Anda di halaman 1dari 6

2.

3 Etiologi dan Patofisiologi

A. Obstruksi

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan

penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis akut

dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah

hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada

pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyurisvermicularis.

Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkanoleh infeksi

Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,

Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat

diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan

cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis.

Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi

Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3

proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu

cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya

Appendicitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith

ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus

Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta

gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7


Gambar 4. Appendicitis (dengan fecalith) 8

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal

mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal

0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal

sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,

mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah

epigastrium.2

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan

bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi

tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan

tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah,

dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan

peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai

darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan

suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan

adanyadistensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya

pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik.1,2,6,7


Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan

gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan

kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya

pada anak-anak.6

Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang

dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di

dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam

beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,

dapat dipikirkan diagnosis lain.6

Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi

perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi

gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin

meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini

menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia

jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi

ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator

inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding

Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi

dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s.

Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral

sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik

biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum

terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis,

yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan

frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat

penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti

terjadi retensi urine.

Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.

Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh

pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup

peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada

pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat

menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi

karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang

melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih

tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat

diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6

Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai

pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum

terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6

B. Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar

60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob,

dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga

lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa
terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon

memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa

dan Appendicitis perforata.1,2,7

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih

dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.2 Flora

normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan

tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat

pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan

Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai

variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta 2

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob


Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan non

perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah

mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium

untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal

harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan
atau penyakit lain dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis.

Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada

Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit

normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage

rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi.2,6

C. Peranan lingkungan: diet dan hygiene.

Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan

kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan

kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma

Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara

orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt

mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal,

dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.

Anda mungkin juga menyukai