A. Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis akut
dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah
hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada
Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkanoleh infeksi
Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis.
Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi
Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu
cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus
Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal
0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal
sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah
epigastrium.2
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan
tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah,
dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan
peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.
darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan
suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan
adanyadistensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan
pada anak-anak.6
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di
dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam
beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin
jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi
ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator
inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding
Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s.
Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik
biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum
terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis,
yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat
penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat
diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai
pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum
terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6
B. Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar
60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob,
dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga
lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa
terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon
dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.2 Flora
normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan
tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat
pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan
Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai
variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan non
perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah
untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal
harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan
atau penyakit lain dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis.
Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada
Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit
normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage
Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan
kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan
Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara
orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal,