Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

.1 Kesehatan Ibu
Kesehatan Ibu adalah masalah pembangunan global. Di beberapa
negara, khususnya negara berkembang dan negara belum berkembang,
para ibu masih memiliki risiko tinggi ketika melahirkan. Situasi ini telah
mendorong komunitas internasional untuk berkomitmen dalam mengatasi
permasalahan kesehatan ibu (Dwicaksono & Setiawan, 2013).
Peran ibu sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Sosok
ibulah yang melahirkan dan mengantarkan generasi penerus menjadi
manusia yang kelak berguna bagi negara. Karena itu, kesehatan ibu
menjadi penting seperti pepatah “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang kuat”. Ibu yang sehat lebih bisa menjalankan fitrahnya untuk
menghasilkan cikal bakal yang berkualitas. Dan indikator kesehatan ibu
yang utama bisa dilihat dari angka kematian ibu (AKI) di suatu Negara
(Aditama, 2015). Setiap  jam, satu wanita meninggal dunia ketika
melahirkan atau karena masalah selama kehamilan. Peningkatan kesehatan
ibu di Indonesia, yang merupakan tujuan SDGs, berjalan lambat dalam
beberapa tahun terakhir (Pengabdian, 2017).

2.2 Definisi Kematian Ibu


Menurut WHO maternal death is the death of a woman while
pregnant or within 42 days of determination of pregnancy, irrespective of
the duration and site of the pregnancy, from any cause related to or
aggravated by the pregnancy or its management but not from accidental
or incidental causes (WHO, 2004). Hal tersebut juga dikemukakan oleh
International Statistical Classification of Diseases, Injuries, and Causes of
Death, bahwa kematian ibu adalah “kematian seorang wanita yang terjadi
selama kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,
yang disebabkan atau dipicu oleh kehamilannya atau penanganan
4

kehamilannya, tetapi bukan karena kecelakaan” (Kemenkes RI, 2014).


Sedangkan angka kematian ibu adalah kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup (Andriani, 2019). Kematian ibu dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Direct obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan
oleh komplikasi obstetri pada masa hamil, bersalin, dan nifas atau
kematian yang disebabkan oleh suatu tindakan atau berbagai hal yang
terjadi akibat tindakan tersebut yang dilakukan selama hamil, bersalin
atau nifas.
2. Indirect obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang disebabkan oleh
suatu penyakit, yang bukan karena komplikasi obsteri, yang
berkembang atau bertambah berat akibat kehamilan atau persalinan
(Syafrudin & Hamidah, 2009).

2.1.3 Determinan Kematian Ibu


Determinan kematian ibu merupakan hal yang menjadi latar
belakang dan menjadi penyebab langsung serta tidak langsung dari
kematian ibu (Syafrudin & Hamidah, 2009). Determinan kematian ibu
dikelompokkan menjadi:
1. Determinan proksi
a. Kejadian kehamilan
Wanita yang hamil memiliki risiko mengalami komplikasi,
sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut.
b. Komplikasi kehamilan dan persalinan
Komplikasi obstetri berikut merupakan penyebab langsung
kematian ibu, yaitu perdarahan, infeksi, eklampsia (trias klasik),
partus macet, abortus dan ruptur uteri. Menurut Achadi (2019)
masalahnya sebagian besar komplikasi tidak bisa diprediksi.
Artinya setiap kehamilan itu sendiri berisiko.
5

2. Determinan antara
a. Status kesehatan, antara lain status gizi, penyakit infeksi atau
parasit, penyakit menahun seperti TBC, penyakit jantung, penyakit
ginjal, dan riwayat komplikasi obstetri.
b. Status reproduksi, antara lain usia ibu hamil, jumlah kelahiran, dan
status perkawinan.
c. Akses terhadap pelayanan kesehatan, antara lain keterjangkauan
lokasi tempat pelayanan, jenis dan kualitas pelayanan yang
tersedia, serta keterjangkauan terhadap informasi.
d. Perilaku sehat, antara lain meliputi penggunaan alat kontrasepsi,
pemeriksaan kehamilan, penolong persalinan dan perilaku
menggugurkan kandungan.
e. Faktor-faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga. Meliputi
keadaan yang secara tiba-tiba dan tidak terduga yang dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi selama hamil atau melahirkan.
Misalnya kontraksi uterus yang tidak adekuat, ketuban pecah dini.
3. Determinan kontekstual
a. Status wanita dalam keluarga dan masyarakat, antara lain tingkat
pendidikan, pekerjaan, dan keberdayaan wanita yang
memungkinkan wanita lebih aktif dalam menentukan sikap dan
lebih mandiri dalam memutuskan hal yang terbaik bagi dirinya.
b. Status keluarga dalam masyarakat. Variabel ini merupakan variabel
keluarga wanita, antara lain penghasilan keluarga, kekayaan
keluarga, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan anggota
keluarga.
c. Status masyarakat, meliputi tingkat kesejahteraan, ketersediaan
sumber daya, serta ketersediaan dan kemudahan transportasi. Status
masyarakat umumnya terkait pula dengan tingkat kemakmuran
suatu negara serta besarnya perhatian pemerintahan terhadap
masalah kesehatan. Kemiskinan juga merupakan salah satu faktor
penghambat upaya penurunan AKI (Syafrudin & Hamidah, 2009).
6

Menurut Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI tahun


2014, berikut gambar penyebab kematian ibu tahun 2010-2013.

Gambar 1. Penyebab Kematian Ibu tahun 2010-2013

Sumber : Kemenkes R1, 2014

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa penyebab terbesar


kematian ibu selama tahun 2010-2013 masih sama, yaitu perdarahan.
Sedangkan partus lama menjadi penyebab terendah. Sementara itu
penyebab-penyebab lain juga turut menyumbang angka kematian ibu.
Berikut akan dijelaskan lebih dalam mengenai penyebab kematian ibu:
1. Perdarahan
Biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak, paling
bertanggung jawab atas kematian ibu. Sebagian besar kasus
perdarahan dalam masa nifas terjadi karena retensio plasenta dan
atonia uteri. Hal ini mengindikasikan kurang baiknya manajemen
tahap ketiga proses kelahiran dan pelayanan emergensi obstetrik dan
perawatan neonatal yang tepat waktu.
2. Hipertensi
Merupakan penyebab utama kedua kematian ibu di Indonesia.
Pemantauan kehamilan secara teratur sebenarnya dapat menjamin
akses terhadap perawatan yang sederhana dan murah yang dapat
mencegah kematian ibu karena eklampsia.
7

3. Aborsi yang tidak aman


Kematian ini sebenarnya dapat dicegah jika perempuan mempunyai
akses terhadap informasi dan pelayanan kontrasepsi serta perawatan
terhadap komplikasi aborsi. Data dari SDKI 2002–2003
menunjukkan bahwa 7,2% kelahiran tidak diinginkan.
4. Sepsis
Sebagai faktor penting lain penyebab kematian ibu sering terjadi
karena kebersihan (hygiene) yang buruk pada saat persalinan atau
karena penyakit menular akibat hubungan seks yang tidak diobati.
Deteksi dini terhadap infeksi selama kehamilan, persalinan yang
bersih, dan perawatan semasa nifas yang benar dapat menanggulangi
masalah ini.
5. Partus lama
Sering disebabkan oleh disproposi cephalopelvic, kelainan letak, dan
gangguan kontraksi uterus (Bappenas, 2015).

2.1.4 AKI di Indonesia


Menurut UNESCAP, angka kematian ibu di Indonesia adalah angka
kematian tertinggi ke empat (220/100.000 kelahiran hidup) di antara
beberapa negara di Asia Timur Selatan menyusul Kamboja, Timor-Leste
dan Laos. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata angka kematian ibu di
ASEAN dan Asia Tenggara (Dwicaksono dan Setiawan, 2013).
Berdasarkan data SDKI, selama periode tahun 1991-2007 angka
kematian ibu mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000
kelahiran hidup. Namun pada SDKI 2012 angka kematian ibu kembali
naik menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2014).
8

Gambar 2. Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 1991-2012

Sumber : Kemenkes R1, 2014

Pada tahun 2015 menurut data SUPAS terjadi penurunan AKI di


Indonesia menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup (Achadi, 2019).
Estimasi AKI menggunakan pendekatan PMDF (Proportion of Maternal
Deaths of Female Reproductive Age) tahun 1995 di lima provinsi
menunjukkan bahwa Jawa Tengah mempunyai AKI yang lebih rendah,
yaitu 248, dibandingkan adalah Papua sebesar 1.025, Maluku sebesar 796,
Jawa Barat sebesar 686, dan NTT sebesar 554 per 100.000 kelahiran
hidup. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, eklampsia atau
gangguan akibat tekanan darah tinggi saat kehamilan, partus lama,
komplikasi aborsi, dan infeksi. Perdarahan, yang biasanya tidak bisa
diperkirakan dan terjadi secara mendadak, bertanggung jawab atas 28
persen kematian ibu (Putra, 2008).
Selain itu, berikut ini akan disajikan beberapa gambar data
pendukung lain, seperti Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga
Kesehatan, Proporsi Kelahiran Berdasarkan Tempat Bersalin, Cakupan
Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Menurut Provinsi, dan
lain-lain.
9

Gambar 3. Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Indonesia tahun


2004-2013

Sumber : Kemenkes R1, 2014

Gambar 4. Proporsi Kelahiran Berdasarkan Tempat Bersalin di Indonesia

Sumber : Kemenkes R1, 2014


10

Gambar 5. Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Menurut Provinsi


Tahun 2013

Sumber : Kemenkes R1, 2014

Gambar 6. Contraceptive Prevalence Rate (CPR) Semua Cara, Cara Modern dan Total Fertility
Rate (TFR)
Pada Perempuan Usia Menikah 15-49 Tahun, Tahun 1991-2012

Sumber : Kemenkes R1, 2014


11

Gambar 7. Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil K1, K4, dan Persalinan oleh
Tenaga kesehatan di Indonesia Tahun 2004-2013

Sumber : Kemenkes R1, 2014


Gambar 8. Proporsi Penolong Persalinan dengan Kualifikasi Tertinggi di Indonesia

Sumber : Kemenkes R1, 2014


Gambar 9. Cakupan Kunjungan Nifas (KF3) dan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
di Indonesia Tahun 2008-2013

Sumber : Kemenkes R1, 2014


12

2.1.5 Strategi Menurunkan AKI


Angka kematian ibu sudah mengalami penurunan, tetapi masih jauh
dari target MDGs tahun 2015, meskipun jumlah persalinan yang ditolong
oleh tenaga kesehatan mengalami peningkatan. Kondisi ini kemungkinan
disebabkan oleh antara lain kualitas pelayanan kesehatan ibu yang belum
memadai, kondisi ibu hamil yang tidak sehat dan faktor determinan
lainnya. Penyebab utama kematian ibu yaitu hipertensi dalam kehamilan
dan perdarahan post partum. Penyebab ini dapat diminimalisasi apabila
kualitas antenatal care dilaksanakan dengan baik (Rachmat, 2018).

Berbagai upaya juga telah dilakukan untuk menurunkan AKI. Pada


tahun 1990 WHO mencanangkan gerakan dunia untuk menyelamatkan ibu
yang diberi nama safe motherhood. Gerakan ini memiliki 4 pilar: KB,
pelayanan antenatal, persalinan yang aman, dan pelayanan obstetri esensial
(Andriani, 2019).
1. KB
Konseling dan pelayanan keluarga berencana harus tersedia untuk
semua pasangan dan individu. Dengan demikian, pelayanan keluarga
berencana harus menyediakan informasi dan konseling yang lengkap
dan juga pilihan metode kontrasepsi yang memadai, termasuk
kontrasepsi darurat.
2. ANC
a. Petugas kesehatan harus memberi pendidikan pada ibu hamil
tetntang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam masa kehamilan
b. Membantu wanita hamil serta keluarganya untuk mempersiapkan
kelahiran bayi
c. Meningkatkan kesadaran mereka tentang kemungkinan adanya
resiko tinggi atau komplikasi dalam kehamilan/persalinan dan
cara mengenali secara dini
13

Dalam melaksanakan ANC ada 10 standar pelayanan yang harus


dilakukan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang dikenal dengan 10
T yaitu :
a. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
b. Pemeriksaan tekanan darah
c. Nilai status gizi (ukur lila)
d. Pemeriksaan puncak rahim (TFU)
e. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)
f. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi TT bila
diperlukan
g. Pemberian tablet Fe minimal 90 tablet selama kehamilan
h. Tes laboratorium (rutin dan khusus)
i. Tatalaksana kasus
j. Temu wicara (konseling)
(IBI Jabar, 2016)
3. Persalinan bersih dan aman
a. Wanita harus ditolong oleh tenaga kesehatan yang profesional
dengan bersih dan aman
b. Tenaga kesehatan juga harus mampu mengenali secara dini gejala
dan tanda komplikasi persalinan serta mampu melakukan
penatalaksanaan dasar terhadap gejala dan tanda tersebut.
4. Pelayanan Obstetri Esensial
Pelayanan obstetri esensial bagi ibu yang mengalami resiko tinggi
atau komplikasi diupayakan agar berada dalam jangkauan setiap ibu
hamil. Pelayanan obstetri esensial meliputi kemampuan fasilitas
pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi
resiko tinggi dan komplikasi kehamilan/persalinan. (Syafrudin &
Hanifah. 2009)

Dalam rangka upaya percepatan penurunan AKI maka pada tahun


2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal
14

and Neonatal Survival (EMAS) yang diharapkan dapat menurunkan angka


kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di
provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang
besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut
disebabkan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia
berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka
kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan
angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan. Program EMAS
menurunkan AKI dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan emergensi
obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 rumah sakit Pelayanan Obstetri
Neonatal Esensial Komprehensif (PONEK), 300 puskesmas pelayanan
Obstetri Neonatal Esensial Dasar (PONED) dan memperkuat sistem
rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit
(Kemenkes RI, 2018).
Selain EMAS pemerintah Indonesia juga turut membuat beberapa
kebijakan dan program kesehatan lain, diantaranya adalah:
1. Prioritas nasional
Menurunkan kesakitan dan kematian ibu telah menjadi salah satu
prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana
tercantum dalam Propenas. Kegiatan-kegiatan yang mendukung
upaya ini antara lain meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi,
meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi,
meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan,
menanggulangi KEK, dan menanggulangi anemia gizi besi pada
wanita usia subur dan pada masa kehamilan, melahirkan, dan nifas.
2. Kehamilan Aman
Mengacu pada Indonesia Sehat 2010, telah dicanangkan strategi
Making Pregnancy Safer (MPS) atau Kehamilan yang Aman sebagai
kelanjutan dari program Safe Motherhood, dengan tujuan untuk
mempercepat penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru
15

lahir. MPS terfokus pada pendekatan perencanaan sistematis dan


terpadu dalam intervensi klinis dan sistem kesehatan serta penekanan
pada kemitraan antar institusi pemerintah, lembaga donor, dan
peminjam, swasta, masyarakat, dan keluarga. Perhatian khusus
diberikan pada penyediaan pelayanan yang memadai dan
berkelanjutan dengan penekanan pada ketersediaan penolong
persalinan terlatih. Aktivitas masyarakat ditekankan pada upaya
untuk menjamin bahwa wanita dan bayi baru lahir memperoleh akses
terhadap pelayanan.
3. Strategi
Ada empat strategi utama bagi upaya penurunan kesakitan dan
kematian ibu. Pertama, meningkatkan akses dan cakupan pelayanan
kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas dan cost effective.
Kedua, membangun kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas
program, lintas sektor, dan mitra lainnya. Ketiga, mendorong
pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan
dan perilaku sehat. Keempat, mendorong keterlibatan masyarakat
dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan ibu dan
bayi baru lahir. Strategi MPS memiliki tiga pesan kunci, yaitu setiap
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; setiap komplikasi
obstetrik dan neonatal mendapatkan pelayanan yang memadai; dan
setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi
keguguran. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kelompok
masyarakat berpendapatan rendah baik di perkotaan dan pedesaan
serta masyarakat di daerah terpencil. Program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) yang telah dimulai sejak 1998 telah menyediakan
pelayanan pelayanan kesehatan dasar dan bidan di desa secara gratis
bagi penduduk miskin perlu dipertahankan dengan berbagai cara.
16

4. Konteks lebih luas


Terlepas dari kebijakan dan program dengan fokus pada sektor
kesehatan, diperlukan juga penanganan dalam konteks yang lebih
luas di mana kematian ibu terjadi. Kematian ibu sering disebabkan
oleh berbagai faktor yang kompleks yang menjadi tanggung jawab
lebih dari satu sektor. Terdapat korelasi yang jelas antara pendidikan,
penggunaan kontrasepsi, dan persalinan yang aman. Pelayanan
kesehatan reproduksi remaja harus ditangani dengan benar,
mengingat besarnya masalah. Selain itu, isu gender dan hak-hak
reproduksi baik untuk laki-laki maupun perempuan perlu terus
ditekankan dan dipromosikan pada semua level (Bappenas, 2015).

Terdapat pula beberapa rekomendasi yang cocok dilakukan di


Indonesia menurut Endang L. Achadi yang disampaikan di Rakernas 2019,
di antaranya:
1. Prioritas pertama pada Pelayanan Kebidanan dan Neonatal
berkesinambungan pada periode persalinan dan 24 jam pertama pasca-
salin, karena periodenya sangat pendek dan proporsi kematian paling
besar:
1) Dipastikan komplikasi ibu dan bayi segera terdeteksi dan dilakukan
pertolongan pertama dan stabilisasi fungsi vital.
2) Dipastikan ibu dan bayi segera dirujuk dengan stabillisasi dan
monitor.
3) Dipastikan komunikasi dengan RS rujukan terjadi secara efektif
dan tepat waktu untuk mencegah rujukan multipel atau zig-zag.
4) Dipastikan pelayanan di RS dapat dilakukan tepat guna dan tepat
waktu.
Untuk Prioritas pertama tersebut di atas, perlu menjamin
kesinambungan pelayanan kebidanan 24 jam 7 hari, mulai tingkat
pelayanan pertama sampai RS rujukan, yang membutuhkan dukungan
17

yang besar dari Pemda, antara lain:


1) Ketersediaan SDM yang kompeten di setiap tingkat pelayanan
2) Kebijakan tentang standar pelayanan yang jelas termasuk
perencanaan pelatihan SDM
3) Kebijakan tentang sistem rujukan efektif yang jelas (langsung ke
RS rujukan pada kasus darurat) dan transportasi
4) Ketersediaan sarana prasarana termasuk darah
Prioritisasi bisa bertahap, dengan pendekatan regional di dalam
wilayah Kabupaten dan Kota, tetapi tetap dalam lingkup
“berkesinambungan”.
2. Prioritas kedua, meningkatkan kualitas pelayanan pada masa nifas
1) Maternal pada hari 8-42 pasca-salin
2) Neonatal pada hari 2-7 pasca-lahir
3. Prioritas 3, meningkatkan kualitas pelayanan ANC, baik untuk
pendeteksian dan pencegahan penyebab kematian maternal direk
maupun indirek (termasuk malaria).
4. Prioritas 4, remaja putri dan wanita usia subur. Menurunkan anemia
dan mencegah status gizi kurus (wasting) sebelum kehamilannya untuk
mencegah komplikasi kebidanan dan risiko BBLR dan premature.
5. Prioritas khusus: Ketersediaan data, pengukuran data pada tingkat
kabupaten dan kota dengan metode yang terbukti mencakup jumlah
kematian maksimal.

Selain rekomendasi tersebut, kita dapat belajar dari keberhasilan


Nepal dan Sri Lanka dalam menurunkan AKI dan mencapai target MDGs
2015 maka ada dua hal yang bisa kita terapkan adalah:
1. Nepal dan Sri Lanka menerapkan konsep evidence based policy dan
need assessment merupakan hal yang mutlak diperlukan sebelum
memperkenalkan dan mengimplementasikan strategi sehingga menjadi
lebih tepat guna dan tepat sasaran.
18

2. Perlunya mengembangkan sistem surveilans, monitoring dan evaluasi


yang memberdayakan peranan masyarakat lokal. Registrasi vital dan
penelusuran kematian ibu harus disiapkan sejak awal dan digunakan
sebagai alat advokasi. Sistem informasi kesehatan yang dibangun sejak
awal terbukti dapat membantu monitoring program melalui data yang
berkualitas (Andriani, 2019).

Sri Lanka dan Nepal berhasil menerapkan sistem ini. Kata kunci
yang bisa diambil dari pengalaman tersebut adalah pemberdayaan
masyarakat. Selain itu, di Malawi, daerah pedesaan di Afrika, juga berhasil
menurunkan AKI, mereka mengembangkan model community linked
maternal death review (CLMDR) to measure and prevent maternal
mortality. Model ini digunakan untuk menilai penyebab kematian ibu dan
melakukan poin tindakan intervensi untuk mencegah kematian ibu di masa
depan. CLMDR adalah pengembangan model dari MDR (maternal death
review) (Andriani, 2019).
Model MDR adalah model yang direkomendasikan oleh PBB untuk
mencatat kematian ibu, mengidentifikasi kematian ibu, mengumpulkan
dan menganalisis informasi yang berkaitan dengan kematian ibu,
menggunakan informasi tersebut untuk merumuskan rekomendasi tindakan
dan mengevaluasi hasil dari tindakan ini. Namun dalam implementasi
program di Malawi, model ini dianggap gagal sebab MDR hanya berbasis
fasilitas kesehatan dan tidak ada keterlibatan masyarakat. Maka Malawi
mengembangkan model tersebut dengan teknik pendekatan autopsi verbal
dan autopsi sosial yang menitik beratkan pada partisipasi masyarakat atau
keterlibatan masyarakat pada pelaksanaannya. Masyarakat akan dilibatkan
dilatih menjadi tenaga pekerja kesehatan masyarakat, kemampuan
masyarakat digerakkan dan diberdayakan untuk mencapai kesehatan yang
optimal, dan model ini berhasil diterapkan di Malawi (Andriani, 2019).
Berdasarkan uraian di atas bahwa upaya menurunkan angka
kematian ibu dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dengan
19

memanfaatkan potensi pengetahuan lokal berbasis budaya yang


berkembang sesuai dengan situasi lingkungannya. Masyarakat akan dilatih
menjadi tenaga pekerja kesehatan masyarakat dengan tujuan agar
masyarakat dapat membantu mengidentifikasi kematian ibu, membantu
mencari penyebab kematian ibu di masyarakat dan membantu memberikan
informasi pada ibu di masyarakat dan keluarganya tentang faktor risiko
kematian ibu, tanda bahaya kehamilan dan pelayanan selama kehamilan,
perencanaan kehamilan dan persalinan yang aman, sehingga dapat
menekan AKI di masa depan (Andriani, 2019).
Hal ini sejalan dengan upaya inovasi yang dilakukan oleh kelompok
kerja kesehatan ibu dan anak fakultas kedokteran UGM 2015 bahwa secara
umum upaya penurunan angka kematian ibu dan anak tidak mungkin
dilakukan dengan pendekatan nasional. Penurunan kematian ibu harus
dilakukan dengan pendekatan pada level kota/kabupaten, bahwa intervensi
yang dilakukan setiap daerah berbeda-beda tergantung masalah dan untuk
menemukan akar masalah harus dimulai dengan melakukan peninjauan
terhadap penyebab kematian ibu lalu kemudian menentukan model
intervensi yang tepat (Andriani, 2019).

Anda mungkin juga menyukai