Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh organisme


hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat secara
sintetik, dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam
kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme. Antibiotik awalnya diperoleh
dari hasil isolasi mikroorganisme, tetapi saat ini beberapa antibiotik telah
didapatkan dari tanaman tingkat tinggi atau binatang. Antibiotik berasal dari
sumber – sumber berikut, yaitu Actinomycetales (58,2%), jamur (18,1%), tanaman
tinggi (12,1%), Eubacteriales terutama Bacilli (7,7%), binatang (1,8%),
Pseudomonales (1,2%) dan ganggang atau lumut (0,9%) (Siswandono dan
Bambang, 2008).

2.1.1 Penggolongan antibiotik

Antibiotik dapat dikelompokkan berdasarkan spektrum aktivitasnya,


tempat kerjanya, dan berdasarkan struktur kimianya. Penggolongan antibiotik
berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi kelompok antibiotik β- laktam
(turunan penisilin, sefalosporin, dan β- laktam nonklasik), turunan amfenikol,
turunan tetrasiklin, turunan aminoglikosida, turunan makrolida, turunan
polipeptida, turunan linkosamida, turunan polien, turunan ansamisin, turunan
antrasiklin, fosfomisin, quinolon, golongan pirimidin, golongan sulfonamida dan
golongan lain–lainnya (Golan et al., 2008).

2.1.2 Toksisitas antibiotik

2.1.2.1 Golongan β-Laktam

β-Laktam golongan penisilin diketahui menyebabkan neurotoksik


spektrum luas. β-Laktam golongan sefalosporin telah dilaporkan juga memiliki
efek neurotoksisitas pada generasi pertamanya seperti contoh cefazolin, generasi
kedua seperti pada cefuroksim, generasi ketiga seperti ceftazidim dan generasi
keempat seperti pada cefepim. Dosis berlebihan pada penggunaan antibiotik

6
7

golongan ini juga menimbulkan efek toksis seperti gangguan pada fungsi ginjal
dengan menurunnya kreatinin dan gangguan pada sistem saraf. β-Laktam
golongan lainnya seperti yang diketahui pada golongan karbapenem juga didapati
kasus neurotoksisitas. Jumlah insiden neurotoksik yang dilaporkan sekitar 1%
sampai dengan 15 % pada pasien. Faktor risiko terkena neurotoksisitas ini adalah
usia lanjut, riwayat penyakit CNS, insufisiensi ginjal dan berat badan rendah
(Marie and Maganti, 2011).
Obat-obat golongan β-Laktam terbagi menjadi 3 sub golongan. Pertama
turunan penisilin terdiri dari penisilin G, penisilin V, fenetisilin, ampisilin,
amoksisilin, amoksisilin trihidrat, ampisilin trihidrat, natrium ampisilin,
sultamicillin, CO-amoksiklav, prokain penicillin (aquacilina), kloksasilin natrium,
piperacilin. Sefalosporin generasi satu terdiri dari sefaleksin, sefadroksil,
sefadrin, sefalotin, sefazolin; sefalosporin generasi dua terdiri dari sefaklor,
sefuroksim, sefamandol, sefmetazol, sefotetan; sefalosporin generasi tiga terdiri
dari seftibuten, seftizoksim, sefotaksim, sefotiam, sefetamet, seftriaksin,
sefpodoksim, sefiksim, sefdinir, seftazidim, sefprozil, sefsulodin,
moksalaktam/latamoxef, sefoperazon; sefalosporin generasi empat terdiri dari
sefepim dan sefpirom. Pada β-laktam non klasik dibagi menjadi lima golongan
yang pertama turunan asam amidinopenisilanat yaitu amdinosilin, bakmesilinam,
pivmesilinam; yang kedua turunan asam penisilanat yaitu sulbaktam,
pivsulbaktam, sultamisilin; yang ketiga golongan karbapenem yaitu
asparenomisin A, karpetimisin C, asam olivanat, imipenem, meropenem trihidrat,
ertapenem sodium; yang keempat golongan oksapenem yaitu asam klavulanat;
yang kelima golongan turunan β-laktam monosiklik yaitu norkarsidin A,
astreonam dan sulfasezin (Siswandono dan Bambang, 2008).

2.1.2.2 Golongan Amfenikol

Antibiotik golongan amfenikol memiliki manifestasi haemotoksik. Seperti


dalam penelitian kloramfenikol diketahui dapat mengakibatkan haemotoksik pada
manusia dengan menginduksi tiga efek. Pertama, sering terjadi retikulositopenia
dan anemia ringan, terkadang juga menunjukkan leukopenia (granulositopenia)
dan trombositopenia. Ini terbentuk dalam sumsum tulang belakang selama
8

pengobatan, hal ini berhubungan dengan dosis yang diberikan kecepatan


reversibel dalam terapi. Sumsum tulang belakang menunjukkan normal atau
penurunan jumlah sel eritroid, peningkatan myeloid: eritroid dan vakuola pada sel
prekursor. Kedua, haemotoksik umumnya adalah anemia aplastik. Perubahan ini
relatif jarang, tetapi dapat terlihat pada darah periferal menunjukkan pansitopenia.
Efek ini tidak berhubungan dengan dosis obat. Jumlah insiden haemotoksik yang
terjadi pada orang dewasa dilaporkan 2% sampai dengan 3% (Turton et al,
2002). Obat golongan amfenikol terdiri dari azidamfenikol, kloramfenikol,
setofenikol dan tiamfenikol (Siswandono dan Bambang, 2008).

