Disusun Oleh :
Hafid Awaludin
Hidayat Sudrajat
Gustaf Hendrik
Syifa Rizqia Febiandita
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pernikahan dalam Islam” tepat waktu.
Makalah Aqidah dan Tasawuf disusun guna memenuhi tugas Dosen pada mata kuliah di
Universitas Serang Raya. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang Pernikahan dalam Islam.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu selaku dosen mata
kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
Daftar Isi
Kata Pengantar.........................................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan....................................................................................................................1
Bab II Pembahasan...................................................................................................................2
Daftar Pustaka........................................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan adalah bagian dari sunnatullah pada setiap makhluk yang bernyawa,
termasuk manusia di dalamnya. Kebutuhan manusia terhadap perkawinan bukanlah
semata-mata karena pemenuhan biologis saja, tetapi juga menjalankan sunnatullah di
alam semesta. Dengan demikian pernikahan itu dapat dilihat dari dua sisi, yang pertama
adalah melaksanakan perintah agama, yang kedua adalah menyalurkan kebutuhan
biologisnya.Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang menikah pada saat yang
bersamaan dia bukan hanya ingin melaksanakan perintah agama, melainkan juga ingin
memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis
sebenarnya juga harus dipenuhi. Dan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi
keluhuran akhlak juga telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi
kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan.
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa
kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunū ilaiha).1Dan semua itu akan terjadi apabila
pernikahan tersebut benar-benar dijalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah
ditetapkan Islam.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tulisan ini akan membahas tentang nikah, dasar
hukum pernikahan, hal-hal yang harus ada dalam sebuah pernikahan, hukum menikah
bagi seorang muslim, tujuan dari pernikahan, dan urgendi pencatatan pernikahan dalam
hukum perundang-undangan di Indonesia.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian nikah,dasar hokum dan hokum nikah dalam islam.
2. Mengetahui rukun,syarat dan tujuan pernikahan.
1
Lihat Q.S. ar-Rūm : 21
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan peristiwa yang paling sakral dialami oleh setiap manusia. Nikah
artinya suatu akan yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bukan mahrom dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Dalam pengertian yang lebih luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir antara dua orang,
laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk
memperoleh keturunan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam.3
Istilah nikah atau sering juga disebut kawin dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Arab yaitu nikah, yang berarti akad yang membolehkan bagi seorang laki-laki untuk
berhubungan badan dengan seorang perempuan dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah
atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.4
Dalam Undang Undang RI Nomor 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagaisuami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dankekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.5
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa nikah/kawin adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita, serta berdampak pada hak dan kewajiban antara
keduanya.
2
Ada banyak dalil baik dari al-Qur’an maupun dari Hadits Nabi Muhammad Saw yang
menganjurkan untuk menikah. Cukuplah kiranya penulis menyampaikan satu dalil dari
masing-masing al-Qur’an maupun al-Hadits.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamanakamu mengawininya),Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”. (QS. an-Nisaa’: 3).
Bahkan, dalam sebuah keterangan hadits Rasulullah Saw mendorong para pemuda untuk
menikah bila sudah memenuhi kemampuan. Dalam sebuah keterangan hadits Rasulullah Saw
bersabda:
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Islam menaruh perhatian yang serius bagi
umat Islam yang telah memiliki kemampuan untuk segera menikah, mengingat menikah
merupakan satu-satunya jalan yang direstui oleh Islam untuk menyalurkan hasrat biologisnya,
memperoleh keturunan, dan ketenangan dalam menjalani hidup dan kehidupan.
6
Muhammad bin Ismail al-Bukhory al-ja’fy, Shohih Bukhory, (Dār Ibn Katsīr, 1414 H/1993 M), hadits
nomor 4778, lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqolany, Fath al-Bary Syarh Shohih al-Bukhory, (Dār ar-
Royyān li at-Turōts, 1407 H / 1986 M), hadits nomor 4778
3
Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh
dikerjakan dan boleh tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala, dan jika tidak
dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Namun menurut saya pribadi karena Nabiullah
Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu sunnah
berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau. Akan tetapi hukum pernikahan
dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram, tergantung kondisi orang yang
akan menikah tersebut.
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka
hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih
dapat memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah
ia berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan
pernikahan tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani,
mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan
berbuat zina. Maka wajib baginya untuk segera menikah
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan
pernikahan tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun
meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak
4
Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang ingin melakukan
pernikahan tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut,
baik menyakiti jasmani, rohani maupun menyakiti secara materiil.
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal... batal...
batal.”7(HR. Turmuzdi).
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali adalah: 1) Bapak; 2) Kakek; 3) Saudara
laki-laki kandung; 4) Saudara laki-laki sebapak; 5) Anak laki-laki Saudara laki-laki
sekandung; 6) Anak laki-laki Saudara laki-laki sebapak, Paman dari pihak Bapak; 7) Anak
laki-laki dari paman pihak bapak; 8) hakim.
2. Saksi
Saksi adalah orang-orang tertentu yang layak untuk menjadi saksi dalam sebuah
pernikahan yang sakral berdasarkan kriteris syara’. Rukun ini berdasarkan hadits Rasulullah
Saw yang berbunyi:
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”.8 (HR. Ibnu
Hibban).
7
Muhammad bin Isa bin Suroh at-Tirmidzy, Sunan at-Tirmidzy, (Daar el-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), hadits
nomor 1102, h. 408
8
Muhammad bin Hibban, Shohih Ibnu Hibban, (Muassasah ar-Risalah, 1414 H/1993 M), hadits nomor
4057, h. 387
5
Berdasarkan hadits tersebut dapat dipahami bahwa jumlah saksi dalam pernikahan adalah
2 orang saksi yang adil. Adapun persyaratan untuk menjadi saksi sama seperti syarat-syarat
untuk menjadi wali.
Ijab dari pihak wali perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya
bernama fulanah kepadamu dengan mahar/mas kawin emas 20 gram dibayar kontan.”
Sedangkan qobul adalah ungkapan atau ucapan penerimaan dari pihak suami dengan
ucapannya, seperti saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama fulanah dengan
mahar/mas kawin emas 20 gram dibayar kontan.
Tujuan Pernikahan
9
Mahrom adalah orang-orang yang terlarang untuk dinikahi karena tiga sebab, baik karena pernikahan,
sepersusuan, ataupun karena nasab. Lihat al-Qur’an surah an-Nisā [4]: 23
10
Iddah adalah masa menunggu seorang wanita yang dicerai ataupun ditinggal mati oleh suaminya.
11
Li’an adalah sumpah seorang suami yang menuduh isterinya berzina.
6
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah
dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan
menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur,
berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh
Islam.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan
merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan
keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan.
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika
suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman
Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:
حُ دُو َد يُقِي َما أَاَّل يَخَافَا أَ ْن إِاَّل َش ْيئًا آتَ ْيتُ ُموه َُّن ِم َّما تَأْ ُخ ُذوا أَ ْن لَ ُك ْم ُّيَ ِحل َواَل ۗبِإِحْ َسا ٍن ْري ٌح ِ تَس ْأَو ُوف
ٍ بِ َم ْعر ك ٌ فَإ ِ ْم َسا ۖ َم َّرتَا ِن قُ الطَّاَل
ال هُ ُم َكMMِفَأُو ٰلَئ ِ هَّللا ُحدُو َد يَتَ َع َّد َو َم ْن ۚتَ ْعتَدُوهَا فَاَل ِ هَّللا ُحدُو ُد َتِ ْلك ۗبِ ِه َت
ْ ا ْفتَد فِي َما َعلَ ْي ِه َما ُجنَا َح فَاَل ِ هَّللا ُحدُو َد يُقِي َما أَاَّل ِخ ْفتُ ْم فَإ ِ ْن ِۖ هَّللا
َظَّالِ ُمون
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik,
atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus)
diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-
orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]
7
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah
‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah
tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan
amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah)
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk
melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik.
Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl :
72]
12
Wahyu Wibisana, Pernikahan Dalam Islam, (Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim Vol. 14, No. 2 -
2016
8
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan adalah
hal yang harus dilakukan oleh pasangan yang menikah demi kemaslahatan bagi perempuan
(isteri), anak, ataupun pihak-pihak terkait. Pernikahan yang tidak dicatatkan, meskipun sah
menurut agama akan tetapi akan merugikan, khususnya bagi perempuan dan anak. Anak yang
dilahirkan dari nikah sirri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya, sedangkan
statusnya adalah anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah. Dan perempuan korban
pernikahan sirri tidak dapat melakukan gugatan karena tidak dapat memberikan bukti nikah
berupa akta nikah. Padahal tujuan dari nikah adalah untuk kedamaian, ketenangan, dan
kemaslahatan.
Di dalam Islam, penceraian merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh Islam tetapi
dibolehkan dengan alasan dan sebab-sebab tertentu.Talak menurut bahasa bermaksud
melepaskan ikatan dan menurut syarak pula, talak membawa maksud melepaskan
ikatan perkawinan dengan lafaz talak dan seumpamanya. Talak merupakan suatu jalan
penyelesaian yang terakhir sekiranya suami dan isteri tidak dapat hidup bersama dan mencari
kata sepakat untuk mecari kebahagian berumahtangga. Talak merupakan perkara yang
dibenci Allah s.w.t tetapi dibenarkan.
Hukum talak
Hukum Penjelasan
9
a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut
Haram
harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekali gus atau talak satu tetapi disebut
berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai
Makruh
pengetahuan agama
Suami yang lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus
Harus
haidnya
Rukun talak
Perkara Syarat
Berakal
Suami Baligh
Dengan kerelaan sendiri
Akad nikah sah
Isteri
Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya
Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
Lafaz
Dengan sengaja dan bukan paksaaan
1. Talak sarih
10
Lafaz yang jelas dengan bahasa yang berterus-terang seperti “Saya talak awak” atau “Saya
ceraikan awak” atau “Saya lepaskan awak daripada menjadi isteri saya” dan sebagainya.
2. Talak kinayah
Lafaz yang digunakan secara sindiran oleh suami seperti “Pergilah awak ke rumah mak
awak” atau “Pergilah awak dari sini” atau “Saya benci melihat muka awak” dan sebagainya.
Namun, lafaz kinayah memerlukan niat suaminya iaitu jika berniat talak, maka jatuhlah talak
tetapi jika tidak berniat talak, maka tidak berlaku talak.
Jenis talak
1. Talak raj’i
Suami melafazkan talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh merujuk kembali
isterinya ketika masih dalam idah. Jika tempoh idah telah tamat, maka suami tidak
dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.
2. Talak bain
Suami melafazkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya
tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya berkahwin lelaki
lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis idah
dengan suami barunya.
3. Talak sunni
Suami melafazkan talak kepada isterinya yang masih suci dan tidak disetubuhinya ketika
dalam tempoh suci
4. Talak bid’i
11
Suami melafazkan talak kepada isterinya ketika dalam haid atau ketika suci yang
disetubuhinya.
5. Talak taklik
Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya bersyarat dengan sesuatu sebab atau syarat.
Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.
Contohnya suami berkata kepada isteri, “Jika awak keluar rumah tanpa izin saya, maka
jatuhlah talak satu.” Apabila isterinya keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka jatuhlah
talak satu secara automatik.
FASAKH
Arti fasakh menurut bahasa ialah rosak atau putus. Manakala menurut syara pula,
pembatalan nikah disebabkan oleh sesuatu sifat yang dibenarkan syara, misalnya, perkawinan
suami isteri yang difasakhkan oleh adik disebabkan oleh suaminya tidak mempu memberi
nafkah kepada isterinya. Fasakh tidak boleh mengurangkan bilangan talaknya.
Jika dapat dibuktikan pengaduan yang diberikan adalah betul, pihak kadi boleh mengambil
tindakan membatalkannya
Pembatalan perkahwinan dengan cara fasakh tidak boleh dirujuk kembali melainkan dengan
akad nikah yang baru.
Khuluk
Perpisahan antara suami dan isteri melalui tebus talak sama ada dengan menggunakan
lafaz talak atau khuluk. Pihak isteri boleh melepaskan dirinya daripada ikatan perkahwinan
mereka jika ia tidak berpuas hati atau lain-lain sebab. Pihak isteri hendaklah membayar
sejumlah wang atau harta yang dipersetujui bersama dengan suaminya, maka suaminya
hendaklah menceraikan isterinya dngan jumlah atau harta yang ditentukan.
12
Tujuan khuluk
Memberi keadilan kepada wanita yang cukup umurnya melalui keputusan mahkamah.
Rujuk
Menurut bahasa rujuk boleh didefinisikan sebagai kembali. Manakala menurut syarak,
ia membawa maksud suami kembali semula kepada isterinya yang diceraikan dengan ikatan
pernikahan asal (dalam masa idah) dengan lafaz rujuk.
Hukum rujuk
Hukum Penjelasan
Bagi suami yang menceraikan isterinya yang belum
Wajib
menyempurnakan gilirannya dari isteri-isterinya yang lain
Suami merujuk isterinya dengan tujuan untuk menyakiti
Haram
atau memudaratkan isterinya itu
Makruh Apabila penceraian lebih baik antara suami dan isteri
Harus Sekirannya rujuk boleh membawa kebaikan bersama
Rukun rujuk
Perkara Syarat
Berakal
Suami Baligh
Dengan kerelaan sendiri
Telah disetubuhi
Berkeadaan talak raj’i
Isteri Bukan dengan talak tiga
Bukan cerai secara khuluk
Masih dalam idah
13
Ucapan yang jelas menyatakan rujuk
Tiada disyaratkan dengan khiar atau pilihan
Lafaz
Disegerakan tanpa dikaitkan dengan taklik atau bersyarat
Dengan sengaja dan bukan paksaan
1. Lafaz sarih
Lafaz terang dan jelas menunjukkan rujuk. Contoh : “Saya rujuk awak kembali” atau “Saya
kembali semula awak sebagai isteri saya.”
2. Lafaz kinayah
Lafaz kiasan atau sindiran. Contoh : “Saya jadikan awak milik saya semula” atau “Saya
pegang awak semula”. Lafaz kinayah perlu dengan niat suami untuk merujuk kerana jika
dengan niat rujuk, maka jadilah rujuk. Namun jika tiada niat rujuk, maka tidak sahlah
rujuknya.
2.7 IDDAH
Iddah adalah waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan
suaminya, baik itu karena thalak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal
dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan
kembali dengan laki-laki lain. Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak yang telah
mengadakan perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara
keduanya.Lamanya masa iddah bagi perempuan adalah sebagai berikut:
a. Perempuan yang masih mengalami haid secara normal, iddahnya tiga kali suci
b. Perempuan yang tidak mengalami lagi haid (menopause) atau belum mengalami sama
sekali, iddahnya tiga bulan
c. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, iddahnya empat bulan sepuluh hari
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan adalah akad nikah (Ijab Qobul) antara laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrimnya sehingga menimbulkan kewajiban dan hak di antara keduanya
melalui kata-kata secara lisan, sesuai dengan peraturan-peraturan yang diwajibkan
secara Islam. Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Rasulullah:
“nikah itu Sunnahku, barang siapa membenci pernikahan, maka ia bukanlah ummatku”.
Hadis lain Rasulullah Bersabda:
“Nikah itu adalah setengah iman”.
15
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dār el-Fikr, 1986),Jilid
IV, h. 212
Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim Vol. 14, No. 2 - 2016
Muhammad bin Isa bin Suroh at-Tirmidzy, Sunan at-Tirmidzy, (Daar el-Kutub al-Ilmiyah,
t.t.), hadits nomor 1102, h. 408
Muhammad bin Hibban, Shohih Ibnu Hibban, (Muassasah ar-Risalah, 1414 H/1993 M),
hadits nomor 4057, h. 387
Muhammad bin Ismail al-Bukhory al-ja’fy, Shohih Bukhory, (Dār Ibn Katsīr, 1414 H/1993
M), hadits nomor 4778, lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqolany, Fath al-Bary
Syarh Shohih al-Bukhory, (Dār ar-Royyān li at-Turōts, 1407 H / 1986 M), hadits nomor 4778
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab I Pasal
1
Qur’an surah an-Nisā [4]: 23
Q.S. ar-Rūm : 21
Zainuddin Ali, Hukum Perdata islam di Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
h.9
https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam
http://aldy-firdani.blogspot.com/2014/01/makalah-pernikahan-dalam-agama-islam.html
16