Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN GIGITAN

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

1. MERSI
2. DEALFRIDO PAPAYUNGAN
3. SITI EMINA IBRAHIM

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) TANA TORAJA


PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN
GIGITAN”, tepat pada waktunya.

            Penulisan makalah ini merupakan penugasan dari mata kuliah “Keperawatan Gawat
Darurat dan Manajemen Bencana”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing dalam pembuatan makalah ini dan teman-teman yang telah memberikan dukungan
dan membantu dalam pembuatan makalah ini, serta rekan-rekan lain yang membantu pembuatan
makalah ini.

            Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca guna memberikan sifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna mengingat penulis masih
tahap belajar dan oleh karna itu mohon maaf apabila masih banyak kesalahan dan kekurangan di
dalam penulisan makalah ini.

Rantepao, 03 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

A. GIGITAN SERANGGA
B. GIGITAN ULAR
C. GIGITAN ANJING, KUCING, MONYET
BAB I
PENDAHULULUAN

A.LATAR BELAKANG
Gigitan dan sengatan binatang dapat berhasil ditangani secara medis, namun kematian
bisa saja terjadi. Penyebab lainnya adalah adanya potensi infeksi dan komplikasi sistemik,
gigitan yang sampai merusak kulit kadang kala dapat menyebabkan infeksi. Beberpa luka
gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedangkan beberpa lainnya cukup dibiarkan saja dan
sembuh dengan sendirinya. Dalam kasus tertentu gigitan binatang dapat menularkan
menyakit rabies, penyakit yang berbahaya terhadap nyawa manusia. Sebagian binatang
memeliki bisa (racun) yang berfungsi untuk melindungi dirinya dan berfungsi untuk
menakhlukkan mangsanya, banyak kasus terkena racun dari binatang berbisa ini dapat diatasi
dengan baik apabila berhasil diatasi sejak dini.

B.RMUSAN MASALAH
1.Apa saja tanda dan gejala gigitan dan sengatan hewan ?
2.Apa sajakah macam-macam gigitan hewan ?
3.Bagaimana penatalaksnaan gigitan hewan ?
4.Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan gigitan hewan ?

C. TUJUAN
1.Mengetahui tanda dan gejala gigitan hewan
2.Mengetahui macam-macam giggitan hewan
3.Mengetahui prinsip penatalaksanaan dari gigitan hewan
4.Mengetahui asuhan keperawatan dari pasien dengan gigitan hewan
BAB II
PEMBAHASAN

A. GIGITAN SERANGGA
1. PENGERTIAN
Insect Bite atau gigitan serangga adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan
serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan
artropoda penyerang. Kebanyakan gigitan dan sengatan digunakan untuk pertahanan.
Gigitan serangga biasanya untuk melindungi sarang mereka. Sebuah gigitan atau
sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein dan substansi
lain yang mungkin memicu reaksi alergi kepada penderita. Gigitan serangga juga
mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang tersengat.

2. EPIDEMIOLOGI
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama di seluruh
dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena
musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi disekitar
kita. Prevalensinya sama antara pria dan wanita. Bayi dan anak-anak labih rentan
terkena gigitan serangga dibanding orang dewasa. Salah satu faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit ini yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak
serangga, seperti di perkebunan, persawahan, dan lain-lain.

3. ETIOLOGI
Secara sederhana gigitan dan sengatan lebah dibagi menjadi 2 grup yaitu
Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun
biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini
merupakan suatu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikan racun
atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun
menggigit dan menembus kulit dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang
menimbulkan rasa gatal. Ada 30 lebih jenis serangga tapi hanya beberapa saja yang
bisa menimbulkan kelainan kulit yang signifikan. Kelas Arthropoda yang melakukan
gigitan dan sengatan pada manusia terbagi atas :
a. Kelas Arachnida • Acarina • Araneae (Laba-Laba) • Scorpionidae
(Kalajengking)
b. Kelas Chilopoda dan Diplopoda
c. Kelas Insecta • Anoplura (Phtirus Pubis, Pediculus humanus, capitis et corporis)
• Coleoptera (Kumbang) • Diptera (Nyamuk, lalat) • Hemiptera ( Kutu busuk,
cimex) • Hymenoptera (Semut, Lebah, tawon) • Lepidoptera ( Kupu-kupu) •
Siphonaptera ( Xenopsylla, Ctenocephalides, Pulex)

4. PATOGENESIS
Gigitan atau sengatan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit,
lewat gigitan atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh sistem
imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks. Reaksi
terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin, asam
formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap
antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang timbul
melibatkan mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat dibagi dalam 2 kelompok :
a. Reaksi immediate
1) Ditandai dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik.
2) Timbul lesi karena adanya toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau sengatan
serangga.
3) Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat disebabkan karena trauma endotel
yang dimediasi oleh pelepasan neutrofil. Spingomyelinase D adalah toksin
yang berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilik. Enzim Hyaluronidase
yang juga ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis sehingga
dapat mempercepat penyebaran dari racun tersebut.
b. reaksi delayed.

5. MANIFESTASI KLINIS
Banyak jenis spesies serangga yang menggigit dan menyengat manusia, yang
memberikan respon yang berbeda pada masing-masing individu, reaksi yang timbul
dapat berupa lokal atau generalisata. Reaksi lokal yang biasanya muncul dapat
berupa papular urtikaria. Papular urtikaria dapat langsung hilang atau juga akan
menetap, biasa disertai dengan rasa gatal, dan lesi nampak seperti berkelompok
maupun menyebar pada kulit. Papular urtikaria dapat muncul pada semua bagian
tubuh atau hanya muncul terbatas disekitar area gigitan. Pada awalnya, muncul
perasaan yang sangat gatal disekitar area gigitan dan kemudian muncul papul-papul.
Papul yang mengalami ekskoriasi dapat muncul dan akan menjadi prurigo nodularis.
Vesikel dan bulla dapat muncul yang dapat menyerupai pemphigoid bullosa, sebab
manifestasi klinis yang terjadi juga tergantung dari respon sistem imun penderita
masing-masing. Infeksi sekunder adalah merupakan komplikasi tersering yang
bermanifestasi sebagai folikulitis, selulitis atau limfangitis. Pada beberapa orang
yang sensitif dengan sengatan serangga dapat timbul terjadinya suatu reaksi alergi
yang dikenal dengan reaksi anafilaktik. Anafilaktik syok biasanya disebabkan akibat
sengatan serangga golongan Hymenoptera, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi
pada sengatan serangga lainnya. Reaksi ini akan mengakibatkan pembengkakan pada
muka, kesulitan bernapas, dan munculnya bercak-bercak yang terasa gatal (urtikaria)
pada hampir seluruh permukaan badan. Prevalensi terjadinya reaksi berat akibat
sengatan serangga adalah kira-kira 0,4%, ada 40 kematian setiap tahunnya di
Amerika Serikat. Reaksi ini biasanya mulai 2 sampai 60 menit setelah sengatan. Dan
reaksi yang lebih berat dapat menyebabkan terjadinya syok dan kehilangan kesadaran
dan bisa menyebakan kematian nantinya. sehingga diperlukan penanganan yang
cepat terhadap reaksi ini.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dari gambaran histopatologis pada fase akut didapatkan adanya edema antara sel-
sel epidermis, spongiosis, parakeratosis serta sebukan sel polimorfonuklear. Infiltrat
dapat berupa eosinofil, neutrofil, limfosit dan histiosit. Pada dermis ditemukan
pelebaran ujung pembuluh darah dan sebukan sel radang akut. Pemeriksaan
pembantu lainnya yakni dengan pemeriksaan laboratorium dimana terjadi
peningkatan jumlah eosinofil dalam pemeriksaan darah. Dapat juga dilakukan tes
tusuk dengan alergen tersangka.

7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat aktivitas diluar rumah
yang mempunyai resiko mendapat serangan serangga seperti di daerah perkebunan
dan taman. Bisa juga ditanyakan mengenai kontak dengan beberapa hewan
peliharaan yang bisa saja merupakan vektor perantara dari serangga yang dicurigai
telah menggigit atau menyengat.

8. DIAGNOSIS BANDING
Reaksi yang diakibatkan oleh sengatan atau gigitan serangga kebanyakan
menyerupai erupsi kulit yang lainnya. Seperti yang dapat dilihat reaksi yang
diakibatkan oleh serangga menunjukkan adanya papul-papul. Bila kita menduga
terjadi reaksi akibat gigitan atau sengatan serangga, maka kita harus memperoleh
anamnesis dengan cermat adanya kontak dengan serangga, menanyakan tentang
pekerjaan dan hobi dari seseorang yang mungkin dapat menolong kita mendiagnosis
kelainan ini. Dibawah ini merupakan beberapa diagnosis banding dari reaksi akibat
gigtan atau serangan serangga antara lain :
• Prurigo : Biasanya kronik, berbentuk papula/nodula kronik yang gatal.
Mengenai ekstremitas terutama pada permukaan anterior paha dan tungkai bawah.
• Dermatitis Kontak : Biasanya jelas ada bahan-bahan kontaktan atau alergen, lesi
sesuai dengan tempat kontak.

9. PENATALAKSANAAN
Terapi biasanya digunakan untuk menghindari gatal dan mengontrol terjadinya
infeksi sekunder pada kulit. Gatal biasanya merupakan keluhan utama, campuran
topikal sederhana seperti menthol, fenol, atau camphor bentuk lotion atau gel dapat
membantu untuk mengurangi gatal, dan juga dapat diberikan antihistamin oral seperti
diphenyhidramin 25-50 mg untuk mengurangi rasa gatal. Steroid topikal dapat
digunakan untuk mengatasi reaksi hipersensitifitas dari sengatan atau gigitan. Infeksi
sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotik topikal maupun oral, dan dapat
juga dikompres dengan larutan kalium permanganat.Jika terjadi reaksi berat dengan
gejala sistemik, lakukan pemasangan tourniket proksimal dari tempat gigitan dan
dapat diberikan pengenceran Epinefrin 1 : 1000 dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB
diberikan secara subkutan dan jika diperlukan dapat diulang sekali atau dua kali
dalam interval waktu 20 menit. Epinefrin dapat juga diberikan intramuskuler jika
syok lebih berat. Dan jika pasien mengalami hipotensi injeksi intravena 1 : 10.000
dapat dipertimbangkan. Untuk gatal dapat diberikan injeksi antihistamin seperti
klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin 50 mg. Pasien dengan reaksi berat danjurkan
untuk beristirahat dan dapat diberikan kortikosteroid sistemik.

10. PROGNOSIS
Prognosis dari gigitan serangga sebenarnya baik, tapi tergantung jenis serangga
serta racun yang dimasukkannya ke dalam tubuh manusia. Dan apabila terjadi syok
anafilaktik maka prognosisnya bergantung dari penangan yang cepat dan tepat.
B. GIGITAN ULAR
1. PENGERTIAN
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat
menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil
racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir
setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis
yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun
tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat
ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor
letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat
kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan Bisa adalah suatu zat atau substansi
yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem
pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan
oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang
mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan
campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

2. ETIOLOGI
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae.
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan.
Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota
badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi
gigitan dalam waktu 8 jam.Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa
macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic) Bisa ular yang bersifat
racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut
(hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung,
tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic) Yaitu bisa ular yang merusak dan
melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan
jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka
gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan
selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular
keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering
berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan
kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin Merusak serat-serat otot jantung yang
menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin Dengan melepaskan histamin dan zat
vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa ular yang bersifat cytolitik Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan
nekrose di jaringan pada tempat gigitan.
g. Enzim-enzim Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bias.

3. PATOFISIOLOGI
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti,
sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. Pada gangguan sistem
neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem
pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga
menimbulkan kesulitan untuk bernapas. Pada sistem kardiovaskuler, toksik
mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan
pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi
koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.

4. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan
ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan
karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit). Sindrom kompartemen
merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi oedem
(pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat),
paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan). Tanda
dan gejala khusus pada gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai,
coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
• Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
• Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
• 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis
urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah
menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
• Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
• Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
• Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiida
Misalnya, ular laut, cirinya:
• Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
• Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),
ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
• Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin.
• Anemia, hipotensi, trombositopeni. Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa
dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
• Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan
rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan
dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan
jaringan sekitar sisi gigitan luka.
• Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau
luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau
bahkan kematian.
• Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara
dan bernafas, dan kesemutan.
• Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang
mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
• Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada
mata.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah
lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN
dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas
sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan.

6. PENATALAKSANAAN
a. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2) Menetralkan bisa.
3) Mengobati komplikasi.
b. Pertolongan pertama : Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular
telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya
lakukan prinsip RIGT, yaitu:
 R : Reassure : Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban,
kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih
cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
 I : Immobilisation : Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk
tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak
datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah
sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization
(balut tekan).
 G : Get : Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
 T : Tell the Doctor : Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul
ada korban.
c. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
• Balut tekan pada kaki :
1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
2) Keringkan sekitar luka gigitan.
3) Gunakan pembalut elastis.
4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke
atas.
6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
7) Jangan melepas celana atau baju korban.
8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai
menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap
pink).
9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
• Balut tekan pada tangan :
1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
4) Pasang papan sebagai fiksasi.
5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data pengkajian
pasien, yaitu:
1. Aktivitas dan Istirahat
Gejala : Malaise.
2. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
3. Integritas Ego
Gejala : Perubahan status kesehatan.
Tanda : Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
4. Eliminasi
Gejala : Diare.
5. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah.
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
6. Neorosensori
Gejala : Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
8. Pernapasan
Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala : Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama
sembuh.
9. Seksualitas
Gejala : Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
10. Integumen.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga oral,
respon fisik, proses infeksi, misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan abdomen,
postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda vital.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.

C. INTERVENSI
1. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Menunjukkan bunyi napas
jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
a. Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru
b. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi
endotoksin.
c. Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
d. Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
e. Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Melaporkan nyeri
berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh tubuh rileks,
berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
b. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
c. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang
d. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mendemonstrasikan suhu
dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi :
a. Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
b. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
c. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal.
d. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
e. Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
f. Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Menyatakan kesadaran
perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat, mengatakan ansietas/ketakutan
menurun sampai tingkat dapat ditangani, menunjukkan keterampilan pemecahan
masalah dengan penggunaan sumber yang efektif.
Intervensi:
a. Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas,
memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
b. Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur
bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.
c. Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk
menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien
menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi
kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
d. Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
e. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang
terjadi.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan : Mencapai penyembuhan luka
tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
b. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme
infeksius.
c. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
d. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
e. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.
C. GIGITAN ANJING, MONYET, KUCING

I. KONSEP DASAR MEDIS


A. DEFENISI
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan
mamalia yang berakibat fatal.

B. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, famih
Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui secret yang terinfeksi pada gigitan
binatang atau ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing,
dan kera. Nama lainnya ialah hydrophobia la rage (Prancis), la rabbia (Italia), la rabia
(spanyol), die tollwut (Jerman), atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.
Adapun penyebab dari rabies adalah :
1. Virus rabies.
2. Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies.
3. Air liur hewan atau manusia yang terkena rabies.

C. MASA INKUBASI
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi penyakit rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari –
14 hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun. Masa inkubasi rabies 95%
antara 3-4 bulan, masa inkubasi bias bervariasi antara 7 hari – 7 tahun, hanya 1% kasus
dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat
mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih
pendek dari pada orang dewasa. Lamanya inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya gigitan, lokasi gigitan (jauh dekatnya kesistem saraf pusat), derajat
pathogenesis virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48
hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.

D. CARA PENULARAN
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama dua minggu virus menetap
pada tempat masuk dan jaringan otot didekatnya. Virus berkembang biak atau lansung
mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tampa menunjukan perubahan-perubahan
fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membrane plasma dan protein
ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor
asetil-kolin post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP).
Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel
Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72
jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam
kesusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Melalui cairan serebrospinal.
Diotak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron,
kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun pada saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk
saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, dan
pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar
lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia
hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies tipe furious
(buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patolgi berupa
degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular, neuronovagia dan
pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis.
Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus
terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri
bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang
otak, hipothalamus, sel purkinje serebrum, ganglia dorsalis dan medula spinalis. Pada
20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan
terjadinya aritmia pada pasien rabies.

E. PATOFISIOLOGI
Virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi, menularkan kepada
hewan lainnya atau manusia melalui gigitan atau melalui jilatan pada kulit yang tidak
utuh . Virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang
merupakan tempat mereka berkembangbiak dengan kecepatan 3mm / jam. Selanjutnya
virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.
Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang
menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang
pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan
meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan
air liur.Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit yang luar
biasa.
Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses
menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa
menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum,
gejala ini disebut hidrofobia (takut air). Lama-kelamaan akan terjadi kelumpuhan pada
seluruh tubuh, termasuk pada otot-otot pernafasan sehingga menyebabkan depresi
pernafasan yang dapat mengakibatkan kematian.

F. MANIFESTASI KLINIS
Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan
sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu:
1. Gejala prodromal non spesifik
2. Ensefalitis akut
3. Disfungsi batang otak
4. Koma dan kematian

G. STADIUM LAMANYA (% KASUS) MANIFESTASI KLINIS


1. Inkubasi < 30 hari (25%) 30-90 hari (50%) 90 hari-1 tahun (20%) >1 tahun (5%)
Tidak ada
2. Prodromal 2-10 hari Parestesia, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise, anoreksia,
mual dan muntah, nyeri kepala, letargi, agitasi, ansietas, depresi.
Neurologik Akut
3. Furious (80%)
4. Paralitik
5. Koma
2-7 hari
2-7 hari
0-14 hari
Halusinasi, bingung, delirium, tingkah laku aneh, takut, agitasi, menggigit,
hidropobia, hipersaliva, disfagia, avasia, hiperaktif, spasme faring, aerofobia,
hiperfentilasi, hipoksia, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas
ADH.
Paralisis flagsid
Autonomic instability, hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia, hipetermia, hipotensi,
disfunsi pituitari, aritma, dan henti jantung.

H. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada
fase koma. Komplikasi Neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra cranial:
kelainan pada hypothalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone
anti diuretic (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,
hipertermia, hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat local maupun
generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium
pradromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada
fase neurolgik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan
saraf otonomik.

Table Komplikasi Pada Rabies dan Cara Penanganan


JENIS KOMLIKASI PENANGANANNYA
Neurologi Hiperaktif Fenotiazin, benzodiazepine
Hidrofobia Tidak diberi apa-apa lewat mulut
Kejang fokal Karbamazepine, fenitoin
Gejala neurologi local Tak perlu tindak apa-apa
Edema serebri Mannitol, galiserol
Aerofobia Hindari stimulasi
Pituitary SAHAD Batasi cairan
Diabetes insipidus Cairan, vasopressin
Pulmonal Hiperventilasi Tidak ada
Hipoksemia Oksigen, ventilator, PEEP
Atelektasis Ventilator
Apnea Ventilator
pneumotoraks Dilakukan ekspansi paru
Kardiovas Aritmia Oksigen, obat anti aritmia
kular Hipotensi Cairan, dopamine
Gagal jantung kongestif Batasi cairan, obat-obatan
Thrombosis arteri/vena Oksigen, obat anti aritmia
Obstruksi vena kava superior Cairan, dopamine
Henti jantung Batasi cairan, obat-obatan
Lain-lain Anemia Transfuse darah
Perdarahan gastrointestinal H2 blockers, transfusi darah
Hipertermia Lakukan pendinginan
Hipotermia Selimut panas
Hipooalemia Pemberian cairan
Ileus paralitik Cairan paranteral
Retensio urine Kateterisasi
Gagal ginjal akut Hemodialisa
pneumomediastinum Tidak dilakukan apa-apa

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada beberapa pemeriksaan pada penyakit rabies yaitu:
1. Elektroensefalogram (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus
dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang
yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau
alirann darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. GDA
f. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang < 200 mq/dl
g. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
h. Elektrolit : K, Na
i. Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
j. Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
k. Natrium ( N 135 –)

J. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan Pengobatan
a. Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang
digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies.
Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus)
tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang
terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan
kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut
mungkin saja terinfeksi rabies.
b. Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan
sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan
yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada
penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies
diberikan suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya
disuntikkan di tempat gigitan.
c. Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies
diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28.
Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang
terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam
setelah menjalani vaksinasi.
d. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies
akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2
dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).
e. Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari.
Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia),
kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies
diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat.
Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi terhadap
gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun
imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan
gejala-gejala rabies.
2. Pencegahan
Ada dua cara pencegahan rabies yaitu:
a. Penanganan Luka
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus
rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies
harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies
dan imunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu
yang beresiko tinggi tertular rabies.
b. Vaksinasi
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus
atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada
orang-orang yang beresiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
1) Dokter hewan
2) Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi
3) Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang
rabies pada anjing banyak ditemukan
4) Para penjelajah gua kelelawar
Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan
menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya
harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian mengenai :
1. Status Pernafasan
a. Peningkatan tingkat pernapasan
b. Takikardi
c. Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
d. Menggigil
2. Status Nutrisi
a. kesulitan dalam menelan makanan
b. berapa berat badan pasien
c. mual dan muntah
d. porsi makanan dihabiskan
e. status gizi
3. Status Neurosensori
Adanya tanda-tanda inflamasi
4. Keamanan
a. Kejang
b. Kelemahan
5. Integritas Ego
a. Klien merasa cemas
b. Klien kurang paham tentang penyakitnya
Pengkajian Fisik Neurologik :
1. Tanda – tanda vital:
a. Suhu
b. Pernapasan
c. Denyut jantung
d. Tekanan darah
e. Tekanan nadi
2. Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
a. menonjol, rata, cekung
b. Bentuk Umum Kepala
Reaksi pupil
• Ukuran
• Reaksi terhadap cahaya
• Kesamaan respon
d. Tingkat kesadaran Kewaspadaan :
• respon terhadap panggilan
• Iritabilitas
• Letargi dan rasa mengantuk
• Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
e. Afek
• Alam perasaan
• Labilitas
f. Aktivitas kejang
• Jenis
• Lamanya
g. Fungsi sensoris
• Reaksi terhadap nyeri
• Reaksi terhadap suhu
h. Refleks
• Refleks tendo superficial
• Reflek patologi

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnose yang pada penyakit rabies yaitu:
1) Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
2) Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks menelan
3) Demam berhubungan dengan viremia
4) Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi
5) Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan
6) Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka

3. INTERVENSI
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia Setelah diberikan tindakan keperawatan,
diharapkan pasien bernafas tanpa ada gangguan, dengan kriteria hasil:
• pasien bernafas,tanpa ada gangguan.
• pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas
• respirasi normal (16-20 X/menit)
Intervensi:
1) Obsevasi tanda-tanda vital pasien terutama respirasi.
R/: Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien.
2) Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2
R/: O2 membantu pasien dalam bernafas.
3) Beri posisi yang nyaman.
R/: Posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas.
2. Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan Setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
• pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi:
1) Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
R/: Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2) Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
R/: Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien
3) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
R/: Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan.
4) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
R/: Untuk menghindari mual.
5) Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
R/: Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
6) Kaloboras pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
R/: Antiemetik membantu pasien mengurangi mual dan muntah dan diharapkan nutrisi pasien
meningkat.
7) Ukur berat badan pasien setiap minggu.
R/: Untuk mengetahui status gizi pasien
3. Demam berhubungan dengan viremia Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
demam pasien teratasi, dengan criteria hasil :
• Suhu tubuh normal (36 – 370C).
• Pasien bebas dari demam.
Intervensi:
1) Kaji saat timbulnya demam
R/: Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
2) Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam
R/: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
3) Berikan kompres hangat
R/: Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat Penurunan suhu
badan.
4) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
R/: Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang penyakit. Setelah diberikan
tindakan keperawatan diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,dengan
kriteria hasil :
• Melaporkan cemas berkurang sampai hilang
• Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien
• Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan keluarga.
R/: Untuk mengetahui tingkat cemas dan mengambil cara apa yang akan digunakan.
2) Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien.
R/: Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi kecemasan keluarga.
3) Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien.
R/: Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga Pasien.
5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan
Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami cedera,dengan
kriteria hasil :
• Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
• klien tidur dengan tempat tidur pengaman
• Tidak terjadi serangan kejang ulang.
• Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit
• Kesadaran composmentis
Intervensi:
1) Identifikasi dan hindari faktor pencetus
R/: Penemuan factor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus.
2) Tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di ruang yang tenang dan
nyaman.
R/: Tempat yang nyaman dan tenang dapat mengurangi stimuli atau ransangan yang dapat
menimbulkan kejang.
3) Anjurkan klien istirahat
R/: Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolism.
4) Lindungi klien pada saat kejang dengan :
• longgarakan pakaian
• posisi miring ke satu sisi
• jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya
• kencangkan pengaman tempat tidur
• lakukan suction bila banyak secret
R/: Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cedera fisik.
5) Catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya sianosis dan inkontinesia,
deviasi dari mata dan gejala-hgejala lainnya yang timbul.
R/: Dokumentasi untuk pedoman dalam tindakan berikutnya,
6) sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi keadaan klien sampai benar-
benar pulih dari kejang.
R/: Tanda-tanda vital indicator terhadap perkembangan penyakitnya dan gambaran status umum
pasien.
7) Observasi efek samping dan keefektifan obat.
R/: Efeksamping dan efektifnya obat diperlukan motitorng untuk tindakan lanjut.
8) Observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama jantung.
R/: Komplikasi kejang dapat terjadi depresi pernapasan dan kelainan irama jantung.
9) Kerja sama dengan tim :
• pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi
• pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital)
• pemberian oksigen tambahan
• pemberian cairan parenteral
• pembuatan CT scan
R/: untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat antikonvulsan baik
berupa bolus, syringe pump.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka setelah diberikan tindakan keperawatan
3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil:
• Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: Kalor,dubor,tumor,dolor,dan fungsionalasia.
• TTV dalam batas normal
Intervensi:
a. Kaji tanda – tanda infeksi
R/: Untuk mengetahui apakah pasien mengalami infeksi dan untuk menentukan tindakan
keperawatan berikutnya.
b. Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
R/: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Ajarkan teknik aseptik pada pasien
R/: Meminimalisasi terjadinya infeksi.
d. Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien.
R/: Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
e. Lakukan perawatan luka yang steril.
R/: Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
• Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadbrata, Siti Setiati; Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV
• Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC,
Jakarta
• http://www.rusari.com
• Siregar RS. Prof. Dr. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta : EGC ; 2000
p. 174-175
• Rohmi Nur. Insect Bites. [online] 2006 [cited 2008 June 04] : [ 3 screens]. Available from :
http://www.fkuii.org/tiki-index.php?page=Insect+Bites7
• Bites and Sting. In: Bolognia JL Lorizzo JL, Rapini RP,eds. Dermatology Volume.1. London:
Mosby; 2003.p.1333-35
• Ngan Vanessa. Insect Bites and Stings. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [4 screnns].
Available from : http://www.dermnet.com/image.cfm?imageID=1875
• Rube J. Parasites, Arthropods And Hazardous Animals Of Dermatologic Significance. In:
Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology Volume 1. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company; 1985.p.1923-88
• Wilson C.Arthropod Bites And Sting. In: Fitzpetrick TB Eisen AZ, Wolf K, Freedberg IM,
Austen KF.eds. Dermatology in General Medicine, 4th ed.USA: McGraw-Hill; 1993.p.2685-95
• Burns.D.A. Dissease Caused by Arthropoda and other Noxious Animals. In: Rook, Wilkinson,
Ebling.eds. Textbook of Dermatology 7 th ed. London: Blackwell Science.1998.p.1085-1125.
• Elston Dirk M. Insect Bites. [Online] 2007. [cited 2008 June 4] : [16 screens]. Available from :
http://emedicine.com/derm/topic467.htm#section~Treatment.
• Habif TP,ed.Clinical Dermatology: A. Color Guide To Diagnosis and therapy. 4th ed.
Edinburgh; Mosby; 2004.p.531-36
• Hardin MD. Fire Ant Bite. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [1 screen]. Available from :
http://www.lib.uiowa.edu/HARDIN/MD/tamu/fireants5.html
• Hardin MD. Bee Sting Picture. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [1 screen]. Available from :
http://www.lib.uiowa.edu/HARDIN/MD/dermnet/beesting1.html
• New Zealand Dermatological Society Incorporated. Prurigo Nodularis. [Online] 2008 [cited
2008 june 4] : [4 screens]. Availablel from : http://www.dermnet.com/image.cfm?
imageID=1875&moduleID=8&moduleGroupID=216&groupindex=0&passedArrayIndex=2
• Wiryadi Be. Prurigo. In : Djuanda Adhi: Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin 3th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1999.p.272-275
• Kucenic MJ. Contact Dermatitis. [Online] 2007 [cited 2008 june 4] : [8 screens]. Available
from : http://www.umm.edu/imagepages/2387.htm
• E. Duldner, Jr., MD. Insect Bites And Stings. [online] 2008 [cited 2008 june 4] : [5 screens].
Available from : http://about.com/adam_health_tropic:79/12.pages/342.htm
• Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah, Edisi XI, Gajah Mada University Press,
1992
• Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996
• Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd
Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991.
• Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998.
• Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
• Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
1990
• Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical Nursing, Lippincott, 1996
• Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd
Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991.
• Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien : Proses keperawatan, Diagnosis dan
Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC, Jakarta, 1998.
• Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Contuinity of Care, 5th Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
• Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
1990

Anda mungkin juga menyukai