Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

POSTPARTUM SECTIO CAESAREA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Departemen


Keperawatan Maternitas

Dosen Pembimbing :
TIM

Di Susun Oleh

Dwi Sinta Lestari


JNR0200103

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
KUNINGAN
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
SECTIO CAESAREA

A. Konsep Penyakit
I. Definisi Penyakit
Sectio Caesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak
dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus
abdomen seorang ibu dan uterus untuk mengeluarkan satu bayi
atau lebih. Cara ini biasanya dilakukan ketika kelahiran melalui
vagina akan mengarah pada komplikasi-komplikasi kendati cara
ini semakin umum sebagai pengganti kelahiran normal (Asmadi,
2010). Sectio Caesarea merupakan suatu persalinan buatan,
yaitu janin dilahirkan melalui insisi pada dinding perut dan
dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta
bobot janin diatas 500 gram (Hartanti,, 2015).
II. Etiologi
Menurut (Dewi, 2013) operasi Sectio Caesarea dilakukan
atas indikasi sebagai berikut :
a. Indikasi yang berasal dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak,
Cefalo Pelvik Disproportion (disproporsi janin/ panggul), ada
sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk,
ketidakseimbangan ukuran kepala bayi dan panggul ibu,
keracunan kehamilan yang parah, komplikasi kehamilan
yaitu pre eklampsia dan eklampsia berat, atas permitaan,
kehamilan yang disertai penyakit (jantung, DM), gangguan
perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan
sebagainya).
b. Indikasi yang berasal dari janin
Fetal distress/ gawat janin, mal persentasi dan mal
posisi kedudukan janin seperti bayi yang terlalu besar
(giant baby), kelainan letak bayi seperti sungsang dan
lintang, kelainan tali pusat dengan pembukaan kecil seperti
prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat, adapun faktor plasenta
yaitu plasenta previa, solutio plasenta plasenta accreta, dan
vasa previa. Kegagalan persalinan vakum atau forseps
ekstraksi, dan bayi kembar (multiple pregnancy).
III. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan
yang menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal/spontan,
misalnya karena ketidakseimbangan ukuran kepala bayi dan
panggul ibu, keracunan kehamilan yang parah, pre eklampsia
dan eklampsia berat, kelainan letak bayi seperti sungsang dan
lintang, kemudian sebagian kasus mulut rahim tertutup plasenta
yang lebih dikenal dengan plasenta previa, bayi kembar,
kehamilan pada ibu yang berusia lanjut, persalinan yang
berkepanjangan, plasenta keluar dini, ketuban pecah dan bayi
belum keluar dalam 24 jam, kontraksi lemah dan sebagainya.
Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan
pembedahan yaitu Sectio Caesarea. (Manuaba, 2012).
IV. Penatalaksanaan Post OP
Menurut (Hartanti, 2015), ibu post sectio caesarea perlawatan
mendapatkan perawatan sebagai berikut :
a. Ruang pemulihan
Pasien dipantau dengan cermat jumlah perdarahan dari
vagina dan dilakukan palpasi fundus uteri untuk memastikan
bahwa uterus berkontraksi dengan kuat. Selain itu,
pemberian cairan intravena juga dibutuhkan karena 6 jam
pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan intravena harus cukup banyak dan mengandung
elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Wanita dengan berat
badan rata-rata dengan hematokrit kurang dari atau sama
dengan 30 dan volume darah serta cairan ekstraseluler yang
normal umumnya dapat mentoleransi kehilangan darah
sampai 2.000 ml.
b. Ruang perawatan
1. Monitor TTV
Tanda-tanda vital yang perlu di evaluasi adalah
tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan, jumlah urine,
jumlah perdarahan, dan status fundus uteri.
2. Pemberian obat-obatan
Analgesic yang diberikan paling banyak setiap 3 jam
untuk menghilangkan nyeri seperti keterolak, antrain,
tramadol, ceftriaxone, cefotaxime, dan sebagainya.
3. Terapi cairan
Pemberian cairan intravena pada umumnya 3 liter
cairan memadai untuk 24 jam pertama setelah dilakukan
tindakan namun apabila pengeluaran urine turun,
dibawah 30 ml/jam, wanita tersebut harus segera dinilai
kembali. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 1%,
garam fisiologi dan RL sevara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah
dapat diberikan transfuse darah sesuai
kebutuhan. Pemberian cairan infus biasanya dihentikan
setelah penderita flatus, lalu dianjurkan untuk
pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6-8 jam pasca operasi, berupa air putih
4. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus
Kateter umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jam
pasca operasi atau keesokan paginya setelah
pembedahan dan pemberian makanan padat bisa
diberikan setelah 8 jam, bila tidak ada komplikasi.
5. Ambulasi
Ambulasi dilakukan 6 jam pertama setelah operasi
harus tirah baring dan hanya bisa menggerakan lengan,
tangan, menggerakan ujung jari kaki dan memutar
pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot
betis serta menekuk dan menggeser kaki. Setelah 6 jam
pertama dapat dilakukan miring kanan dan kiri. Latihan
pernafasan dapat dilakukan sedini mungkin setelah ibu
sadar sambil tidur telentang. Hari kedua post operasi,
pasien dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya. Pasien
dapat diposisikan setengah duduk atau semi fowler.
Selanjutnya pasien dianjurkan untuk belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke tiga sampai hari ke lima pasca
operasi.
6. Perawatan luka
Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit, bila
balutan basah dan berdarah harus segera dibuka dan
diganti. Perawatan luka juga harus rutin dilakukan
dengan menggunakan prinsip steril untuk mencegah luka
terinfeksi.
7. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah diperlukan setiap pagi hari setelah
pembedahan, untuk mengukur Hematokrit apabila
terdapat kehilangan darah yang banyak pada saat
pembedahan atau terjadi oliguria atau tanda-tanda lain
yang mengisyaratkan hipovolemia.
8. Menyusui
Menyusui dapat dimulai pada hari pasca operasi Sectio
Caesarea
V. Komplikasi
Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang
kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri. Kemungkinan peristiwa ini
lebih banyak ditemukan sesudah Sectio Caesarea Klasik.
Persalinan Sectio Caesarea juga dapat menimbulkan masalah
keperawatan pada ibu diantaranya nyeri bekas luka operasi,
kelemahan, kerusakan integritas kulit, hambatan mobilitas fisik,
resiko infeksi, gangguan pola tidur.
Komplikasi yang mungkin muncul sectio caesarea adalah
komplikasi pembiusan, perdarahan pada pasca operasi, syok
perdarahan, obstruksi usus, gangguan pembekuan darah, dan
cedera organ abdomen, seperti usus, ureter, kandung kemih,
pembuluh darah. Pada section caesarea bisa juga terjadi infeksi
bisa juga sampai sepsis apalagi pada kasus dengan ketuban
pecah dini.dapat terjadi juga luka komplikasi pada bekas operasi
(Baston, 2012).
B. Pengkajian
I. Wawancara
Pengkajian keperawatan adalah suatu proses untuk
mengupulkan informasi dari pasien, membuat data dasar tentang
pasien, dan membuat catatan tentang respons kesehatan pasien.
Pengkajian yang komperehensif atau menyeluruh, sistematis,
yang logis akan mengarah dan mendukung pada identifikasi
masalah-masalah pasien. Masalah-masalah ini dengan
menggunakan data pengkajian sebagai dasar formulasi yang
dinyatakan sebagai diagnosa keperawatan (Candika, 2010).
yaitu terdiri dari:
a. Identitas atau biodata klien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku
bangsa, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal
masuk rumah sakit nomor register  , dan diagnosa
keperawatan.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan
1)      Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung,
hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau
abortus.
2)      Riwayat kesehatan sekarang :
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban
yang keluar pervaginan secara sepontan kemudian tidak di
ikuti tanda-tanda persalinan.
3)      Riwayat kesehatan keluarga:
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung,
DM, HT, TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin
penyakit tersebut diturunkan kepada klien.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Pemeriksaan kepala meliputi bentuk kepala, kebersihan
kepala, apakah ada benjolan atau lesi, dan biasanya pada ibu
post partum terdapat chloasma gravidarum.
2. Mata
Pemeriksaan mata meliputi kesimetrisan dan kelengkapan
mata, kelopak mata, konjungtiva anemis atau tidak,
ketajaman penglihatan. Biasanya ada keadaan dimana
konjungtiva anemis karena proses persalinan yang
mengalami perdarahan
3. Telinga
Pemeriksaan telinga meliputi bentuk, kesimetrisan, keadaan