2.1.2.3 Golongan Tetrasiklin

Tertrasiklin telah diketahui memiliki toksisitas pada saraf kranial dan


penyumbatan pada neuromuskuler. Selain itu beberapa kasus penggunaan
tetrasiklin pada hipertensi intrakranial jinak juga dikaitkan dengan induksi
neurotoksik (Song et al, 2014). Selain itu dilaporkan juga bahwa efek samping
primer dari tetrasiklin yaitu fototoksik, yang dapat meningkatkan sensitifitas
terhadap cahaya sehingga dapat menyebakan perubahan warna yang signifikan
(merah dan bintik-bintik cokelat). Efek ini dapat menjadi kerusakan permanen
dan mengakibatkan masalah jangka panjang yang lebih serius seperti kanker kulit.
Tetrasiklin juga diketahui dapat berasimilasi dalam gigi dan tulang pada individu
muda (Fuoco, 2015).
Tetrasiklin sebenarnya memiliki efek toksik yang relatif rendah sekitar 3%
kemungkinan terjadi. Namun apabila digunakan dalam jangka panjang akan dapat
mengarah ke berbagai perkembangan efek samping yang serius. Cara yang
mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan keamanan dalam menggunakan
antibiotik ini adalah dengan membuat obat kombinasi yang berisi antibiotik
tetrasiklin dan zat aktif biologi yang dapat memodifikasi sifat toksik dari
antibiotik golongan tetrasiklin (Thachenko et al., 2015).
Obat golongan tetrasiklin terdiri dari tetrasiklin, oksitetrasiklin,
klortetrasiklin, demeklosiklin HCl, doksisiklin, minosiklin, tetrasiklin HCl,
doksisiklin HCl, minosiklin HCl, dan tigesiklin (Golan et al., 2008).
9

2.1.2.4 Golongan Aminoglikosida

Aminoglikosida telah diketahui secara umum menyebabkan ototoksisitas,


(Marie and Maganti, 2011). Pada jurnal yang lain juga dijelaskan bahwa antibiotik
aminoglikosida menyebabkan efek samping toksik pada ginjal dan telinga bagian
dalam. Kerusakan pada ginjal bersifat sementara sedangkan kerusakan pada
telinga bagian dalam bersifat permanen. Nefrotoksik dan ototoksik ditemukan
pertama kali pada uji klinis streptomisin, streptomisin menyebabkan kerusakan
pada organ vestibular. Pada modifikasi streptomisin dihydrostreptomisin
mengakibat pergeseran kerusakan ototoksik dari organ vestibular ke koklea.
Gentamisin dan tobramisin didominasi vestibulotoksik, sedangkan neomisin,
kanamisin dan amikasin terutama menyebabkan kokleotoksik. Jumlah insiden
kokleotoksik dilaporkan 2% sampai 25% pada pasien (Huth et al., 2011).
Obat golongan aminoglikosida terdiri dari neomisin, gentamisin,
spektinomisin, amikasin, netilmisin, dibekasin, framisetin sulfat, tobramisin,
amikasin sulfat, gentamisin sulfat, netilmisin sulfat, kanamisin dan kanamisin
sulfat (Neal, 2012).

2.1.2.5 Golongan Makrolida

Makrolida secara luas digunakan dalam pengobatan infeksi pernapasan


dan telah dikaitkan dengan efek ototoksisitas dengan kerusakan pada koklea. Hal
ini dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan selain dari gangguan
pendengaran. Efek toksik dari makrolida ini juga mengakibatkan kerusakan
permanen pada sistem vestibulokoklear. Jumlah insiden ototoksik dilaporkan 2%
sampai 10% pada pasien (Etminan et al., 2016). Obat golongan makrolida terdiri
dari eritromisin, oleandomisin, spiramisin, roksitromisin, azitromisin,
klaritromisin dan axitromisin (Siswandono dan Bambang, 2008).

2.1.2.6 Golongan Polipetida

Turunan antibiotik polipeptida yaitu polimiksin, basitrasin, kolistin,


tirotrisin. Golongan antibiotik polipeptida diketahui memiliki efek neurotoksik
dan nefrotoksik. Hal ini telah dibuktikan pada beberapa jurnal penelitian yang
meneliti salah satu obat antibiotik golongan polipeptida yaitu polimiksin.
10

Polimiksin dilaporkan memberikan efek neurotoksik dan nefrotoksik setelah


pemberian secara parenteral. Insiden laporan terkait efek samping neurotoksik
bervariasi dari 7% sampai 27%. Ketoksikan antibiotik golongan peptida ini
bergantung pada dosis yang diberikan. Pada dosis rendah polimiksin dalam
bentuk sulfat yaitu polimiksin B lebih toksik, sedangkan dalam bentuk non sulfat
yaitu kolistin bersifat kurang beracun (Ouderkirk et al., 2003).

2.1.2.7 Golongan Linkosamida

Golongan Antibiotik likosamida terdiri dari linkomisin dan klindamisin.


Dalam jurnal-jurnal penelitian banyak dilaporkan bahwa klindamisin tidak
diketahui memiliki efek neurotoksik yang besar, meskipun ada beberapa kasus
yang terjadi namun itu sangatlah jarang dan efek itu dapat berhenti setelah
pemberhentian dari pengobatan klindamisin (Marie and Maganti, 2011). Pada
jurnal lain juga dikatakan bahwa penggunaan klindamisin sangat jarang
menimbulkan efek samping yang berat. Efek samping yang cenderung terjadi
yaitu diare, sedangkan poliartritis adalah efek samping jarang pada antibiotik ini.
(Alikhani and Salehifar, 2012). Selain itu turunan linkosamida juga dapat
menimbulkan efek samping “antibiotic-associated pseudomembranous colitis”
(AAPMC), dengan gejala-gejala diare, nyeri abdominal, demam, tinja berlendir
dan ada darah, yang kadang-kadang berakibat fatal. Insiden AAPMC terjadi pada
1-10% penderita. AAPMC disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh
Clostridium difficile yang telah tahan terhadap klindamisin (Siswandono dan
Bambang, 2008).

2.1.2.8 Golongan Polien

Polien merupakan antibiotik dengan 3 sampai 8 ikatan rangkap


terkonjugasi pada cincin makrolakton. Polien membentuk saluran transmembran
dengan cara berinteraksi dengan sterol dalam membran sel eukariotik,
menyebabkan kebocoran molekul kecil dan ion-ion serta kematian sel. Beberapa
antibiotik polien seperti ampoterisin B, kandisidin, nistatin dan pimarisin, efektif
sebagai agen antijamur, dan beberapa dari mereka juga memiliki aktivitas sebagai
antivirus, antibakteri atau menstimulasi imun. Antibiotik polien memiliki efek
11

samping berat pada pasien akibat afinitas sterol dalam tubuh manusia, terutama
toksik untuk ginjal. Jumlah insiden toksik pada ginjal dilaporkan 7% pada pasien.
Ampoterisin B dan nistatin tidak memiliki efek samping toksik dalam pengobatan
jika dibandingkan dengan kandisidin (Kerridge, 1979).

2.1.2.9 Golongan Ansamisin

Antibiotik golongan ansamisin adalah rifampisin. Rifampisin merupakan


suatu antbiotik yang banyak digunakan pada pasien tuberkulosis dalam bentuk
regimen. Rifampisin diketahui dapat mengakibatkan hepatotoksik (Bello and
Wudil, 2012). pada pemakaian jangka panjang dan dalam beberapa jurnal juga
dijelaskan banyak kasus yang menunjukkan bahwa rifampisin juga dapat
menginduksi gagal ginjal akut. Jumlah insiden hepatotoksik dilaporkan 30% pada
pasien (Rekha et al, 2015).

2.1.2.10 Golongan Antrasiklin

Antrasiklin merupakan golongan antibiotik yang digunakan pada


pengobatan kemoterapi kanker. Penelitian mengenai antibiotik antrasiklin
menunjukkan bahwa antibiotik antrasiklin dapat mengganggu fungsi ginjal. Data
terbaru menunjukkan bahwa daunorubisin (DNR) dan doksorubisin (DXR) dapat
mengakibatkan kerusakan ginjal dengan menunjukkan penurunan nilai glomerulus
akut oleh agen sitostatik dengan mengukur serum kreatinin dan kadar cystatin C
(cysC) (Bárdi et al, 2007). Pada penelitian yang lain telah dilaporkan juga bahwa
doksorubisin (DXR) memiliki efek samping yang paling ditakuti yaitu
kardiotoksik, efek ini diamati dalam dosis kumulatif. Jumlah insiden efek samping
yang terjadi sekitar 25% (Dogan et al, 2014). Obat-obat golongan antrasiklin
meliputi daunorubisin HCl, doksorubisin HCl, epirubisin dan plikamisin
(mitramisin) (Siswandono dan Bambang, 2008).

2.1.2.11 Golongan Quinolon

Manifestasi neurotoksik ditemukan pada penggunaan quinolon termasuk


kejang, kebingungan/ensefalopati, mioklonus dan psikosis. Pada penggunaan
ciprofloksasin menunjukkan status epileptikus atau NCSE didokumentasikan oleh
12

EEG ditandai dengan perubahan status mental atau kebingungan pada pasien.
Selain itu juga ditemukan kasus mioklonus pada penggunaan ciprofloksasin.
Turunan quinolon atau inhibitor gyrase mencakup levofloksasin, sparfloksasin,
grepafloksasin, trovafloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin dan obat yang
paling sering terlibat menyebabkan efek samping neurotoksik diantara quinolon.
Pengobatan menggunakan quinolon juga mengakibatkan manifestasi
ekstrapiramidal seperti gangguan cara berjalan, dysarthria dan gerakan
choreiform. Variabilitas dalam potensi quinolon mengikat reseptor GABA-A
dapat menjelaskan variabilitas dalam efek neurotoksik (Marie and Maganti,
2011). Pada jurnal yang lain juga dijelaskan bahwa gangguan pada CNS
merupakan efek samping kedua yang paling umum ditimbulkan oleh quinolon.
Insiden laporan ini bervariasi dari 1% - 3,3%. Gejala paling sering dilaporkan
termasuk sakit kepala, pusing dan mengantuk, ini biasanya terjadi pada hari
pertama dan akan selesai setelah penghentian terapi obat quinolon (Kamath,
2013).

