Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH USHUL FIQH

“KEDUDUKAN QIYAS”

Dosen Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag

Disusun oleh :

1. Miftahuddin (2013002009)
2. Tri Hadi Susanto (2013002005)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

STIE MUHAMMADIYAH PEKALONGAN


2013/2014

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta
Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kedudukan Qiyas” yang mana pembahasannya meliputi : Pengertian Qiyas,
Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas, Penolak dan Penerima Qiyas, Rukun Qiyas
serta Macam-macam Qiyas.

Makalah ini dapat kami susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
nilai Mata Kuliah Ushul Fiqh pada salah satu Mata Kuliah Program Studi
Ekonomi Islam di STIE Muhammadiyah Pekalongan. Tak Luput makalah ini
dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Orangtua, Dosen
Pengampu dan Teman-teman seperjuangan, Dalam Penyusunan Makalah kami
mengambil referensi dari buku-buku Ushul Fiqh seperti Karya Muhammad Abu
Zahrah, Amir Syarifuddin, Rachmat Syafe’i, Drs. H. Moh Rifa’i serta 5% dari
Penelusuran Internet.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini


masih jauh dari kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan, Oleh karena itu
semua kritik dan saran yang bersifat membangun sangat Kami harapkan guna
perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penyusun berharap kiranya makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,

Pekalongan, Maret 2014

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii

BAB I .................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1

Latar Belakang................................................................................................................. 1

Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2

Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2

BAB II ................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3

Pengertian Qiyas ............................................................................................................. 3

Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas .................................................................................. 5

Penolak dan Penerima Qiyas ........................................................................................ 11

Rukun Qiyas .................................................................................................................. 13

Macam-Macam Qiyas ................................................................................................... 14

BAB III ................................................................................................................................ 17

PENUTUP ........................................................................................................................... 17

Kesimpulan.................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka................................................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang


mengatur segala aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu serta aturan
aturan dalam menjalankannya. Dan semua aturan serta batasan hukum yang
mengatur Umat Islam didasarkan pada Alqur’an dan Sunnah.
Banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, Karena di
dalam Alqur’an dan Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas
hukumnya. Oleh sebab itu diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat
menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan suatu Hukum.
Dulu ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang timbul mudah
diatasi karena dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah, tetapi dimasa
sekarang jikalau ada permasalahan yang timbul bahkan banyak sekali
permasalahan yang timbul yang tidak kita temukan dalam Alqur’an maupun
Sunnah. Di sini para Ulama’ melakukan pendekatan yang sah yaitu dengan Ijtihad
dan salah satu ijtihad itu adalah dengan Qiyas.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan
suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang
tidak dijelaskan secara jelas dalam Alqur’an dan Sunnah.
Dasar pemikiran Qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan
sebab. Hampir setiap Hukum di luar bidang ibadah dapat diketahui alasan rasional
ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Illat adalah patokan utama dalam
menetapkan hukum atau permasalahan, Objek masalah adalah sesuatu yang tidak
memiliki Nash. Atas dasar Keyakinan tersebut bahwa tidak ada yang luput dari
Hukum Allah, Maka setiap Muslim meyakini setiap peristiwa atau kasus yang
terjadi pasti ada hukumnya.

1
Dari paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang
masih belum memahami sepenuhnya mengenai Sumber Hukum Qiyas, Maka dari
itu kami akan membahas tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Qiyas ?
2. Bagaimana Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas ?
3. Siapa Penolak dan Penerima Qiyas ?
4. Apa Saja Rukun-Rukun Qiyas?
5. Apa Saja Macam-Macam Qiyas ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui secara detail mengenai Qiyas.
2. Untuk mengetahui Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas.
3. Untuk mengetahui Penolak dan Penerima Qiyas.
4. Untuk mengetahui Rukun-Rukun Qiyas.
5. Untuk Mengetahui Macam-Macam Qiyas.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan
dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga
membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
‘illat hukum.1

Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang pengertian qiyas


diantaranya yaitu: 2

1. Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa


Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan
hukum.

2. Qadhi Abu Bakar


Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.

1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336.
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm 144-147

3
3. Ibnu Subkhi dalam Jam’u al-Jawami’
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan
(mujtahid).

4. Abu Hasan al-Bashri


Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama
dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.

5. Al-Baidhawi
Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui
karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang
menetapkan.

6. Shaadru al-Syari’ah
Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada
kesatuan ‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan


ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum
islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat
implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Mengenai Qiyas ini Imam
Syafi’i mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat islam
wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang
pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu
adalah Qiyas.”
Jadi Hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash,
yakni Hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam Alqur’an dan Hadits, ada
kalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash.
Yang demikian itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.

4
Sebagaimana di terangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu
yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang yang ada nash hukumnya
karena ada persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan
ditetapkan berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan
sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik
persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka
konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.3

B. Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas


Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan
hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian
atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas
sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan
Madzab Syi’ah.
Ulama’ Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh
tetapi tidak ada satu nashpun dalam ayat Alqur’an yang menyatakan wajib
memakai qiyas.
Ulama’ Syi’ah Imamiyah dan An-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan
bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan
karena mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
Mereka mengambil dalil QS. Al Hujurat: 1

 
   
   
  
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336-337.

5
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “

Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah,
ialah al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:

a. Dalil Alqur’an
 Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara
menyamakan dua hal sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:
   
    
  

  
   
   

78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada
kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang
belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya


menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan
kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini
berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada
penciptaan pertama kali.

 Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa


ayat Alqur’an, seperti dalam surat Al-Hasyr (59), ayat 2 :

6
  
   
  
    
   
 
   
   
   
  
 
 
 
  
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan
tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah
tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan
tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar
membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang
terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan

7
perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan
memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan
bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan
perbandingan, persamaan atau qiyas.

 Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 59:

 
  
 
    
   
.  
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasul dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu.
Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul.”

Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu’an,


perintah menaati Rasul berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang
terdapat dalam Sunnah dan perintah menaati ulil amri berarti perintah
mengikuti hukum hasil ijma’ ulama. Sedangkan kata-kata akhir (Jika kamu
berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat
perbedaan. Ini memberi penjelasan bahwa pengembalian itu berlaku atas
perintah Allah dan Rasul. Tidak mungkin dikatakan bahwa kata “ruju’” itu
berarti mengembalikan kepada Alqur’an dan Sunnah, karena ruju’ kepada
qiyas itu berlaku setelah adanya perbedaan pendapat sedangkan perintah
mengamalkan Alqur’an dan Sunnah tanpa disangkutkan kepada adanya
perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat di antar umat islam tentang hukum

8
syara’ jarang terjadi pada sesuatu yang telah ditetapkan dengan nash Alqur’an
dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud
perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang tidak
terdapat dalam nash syara’.arti ayat itu adalah suruhan untuk menghubungkan
kepada Alqur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari
kesamaannya dengan yang ada pada nash syara’. Kesamaan itu hanya dapat
diketahui melalui penggunann nalar (ra’yu).

b. Dalil Sunnah
Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi
bagi penggunaan qiyas adalah:
 Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke
Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Nabi bertanya, “dengan cara apa
engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara?
“Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah”.
Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab
Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau
dalm Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya
akan menggunakan ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala
puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan Rasul Allah
dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.”

Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’,
tentang kekuatan qiyas sebagai dalil Syara’

 Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas


dengan membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan
atas perbandingan tersebut. Dalam Hadits dari Ibnu ‘Abbas menurut riwayat
An-Nasa’i Nabi bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berutang,
apakah engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si penanya (al-

9
Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih
patut untuk dibayar.”

Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya


bernazar untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan
haji. Ditanyakannya kepada Nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau
saya yang menghajikan bapak saya itu?” Keluarlah jawaban Nabi seperti
tersebut di atas.

Dalam hadits itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya


yang menyamakan utang kepada Allah, yaitu haji lebih patut untuk dibayar.
Dalil ini menurut jumhur ulama’ cukup kuat sebagai alasan penggunaan
qiyas.

c. Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan atsar sahabat dalam
penggunaan qiyas, adalah :

 Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus
menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata :
Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak
menemukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu
peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.
Pesan Umar dilanjutkan dengan :
Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah segala urusan waktu
itu.
Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada
waktu tidak menemukan jawaban dalam Alqur’am maupun Sunnah,
sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh titik

10
perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila
menemukan kesamaan.

 Para Sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas.


Contoh yang popular adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu bakar
menjadi khalifah pengganti Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar
qiyas, yaitu karena Abu bakar pernah ditunjuk Nabi menggantikan beliau
nmenjadi imam shalat jamaah sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan
untuk mengangkat abu bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata: “Nabi
telah menunjukkannya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita
tidak memilihnya untuk memimpin urusan dunia kita.”
Kedudukan abu bakar sebagai khalifah diqiyas-kan kepada kedudukannya
sebagai imam shalat jamaah. Ternyata argumen ini dipahami semua sahabat
(yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka sepakat untuk
mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.4

C. Penolak dan Penerima Qiyas

Berhubung qiyas merupakan aktivitas aqal, maka ada beberapa ulama’ yang
berselisih paham dengan ulama’ jumhur, yakni mereka tidak mempergunakan
qiyas. Di kalangan ahli fiqh dalam hal qiyas ini, terdapat tiga kelompok sebagai
berikut :
1. Kelompok Jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nash baik dalam Alqur’an, Sunnah, Pendapat sahabat
maupun ijma’ ulama. Hal itu dilakukan dengan tidak berlebihan dan
melampaui batas.
Mereka Menggunakan Dalil :
   
    
   

4
Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 177-187.

11
  
    
   
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada
kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang
belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya


menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan
kemampuan-Nya menciptakan tulang belulang pertama kali.
Kelompok Zahiriyah menolak argumentasi ini, mereka mengatakan bahwa
Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh
karena ia menciptakannya pertama kali.

2. Madzab Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, yang sama sekali tidak


mempergunakan qiyas. Madzab zhahiriyah tidak mengakui adanya ‘illat nash
dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan
‘illat. Mereka membuang semua itu jauh-jauh dan sebaliknya, mereka
menetapkan suatu hukum hanya dari teks nash semata. Dengan demikian
mereka mempersempit kandungan lafadz, tidak mau memperluas wawasan
untuk mengenali tujuan legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari
teks semata.
Mereka menggunakan dalil :

 
   

12
   
  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu
yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas
merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul,
dan karenanya dilarang

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas yang berusaha berbagai


hal karena persamaan ‘illat. Bahkan dalam kodisi dan masalah tertentu,
kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsish dari keumuman dalil
Alqur’an dan Sunnah.5

D. Rukun Qiyas
Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya
karena ‘illat serupa. Maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu :

1. Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan
tempat mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash
syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang
menjadi Dasar Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat
mengqiyaskan), Mahmul ‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih
(tempat menyerupakan).
2. Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis
(yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.

5
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 339-340

13
4. ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga
hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.6

E. Macam-Macam Qiyas
1. Qiyas Aulawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan antara
hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki
hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya:
berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau
kata-kata lain yang semakna dan menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai
dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17) : 23.

  


  

   
 
   
   
  
  
Artinya:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan, supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu

6
Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm 87-88.

14
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (lemah lembut)”.
(QS. Al-Isra’ : 23)

2. Qiyas Musawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama
antara hukum yang ada pada al-ashl maupun hukum yang ada pada al-far’u
(cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman
Allah Surat An-Nisa’ (4):10.
  
  
  
  
  
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka)".

Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan


atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang
seperti memakan harta anak yatim tersebut.
3. Qiyas Adna
Qiyas adna yaitu adanya hukum far’u lebih lemah bila dirujuk dengan
hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum
dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar
menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus
ini ‘illat hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan
yang bisa dimakan dan ditakar.7

7
Drs. H. Moch Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1978),
hlm 44-45

15
16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam
Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan


ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum
islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat
implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut.

Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan
hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian
atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas
sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan
Madzab Syi’ah.

17
Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.


Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra
Semarang.
Wikipedia. “Qiyas”. 16 Maret 2104. http://en.wikipedia.org/wiki/Qiyas.

18
Biografi Pemakalah

Nama : Miftahuddin
Tempat dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 5 April 1994.
Alamat : Wonoyoso Gg. 3 Buaran Pekalongan.
Motto : Belajarlah!, karena sesungguhnya Ilmu akan menjadi
penghias bagi Ahlinya.

Nama : Tri Hadi Susanto


Tempat dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 10 April 1988.
Alamat : Landung Sari Gg. 2 Pekalongan.
Motto : Tiada keyakinanlah yang membuat orang takut
menghadapi tantangan dan Saya percaya pada Saya
sendiri.

19

Anda mungkin juga menyukai