“KEDUDUKAN QIYAS”
Disusun oleh :
1. Miftahuddin (2013002009)
2. Tri Hadi Susanto (2013002005)
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta
Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kedudukan Qiyas” yang mana pembahasannya meliputi : Pengertian Qiyas,
Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas, Penolak dan Penerima Qiyas, Rukun Qiyas
serta Macam-macam Qiyas.
Makalah ini dapat kami susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
nilai Mata Kuliah Ushul Fiqh pada salah satu Mata Kuliah Program Studi
Ekonomi Islam di STIE Muhammadiyah Pekalongan. Tak Luput makalah ini
dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Orangtua, Dosen
Pengampu dan Teman-teman seperjuangan, Dalam Penyusunan Makalah kami
mengambil referensi dari buku-buku Ushul Fiqh seperti Karya Muhammad Abu
Zahrah, Amir Syarifuddin, Rachmat Syafe’i, Drs. H. Moh Rifa’i serta 5% dari
Penelusuran Internet.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
Latar Belakang................................................................................................................. 1
BAB II ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3
PENUTUP ........................................................................................................................... 17
Kesimpulan.................................................................................................................... 17
Daftar Pustaka................................................................................................................... 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Dari paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang
masih belum memahami sepenuhnya mengenai Sumber Hukum Qiyas, Maka dari
itu kami akan membahas tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Qiyas ?
2. Bagaimana Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas ?
3. Siapa Penolak dan Penerima Qiyas ?
4. Apa Saja Rukun-Rukun Qiyas?
5. Apa Saja Macam-Macam Qiyas ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui secara detail mengenai Qiyas.
2. Untuk mengetahui Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas.
3. Untuk mengetahui Penolak dan Penerima Qiyas.
4. Untuk mengetahui Rukun-Rukun Qiyas.
5. Untuk Mengetahui Macam-Macam Qiyas.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan
dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga
membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
‘illat hukum.1
1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336.
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm 144-147
3
3. Ibnu Subkhi dalam Jam’u al-Jawami’
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan
(mujtahid).
5. Al-Baidhawi
Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui
karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang
menetapkan.
6. Shaadru al-Syari’ah
Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada
kesatuan ‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata.
4
Sebagaimana di terangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu
yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang yang ada nash hukumnya
karena ada persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan
ditetapkan berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan
sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik
persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka
konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.3
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336-337.
5
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah,
ialah al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:
a. Dalil Alqur’an
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara
menyamakan dua hal sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada
kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang
belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.
6
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan
tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah
tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan
tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar
membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang
terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan
7
perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan
memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan
bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan
perbandingan, persamaan atau qiyas.
.
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasul dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu.
Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul.”
8
syara’ jarang terjadi pada sesuatu yang telah ditetapkan dengan nash Alqur’an
dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud
perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang tidak
terdapat dalam nash syara’.arti ayat itu adalah suruhan untuk menghubungkan
kepada Alqur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari
kesamaannya dengan yang ada pada nash syara’. Kesamaan itu hanya dapat
diketahui melalui penggunann nalar (ra’yu).
b. Dalil Sunnah
Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi
bagi penggunaan qiyas adalah:
Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke
Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Nabi bertanya, “dengan cara apa
engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara?
“Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah”.
Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab
Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau
dalm Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya
akan menggunakan ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala
puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan Rasul Allah
dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.”
Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’,
tentang kekuatan qiyas sebagai dalil Syara’
9
Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih
patut untuk dibayar.”
c. Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan atsar sahabat dalam
penggunaan qiyas, adalah :
Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus
menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata :
Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak
menemukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu
peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.
Pesan Umar dilanjutkan dengan :
Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah segala urusan waktu
itu.
Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada
waktu tidak menemukan jawaban dalam Alqur’am maupun Sunnah,
sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh titik
10
perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila
menemukan kesamaan.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas aqal, maka ada beberapa ulama’ yang
berselisih paham dengan ulama’ jumhur, yakni mereka tidak mempergunakan
qiyas. Di kalangan ahli fiqh dalam hal qiyas ini, terdapat tiga kelompok sebagai
berikut :
1. Kelompok Jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nash baik dalam Alqur’an, Sunnah, Pendapat sahabat
maupun ijma’ ulama. Hal itu dilakukan dengan tidak berlebihan dan
melampaui batas.
Mereka Menggunakan Dalil :
4
Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 177-187.
11
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada
kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang
belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.
12
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu
yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas
merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul,
dan karenanya dilarang
D. Rukun Qiyas
Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya
karena ‘illat serupa. Maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu :
1. Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan
tempat mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash
syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang
menjadi Dasar Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat
mengqiyaskan), Mahmul ‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih
(tempat menyerupakan).
2. Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis
(yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.
5
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 339-340
13
4. ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga
hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.6
E. Macam-Macam Qiyas
1. Qiyas Aulawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan antara
hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki
hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya:
berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau
kata-kata lain yang semakna dan menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai
dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17) : 23.
6
Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm 87-88.
14
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (lemah lembut)”.
(QS. Al-Isra’ : 23)
2. Qiyas Musawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama
antara hukum yang ada pada al-ashl maupun hukum yang ada pada al-far’u
(cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman
Allah Surat An-Nisa’ (4):10.
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka)".
7
Drs. H. Moch Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1978),
hlm 44-45
15
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam
Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash.
Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan
hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian
atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas
sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan
Madzab Syi’ah.
17
Daftar Pustaka
18
Biografi Pemakalah
Nama : Miftahuddin
Tempat dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 5 April 1994.
Alamat : Wonoyoso Gg. 3 Buaran Pekalongan.
Motto : Belajarlah!, karena sesungguhnya Ilmu akan menjadi
penghias bagi Ahlinya.
19