2.1.2.12 Golongan Fosfomisin

Fosfomisin adalah antibiotik spektrum luas digunakan untuk pengobatan


infeksi saluran kemih tanpa komplikasi. Fosfomisin dikaitkan dengan rendahnya
tingkat serum enzim sementara selama terapi dan dengan kasus klinis cedera hati
akut atau hepatotoksik yang jarang terjadi sekitar 1% dengan penyakit kuning
(Schooneveld, 2011).

2.1.2.13 Golongan Pirimidin

Trimetoprim merupakan antibiotik golongan pirimidin yang


penggunaannya sering dikombinasikan dengan sulfametoksazole. Sehingga
banyak penelitian yang meneliti kombinasi trimetoprim-sulfametoksazole
daripada meneliti trimetoprim sendiri. Trimetoprim/ sulfamethoxazole (TMP-
SMX) telah dilaporkan terkait dengan efek samping hematologi meskipun jarang
sekitar 3% kejadian (Marie and Maganti, 2011). Selain itu pada penelitian yang
lain juga dilaporkan bahwa Trimetoprim/ sulfamethoxazole diketahui juga
menyebabkan toksik pada ginjal (Fraser et al., 2012).
13

2.1.2.14 Golongan Sulfonamida

Sulfonamida memiliki efek samping merugikan yang serius yaitu reaksi


toksisitas. Banyak jurnal yang telah melaporkan efek toksik yang ditimbulkan dari
sulfonamida ini. Beberapa efek merugikan yang perlu diperhatikan pada
sulfonamida ini adalah mual dan muntah, pusing dan gangguan psikis, perifer
neuritis dari pemberian secara intramuskular dan hematuria dan kemungkinan
kerusakan pada tubulus ginjal yang muncul akibat terapi secara intravena dengan
natrium garam dari senyawa sulfonamida. Selain itu juga mengakibatkan luka
pada kardiovaskular dan respiratori, luka pada sistem hemopoetik, luka pada
saluran kemih, menyebabkan ruam-ruam pada kulit serta photosensitifitas.
Kemungkinan terjadinya efek samping tersebut sekitar 1% sampai 3,5% (Lynn
and Marysville, 1949). Referensi lain yang mendukung juga menyatakan bahwa
sulfonamide memiliki efek seperti Stevens-Johnson syndrome, anemia aplastik,
gagal hati, gangguan gastrointestinal dan rash dengan persen kemungkinan sekitar
2,5% (Golan et al., 2008).

2.1.2.15 Golongan Lain-lain

Trimetoprim/ sulfamethoxazole (TMP-SMX) telah dilaporkan terkait


dengan efek samping hematologi meskipun jarang (sekitar 1%). Vankomisin
dilaporkan memiliki efek neurotoksik lokal, efek ini terjadi bila digunakan dalam
pengobatan ventrikuritis (Fraser et al., 2012). Metronidazole memiliki toksisitas
pada serebral dengan menifestasi klinis berbagai tingkat ekstremitas dan gerakan
ataksia dan dysarthria. Neurotoksisitas pada metronidazole terlihat setelah
penggunaan jangka panjang dari metronidazole dengan gejala klinis akan berhenti
pada waktu 3-7 hari dari pemberhentian obat. Jumlah insiden kejadian dilaporkan
3% sampai 15% pada pasien (Marie and Maganti, 2011). Sedangkan pada
nifuroksazid telah diketahui memiliki manifestasi sitotoksik (12%) (Fernandes et
al., 2012). Linezolid diketahui memiliki toksisitas yaitu toksisitas pada
sumsumtulang belakang berupa trombositopeni dan anemia sel darah merah
(5,7%) (Patel et al., 2012).
14

2.2 Hubungan Obat dengan Reseptor

Interaksi obat-reseptor dapat membentuk kompleks obat-reseptor yang


merangsang timbulnya respons biologis, baik respons agonis maupun antagonis.
Teori interaksi obat-reseptor dapat menjawab kenapa ciprofloxacin dapat efektif
membunuh bakteri tetapi juga memiliki efek samping yang bahaya. Pertanyaan
tersebut dapat diketahui dengan melihat interaksi obat-reseptor dan juga
mempertimbangkan dari segi fisiologi. Obat secara teori dapat mengikat semua
sasaran target, tetapi hanya memberikan efek terapi ketika berinteraksi secara
selektif dengan molekul target yang memainkan peranan penting dalam fungsi
fisiologis. Obat selain dapat memberikan efek terapeutik, dalam beberapa kasus
juga dapat memberikan efek yang tidak diinginkan. Hal ini dikarenakan obat juga
berikatan dengan reseptor lain yang mirip dengan dengan reseptornya, sehingga
menimbulkan efek yang tidak diinginkan (Golan et al., 2008).
Secara umum, obat merupakan suatu molekul yang berinteraksi dengan
komponen molekul tertentu untuk menyebabkan perubahan biokimia dan
fisiologis dalam organisme itu. Sedangkan reseptor obat adalah suatu
makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus fungsional atau atom-atom
terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik, dapat berinteraksi secara
reversibel dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional (farmakofor)
spesifik, menghasilkan respons biologis yang spesifik pula. Reseptor tidak hanya
memiliki kemampuan untuk mengenali satu ligan, tetapi juga dapat
menggabungkan atau mentransduksi ikatan ini sehingga tercipta suatu respons
perubahan struktur atau efek biokimiawi. Interaksi obat-reseptor terjadi melalui
dua tahap yaitu :
a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik, interaksi ini memerlukan
afinitas.
b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul
protein sehingga timbul respons biologis, interaksi obat-reseptor ini
memerlukan efikasi (aktivasi intriksik) yaitu kemampuan obat untuk
mengubah bentuk konformasi makromolekul protein sehingga dapat
menimbulkan respons biologis (Siswandono dan Bambang, 2008).
15

Interaksi reseptor dengan ligan mencakup pembentukan ikatan kimia;


paling sering adalah ikatan elektrostatik dan hidrogen; dan juga interaksi lemah
yang melibatkan gaya van der waals. Ikatan-ikatan tersebut penting untuk
menentukan selektivitas reseptor karena kekuatan ikatan-ikatan non-kovalen ini
berbanding terbalik dengan jarak antara atom yang berinteraksi. Oleh sebab itu,
kesuksesan ikatan suatu obat membutuhkan kesesuaian yang benar-benar tepat
antara atom-atom ligan dengan atom-atom reseptor komplementer. Ikatan tersebut
biasanya bersifat reversibel, kecuali sejumlah kecil obat (misalnya, penghambat
reseptor-α nonselektif phenoxybenzamine dan penghambat asetilkolinesterase
dalam kelas organofosfat) yang berikatan secara kovalen dengan target mereka.
Ukuran, bentuk, dan distribusi muatan molekul obat menentukan lokasi
pengikatan dari sedemikian banyak lokasi dalam sel dan jaringan pasien yang
dapat berinteraksi dengan ligan tersebut. Perumpamaan “ kunci dan gembok”
merupakan konsep yang bermanfaat dalam memahami interaksi reseptor dengan
ligan. Ukuran ligan yang tepat dan sesuai menggambarkan karakteristik “kunci”,
sedangkan lubang “gembok” mencerminkan pengaktifan reseptor. Interaksi ligan
dengan reseptornya sehingga menghasilkan spesifitas yang tinggi. Model interaksi
yang diinduksi sesuai telah menggantikan konsep kunci-gembok sebagai model
yang lebih terpilih dalam menjelaskan interaksi reseptor dan ligan. Ketika terdapat
ligan, reseptor mengalami perubahan struktur untuk berikatan dengan ligan.
Perubahan struktur reseptor yang disebabkan oleh pengikatan dengan agonis
mengaktifkan reseptor tersebut, yang mengakibatkan efek farmakologis. Model
ini menunjukkan bahwa reseptor bersifat fleksibel, tidak kaku, seperti yang
diterangkan model kunci dan gembok (Harvey dan Champe, 2009).

2.3 Gugus Karsinogen, Mutagen dan Mekanismenya

Gugus karsinogen merupakan suatu gugus yang ketika berikatan dengan


reseptor dalam tubuh dapat menyebabkan kanker atau meningkatkan insiden.
Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang
tidak terkendali dan dapat bermigrasi serta menyebar ke seluruh tubuh.
Sedangkan gugus mutagen merupakan suatu gugus yang ketika berikatan dengan
reseptor dalam tubuh dapat menyebabkan mutasi sel yang berarti menyebabkan
16

perubahan permanen dalam jumlah atau struktur bahan genetik dalam sel (Golan
et al., 2008).
Karsinogen dan mutagen merupakan suatu zat yang berbahaya dalam tubuh.
Mekanisme kerja karsinogenesis dan mutagenesis merupakan suatu proses dan
hubungan yang menjadi satu yaitu menginduksi kanker dengan melibatkan mutasi
(disebabkan oleh zat genotoksik) dan salah satu yang menginduksi atau
mempromosikan dengan cara yang lain (disebabkan oleh zat non-genotoksik).
Agen genotoksik atau metabolitnya menginduksi perubahan langsung dalam
materi genetik (DNA) sedangkan agen non-genotoksik dianggap terlibat dalam
jenis lain dari mekanismenya. Misalnya bertindak sebagai promotor tumor. Zat
genotoksik dan non-genotoksik dapat berinteraksi di berbagai tahap
karsinogenisitas. Tubuh biasanya diprogram (oleh informasi genetik yang
dikodekan) untuk mengontrol pertumbuhan sel dalam rangka untuk memastikan
pembangunan, fungsi dan perbaikan jaringan. Berbagai faktor (termasuk paparan
CMRS) dapat mengganggu mekanisme ini dan mengubah sel normal menjadi
yang ganas. Mereka cenderung untuk berkembangbiak cepat dan menyerang
jaringan tetangga atau memasuki aliran darah atau sistem limfatik dan tersebar di
bagian yang jauh dari tubuh (metastasis). Mutagen dapat merusak materi genetik
dari sel-sel (DNA dan / atau kromosom). Mutagen bersifat perubahan mutasi
secara permanen. Banyak mutasi terjadi dalam seumur hidup. Banyak dari mereka
yang netral, tetapi beberapa negatif dapat mempengaruhi sel-sel dimana mereka
terjadi. Ketika mutasi terjadi pada sel germinal (sel reproduksi laki-laki atau
perempuan) perubahan tersebut akan diwariskan ke generasi berikutnya.
Mutagenitas sel germinal dapat terjadi selama beberapa generasi dan
menyebabkan masalah seperti berkurangnya fertilitas, malformasi, penyakit
genetik, kematian embrio atau perubahan fenotip yang ditentukan secara genetik.
Karena mekanisme kerja mutagen pada sel germinal cenderung memiliki efek
karsinogenik. Mutasi yang terjadi pada sel-sel somatik (sel non-reproduktif) dapat
meningkatkan kemungkinan kanker, tetapi mutasi somatik tidak diteruskan ke
generasi berikutnya. Karsinogen non-genotoksik berpartisipasi dalam proses
karsinogenesis oleh mekanisme tidak langsung berhubungan dengan materi
genetik. Mereka telah ditunjukkan untuk bertindak sebagai promotor tumor,
17

pengubah endokrin, penekan imun atau pemicu toksisitas spesifik jaringan.


Beberapa penelitian menganggap bahwa karsinogen non-genotoksik mewakili
sekitar 12% dari kelompok IARC 1 dan 2 (A,B). Karsinogen non-genotoksik
dapat diperlakukan sebagai racun ambang batas. No Observed Adverse Effect
Levels (NOAEL) atau Lowest Observed Adverse Effect Levels (LOAEL) dan
faktor ketidakpastian dapat digunakan untuk mengatur batas paparan. Komite
ilmiah untuk batas paparan (SCOEL) merekomendasikan empat pendekatan
dalam menetapkan OEL (Occupational Exposure Limits) untuk karsinogen,
berdasarkan mekanisme kerjanya dan studi toksikologi (Raluca et al., 2016).

Gambar 1Gambar 2.1 Mekanisme karsinogen genotoksik dan non-genotoksik (Luch,


2005)

2.4 Uji Toksisitas

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan
uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan dosis penggunaan
yang aman pada manusia. Selama ini model uji toksisitas yang sering digunakan
adalah metode in vivo dan in vitro, sedangkan untuk uji toksisitas metode in silico
masih jarang digunakan (BPOM, 2014).
18

2.4.1 In silico

Menurut IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) in


silico merupakan disiplin ilmu yang menggunakan metode matematika untuk
menghitung sifat molekular atau untuk menstimulasi kelakuan sistem molekular
(Waterbeemd et al., 1997). Metode kimia komputasi atau disebut dengan in silico
memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan metode in vivo dan in vitro.
United States Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan upaya
untuk mengembangkan teknologi yang lebih handal dan efisien dalam
menentukan keamanan dan kemanjuran dari produk medis baru, yaitu dapat
menggantikan pengujian hewan dengan reaksi pada tingkat gen atau protein.
Ruang lingkup yang jauh lebih besar menggunakan pemodelan komputer (kimia
komputasi) untuk prediksi toksikologi. FDA membuktikan bahwa penggunaan
teknologi in silico dapat mengurangi biaya keseluruhan dari pengembangan obat
sebanyak 50 % (WHO, 2006).
Sebagian besar metode in silico digunakan sama dengan pada data in vivo
dan in vitro untuk pemodelan yang akurat dan validasi dari berbagai macam
aplikasi dari desain ligan dan optimasi untuk karakterisasi mendasar sifat
farmakologi dari molekul seperti absorbsi, distribusi,metabolisme, ekskresi dan
toksisitas (Ekins et al., 2007). Keragaman model matematika dan biofisika yang
dikembangkan di bidang ini menyerupai beranekaragam masalah unik pada
farmakologi (Noori and Spanagel, 2013).

r 2Gambar 2.2 Skematis untuk in silico farmakologi (Ekins et al., 2007)


19

Beberapa keuntungan dari metode in silico farmakologi secara umum


adalah pengurangan jumlah pembuatan dan pengujian molekul melalui pencarian
database untuk menemukan inhibitor atau substrat. Peningkatan kecepatan
eksperimen dan penurunan penggunaan hewan dan reagen. Namun juga harus
mempertimbangkan beberapa optimasi pada prediksi menggunakan metode in
silico farmakologi, mungkin dari segi kepentingan atau kepercayaan pada model
atau data yang dihasilkan serta ukuran kumpulan data dan keragaman. Demikian
pula, juga harus mempertimbangkan kerugian pada metode in silico farmakologi
seperti fleksibilitas protein, konformasi molekul dan hal-hal yang dapat
menghambat keakuratan dalam prediksi. Jadi kelemahan yang banyak dibahas
pada in silico adalah pada penerapan model (Ekins et al., 2007).

2.4.2 In vitro

In vitro merupakan suatu uji yang mengacu pada teknik melakukan prosedur
yang diberikan dalam lingkungan yang terkendali di luar organisme hidup.
Banyak percobaan dalam bidang biologi seluler dilakukan di luar organisme atau
sel. Salah satu kelemahan eksperimen in vitro adalah gagal dalam meniru kondisi
selular yang tepat dari sutu organisme, khususnya mikroorganisme (Eisenbrand,
2002).

2.4.3 In vivo

In vivo merupakan suatu eksperimen yang dilakukan pada organisme


hidup. Penelitian pada hewan dan klinikal trial merupakan dua bentuk dari
penelitian In vivo. In vivo dalam pengujiannya lebih dibandingkan in vitro karena
lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup
(Fielden and Kolaja, 2008).

2.5 Perangkat lunak

2.3.1 Perangkat Lunak ChemDraw

ChemDraw merupakan suatu aplikasi yang dapat menggambarkan struktur


senyawa 2D/3D yang dikembangkan oleh perusahaan kimia Camridgesoft.
ChemDraw bersama dengan Chem3D dan ChemFinder merupakan bagian dari
20

ChemOffice suite program dan tersedia untuk Macintosh and Microsoft.


ChemDraw memiliki banyak fungsi, diantaranya membuat nama dan struktur
suatu senyawa, membuat struktur stereo kimia dengan benar dari nama kimia,
menghitung rumus molekul dan berat molekul, dan mendapatkan nama IUPAC
dengan akurat dari struktur. Selain itu, ChemDraw dilengkapi dengan peringatan
jika terjadi kesalahan dalam pembuatan struktur kimia. Peringatan tersebut
biasanya merah dan mengelilingi bagian yang salah (ChemDraw, 2013).

2.3.2. Perangkat Lunak Toxtree

Selama ini uji toksisitas lebih banyak menggunakan metode in vivo dan in
vitro. Kedua metode tersebut memiliki keterbatasan yaitu waktu yang lama, dana
yang cukup besar, dibutuhkan ketersediaan laboratorium yang memadai serta
adanya masalah tentang etika dalam penggunaan hewan sebagai bahan uji
(Antoniu et al., 2009). Solusi dalam mengatasi permasalah itu yakni
digunakannya software Toxtree. Toxtree merupakan software open source yang
mampu memperkirakan toksikologi dari suatu molekul secara cepat dan murah.
Toxtree merupakan perangkat lunak terbaru yang dikembangkan oleh
ideaconsult Ltd (Sofia, Bulgaria) di bawah persyaratan kontrak JRC. Perangkat
lunak ini tersedia secara bebas sebagai layanan untuk para peneliti ilmiah dan
siapa pun yang berkepentingan dengan penerapan metode estimasi berbasis
komputer dalam penelitian toksisitas kimia (Toxtree, 2015).
Toxtree dapat digunakan untuk menentukan toksisitas senyawa melalui
berbagai metode, metode yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi
Carcinogenicity, dan In Vitro Mutagenicity, dengan kategori tiap metode
ditunjukkan pada tabel II.1.

Tabel ITabel II.1 Metode dan Kategori Toxtree

No Metode Kategori
1. Carcinogenicity 1. Peringatan struktural terhadap karsinogenisitas
(genotox and genotoksik
nongenotox) 2. Peringatan struktural terhadap karsinogenisitas
and non genotoksik
mutagenicity 3. Potensial terjadi mutagen S.Typhimurium
rulebase by ISS TA100
21

No Metode Kategori
4. Tidak mungkin mutagen S.Typhimurium TA
100 berdasarkan QSAR
5. Untuk melakukan kajian yang lebih baik
perhitungan QSAR dapat diterapkan
6. Tidak mungkin menjadi karsinogen
berdasarkan QSAR
7. Untuk melakukan kajian yang lebih baik
perhitungan QSAR dapat diterapkan
8. Negatif terhadap karsinogenik genotoksik
9. Negatif terhadap karsinogenik non genotoksik
Kesalahan saat menerapkan decision tree
2. In vitro 1. Peringatan struktural terhadap mutagenisitas
mutagenicity 2. Tidak terdapat peringatan terhadap
(Ames test) S.Typhimurium mutagenisitas
alerts by ISS
3. Potensial terjadi mutagen S.Typhimurium
TA100 berdasarkan QSAR
4. Kemungkinan terjadi mutagen S.Typhimurium
TA100
5. Untuk melakukan kajian yang lebih baik
perhitungan QSAR dapat diterapkan
6. Kesalahan saat menerapkan pohon keputusan

Toxtree memprediksi suatu senyawa dengan menggunakan nama IUPAC,


SMILES (The Simpilified Molecular Input Line Entry System). SMILES adalah
sistem notasi kimia yang digunakan untuk mewakili struktur molekul dengan
simbol string linier. Notasi SMILES terdiri dari atom, ikatan, tanda kurung, dan
angka (Weininger, 1988). Data SMILE dapat diperoleh dari PubChem dan
ChemDraw. Para peneliti melaporkan tingkat akurasi prediksi Toxtree yaitu
sekitar 70% untuk karsinogenisitas, 78% untuk mutagenisitas dan 59% untuk uji
in vivo mikronukleus (Benigni et al., 2009).
PubChem dirancang untuk memberikan informasi tentang aktivitas
biologis molekul kecil , umumnya mereka dengan berat molekul kurang dari 500
dalton. Penggabungan pubchem dengan Entrez sistem pencarian informasi NCBI
menyediakan sub / struktur , struktur dengan kemiripan , data bioaktivitas serta
link ke informasi sifat biologis dalam PubMed dan Sumber Protein Struktur 3D
22

NCBI. Pada penelitian ini PubChem digunakan untuk mendukung Toxtree dalam
menyediakan data SMILES (PubChem, 2004).

2.3.3. Perangkat Lunak Molegro Virtual Docker (MVD)


Docking adalah suatu metode pemodelan molekul, yang memprediksi
orientasi molekul pertama ke molekul kedua ketika terikat satu sama lain untuk
membentuk kompleks yang stabil. Molekuler docking dapat didefinisikan sebagai
optimasi suatu masalah, yang menggambarkan “ best-fit” orientasi ligan yang
mengikat protein tertentu dan digunakan untuk memprediksi struktur
antarmolekul kompleks yang terbentuk antara dua atau lebih molekul. Kasus yang
paling menarik adalah interaksi protein dengan ligan, karena hal ini merupakan
aplikasi dalam obat-obatan. Ligan merupakan molekul kecil yang terikat dengan
binding site pada protein. Ada beberapa kemungkinan menghasilkan bentuk
konformasi baru saat berikatan. Pada perancangan obat modern, molekular
docking digunakan untuk memahami informasi suatu obat tentang interaksi obat
dengan reseptor dan sering digunakan untuk memprediksi orientasi ikatan calon
obat mikromolekul pada protein target mereka untuk memprediksi afinitas dan
aktivitas mikromolekul tersebut (Onkara et al., 2013). Dalam penelitian ini
digunakan docking secara fleksibel untuk Mengetahui interaksi antibiotik yang
karsinogenik mutagenik terhadap reseptornya dengan parameternya yaitu jenis
ikatan, gugus farmakofor, serta asam amino pada reseptor senyawa antibiotik
menggunakan Molegro Virtual Docker. Pada saat proses docking diperlukan
struktur senyawa dalam 3D yang diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak
Chemdraw 2D dan Chemdraw 3D. Selain itu juga dubutuhkan reseptor dalam
bentuk ID PDB yang sesuai dengan senyawa antibiotik diperoleh dengan
mengakses website resmi PDB yaitu http://www.rcsb.org . Jika kesulitan mencari
ID PDB pada link website PDB (Protein Data Bank) maka dapat mengakses
http://www.drugbank.com yang merupakan alternatif untuk mendapatkan ID
PDB.
Molegro virtual docker (MVD) merupakan suatu lingkungan yang
terintegrasi untuk mempelajari dan memprediksi bagaimana ligan dapat berikatan
dengan makromolekul. Identifikasi cara berikatan ligan dilakukan secara berulang
mengevaluasi jumlah hasil kandidat ( konformasi ligan) dan mengestimasi energi
23

yang digunakan ligan dalam berinteraksi dengan makromolekul. Hasil skor


tertinggi akan diulang pada analisis selanjutnya. MVD membutuhkan bentuk
struktur protein dan ligan dalam 3D ( umumnya diperoleh dari X-ray/NMR
eksperimen atau model homolog). MVD melakukan ligand docking secara
fleksibel, jadi ukuran yang paling bagus pada ligan akan menentukan selama
proses docking. Molegro virtual docker didasarkan pada suatu workspace yang
didalamnya terdapat gagasan. Workspace adalah komponen pusat dan mewakili
semua informasi yang ada pengguna dalam hal molekul (protein, ligan, kofaktor,
molekul air dan pose), kendala yang diatur oleh pengguna (divisualisasikan dalam
bulatan kecil), cavity (divisualisaikan dalam ukuran lubang dalam jaring), dan
berbagai macam objek grafis (luas permukaan molekul, Backbone visualization,
label dll). Workspace dapat disimpan, dihapus, digantikan atau ditambahkan ke
Workspace lainnya. Perhatian : ketika menyimpan workspace dalam MVDML
internal tidak semua format 3D objek visual dapat disimpan (misalnya label,
interaksi, anotasi, backbones, dan luas permukaan) (Molegro, 2011). Keakuratan
MVD dalam men-docking ligan yang fleksibel terhadap 77 protein target sebesar
87% sedangkan pada Glide sebesar 82%, Surflex 75%, Flex 58% dan GOLD
sebesar 78% (Thomsen et al., 2006).

Anda mungkin juga menyukai