lubang telinga, kebersihan, serta ketajaman telinga.
4. Leher
Pemeriksaan leher meliputi kelenjar tiroid, vena jugularis,
biasanya pada pasien post partum terjadi pembesaran
kelenjar tiroid karena adanya proses menerang yang salah
5. Dada
a. Jantung
Bunyi jantung I dan II regular atau ireguler, tunggal atau
tidak, intensitas kuat atau tidak, apakah ada bunyi
tambahan seperti murmur dan gallop.
b. Paru
Bunyi pernafasan vesikuler atau tidak, apakah ada suara
tambahan seperti ronchi dan wheezing. Pergerakan dada
simetris, pernafasan reguler, frekuensi nafas 20x/menit.
6. Payudara
Pemeriksaan meliputi inspeksi warna kemerahan atau
tidak, ada oedema atau tidak, dan pada hari ke-3 postpartum,
payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement
(bengkak karena peningkatan prolaktin pada hari I-III), keras
dan nyeri, adanya hiperpigmentasi areola mamae serta
penonjolan dari papila mamae. Ini menandai permukaan
sekresi air susu dan apabila aerola mamae dipijat, keluarlah
cairan kolostrum. Pada payudara yang tidak disusui,
engorgement (bengkak) akan berkurang dalam 2-3 hari,
puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak
menyusui akan mengecil pada 1-2 hari. Palpasi yang
dilakukan untuk menilai apakah adanya benjolan, serta
mengkaji adanya nyeri tekan (Doenges, 2010).
7. Abdomen
Pemeriksaan meliputi inspeksi untuk melihat apakah
luka bekas operasi ada tanda-tanda infeksi dan tanda
perdarahan, apakah terdapat striae dan linea apakah ada
terjadinya Diastasis Rectus Abdominis yaitu pemisahan otot
rectus abdominis lebih dari 2,5 cm pada tepat setinggi
umbilikus sebagai akibat pengaruh hormon terhadap linea
alba serta akibat perenggangan mekanis dinding abdomen,
cara pemeriksaannya dengan memasukkan kedua jari kita
yaitu jari telunjuk dan jari tengah ke bagian dari diafragma
dari perut ibu. Jika jari masuk dua jari berarti diastasis rectie
ibu normal. Jika lebih dari dua jari berarti abnormal.
Auskultasi dilakukan untuk mendengar peristaltik usus yang
normalnya 5-35 kali permenit, palpasi untuk mengetahui
kontraksi uterus baik atau tidak. Intensitas kontraksi uterus
meningkat segera setelah bayi lahir kemudian terjadi
respons uterus terhadap penurunan volume intra uterine
kelenjar hipofisis yang mengeluarkan hormone oksitosin,
berguna untuk memperkuat dan mengatur kontraksi
uterus dan mengkrompesi pembuluh darah. Pada 1-2 jam
pertama intensitas kontraksi uterus berkurang jumlahnya dan
menjadi tidak teratur karena pemberian oksitosin dan isapan
bayi (Desi, 2017).
8. Genetalia
Pemeriksaan genetalia untuk melihat apakah terdapat
hematoma, oedema, tanda-tanda infeksi, pemeriksaan pada
lokhea meliputi warna, bau, jumlah, dan konsistensinya.
9. Anus
Pada pemeriksaan anus apakah terdapat hemoroid atau tidak.
10.Integument
Pemeriksaan integumen meliputi warna, turgor, kelembapan,
suhu tubuh, tekstur, hiperpigmentasi. Penurunan melanin
umumnya setelah persalinan menyebabkan berkurangnya
hiperpigmentasi kulit.
11.Ekstremitas
Pada pemeriksaan kaki apakah ada: varises, oedema, reflek
patella, nyeri tekan atau panas pada beti. Adanya tanda
homan, caranya dengan meletakkan 1 tangan pada lutut ibu
dan di lakukan tekanan ringan agar lutut tetap lurus. Bila ibu
merasakan nyeri pada betis dengan tindakan tersebut, tanda
Homan (+).
III. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Sarwono, 2010) pemeriksaan diagnostic yaitu terdiri
dari:
a. Elektroensefalogram ( EEG )
b. Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
c. Pemindaian CT
d. Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
e. Magneti resonance imaging (MRI)
f. Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht
bila menggunakan pemindaian CT.
g. Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu
menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak
h. Uji laboratorium
i. Fungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler
j. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan
hematokrit
k. Panel elektrolit
l. Skrining toksik dari serum dan urin
m. AGD
n. Kadar kalsium darah dan kadar magnesium darah
IV. Analisa data
Data Penyebab Masalah
DS: ibu mengatakan nyeri Agen Nyeri akut
pada daerah bekas pencedera fisik
operasi terutama jika (luka post OP)
bergerak
DO: P: post SC
Q: terasa tersayat-sayat
R: nyeri dibagian
abdomen post op
S: skala nyeri 4
T: nyeri muncul ketika
pasien bergerak

