Anda di halaman 1dari 16

Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298

Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan

Sugihartono1

1
Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9 Yogyakarta 5516
*Penulis korespondensi. Telp. (0274)512929-563939 Fax. (0274) 563655
E-mail: hsugihartono@ymail.com

ABSTRAK
Limbah kulit pada industri penyamakan kulit yang diturunkan sebelum penyamakan berupa
trimming, fleshing, dan splitting. Limbah yang diturunkan setelah penyamakan berupa splitting,
shaving, dan buffing dust. Sedangkan limbah yang diturunkan pada pewarnaan dan finishing hanya
berupa trimming. Limbah kulit yang diturunkan sebelum penyamakan berjumlah cukup besar, dapat
diproses menjadi tallow dan gelatin, merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikrobia.
Apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan pencemaran. Namun demikian sampai dengan
saat ini belum direspon oleh industri untuk pemanfaatannya. Tidak menunda-nunda waktu
pengolahan kulit limbah yang diturunkan sebelum penyamakan menjadi tallow dan gelatin atau
kerupuk akan dapat mengurangi, menekan dan meminimalisir terjadinya pencemaran terutama bau
busuk yang sangat menyengat.
Kata kunci : kulit limbah, penyamakan, pencemaran, pemanfaatan limbah

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 25


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Utilization of Industrial Leather Tannery Waste


to Minimize the Effects of Pollution

Sugihartono1

1
Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9 Yogyakarta 55166
*Coresponding author. Telp. (0274) 512929 - 563939 Fax. (0274) 563655
E-mail: hsugihartono@ymail.com

ABSTRACT
Leather waste in the tanning industry which generated before tanning is trimming, fleshing, and
splitting. Waste that is generated after tanning is in the form of splitting, shaving and buffing dust.
While the waste which is generated in the coloring and finishing is only in the form of trimming.
The large amount of skin waste that is passed down before tanning, can be processed into tallow
and gelatin, is a good medium for microbial growth. If not handled immediately can cause
pollution. However, until now the industry has not responded to their use. Not delaying the
processing of waste skin which is generated before tanning to tallow and gelatin or crackers will
reduce, suppress and minimize the incidence of environmental pollution, particularly the very
pungent odor.
Keywords: composites, wall panels, polypropylene, cocofiber, sludge

26 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

PENDAHULUAN

Industri penyamakan kulit (IPK) merupakan salah satu industri yang menurunkan limbah
dalam jumlah yang cukup besar, yaitu dalam bentuk padat, cair dan gas. Limbah tersebut berasal
dari bahan baku yang diproses (kulit), bahan untuk proses, dan air. Limbah dari kulit berupa bulu,
sisa-sisa daging dan potongan-potongan kulit, sedangkan limbah dari bahan proses berupa garam,
kapur dan bahan kimia lainnnya. Limbah yang diturunkan tersebut apabila tidak ditangani dengan
tepat, cepat dan baik akan dapat mencemari lingkungan (Prayitno, 2009). Pencemaran dari kegiatan
IPK dapat melalui berbagai media seperti udara, tanah dan air (Sugihartono, 2013). Dampak yang
ditimbulkan dari cemaran tersebut pada umumnya dapat mengganggu semua kehidupan seperti
manusia, binatang, biota air, dan tumbuhan.

Sebagian besar kulit disamak menggunakan bahan penyamak krom, kromium yang digunakan
untuk proses penyamakan biasanya berupa senyawa krom sulfat. Krom sulfat merupakan krom
trivalen, bersifat kurang beracun apabila dibandingkan dengan krom heksavalen. Pada kondisi
tertentu krom trivalen dapat teroksidasi menjadi krom heksavalen (Fuck, et al., 2011, Vaskova, et
al., 2013). Seperti telah diketahui bahwa penginduksi umum alergi kontak dermatitis adalah
kromium. Krom yang paling berbahaya apabila terpapar pada kulit yang sensitif dan iritan adalah
yang dalam bentuk ion heksavalen (Buter & Biedermann, 2017). Paparan kromium tersebut dapat
menyebabkan dermatitis, ulserasi dan kepekaan kulit (Saha, et al., 2011).

Kandungan utama kulit segar adalah protein dan air, komponen lainnya dalam jumlah sedikit
terdiri atas karbohidrat, lemak dan mineral. Kandungan kulit tersebut merupakan media yang sangat
cocok untuk pertumbuhan mikrobia pembusuk seperti Bacillus sp, Staphylococcus sp., dan
Micrococcus sp. (Covington, 2009). Mikrobia tersebut merombak protein pada kulit segar maupun
kulit garam menjadi senyawa sederhana yang mudah menguap dan nitrogen terlarut. Hasil
perombakan protein antara lain amonia, indol, skatol, merkaptan dan H2S. Senyawa-senyawa
tersebut menyebar di udara, kemudian menjadikan udara berbau tidak sedap, busuk, dan sangat
menyengat di indra penciuman.

Pembangunan pusat-pusat (lingkungan) industri penyamakan/pengolahan kulit antara lain


bertujuan untuk memberikan kemudahan pelaku industri dalam melakukan kegiatannya dan
mendorong dilaksanakannya proses produksi di kawasan industri. Dismaping itu juga untuk
mempercepat pertumbuhan industri di suatu daerah, dan meningkatkan upaya pembangunan
industri yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian akan diperoleh beberapa keuntungan,
diantaranya adalah peningkatan efisiensi penggunaan peralatan dan mesin-mesin produksi,
mempermudah mendapatkan bahan-bahan untuk proses produksi, mempermudah dalam

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 27


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

pengendalian dan penanganan limbah, serta berbagai upaya untuk meminimalisir, menekan dan
melokalisir terjadinya pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri.

Pembangunan lingkungan IPK ternyata belum sepenuhnya berhasil dalam hal pengendalian
dan penanganan limbah. Sebagai contoh masih terdapatnya keluhan warga yang bermukim disekitar
lingkungan industri kulit di Magetan yang mengeluhkan pencemaran yang ditimbulkan oleh
kegiatan industri tersebut. Warga mengeluh mencium bau yang tidak sedap dan sangat menyengat
yang menyebabkan ketidak-nyamanan lingkungan, dan sumber airnya tercemar yang menyebabkan
penyakit kulit seperti gatal-gatal di kulit akibat kontak/menggunakan air dari sumber tersebut.
Keluhan warga tersebut menimbulkan wacana penutupan lingkungan industri kecil-IPK oleh Unit
Pelayanan Terpadu- Lingkungan Industri Kulit (UPT-LIK) Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa
Timur (Puspita, 2012; Dewi, 2013).

Pada makalah ini disajikan informasi tentang tinjauan dari beberapa alternatif dalam
penanganan dan pemanfaatan yang mungkin dapat dilakukan dalam rangka pendayagunaan kulit
limbah turunan IPK menjadi produk yang berguna. Dimaksudkan sebagai upaya untuk menekan
dampak lingkungan dan biaya cemaran, serta ditujukan untuk penyebar-luasan informasi kepada
khalayak yang memerlukan dan menggeluti pemanfaatan kulit limbah menjadi produk yang
berguna.

Sekilas tentang proses penyamakan kulit

Proses penyamakan kulit mentah dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan proses utama. Tahap
pertama adalah proses pengerjaan basah (beam house), tahap kedua adalah proses penyamakan
(tanning), dan tahap ketiga adalah proses penyelesaian akhir/finishing (Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan, 1996; Zaenab, 2008; & Elfrida, 2012). Proses pengerjaan basah atau sering
disebut proses pra-penyamakan terdiri atas beberapa tahapan yaitu sortasi, perendaman, pengapuran
dan buang bulu, buang daging (fleshing), pembelahan (splitting), pencucian, buang kapur
(deliming), pengikisan protein (bating), penghilangan lemak (khusus untuk kulit domba), dan
pengasaman (pickling).

Proses penyamakan (tanning) dapat dilakukan dengan bahan penyamak krom atau nabati.
Menurut Li, et al. (2013) bahwa lebih dari 80% kulit di dunia disamak menggunakan krom.
Keadaan ini karena kulit samak krom memiliki sifat yang lebih unggul apabila dibandingkan
dengan kulit samak nabati yaitu dalam hal kelembutan, kelemasan, kekuatan tarik, kemudahan
untuk diproses selanjutnya, dan suhu kerut.

28 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Proses penyelesaian akhir atau proses paska penyamakan terdiri atas beberapa tahapan antara
lain penyerutan (shaving), netralisasi, penyamakan ulang (re-tanning), pengecatan dasar,
peminyakan dan finishing. Finishing terdiri atas pengeringan kulit, perenggangan (staking),
pengecatan tutup dan plating serta embosing (Prayitno, 2017). Pada setiap tahapan proses tersebut
diturunkan limbah yang dapat terdiri atas limbah padat, cair dan gas, dengan volume yang tergolong
cukup besar.

Sebagai contoh, pada setiap penyamakan kulit mentah basah yang diawetkan dengan garam
seberat 1 (satu) ton, digunakan bahan kimia seberat 452 kg dan air sebanyak ± 40 m 3. Dari
penyamakan tersebut hanya dihasilkan kulit samak sebesar ± 255 kg, sisanya berupa limbah yang
terdiri atas bahan kimia ± 380 kg, air ± 40 m 3, dan kulit limbah ± 680 kg. Kulit limbah yang
diturunkan terdiri atas kulit limbah turunan dari proses pra-penyamakan dan kulit limbah turunan
sesudah proses penyamakan dengan jumlah masing-masing seberat ± 350 kg dan ± 330 kg (Paul, et
al., 2013). Menurut FAO (1996) setiap penyamakan kulit sebanyak 1 (satu) ton akan diturunkan
limbah padat sebanyak 450 - 600 kg, yang terdiri atas kulit limbah yang berupa fleshing, trimming,
buffing dust dan wet blue split. Setengah dari volume limbah tersebut pada keadaan kering
mengandung krom kurang lebih sebesar 3%.

Limbah yang diturunkan dari kulit sebelum dan setelah proses penyamakan ternyata cukup
besar, sehingga perlu mendapatkan penangan secara serius dan khusus oleh IPK agar tidak
menimbulkan pencemaran. Apabila limbah tersebut tidak segera ditangani, dipastikan akan
menimbulkan masalah terhadap lingkungan di sekitarnya.

Penggolongan limbah turunan dari penyamakan kulit

Limbah yang diturunkan dari kulit pada industri penyamakan kulit berasal dari setiap tahapan
proses dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kelompok (Ozgunay, et al., 2007) sebagai berikut:
pertama limbah yang diturunkan dari kulit yang belum disamak, berupa trimming dan fleshing.
Kedua limbah yang diturunkan dari kulit yang telah disamak, berupa shaving dan buffing dust.
Ketiga limbah yang diturunkan dari pewarnaan dan finishing, berupa trimming.

Sedangkan IUE-2 (2008) mengelompokkan limbah padat yang diturunkan dari penyamakan
kulit menjadi 5 (lima) kelompok sebagai berikut :

a. Trimming (green and limed) merupakan kulit limbah hasil samping dari proses perapian
(trimming) kulit segar dan proses pengapuran sebelum disamak.

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 29


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

b. Limed splits merupakan kulit limbah hasil samping dari pembelahan (splitting) kulit pada proses
pengapuran.
c. White splitting merupakan kulit limbah hasil samping dari proses pembelahan (splitting) kulit
yang disamak menggunakan bahan penyamak nabati.
d. White shaving merupakan kulit limbah hasil samping dari proses shaving (pengetaman) kulit
yang disamak menggunakan bahan penyamak ramah lingkungan ( antara lain aldehid, bahan
samak nabati, dan syntan).
e. Blue splits dan shavings merupakan kulit limbah hasil samping dari proses splitting
(pembelahan) dan shavings (pengetaman) kulit yang disamak menggunakan bahan penyamak
kimia (krom).

Limbah yang berupa white splitting, white shaving dan Blue splits serta shavings merupakan
limbah yang diturunkan dari kulit yang telah disamak, namun untuk keperluan pengolahan terutama
yang berkaitan untuk pangan penggolongannya dibedakan.

Komponen kimia penyusun kulit limbah

Komponen utama penyusun kulit limbah dapat dikatakan mirip atau sama dengan kulit
asalnya kecuali kulit limbah yang diturunkan setelah penyamakan. Menurut Prayitno (2017)
komponen penyusun kulit mentah segar terdiri atas air (60 - 70%), protein (25 - 35%), lemak (2,5 -
3,0%), karbohidrat (< 2%), dan garam mineral (0,3 – 0,5%). Air yang terkandung dalam kulit
mentah merupakan komponen yang terbesar pada kulit, berpengaruh dan menentukan sifat fisik
serta keawetan kulit.

Protein merupakan komponen yang terbesar kedua setelah air, terdapat dalam dua jenis, yaitu
globular dan fibrous. Protein globular terdiri atas globulin, albumin, dan musin, bersifat larut dalam
larutan natrium klorida (Suhenry, et al. 2015). Protein fibrous terdiri atas keratin, elastin, dan
kolagen, bersifat tidak larut dalam pelarut organik maupun air. Kolagen pada kulit terdapat dalam
jumlah yang cukup besar yaitu ± 70% dari bobot kering kulit, merupakan protein struktural yang
utama pada kulit.

Komponen asam lemak penyusun lemak/minyak binatang terdiri atas asam lemak jenuh dan
asam lemak tidak jenuh. Komponen asam lemak tidak jenuh yang dominan terdiri atas asam
palmitat dan stearat, sedangkan yang tidak jenuh terdiri atas oleat palmitoleat dan linoleat (White, et
al. 1964) .

30 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Karbohidrat pada kulit segar berada dalam jumlah kecil, bisanya berupa glikogen, gula, gula-
amino, mukopolisakarida dan lainnya. Mineral pada kulit segar juga berada dalam jumlah sedikit,
merupakan garam senyawa kalium, kalsium, magnesium dan natrium yang membentuk garam
dengan fosfat, karbonat, klorida, atau sulfat.

Komponen kulit segar merupakan media yang sangat baik dan cocok untuk tumbuh dan
berkembangbiaknya mikroorganisme pembusuk dan perusak. Mikroorganisme pembusuk akan
merobak protein yang terdapat pada kulit menjadi unsur yang lebih kecil, seperti alkohol, gas dan
komponen-komponen bau. Perombakan kulit oleh aktivitas mikroorganisme akan menimbulkan bau
busuk yang sangat menyengat. Oleh karena itu apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat
mencemari lingkungan.

Kolagen terdiri atas berbagai jenis asam amino, biasanya perulangan dari glisin, prolin, dan
hidroksiprolin (“-gly-pro-hypro-gly-“). Gugus pada kolagen yang berperan dalam proses penyamakan
kulit adalah COOH dan -NH2. Pada titik isoelektrik gugus COOH dan -NH2 berubah menjadi COO-
dan gugus amina (-NH3+). Gugus COO- dan gugus amina (-NH3+) akan berikatan dengan bahan
penyamak (bahan penyamak mineral, sintetis, dan nabati). Terikatnya gugus gugus tersebut
menjadikan kulit samak awet dan tahan terhadap kerusakan mikroorganisme. Keadaan inilah yang
membuat limbah turunan kulit samak tidak berbau busuk pada penyimpanan di dalam ruangan.

Krom trivalen (Cr+3) sebagai bahan penyamak berikatan-silang (crosslinking) dengan serat
kolagen kulit, sehingga menghasilkan kulit samak yang memenuhi kualitas sesuai dengan yang
dikehendaki. Krom trivalen (Cr+3) dalam jumlah sedikit pada kulit samak, dalam kondisi tertentu
dapat dioksidasi menjadi krom heksavalen (Cr+6) yang sangat toxic dan bersifat karsinogen
(Vaskova, et al., 2013). Limbah turunan kulit samak krom digolongkan ke dalam limbah yang
berbahaya karena mengandung kromium (Andrioli & Gutterres, 2015). Di Indonesia limbah kulit
samak krom dikatagorikan kedalam bahan berbahaya dan beracun (B3).

Komponen kimia penyusun limbah turunan kulit samak berbeda dengan komponen kimia
penyusun limbah turunan kulit segar. Komponen kimia kulit limbah yang berupa shaving adalah
sebagai berikut air 37,82%; protein 52,45%; lemak 0,58%; dan krom 3,74% (Sutyasmi, 2012).
Kandungan air dan lemak limbah turunan kulit samak lebih rendah dari pada kadar air limbah
turunan kulit segar. Kandungan protein limbah turunan kulit samak lebih tinggi dari pada
kandungan protein limbah turunan kulit segar, dan kurang lebih sama dengan yang terdapat pada
kulit pikel, yaitu sama-sama tidak mengandung protein globular dan hanya mengandung protein
fibrous atau kolagen, karena protein globular telah dikeluarkan atau dihilangkan pada tahap
sebelumnya. Disamping itu didalam limbah turunan kulit samak mengandung bahan penyamak,
seperti krom apabila penyamakan menggunakan krom.

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 31


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Pemanfaatan limbah turunan dari kulit

Limbah padat turunan IPK dapat dimanfaatkan untuk bahan bukan pangan dan sebagian dapat
digunakan sebagai bahan pangan. Pemanfaatan sebagai bahan pangan antara lain untuk kerupuk,
gelatin dan minyak. Limbah padat yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dibatasi hanya yang
berasal dari turunan dari kulit pada proses pra-penyamakan, yaitu trimming (green and limed), lime
splits dan fleshing (IUE-2, 2008). Disamping itu lime splits juga dapat digunakan untuk makanan
binatang piaraan (dog chews), menurut informasi dari industri limbah tersebut juga telah digunakan
untuk campuran pakan ayam (unggas) dan ikan.

Pemanfaatan yang bukan untuk bahan pangan antara lain untuk gelatin teknis (fotografi,
farmasi, perekat, pupuk, hidrolisat kolagen), kompos, pupuk, gelatable protein, produksi sodium
chromate, bahan bangunan, pembuatan batu-bata (brick), insulator, batako (conblock), pembuatan
papan kulit (leather board), sol sepatu dan kertas seni serta barang kerajinan lainnya.

Secara ringkas kesesuaian pemantataan limbah turunan kulit yang disarikan dari rekomendasi
IUE-2 (2008), hasil penelitian Cabeza, et al., (1998), Nawaz, et al., (2010), dan Sutyasmi (2012),
serta beberapa peneliti disajikan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Pemanfaatan limbah turunan industri penyamakan kulit.


No Jenis limbah Dapat dimanfaatkan untuk produk

1 Trimming (green and limed) dan fleshing - gelatin pangan


- perekat
- tallow (sabun, fatliquor, dll)

2. Limed splits - brick


- gelatin (pangan dan teknis)
- perekat
- pupuk
- kerupuk
- kompos
- makanan binatang piaraan

3 White splitings - aditif kolagen


- brick, conblock, leather board
- gelatin (untuk pangan dibatasi)
- insulator
- kompos
- kertas seni
- pupuk
- sol sepatu

32 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

4 White shavings - aditif pakan ternak


- binder
- brick, conblock. leather board
- gelatin
- hidrolisat kolagen/gelatable gelatin
- insulator
- pupuk
- sol sepatu
- kertas seni

5 Blue splits, shavings, and dust - aditif pakan ternak


- binder
- brick, conblock. leather board
- gelatin teknis
- hidrolisat kolagen/gelatable protein
- insulator
- kertas seni
- perekat
- pupuk
- sodium kromat
- sol sepatu

Tidak semua kulit limbah IPK cocok dan sesuai untuk bahan pangan, hanya kulit limbah yang
diturunkan pada tahap pra-penyamakan saja yang diperbolehkan untuk di proses menjadi bahan
pangan. Namun demikian kulit limbah turunan kulit yang disamak nabati juga diperbolehkan untuk
bahan pangan, akan tetapi penggunaannya dibatasi (IUE-2, 2008).

Pada prinsipnya semua kulit limbah turunan IPK seperti trimming (green and limed) dan
fleshing, limed splits, white splitings, white shavings dan blue splits, shavings, serta dust dapat di
proses menjadi gelatin. Gelatin yang dihasilkan dari setiap jenis limbah memiliki kesesuaian
kegunaan yang berdeda. Keadaan ini disebabkan kandungan kimia yang terdapat pada setiap jenis
limbah juga berbeda-beda, khusus pada blue splits, shavings, dan dust mengandung logam krom
trivalen yang pada kondisi tertentu dapat berubah nenjadi krom heksavalen yang bersifat sangat
toksik dan karsinogen. Sehingga gelatin yang di produksi dari blue splits, shavings, dan dust hanya
diperbolehkan untuk gelatin teknis.

Proses Produksi Gelatin

Seperti telah disampaikan di muka bahwa semua jenis limbah turunan IPK dapat di proses
menjadi gelatin dengan peruntukan yang berbeda-beda sesuai asal bahan bakunya. Produk gelatin
yang dihasilkan dari kulit limbah tergantung pada proses yang digunakan. Proses produksi gelatin
menggunakan asam, diperoleh gelatin tipe A, sedangkan proses produksi menggunakan basa,

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 33


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

dihasilkan gelatin tipe B. Hal-hal yang berpengaruh dalam proses produksi gelatin antara lain
adalah bahan baku, konsentrasi dan jenis asam/basa, perbandingan asam/basa dengan bahan baku
gelatin, waktu dan suhu hidrolisis serta pengadukan (Hastutiningrum, 2009)

Secara umum proses produksi gelatin dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan bahan
baku (tahap pertama), tahap konversi kolagen menjadi gelatin (tahap kedua) dan tahap ketiga adalah
pemurnian dan pengeringan gelatin (Kemenristek., 1990). Tahap persiapan bahan baku meliputi
penghilangan bahan bukan kolagen seperti kapur dan minyak serta pengecilan ukuran. Tahap kedua
konversi kolagen menjadi gelatin menggunakan asam/basa pada konsentrasi dan waktu tertentu
serta ekstraksi gelatin dari kolagen. Tahap pemurnian dan pengeringan gelatin sampai kadar air
±10% serta pengecilan ukuran biasanya melalui penggilingan.

Asam yang digunakan pada proses produksi gelatin dapat berasal dari asam organik dan asam
anorganik. Asam organik yang digunakan antara lain asam; asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat,
suksinat, dan tartarat. Asam anorganik yang dapat digunakan antara lain asam: hidroklorat, fosfat,
dan sulfat. Sedangkan larutan basa yang dapat digunakan antara lain larutan kalsium hidrosida,
natrium hidroksida, dan kalium hidroksida.

Rendemen gelatin yang di proses menggunakan asam, lebih banyak apabila dibandingkan
dengan yang diproses menggunakan basa. Namun demikian karakteristik gelatin seperti kekuatan
gel, berat molekul, dan viskositas pada proses basa lebih baik daripada yang di proses menggunakan
asam (Nurhalimah, 2010).

Pada umumnya gelatin dibidang pangan digunakan untuk pengental, penggumpal, membuat
produk menjadi elastis, pengemulsi, penstabil, pembentuk busa, pengikat air, pelapis tipis dan
pemerkaya gizi (Fauzi, 2007). Disamping itu juga dapat dimanfaatkan untuk pengikat air,
konsistensi dan stabilitas produk, memperbaiki tekstur, pengisi, penjernih sari buah, menjaga
kesegaran dan pengawetan buah (Pranoto, 2006). Edible coating menggunakan gelatin kulit sapi
dapat memperpanjang kesegaran buah jeruk (Wulandari, 2012). Kombinasi gelatin dengan bentonit
dalam penjernihan sari buah apel manalagi dapat memberikan hasil yang sangat baik (Nasution,
2011). Disamping itu gelatin juga dapat digunakan sebagai flokulan dalam pengolahan air limbah
(Sugihartono, dkk., 2015).

34 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

PEMBAHASAN

Limbah turunan kulit pada industri penyamakan kulit apabila tidak ditangani dengan segera
akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan industri dan sekitarnya. Pencemaran yang pertama
kali dirasakan adalah terjadinya bau yang tidak sedap atau bau busuk yang sangat menyengat indera
penciuman. Kemudian pencemaran sebagai akibat penggunaan bahan penolong proses yang terikut
pada air buangan yang dapat menyebabkan tercemarnya air tanah, iritasi kulit, atau gatal-gatal.
Gatal-gatal dan iritasi pada kulit antara lain disebabkan adanya sisa krom yang terikut pada air
limbah dan kemungkinan telah berubah menjadi krom heksavalen.

Timbulnya bau pada limbah disebabkan oleh dekomposisi lebih lanjut dari senyawa organik,
seperti protein dan lemak. Dekomposisi protein menjadi komponen-komponen yang sederhana
seperti amonia, gugus thiol, asam sulfida (Oktavia, dkk., 2012), alkohol, beberapa gas seperti
karbon dioksida, hidrogen, dan metana serta komponen-komponen berbau busuk seperti merkaptan
seperti indol, skatol merkaptan hidrogen dan sulfida. Sedangkan dekomposisi lemak menghasilkan
asam lemak lemak rantai pendek yang juga menimbulkan bau tidak sedap atau bau busuk yang
menyengat.

Komponen kulit yang sengaja dipisahkan dari kulit dan terikut dalam limbah cair antara lain
protein yang larut air dan lemak/minyak. Protein larut air dikeluarkan pada proses bating,
sedangkan lemak/minyak yang dikeluarkan pada proses degreasing. Oleh karena itu limbah cair
disamping mengandung bahan kimia yang digunakan pada proses penyamakan juga mengandung
protein dan lemak/minyak. Paul, et al., (2013) menyatakan bahwa dalam penyamakan satu ton kulit
basah yang diawetkan dengan garam diperlukan air kurang lebih 40 m3. Disisi lain kandungan
protein yang larut air dan lemak/minyak pada kulit relatif kecil, dengan demikian konsentrasi
protein larut air dan lemak/minyak dalam limbah cair industri penyamakan kulit juga rendah. Oleh
karena itu sokongan cemaran bau yang berasal dari turunan kulit pada limbah cair juga rendah.

Sampai dengan saat ini limbah turunan kulit pada industri penyamakan kulit di beberapa
industri penyamakan kulit sapi telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Limbah tersebut berupa
splitting kulit sapi yang diperoleh pada proses pra-penyamakan. Limbah proses splitting oleh pihak
ketiga diolah menjadi kerupuk. Walaupun demikian bau tidak sedap yang sangat menyengat masih
tercium pada lingkungan industri penyamakan kulit yang sampai dengan saat ini masih belum dapat
teratasi dengan sempurna.

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 35


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Bau menyengat tersebut diduga didominasi dari kulit maupun turunannya yang berasal dari
proses pra-penyamakan. Kulit maupun turunannya tersebut mengandung protein, lemak dan air
dalam jumlah besar, sehingga merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Disisi lain kulit samak termasuk limbahnya relatif tahan terhadap mikroba
perusak. Limbah kulit samak krom perlu penangan khusus karena krom yang dikandungnya apabila
digunakan untuk menimbun tanah dapat mengalami leaching dan pada akhirnya dapat berubah
menjadi krom heksavalen yang sangat berbahaya bagi mahluk hidup dan karsinogen.

Tidak menunda proses penyamakan kulit dan penanganan dengan segera limbah kulit yang
diturunkan pada proses pra-penyamakan, diduga dapat mengurangi atau meminimalisir terjadinya
bau busuk pada industri penyamakan kulit. Limbah yang diturunkan pada proses pra-penyamakan
yang berupa fleshing dapat diproses menjadi tallow, sedangkan green trimming/shaving dapat
diolah menjadi bahan pangan seperti gelatin atau krupuk. Gelatin merupakan produk hasil hidrolisis
kolagen secara parsial, memiliki kegunaan yang sangat luas baik dibidang pangan, fotografi,
kosmetika, maupun kesehatan seperti dan kedokteran (Sompie, et al., 2012).

Jumlah limbah yang diturunkan dari proses pra-penyamakan cukup besar dan belum
dimanfaatkan secara optimal serta menimbulkan cemaran bau yang sangat menyengat. Di Indonesia
gelatin masih merupakan barang impor, namun demikian limbah yang diturunkan dari proses pra-
penyamakan belum direspon oleh kalangan industri untuk memanfaatkannya sebagai bahan baku
dalam memproduksi gelatin secara komersial. Proses pengolahan gelatin dari limbah dapat
dilakukan secara terpisah atau terpadu dengan industri penyamakan, dengan demikian dapat
menciptakan lapangan usaha dan lapangan kerja baru (Sugihartono, 2014).

Secara konvensional limbah industri penyamakan kulit dapat dimanfaatkan untuk brick,
conblock, leather board dan insulator board. Sebenarnya beberapa tahun yang telah berlalu limbah
industri penyamakan kulit tersebut telah dimanfaatkan secara konvensional oleh beberapa
pengusaha. Namun dikarenakan pasar belum sepenuhnya menerima kehadiran produk tersebut,
maka untuk sementara waktu pengusahan menghentikan produksinya. Pengolahan menjadi gelatin
merupakan pilihan yang menguntungkan karena gelatin dapat digunakan secara luas. Gelatin yang
diproduksi dari kulit limbah pra penyamakan dapat dan diperbolehkan digunakan untuk industri
pangan dan lainnya. Sedangkan gelatin yang diproduksi dari kulit limbah paska penyamakan hanya
diperbolehkan untuk gelatin bukan pangan.

36 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Ditinjau dari aspek ekonomi, pengolahan kulit limbah turunan proses pra-penyamakan
menjadi gelatin merupakan tindakan yang sangat strategis, karena memproses limbah menjadi
produk yang memiliki nilai ekonomi, serta membantu menangani dan menekan jumlah limbah.
Dengan demikian dapat menekan, meminimalisir, dan mengurangi terjadinya pencemaran
lingkungan terutama bau. Sehingga setidaknya industri penyamakan memperoleh keuntungan yang
berlebih yaitu mengurangi biaya penanganan limbah, dan meminimalisir serta mengurangi
terjadinya pencemaran. Pemanfaatan kulit limbah menjadi produk yang berguna akan meningkatkan
nilai tambah, menekan jumlah limbah, dan optimalisasi pemanfaatan kulit. Disamping itu
Sugihartono (2013) juga mengemukakan bahwa pemanfaaatan limbah menjadi produk yang
berguna akan dapat mengurangi dan menekan biaya lingkungan, menciptakan lapangan kerja dan
usaha baru yang pada gilirannya mengurangi keluhan warga serta menjamin kelangsungan IPK
dalam berusaha.

KESIMPULAN

Kulit limbah turunan industri penyamakan kulit dapat dimanfaatkan untuk makanan, gelatin
teknis, kompos, gelatable protein, produksi sodium kromat, bahan bangunan, sol sepatu dan kertas
seni serta barang kerajinan lainnya. Pengolahan limbah kulit yang diturunkan pada proses pra-
penyamakan menjadi tallow dan gelatin, dapat meninimalisir dan menekan terjadianya pencemaran
lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrioli, E. & Gutterres, M. (2015). Evaluation of waste management in tanneries, Proceding


XXXIII IULTCS Congress, Novo Hamburgo/Brazil,180, 1-9.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek). (1990). Teknologi Pangan
dan Agroindustri. Volume 1 Nomor 9. 43. Gelatin, hal 133-135.
www.warintek.ristek.go.id/pangankesehatan/pangan/ipb/Gelatin/pdf, diakses
17 Juni 2013)
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. (1996). Buku Panduan Teknologi Pengendalian
Dampak Lingkungan, Industri Penyamakan Kulit. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Jakarta
Buter, J. & Biedermann, T. (2017). Chromium (VI) Contact Dermatitis : Getting Closer to
Understanding to Understanding the Underlying Mechanisms of Toxicity and Sensitization.
Journal of Investigative Dermatologi, 137(2), 274-277.
Cabeza, L.F., Taylor, M.M., DiMaio, G.L., Brown, E.M., Marmer, W.N. Carrio, R., Celma, P.J., &
Cot, J. (1998). Processing of leather waste: pilot scale studies on chrome shavings. Isolation
of potentially valuable protein products and chromium. Waste Management, 18, 211-218.

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 37


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Covington, A. D. (2009). Tanning Chemistry: The science of leather. Cambride, UK: The Royal
Society of Chemistry.
Dewi, PR. (2013). Pengusaha Penyamakan Kulit Terancam Penutupan Usaha.
http://suarapengusaha.com/2013/01/01/pengusaha-penyamakan-kulit-terancam-penutupan-
usaha, diakses 2 April 2013.
Elfrida, SR. (2012). Menggunakan Metoda Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri
Penyamakan Kulit Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektroda. Universitas
Pendidikan Indonesia. Repository. Upi. Edu.
FAO (Food and Agriculture Oganization). (1966). 3 Tanneries. http://www.fao.org/
WAIRDOCS/LEAD/X6114E/x6114e05.htm , diakses 28 Mei 2013.
Fauzi, Rahmi. (2007). Gelatin. http://www. chem-is-try.org/artikel-kimia/gelati/, diakses 17 Juli
2012.
Fuck, W. F., Gutterres, M., Marcilio, N. R., & Bordingnon, S. (2011). The influence of chromium
supplied by tanning and wet finishing processes on the formation of Cr (VI) in
leather. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 28(2), 221-228.
Hastutiningrum, S. (2009). “Pemanfaatan Limbah Kulit Split Industri Penyamakan Kulit Untuk
Glue Dengan Hidrolisis Kolagen”. Jurnal Teknologi, 2(2), 208-212.
IUE (The International Union Environment Commission)-2. (2008). Recomendation For Tannery
Solid By Product Management. http://www.iultcs.org/pdf/IUE2-2008, diakses 18 April 2013.
Li, J., Yan, L., Shi, B., & Zhang, J. (2013). A Novel approach to clean tanning technology. Journal
Chemical engineering, 7, 1203 – 1212.
Nasution, F.O.W., (2011). Aplikasi Bahan Penjernih Sebagai Alternatif Pemecahan Masalah
“Haze” Pada Industri Sari Buah Apel Manalagi (Malus sylvestris Mill). elibrary.
ub.ac.id/...456789/28965/1/Aplikasi Bahan..., diakses 16 September 2013.
Nawaz, H.R., Solangi, B.A., Nadeem, U., & Zehra, B. (2010). Preparation of High Exhaust Chrome
from Leather Shavings and Hydrocarbons with its Application in Leather Processing for
Green Tanning Technology. Journal Chemical Society of Pakistan, 32(4), 525-530.
Nurhalimah, E. (2010). Comparison of Gelatin Extraction Process of Bovine Hide Split by Acid and
base Process. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/61883, diakses 18 Juni 2013.
Oktavia, D.A., Mangunwidjaja, D., & Wibowo, S. (2012). Pengolahan limbah cair perikanan
menggunakan konsorsium mikroba indigenous proteolitik dan lipolitik. Jurnal AGROINTEK,
6(2), 65-71.
Ozgunay, H., Colak, S., Mutlu, MM., and Akyuz, F. (2007). Characterization of Leather Industry
Wastes. PolishJournal of Environ.Stud.,16(06), 867-873.
Paul, H. L. Phillips, P. S. Covington, A. D. Evans, P. And Antunes, A. P. M. (2013). Dechroming
Optimisation of Chrome Tanned Leather Waste As Potential Poultry Feed Additive: A Waste
to Resources. Proceding XXXII. Congres of UILTCS. May 29th – 31th 2013. Istambul, Turkey.
Pranoto,Y. (2006). Potensi Gelatin Ikan Untuk Menggantikan Gelatin Mamalia di Bidang Pangan.
Prosiding PATPI, S84–S96.
Prayitno. (2017). Teknologi Bersih Proses Penyamakan Kulit. Grafika Indah, Yogyakarta.
Prayitno. (2009). Kajian Penerapan Recycle, Reuse dan Recovery Untuk Proses Produksi Kulit Wet
Blue Pada Industri Penyamakan Kulit. Majalah Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta, 25(1),
45-52.

38 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-7 ISSN : 2477-3298
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

Puspita, D.I. (2012). Terancam Tutup, Pengusaha Penyamakan Kulit Resah. http://
indonesiarayanews. com/news/ekbis/12-31-2012, diakses 18 April 2013.
Saha, R., Nandi, R., & Saha, B. (2011). Sources and toxicity of hexavalent chromium. Journal of
Coordination Chemistry, 64(10), 1782-1806.
Sompie, M., Triatmojo, S., Pertiwining rum, A., & Pranoto, Y. (2012). “The Effects Of Animal Age
And Acetic Acid Concentration On Gelatin Pigskin”. Journal Of The Indonesian Tropical
Animal Agriculture, 37(3), 176-182.
Sugihartono, S., Sutyasmi, S., & Prayitno, P. (2015). Pemanfaatan trimming kulit pikel sebagai
flokulan melalui hidrolisis kolagen menggunakan basa untuk penjernihan air. Majalah Kulit,
Karet, dan Plastik, 31(1), 37-44. http://dx.doi.org/10.20543/mkkp. v31i1.221
Sugihartono. (2014). Kajian gelatin dari kulit sapi limbah sebagai renewable flocculants untuk
proses pengolahan air. Jurnal Riset Industri (Journal of Industrial Research), 8(3), 179–189.
Sugihartono. (2013). Pemanfaatan limbah penyamakan kulit menjadi gelatin untuk industri pangan.
Jurnal Riset Teknologi Industri. 7(14), 87-99.
Sutyasmi, S. (2012), Daur ulang limbah shaving industri penyamakan kulit untuk kertas seni.
Majalah Kulit, Karet, dan Plastik, 28(2):
113-121, http://dx.doi.org/10.20543 /mkkp.v28i2
Suhenry, S., Widayati, T.W., Hartarto, H.T., dan Suprihadi, S. (2015). Proses pembuatan gelatin
dari kulit kepala sapi dengan proses hidrolisis menggunakan katalis HCl. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”. Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan
Sumber Daya Alam Indonesia. Yogyakarta. 18 Maret 2015.
Vaskova, H., Kolomaznik, K., and Vasek, V. (2013). Hydrolysis Process of Collagen Protein from
Tannery Waste Materials for Production of Biostimulator and its Mathematical Model.
International Journal Of Mathematical Models And Methods In Apllied Sciences, 7(5), 568-
575.
White, A., Handler, P., & Smith, E.L. (1964). Principles of Biochemistry (6th ed), International
Student Edition, The Blakiston Division, Mc Grow-Hill Book Company, New York, Toronto,
London, Kogakusha Company, LTD Tokyo.
Wulandari, D. (2012). Pemanfaatan Limbah Kulit Sapi Untuk Gelatin Sebagai Edible Coating
dalam Memperpanjang Masa Kesegaran Buah Jeruk. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.
Zaenab, (2008). Industri Penyamakan Kulit dan Dampaknya Terhadap Lingkungan. Kesehatan
Lingkungan Makasar.

Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya 39


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan
ISSN : 2477-3298 Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7
Yogyakarta, 29 Agustus 2018

40 Pemanfaatan Limbah Turunan Industri Penyamakan Kulit sebagai Upaya


untuk Meminimalisir Dampak Pencemaran Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai