Keuntungan sangat erat hubunganya dengan bisnis. Bisnis sering dilukiskan sebagai “to
provide products or services for a profit”. Jadi, bisnis merupakan suatu aktifitas atau kegiatan
ekonomi yang tujuanya adalah mencari keuntungan atau laba. Tidak semua kegiatan ekonomi dapat
dikatakan dapat menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan
ekonomi yang memakai sistem keuangan. Misalkan saja pertukaran barang (Barter),
barter merupakan kegiatan ekonomi yang sama-sama menguntungkan antara dua belah pihak yang
saling bertukar barang tetapi hal itu masih belum dapat dikatakan sebagai keuntungan atau profit.
Robert Solomon menekankan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil suatu
transaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua belah pihak
sama-sama menggunakan uang. Jika berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan
bahwa selalu ada kemungkinan kerugian. Keterikatan dengan keuntungan itu yang menjadi alasan
bisnis selalu rawan dari sudut pandang etika. Perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan
menampilkan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya sering kali lebih berat. Jika meraup
keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas menjadi upaya pertama dari bisnis, tidak dapat di elakan
keberatan dari pihak etika.
Para ekonom menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak
boleh dimengerti secara harfiah dan pasti tidak boleh ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral.
Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai sekedar model ekonomis yang diharapkan akan
memberi arah kepada strategi ekonomis yang akan berhasil. Salah besar, jika orang mengukurnya
dengan kategori-kategori etika. Model semacam itu selalu berjalan pada taraf abstrak, artinya
dengan tidak memperhatikan sekian banyak faktor yang membentuk kenyataan konkret, termasuk
kedudukan serta keadaan para karyawan dalam suatu perusahaan.
Maksimalisasi keuntungan tidak perlu dimengerti secara konkret, sampai meliputi semua
seluk-beluk kegiatan ekonomis, apalagi bertentangan dengan norma moral. Sejarah mencatat pada
awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara sangat tidak manusiawi.
Industri sebagai cara berproduksi dengan memakai mesin pada skala besar-besaran merupakan
fenomena baru pada waktu itu. Untuk menjalankan mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah
pertanian yang miskin. Keadaan ini pertama kali muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan
terutama berkembang di bidang tekstil, baja, dan pertambangan batu bara.
Studi sejarah menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis
memang bisa membawa akibat kuarang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam kapitalisme liberal
yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Melalui
perjuangan panjang dan berat, di negara-negara industri perlakuan kurang etis terhadap kaum
buruh lama-kelamaan dapat teratasi. Di negara-negara tersebut kini hak-hak kaum buruh sudah
diakui dan kalau masih timbul kesulitan selalu tersedia mekanisme untuk mengatasinya. Dunia bisnis
harus belajar dari pengalaman sejarah itu.
Negara-negara berkembang mulai mengembangkan industrinya baru dalam paru kedua abad
ke-20 tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu. Namun demikian, hal itu tidak mustahil terjadi
juga, karena upaya-upaya yang di negara-negara maju telah menghindari terulangnya
ketidakberesan kapitalisme liberal, di negara berkembang masih lemah, seperti: undang-undang
perburuan yang baik, kebebasan serikat buruh, asuransi sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya.
Kini sebenarnya industri baru tidak boleh dikembangkan lagi tanpa sekaligus mengembangkan juga
koreksian terhadap bahaya dari penindasan indutri modern. Dalam zaman pasca-komunis sekarang,
hal itu mendesak dengan cara baru. Maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model okonomis
yang abstrak bisa saja mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru.
Pekerjaan yang dilakukan oleh anak memang dinilai tidak etis. Masalah pekerja anak ini terjadi
dikarenakan berbagai faktor diantaranya karena faktor-faktor ekonomi, sosial dan budaya. Kita harus
bisa menilai atau menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pekerja anak. Istilah anak
“di bawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Tidak praktis sama sekali, kalau
anak sudah tidak wajib belajar lagi tetapi belum boleh bekerja. Misalkan saja di dalam kehidupan
keluarga anak sering membantu orang tua bekerja seperti membantu panen di sawah. Hal ini
dikatakan tidak melanggar etis. Pekerja anak baru menimbulkan etis yang serius dalam zaman
industrialisasi.
Ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada tahun 1973 mengeluarkan konvvensi tentang usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja. Negara-negara anggota ILO harus mengupayakan usia
minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru
mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1999 dan menetapkan usia minimum 15 tahun.
Betapapun banyaknya usaha menetapkan batas minimum pekerja, masih banyak di negara yang
pekerjanya masih muda.
Memperkerjakan anak di anggap tidak etis karena disebabkan berbagai alasan. Alasan yang
pertama bahwa pekerjaan yang diterima anak di bawah usia minimum akan melanggar hak anak
untuk bermain dan mengenyam pendidikan. Mereka berhak untuk dilindungi terhadap segala upaya
eksploitasi karena mereka tidak dapat melindungi diri. Alasan kedua aalah karena memperkerjakan
anak adalah cara bisnis yang tidak fair. Hal ini karena perusahaan menekan biaya seminimal
mungkin dengan memperkerjakan anak dengan upah yang rendah guna mencapai keuntungan yang
maksimal. Selain itu hal ini juga dengan mempekerjakan anak akan menimbulkan pengangguran bagi
pekerja dewasa.
Meskipun memperkerjakan anak dianggap tidak etis, kita harus mampu memandang penyebab
anak harus bekerja. Hal ini mungkin dikarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Apabila anak
dilarang bekerja sedangkan mereka membutuhkan makan, maka dengan bekerja anak dapat
memenuhi kebutuhan dan tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, kita harus tahu bagaimana
cara alternatif untuk mengatasi masalah pekerja anak. Cara yang pertama adalah dengan
menumbuhkan kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen. Cara yang kedua adalah kode etik
yang dibuat dan ditegakan oleh perusahaan. Misalkan saja perusahaan mengeluarkan kebijakan dan
menegaskan untuk tidak memperkerjakan anak dibawah umur. Perusahaan juga dapat
mengembangkan Coorporate Social Responsibility di bidang pendidikan yang tujuanya adalah
dengan membantu memberika pendidikan kepada anak yang kurang mampu maupun mengadakan
pelatihan keterampilan.
Cara lain adalah melengkapi garmen jualan atau produk lain dengan No Sweat Label, yang
menjamin produk itu tidak dapat dibuat dengan menggunakan tenaga kerja anak dengan kondisi
kerja yang tidak pantas. Label-label ini tentunya harus dikeluarkan dengan instansi-instansi
pemerintah atau swasta yang menjamin kredibilitas tinggi di mata masyarakat. Di Amerika Serikat
Kampanye No Sweat Label sudah dijalankan.
Memperjakan anak memang dianggap tidak manusiawi. Namun di Indonesia anak-anak dituntut
harus bekerja karena memang diarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak . Pemerintah
Indonesia juga telah mengakui hal ini sehingga mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1
Tahun 1987 mengizinkan bahwa anak yang usia minimum sebagai buruh di sektor formal apabila
keadaanya benar-benar mendesak. Sebenarnya peraturan ini bertentangan dengan ketentuan batas
usia minimum anak tetapi hal ini dilakukan dengan berbagai syarat antaralain anak tidak boleh
bekerja lebih dari empat jam, tidak diperbolehkan bekerja di tempat yang mempunyai bahaya atau
resiko yang tinggi.
3. RELATIVASI KEUNTUNGAN
Relativasi keuntungan dapat diartikan seuatu tindakan yang tidak hanya memikirkan atau
mengutamakan keuntungan dalam bisnis melainkan jugaharus mempertimbangkan etis atau tidak
bisnis itu dalam memperoleh keuntungan. Tidak dapat di pungikiri, pertimbangan etis mau tidak
mau berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh. Seandainya keuntungan merupakan faktor
satu-satunya yang menentukan suksesnya dalam bisnis maka bisa dikatakan perdagangan heoin,
kokain, atau obat-obat terlarang lainnya bisa dikatakan sebagai good business, karena
mendatangkan kuntungan yang sangat banyak. Pedagang narkotika seperti itu justru merupakan
bidang dimana usaha bisnis langsung bertolak belakang dengan pertimbangan etis karena tidak
merupakan good business sama sekali (good dalam artian moral). Apa yang berlaku tentang bisnis
narkotika,sebenarnya berlaku berlaku juga pada bisnis pada umumnya. Binis menjadi tidak etis,
kalau hanya memikirkan keuntungan secara mutlak dan dari segi moral dikesampingkan.
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang hanya
mengejar keuntungan sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat papan angka tanpa
melihat bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai intrinsik sendiri
(misalnya,memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat) dan untuk menjadi bernilai tidak
harus selalu membawa keuntungan.
Beberapa cara lain unutuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa mengabaikan
perlunya keuntungan dalam bisnis :
1. Keuntungn merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen
dalam perusahaan.
2. Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh
masyarakat.
Suatu cara lain lagi untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan itu sebagai
the stakeholders’ benefit, “manfaat bagi stakeholders”. Konon, istilah stakeholders untuk pertama
kali muncul pada 1963 dalam sebuah memorandum internal dari Stanford Research Institute,
California. Sekarang istilah itu sudah lazim dipakai dalam teori manajemen dan juga dalam etika
bisnis. Sukses istilah itu sebagian disebabkan, karena bahasa inggris di sini main dengan kata. Istilah
ini mirip dengan stakeholders, tetapi justru merupakan semacam kritik implisit terhadap tendensi
untuk terlalu mengagungkan pentingnya pemegang saham atau pemilik perusahaan. Yang
dimaksudkan stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan sutu bisnis atau
perusahaan. R. Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai “individu-individu dan kelompok-
kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat
mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Dalam bahasa indonesia kini sering dipakai
terjemahan “pemangku kepentingan”. Stakeholders adalah sumua pihak yang berkepentingan
dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockeholder tentu termasuk stakeholders. Pada pemegang
saham sebagai pemilik perusahaan pasti berkepentingan dengan sepak terjang sebuah perusahaan.
Kalau perusahaan memperoleh laba, para pemegang saham mendapat deviden. Kalau tidak, mereka
tidak mendapat apa-apa. Mereka jelas membeli saham dengan harapan akan meraih keuntungan.
Namun demikian, disamping para pemegang saham ada banyak pihak lain yang berkepentingan juga
dengan aktivitas suatu perusahaan. Kita bisa menyebut para manajer yang memimpin perusahaan,
para karyawan, para pemasok, para konsumen, masyarakat di sekitar pabrik atau lokasi perusahaan
(masyarakat lokal), masyarakat luas, pemerintah, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan
perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders.
Sekaligus juga disini kita mempunyai kemungkinan baru untuk membahas segi etis dari
suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan
para pemegang saham dipertimbangkan. Keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu unit
produksi seperti pabrik boleh disebut sebagai contoh. Keputusan ini mengandung implikasi etis yang
penting. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan, tetapi juga
kepentingan darisemua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.