TTV:
TD: 130/80
RR: 97
N: 113
S: 36,2

DS: ibu mengatakan aktivitas Immobilisasi, Intoleransi


sendiri dibantu oleh tirah baring, aktivitas
keluarga, ibu mengtakan nyeri luka post
nyeri jika bergerak OP
DO: Ibu berbaring di tempat
tidur

C. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. (0077) Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (luka post OP)
2. (0056) Intoleransi aktivitas b.d immobilisasi, tirah baring, nyeri
luka post OP
D. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Kep Tujuan Intervensi
1 (0077) Nyeri akut b.d agen (08066) Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (08238)
pencedera fisik (luka post keperawatan diharapkan tingkat nyeri 1. Observasi
OP) menurun dengan kriteria hasil : a. Identifikasi lokasi, karakteristik,
a. Kemampuan menuntaskan aktivitas durasi, frekuensi, kualitas,
meningkat intensitas nyeri
b. Keluhan nyeri menurun b. Identifikasi skala nyeri
c. Meringis menurun c. Indentifikasi respon nyeri non
d. Sikap protektif menurun verbal
e. Gelisah menurun d. Identifikasi faktor yang
f. Kesulitan tidur menurun memperberat dan meringankan
g. Anoreksia menurun nyeri
h. Muntah menurun e. Identifikasi pengetahuan dan
i. Mual menurun keyakinan tentang nyeri
j. Frekuensi nadi membaik f. Identifikasi pengaruh budaya

1
k. Pola napas membaik terhadap respon nyeri
l. Tekanan darah membaik g. Monitor keberhasilan terapi
m. Nafsu makan membaik komplementer yang sudah
n. Pola tidur membaik diberikan
(05042) setelah dilakukan tindakan h. Monitor efek samping penggunaan
keperawatan diharapkan mobilitas Fisik analgetik
Meningkat 2. Terapeutik
a. Pergerakan ekstremitas meningkat a. Berikan teknik nonfarmakologis
b. Kekuatan otot meningkat untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
c. ROM meningkat TENS, hipnosis, akupresur, terapi
d. Nyeri menurun musik, biofeedback, terapi pijat,
e. Kecemasan menurun aromaterapi, teknik imajinasi
f. Kaku sendi menurun terbimbing, kompres
g. Gerakan tidak terkoordinasi menurun hangat/dingin, terapi bermain)
h. Gerakan terbatas menurun b. Kontrol lingkungan yang
i. Kelemahan fisik menurun memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
(14130) Setelah dilakukan tindakan ruangan, pencahayaan, kebisingan)
keperaatan diharapkan penyembuhan luka c. Fasilitas istrirahat dan tidur

2
meningkat dengan kriteria hasil : d. Pertimbangkan jenis dan sumber
a. Penyatuan kulit meningkat nyeri dalam pemelihan strategi
b. Penyatuan tepi luka meningkat meredakan nyeri
c. Jaringan granulasi meningkat 3. Edukasi
d. Pembentukan jaringan parut 1. Jelaskan penyebab, preload, dan
e. Edema pada sisi luka menurun pemicu nyeri
f. Peradangan luka menurun 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
g. Nyeri menurun 3. Anjurkan memonitor nyeri secara
h. Drainase purulen menurun mandiri
i. Drainase serosa menurun 4. Anjurkan menggunakan analgetik
j. Drainase sanguinisis menurun secara tepat
k. Bau tidak sedap pada luka menurun infeksi 5. Ajarkan teknik nonfarmakologis
menurun untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
Pemberian analgesic (08243)
1. Observasi

3
a. Identifikasi karakteristik nyeri
(mis. Pencetus, pereda, kualitas,
lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
b. Identifikasi riwayat alaergi obat
c. Identifikasi kesesuaian jenis
analgesik (mis. Narkotika, non-
narkotika, NSAID) dengan tingkat
keparahan nyeri.
d. Monitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian analgesik
e. Monitor efektifitas analgesik
2. Terapeutik
a. Diskusikan jenis analgesik yang
disukai untuk mencapai analgesia
optimal, jika perlu
b. Pertimbangkan penggunaan infus
kontinu, atau bolus oploid untuk
mempertahankan kadar dalam

4
serum
c. Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk mengoptimalkan
respon pasien
d. Dokumentasikan respons terhadap
efek analgesik dan efek yang tidak
diinginkan
3. Edukasi
a. Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
4. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai indikasi

2 (0056) Intoleransi aktivitas (05047) Setelah dilakukan tindakan keerawatan (06171) Dukungan ambulasi
b.d immobilisasi, tirah diharaokan toleransi aktifitas meningkat 1. Observasi
baring, nyeri luka post OP a. Kemudahan melakukan aktivitas sehari- a. identifikasi adanya nyeri/keluhan
hari meningkat fisik

5
b. Kekuatan tubuh bagian atas dan bawah b. identifikasi toleransi fisik
meningkat melakukan ambulasi
c. Keluha lelah menurun c. monitor kondisi umum selama
d. Perasaan lemah menurun melakukan ambulasi
e. Dispnea saat beraktifitas menurun 2. Terapeutik
f. Tekanan darah membaik a. libatkan keluarga untuk membantu
g. Frekuensi napas membaik pasien dalam meningkatkan ambulasi
(05038) Setelah dilakukan tindakan b. fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
keperawatan diharapkan Ambulasi 3. Edukasi
meningkat dengan kriteria hasil: a. jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
a. Menompang berat badan meningkat anjurkan melakukan ambulasi dini
b. Berjalan dengan langkah yang efektif b. Anjurkan ambulasi yang harus
meningkat dilakukan.
c. Berjalan dengan langkah yang pelan
meningkat
d. Berjalan dengan langkah yang sedang
meningkat
e. Berjalan dengan langkah cepat meningkat

6
f. Nyeri saat berjalan menurun
g. Kaku pada persendian menurun
h. Keengganan berjalan menurun
i. Perasaan khawatir saat berjalan menurun

7
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2010) Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta. EGC


Baston & Hall. (2014). Midwifery Essentials : Persalinan, Volume 3.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Candika & Indarwati. (2010). Panduan Pintar Hamil dan Melahirkan. Jakarta :
WahyuMedia.
Desi M. (2017). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Sectio
Caesarea. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas ‘Aisyiyah : Yogyakarta
Dewi & Sunarsih. (2013). Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta : Salemba
Medika
Doenges, Marilynn, E., dkk. (2010). Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman
Untuk Perencanaan Keperawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta:EGC.
Hartanti S. (2015). Penatalaksanaan Post Op Sectio Caesarea pada ibu.
Published thesis for University Of Muhammadiyah Purwokerto
Manuaba. (2012). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan. Jakarta :EGC.
Maternity, Dainty, dkk. (2016). Asuhan Kebidanan Kehamilan.
Tanggerang : Binarupa Aksara.
Sarwono Prawiroharjo. 2010. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Penerbit Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Jakarta.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Penerbit Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Jakarta.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Penerbit Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai