Anda di halaman 1dari 11

Pengertian

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada saluran nafas yang


melibatkan banyak sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel mast, leukotrin dan lain-
lain. Inflamasi kronik ini berhubungan dengan hiperresponsif jalan nafas yang
menimbulkan episode berulang dari mengi (wheezing), sesak nafas, dada terasa
berat dan batuk terutama pada malam dan pagi dini hari. Kejadian ini biasanya
ditandai dengan obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel baik secara spontan
atau dengan pengobatan (Setiawan dan Ani., 2020)
Inflamasi yang berlangsung terus- menerus menyebabkan
hiperresponsivitas saluran napas. Saluran napas penderita asma sangat peka
terhadap berbagai rangsangan (bronchial hyper- reactivity), seperti polusi udara
(asap, debu, zat kimia), serbuk sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu,
tekanan jiwa, aroma menyengat (misalnya parfum), olahraga, dan obat (aspirin
dan penyekat beta). Luasnya inflamasi dapat memicu penyumbatan saluran napas
berupa bronkokonstriksi, edema, dan hipersekresi mukus yang bersifat reversibel
sehingga menimbulkan gejala klinis (Tenda, 2014). Asma sering diderita oleh
anak-anak, orang dewasa, maupun para lanjut usia. Penyakit ini memiliki
karakteristik serangan periodik yang stabil.

Epidemiologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala
pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala
pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun. Prevalensi asma menurun sebanding
dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang
menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan
dengan prevalensi asma pada anak. Sebagian besar anak yang terkena kadang-
kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah
ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya
lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman sehingga menjadikan
anak tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain,
serta fungsi dari hari ke hari.
Patofisiologi dan Patogenesis Asma
Keterbatasan aliran udara pada asma bersifat recurrent dan disebabkan oleh
berbagai perubahan dalam jalan napas, meliputi:
a. Bronkokonstriksi
Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan timbulnya gejala klinis asma
adalah penyempitan saluran napas yang diikuti gangguan aliran udara. Pada
asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi) terjadi
secara cepat, menyebabkan penyempitan saluran napas sebagai respons terhadap
paparan berbagai stimulus termasuk alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut
yang diinduksi oleh alergen ini merupakan hasil IgE-dependent release of
mediators dari
sel mast, yang meliputi histamin, tryptase, leukotrien, dan prostaglandin yang
secara langsung mengakibatkan kontraksi otot polos saluran napas.
b. Edema Jalan Napas
Saat penyakit asma menjadi lebih persisten dengan inflamasi yang lebih
progresif, akan diikuti oleh munculnya faktor lain yang lebih membatasi aliran
udara. Faktor faktor tersebut meliputi edema, inflamasi, hipersekresi mukus dan
pembentukan mucous plug, serta perubahan struktural termasuk hipertrofi dan
hiperplasia otot polos saluran napas.
c. Airway hyperresponsiveness
Mekanisme yang dapat memengaruhi airway hyperresponsiveness bersifat
multiple, diantaranya termasuk inflamasi, dysfunctional neuroregulation, dan
perubahan struktur, dimana inflamasi merupakan faktor utama dalam menentukan
tingkat airway hyperresponsiveness. Pengobatan yang diarahkan pada inflamasi
dapat mengurangi airway hyperresponsiveness serta memperbaiki tingkat kontrol
asma.
d. Airway remodeling
Keterbatasan aliran udara dapat bersifat partially reversible pada beberapa
penderita asma. Perubahan struktur permanen dapat terjadi di saluran napas,
terkait
hilangnya fungsi paru secara progresif yang tidak dapat dicegah sepenuhnya
dengan terapi yang ada. Airway remodeling melibatkan aktivasi banyak sel yang
menyebabkan perubahan permanen dalam jalan napas. Hal ini akan meningkatkan
obstruksi aliran udara, airway hyperresponsiveness dan dapat membuat pasien
kurang responsif terhadap terapi.
Biopsi bronkial dari pasien asma menunjukkan gambaran infiltrasi
eosinofil, sel mast serta sel T yang teraktivasi. Karakteristik perubahan struktural
mencakup penebalan membran sub-basal, fibrosis subepitel, hiperplasia dan
hipertrofi otot polos saluran napas, proliferasi dan dilatasi pembuluh darah, serta
hiperplasia dan hipersekresi kelenjar mukus. Hal ini menunjukkan bahwa
epithelium mengalami perlukaan secara kronis serta tidak terjadi proses repair
yang baik, terutama pada pasien yang menderita asma berat (Yudhawati dan
desak, 2017).

Faktor risiko asma


Faktor risiko asma dibagi menjadi dua, faktor risiko yang berhubungan
dengan terjadinya asma dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya
eksaserbasi atau serangan asma yang disebut faktor pencetus. Faktor risiko yang
mencetuskan terjadinya asma bronkial diantaranya asap rokok, tungau debu
rumah, polusi udara, perubahan cuaca, dan jenis makanan.

a. Asap rokok. Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu
sendiri maupun orangorang yang terkena asap rokok. seseorang penderita
asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami
sekitar 20% kerusakan fungsi paru. Pada anak-anak, asap rokok akan
memberikan efek lebih parah dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan
lebar saluran pernafasan anak lebih sempit, sehingga jumlah nafas anak
akan lebih cepat dari orang dewasa
b. Tungau debu rumah. Tungau debu rumah biasanya berada di karpet dan
jok kursi yang kotor, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak
dibersihkan, juga dari tumpukan koran, buku, pakaian yang kotor. Tungau
debu rumah yang menyerang penderita asma bronkial disebabkan oleh
masuknya suatu alergen ke dalam saluran napas seseorang sehingga
merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi.
c. Polusi udara. Polusi udara adalah suatu keadaan dimana udara
mengandung bahan kimia, partikel, organisme hidup lainnya yang
menyebabkan kerugian atau ketidaknyamanan pada manusia.
d. Kondisi cuaca. Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin,
tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik
yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai
dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana partikel tersebut
dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma dengan serangan sesak
napas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika
kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering
dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan.
e. Jenis makan. Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat
alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama
sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut
dan telur. Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu
pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai
pencetus bronkokontriksi pada anak (Khaidir dkk., 2019).
f. Jenis kelamin. Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5
tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan
pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering.
g. Riwayat Penyakit Keluarga. Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan
asma dibanding dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali
menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma,
terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah.

Tanda dan Gejala

Pada penderita asma akan timbul gejala seperti mengi terutama saat
ekspirasi. Gejala ini banyak ditemukan pada anak-anak. Selain itu, penderita asma
umumnya memiliki riwayat batuk yang intensitasnya meningkat pada malam hari,
sulit bernapas, hingga sesak napas yang memburuk pada pagi dan malam hari
hingga membangunkan pasien. Gejala-gejala tersebut timbul setelah terpapar
alergen, infeksi virus, polusi udara, atau aktivitas berat. Tidak lupa, riwayat
penyakit atopi pada keluarga memegang peranan besar. Dapat ditemui pula
riwayat eksim atau demam. Sampai saat ini belum ada uji yang tepat untuk
mendiagnosis asma selain melihat pola gejala dan reaksinya terhadap terapi.
Gejala asma umumnya mereda dengan pemberian obat antiasma (Tenda, 2014).

Tingkat gejala asma yang dialami oleh penderita asma telah diklasifikasikan
menjadi empat jenis yaitu:
1. intermiten merupakan jenis asma yang terjadi bulanan dengan gejala kurang
dari satu kali seminggu, tidak menimbulkan gejala di luar serangan dan
biasanya terjadi dalam waktu singkat.
2. Persisten ringan yang serangannya terjadi mingguan dengan gejala lebih dari
satu kali seminggu tetapi kurang dari satu kali sehari, yang dapat
mengganggu aktivitas dan tidur.
3. Persisten sedang dengan gejala yang muncul setiap hari dan membutuhkan
bronkodilator setiap hari.
4. Persisten berat yang terjadi secara kontinyu, gejala terus menerus, sering
kambuh dan aktivitas fisik terbatas (Juwita dan ine, 2019)

Diagnosis Asma
Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik
dan pemeriksaan tambahan.
1. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi,
sesak dada, kesulitan bernafas
2. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran
nafas, alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia,
infeksi dan alergen.
3. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada
saat inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih
suka posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara,
takikardia dan hiperinflasi torak
4. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau
bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan
diagnosis asma
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak
yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan.
Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih
lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus
dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau
dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting
dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui
keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga menggunakan lembar
catatan harian sebagai alternatif.

Pencegahan Asma
upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi 2 hal yaitu
a. Mencegah Sensititasi
Langkah – langkah dalam mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi
alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal)
atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Hingga kini
tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma selain
menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir. Adapun
hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons
nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.

b. Mencegah Eksaserbasi
Allergen indoor dan outdoor merupakan salah satu faktor yang dapat
menimbulkan eksaserbasi asma. Contoh alergen indoor seperti tungau debu
rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur. Sedangkan alergen outdoor seperti
polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Dokter keluarga dapat memberikan
edukasi kepada orang tua pasien maupun pengasuh agar dapat mengurangi
pajanan penderita asma anak dengan beberapa faktor seperti menghindarkan anak
dari asap rokok, lingkungan rumah dan sekolah yang bebas alergen, makanan,
aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta
keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor
lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal
lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan
aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya (Liansyah, 2014).
Tatalaksana Asma
Pengelolaan penyakit asma meliputi terapi nonfarmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis dengan menghindari faktor pencetus,
menjaga kebersihan lingkungan dan rutin kontrol ke dokter. Sedangkan terapi
farmakologis dengan obat pelega maupun pengontrol saluran nafas ada yang
disemprot dan diminum. Dijelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa
terapi nonfarmakologis lebih penting dan bermakna daripada terapi farmakologis.
Pasien diberitahu masih perlu memperbaiki pola hidupnya dan sering kontrol
asma ke Puskesmas sebulan sekali serta meminum obat dan kurangi aktivitas fisik
serta selalu sedia obat semprot pelega dirumah.
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu
antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit
serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, serta bronkodilator
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/ serangan
dekenal dengan pelega.5 Contoh antiinflamasi yaitu golongan steroid inhalasi
seperti flutikason propionat dan budesonid, golongan antileukotrin seperti
metilprednisolon, kortikosteroid sistemik seperti prednison, agonis beta-2 kerja
lama seperti formeterol, prokaterol. Obat pelega ada dari golongan agonis beta-2
kerja singkat seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, golongan antikolinergik
seperti ipratoprium bromide,golongan metilsantin seperti teofilin, aminofilin dan
lain-lain.
Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami asma adalah
menghilangkan gejala asma dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penatalaksanaan Asma Bertujuan untuk menghilangkan dan mengendalikan gejala
asma, agar kualitas hidup meningkat, mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan
dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin, mempertahankan aktivitas
normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya, Menghindari efek samping
obat, mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara Ireversibel, meminimalkan
kunjngan ke gawat darurat Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan
pasien adalah hal yang penting sebagai dasar penatalaksanaan (Nuari dkk., 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Juwita, L., Dan Ine, P. S., 2019, Pernafasan Buteyko Bermanfaat Dalam
Pengontrolan Asma, Real In Nursing Journal (Rnj), Vol. 2(1).

Khaidir, A., Usman, Dan Henni, K, H., 2019, Hubungan Antara Karakteristik
Penderita Dengan Derajat Asma Bronkial Di Rumah Sakit Umum Daerah
Andi Makkasau Kota Parepare, Jurnal Manusia Dan Kesehatan, Vol. 2(2).

Liansyah, T. M., 2014, Pendekatan Kedokteran Keluarga Dalam Penatalaksanaan


Terkini Serangan Asma Pada Anak, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Vol.
14(3)

Nuari, A., Tri, U. S., Dan Muhammad, M., 2018, Penatalaksanaan Asma Bronkial
Eksaserbasi Pada Pasien Perempuan Usia 46 Tahun Dengan Pendekatan
Kedokteran Keluarga Di Kecamatan Gedong Tataan, Majority, Vol. 7(3).

Setiawan, W. R., Dan Ani, S., 2020, Literatur Review: Faktor-Faktor Penyebab
Terjadinya Asma Yang Berulang, Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan,
Vol. 12(2).

Tenda, E. D., 2014, Bronchial Thermoplasty Sebagai Terapi Asma, Ina J Chest
Crit And Emerg Med, Vol. 1(4).

Yudhawati, R., Dan Desak, P, A. K., 2017, Imunopatogenesis Asma, Jurnal


Respirasi, Vol. 3(1).

Anda mungkin juga menyukai