu pada dua organisasi yaitu
European League Against Rheumatism (EULAR). Pedoman EULAR RA
2016 terbaru mencakup rekomendasi utama berikut untuk terapi
farmakologis 11:
1) Terapi dengan DMARD’s harus segera dimulai setelah diagnosis RA
dibuat.
Keuntungan inisiasi dini DMARD pada RA dapat mencegah kerusakan
dalam proporsi besar pada pasien.
2) Pengobatan harus ditujukan untuk mencapai target remisi atau aktivitas
penyakit yang rendah di setiap pasien.
EULAR dan ACR telah menyepakati kriteria remisi menggunakan
Simplified atau Clinical Disease Activity Index (SDAI, CDAI).
Keduanya berkorelasi tinggi pada ketiadaan sinovitis pada pemeriksaan
MRI dan sonograpi serta progresi dari kerusakan sendi. Keduanya juga
dapat digunakan secara andal ketika obat-obatan yang mengganggu
langsung dengan respons fase akut (APR) digunakan. Aktivitas
penyakit yang rendah juga perlu diukur dengan tepat. Tindakan yang
sangat bergantung pada protein reaktif C atau laju endap darah
(misalnya, skor aktivitas penyakit (DAS) 28) mungkin tidak
memberikan hasil yang cukup andal ketika digunakan dengan agen
yang mengganggu respons fase akut, seperti agen antisitokin (terutama
interleukin (IL) -6 inhibitor) atau Jak-inhibitor.
3) Pemantauan harus dilakukan pada penyakit aktif (setiap 1-3 bulan);
bila tidak ada perbaikan selama paling lama 3 bulan setelah dimulainya
pengobatan / target belum tercapai setelah 6 bulan, terapi harus
disesuaikan.
Frekuensi pemeriksaan lanjutan perlu disesuaikan dengan tingkat
aktivitas penyakit (pemantauan setiap bulan dilakukan pada aktivitas
penyakit yang tinggi dan pemantauan setiap 6-12 bulan pada pasien

15 | P a g e
dengan target pengobatan yang tercapai serta dipertahankan).
4) MTX harus menjadi bagian dari strategi pengobtan pertama. Pada
pasien dengan kontraindikasi terhadap MTX (atau intoleransi dini),
Leflunomide atau Sulfasalazine harus dipertimbangkan sebagai bagian
dari strategi pengobatan pertama.
5) Glukokortikoid jangka pendek harus dipertimbangkan ketika memulai
atau mengubah csDMARDs, dalam rejimen dosis serta pemberian yang
berbeda, harus dikurangi secara bertahap dan pada akhirnya dihentikan
(biasanya dalam 3 bulan dari awal pengobatan).
6) Jika target pengobatan tidak tercapai dengan strategi csDMARD
pertama, dengan tidak adanya faktor prognostik yang buruk,
csDMARD lain harus dipertimbangkan.
7) Jika terget pengobatan tidak tercapai dengan strategi csDMARD
pertama, ketika terdapat faktor prognostik yang buruk, penambahan
bDMARD atau tsDMARD perlu dipertimbangkan; saat ini, bDMARD
diutamakan.
8) bDMARDs dan tsDMARDS harus dikombinasi dengan csDMARD;
pada pasien yang tidak dapat menggunakan csDMARDs sebagai co-
medikasi, IL-6 pathway inhibitors dan tsDMARD.
9) Jika bDMARD atau tsDMARD gagal, perawatan dengan bDMARD
lain atau tsDMARD harus dipertimbangkan; jika satu terapi
penghambat TNF telah gagal, pasien dapat menerima penghambat TNF
lain atau agen dengan cara kerja yang lain.
10) Jika seorang pasien dalam remisi persisten setelah pengurangan
glukokortikoid, orang dapat mempertimbangkan penggobatan
bDMARDs, terutama jika dikombinasikan dengan csDMARD.
11) Jika seorang pasien dalam remisi persisten, maka pengurangan dan
pemberhentian pengobatan csDMARDs dapat dilakukan.

Yang dimaksud dengan faktor prognostik buruk berdasarkan EULAR


2016 adalah11:
1) Aktivitas penyakit menengah (setelah terapi csDMARD) sampai
aktivitas penyakit tinggi berdasarkan hasil pengukuran
16 | P a g e
2) Kadar APR yang tinggi
3) Jumlah banyak dari sendi yang bengkak
4) Ditemukannya RF dan ACPA dalam kadar yang tinggi
5) Ditemukan erosi
6) Kegagalan dari dua atau lebih penggunaan csDMARD
7) Kombinasi dari semua diatas.

Gambar 2.4 Algoritma berdasarkan 2016 EULAR pada RA

17 | P a g e
BAB III

KESIMPULAN

Reumatoid Artritis (RA) adalah penyakit radang kronis dari etiologi yang
tidak diketahui dan ditandai dengan poliartritis perifer yang bersifat simetris.
Reumatoid Artritis merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan
sendi yang dapat mempengaruhi kualitas sosial hidup seseorang.

Kriteria diagnosis terbaru yaitu menggunakan kriteria ACR/EULAR 2010


bertujuan untuk mendeteksi dan meningkatkan sensitivitas terhadap RA sedini
mungkin sehingga inisiasi pengobatan dirahapkan dapat mencegah
perkembangan penyakit ke tingkat yang parah.

Dengan dikeluarkannya rejimen pengobatan terbaru serta obat-obatan


terbaru berdasarkan EULAR 2016 serta kriteria pemantauan remisi menggunakan
SDAI maupun CDAI yang telah disepakati sebelumnya, diharapkan mampu
menekan aktivitas penyakit serta meningkatkan kualitas hidup penderita.

18 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's
Principles Of Internal Medicine, 19th ed. New York: MC Graw Hill Education;
2015.
2. Klareskog, L.; Catrina, A.I. and Paget, S. Rheumatoid arthritis. Lancet, 2009,
373(9664), 659-672.
3. Isbagio H, Albar Z, Stioyahdi B, Kasjmir YI, Sumariyono, Wijaya LK, et al.
Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. Jakarta: Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2014.
4. Suarjana IN. Reumatoid artritis. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. P.
657-88
5. Firestein GS. Evolving concepts of rheumatoid arthritis. Nature 2003;423;356–
61.
6. Smolen JS, Aletaha D, Koeller M, Weisman M, Emery P. New therapies for the
treatment of rheumatoid arthritis. Lancet 2007; 370:1861–74.
7. Scott, D.L.; Wolfe, F. and Huizinga, T.W. Rheumatoid arthritis. Lancet, 2010,
376(9746), 1094-1108.
8. Finckh, A.; Liang, M.H.; van Herckenrode, C.M. and de Pablo, P. Long-term
impact of early treatment on radiographic progression in rheumatoid arthritis: A
meta-analysis. Arthritis Rheum, 2006, 55(6), 864-872.
9. Anderson J, Caplin L, Yazdany J, Robbins ML, Neogi KM, Saag KE, et al.
Rheumatoid Arthritis Disease Activity Measures: American College of
Rheumatology Recommendations for Use in Clinical Practice. 5 May 2012;
64(5):640-7
10. Singh JA, Saag KG, et al. 2015 American College of Rheumatology Guideline
for the Treatment of Rheumatoid Arthritis. http://dx.doi.org/10.1002/art.39480
(2015). Arthritis Care and Research. 2015.
11. Smolen JS, Landewé R, Bijlsma J, et al. EULAR recommendations for the

19 | P a g e
management of rheumatoid arthritis with synthetic and biological disease-
modifying antirheumatic drugs: 2016 update.
12. Sanmarti R, Esquide VR, Hernandez MV. Rheumatoid Arthritis: A Clinical
Overview of New Diagnostic and Treatment Approaches. Bentham Science
Publishers. Barcelona, 2013; 698(13):698-704
13. Felson DT, Smolen JS, Wells G, Zhang B, van Tuyl LH, et al. American College
of Rheumatology/European League Against Rheumatism provisional definition
of remission in rheumatoid arthritis for clinical trials. Arthritis Rheum. 2011 Mar.
63 (3):573-86

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai