2.1 Definisi
Uremia merupakan suatu kondisi sindroma klinis yang disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, hormon, dan metabolisme tubuh yang terjadi dan
berkembang secara paralel akibat adanya penurunan atau gangguan fungsi gnjal. Pada penderita
dengan gangguan gagal ginjal kronis yang mencapai stadium akhir sering kali berkembang
menjadi sindroma uremik. Kondisi sindrom uremik ini dikatakan dialami oleh penderita apabila
kadar ureum dalam darah mencapai atau lebih dari 50 mg/dl.
Sindrom uremia merupakan suatu penyimpangan biokimia dalam tubuh yang pada
umumnya ditandai dengan kondisi azotemia, asidosis metabolik, hiperkalemia, pengaturan dan
pengendalian keseimbangan volume cairan yang buruk, hipokalsemia, anemia berat dan
hipertensi. Sindroma uremik merupakan kondisi dimana terjadi penurunan GFR kurang dari 10-
15 ml/menit.
2.2 Epidemilogi
Sindrom uremik terjadi seiring dengan jumlah penderita penyakit gangguan fungsi ginjal
seperti gagal ginjal baik akut maupun kronik. Jumlah pasien yang menderita penyakit sindrom
uremik hampir seimbang atau sama dengan kejadian penderita penyakit gagal ginjal, dimana
pasien yang mengalami gagal ginjal cenderung mengalami sindrom manifestasi klinis yang
dinamakan dengan sindrom uremik ini. menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan
bahwa pada tahun 2013 jumlah pasien dengan sindrom uremik mengalami peningkatan hingga
50 % dari tahun sebelumnya(Depkes, 2016).
Berdasarkan pusat data dan informasi rumah sakit seluruh indonesia mengatakan bahwa
jumlah penyakit ginjal kronik stadium akhir menjadi sindroma uremik diperkirakan sekitar 50
orang per satu juta penduduk, 60 % persennya menunjukkan penderita dengan usia dewasa dan
usia lanjut. Di Indonesia sendiri telah mencapai 350 per satu juta penduduk. Saat ini telah ada
70000 orang penderita dengan gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis.
2.3 Etiologi
Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerulus dan penurunan LFG
terhadap pengaturan cairan tubuh, keseimbangan asam basa, keseimbangan elektrolit, sistem
hematopoesisi dan hemodinamik, fungsi ekskresi dan fungsi metabolik endokrin. Sehingga
mnyebabkan munculnya beberapa gejala klinis secara bersamaan, disebut sebagai sindrom
uremia (Suwitra, 2006).
Penyebab dari uremia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu prarenal, renal dan post renal. Uremia
prerenal disebabkan oleh gagalnya mekanisme sebelum filtrasi glomerulus. Mekanisme tersebut
meliputi penurunan aliran darah ke ginjal (syok, dehidrasi dan kehilangan darah) dan
peningkatan katabolisme protein. Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal apabila fungsi ginjal
menurun dengan cepat yang dapat menyebabkan gngguan ekskresi urea sehingga urea akan
tertahan di dalam darah menyebabkan intoksikasi oleh urea dalam konsentrasi tinggi yang
disebut uremia. Sedangkan uremia postrenal terjadi oleh obstruksi saluran urinari dibawah ureter
(vesica urinaria atau urethra) yang dapat menghambat ekskresi urin. Obstruksi dapat berupa batu/
kristaluria, tumor serta peradangan.
2.5 Patofisiologi
Pada penyakit sindrom uremik ini diawali dengan adanya cedera sel-sel endotel ginjal
ataupun glomerulus yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri dn lain-lain, kerusakan jaringan
glomerulus itu sendiri, ataupun kerusakan dan gangguan fungsi saluran urin seperti uterer,
kandung kemih ataupun uretra. Kondisi tersebut akan berkembang secara paralel dengan
terjadinya fungsi ginjal atau bahkan mengalami gagal ginjal. Hilangnya fungsi ginjal tersebut
mengakibatkan terjadinya penurunan GFR terhadap pengaturan cairan tubuh, keseimbangan
asam basa, keseimbangan elektrolit dan juga fungsi metabolik. Kekacan fungsi pengaturan cairan
dan elektrolit inilah yang menyebabkan adanya zat atau elektrolit yang seharusnya tidak boleh
terdapat dalam darah menyebar keseluruh pembuluh darah, termasuk salah satunya urea yang
tertahan di dalam darah. Manifestasi ini dapat dikatakan sebagai sindrom uremik.
Sindrom uremik dapat menyebabkan intoksikasi oleh urea dalam konsentrasi tinggi. Hal ini
terjadi akibat gangguan biokimia dalam tubuh. Sindrom uremik dapat dengan mudah
mempelopori terjadinya perburukan kondisi tubuh yaitu mengalami perubahan keseimbangan
cairan akut, seperti diare, mual dan muntah, dehidrasi cepat, kelebihan beban sirkulasi, edema
serta komplikasi terjadinya gagal jantung kongestif (Brunner & Suddarth, 2005)
2. Pemeriksaan BUN
Urea adalah produk akhir metabolisme protein dan asam amino yang mengandung nitrogen.
Pada penurunan fungsi ginjal kadar nitrogen urea darah (BUN) meningkat. Sehingga dengan
demikian peningkatan BUN akan menjadi salah satu ukuran atau tanda adanya gangguan fungsi
ginjal dalam mengeliminasi elektrolit tersebut.
3. Kreatinin Serum
Konsentrasi kreatinin dalam plasma relatif tetap dari hari ke hari. Konsentrasi normalnya
sekita 0,7 per 100 ml darah. Kadar yang yang lebih besar dari nilai normal diatas
mengisyaratkan adanya ganggun fungsi ginjal. Peningkatan kadar kreatinin dua kali lipat dari
nilai normal mengnindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebasar 50%.
4. Urinalisis
Sampel dalam pememriksaan urin dilakukan untuk mengevaluasi adanya sel darah merah,
protein, glukosa, dan leukosit yang pada kondisi normal tidak terdapat dalam urin. Selain itu,
osmolalitas (berat jenis spesifik) dapat diukur dan harus menunjukkan besaran anatar 1,015
sampai dengan 1,025.
2.8 Penatalaksanaan
1. Tindakan konservatif
a. Pengaturan diet protein
Pembatasan asupan protein penting dalam pengobatan gagal ginjal kronik. Pembatasan
protein tidak hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin juga hasil metabolisme protein
toksik yang belum diketahui, tetapi juga mengurangi asupan kalium, fosfat dan produksi ion
hidrogen yang berasal dari protein. Gejala seperti mual, muntah, dan letih mungkin dapat
membaik.
b. Pengaturan diet kalium
Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tiggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan
hiperkalemia. Hiperkalemia merupakan masalah pada gagl ginjal lanjut sehingga asupan
kalium harus dikurangu. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari.
c. Pengaturan diet natrium dan cairan