Anda di halaman 1dari 31

PLEDOI / NOTA PEMBELAAN

DALAM PERKARA PIDANA

NO. REG. PERKARA: PDM-025/JKT.BRT/X/2018

Terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum

Dengan Nomor Register Perkara: PDM-025/JKT.BRT/X/2018

Atas Nama Terdakwa

Edmund Seko
Ketua Majelis Hakim yang kami hormati,

Hakim Anggota yang kami hormati,

Saudara Jaksa Penuntut Umum

Panitera,

Dan hadirin siding yang kami hormati,

Serta sidang yang kami muliakan,

Pertama-tama, kami selaku Tim Penasihat Hukum Terdakwa menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. ALLAH SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat dan karunia-Nya, persidangan
ini telah berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan atau kendala yang berarti.
Semoga dengan karunia-Nya pula, kita dapat dibimbing dalam menemukan
kebenaran materiil dalam perkara ini.

2. Ketua Majelis Hakim beserta anggota, termasuk Panitera perkara atas kesungguhan
Majelis Hakim dalam memeriksa perkara ini secara fair trial, tanpa memihak dengan
dijiwai oleh suasana presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah),
sebagaimana yang dikehendaki dan diamanatkan oleh Undang-Undang. Oleh karena
itu kami mengharapkan Majelis Hakim tetap konsisten menerapkan prinsip-prinsip
penegakan keadilan pada saat menjatuhkan putusan dalam perkara ini. Kami yakin
Majelis Hakim akan dapat mengeluarkan putusan secara bijaksana yang benar-benar
dapat dibanggakan dan diagungkan sebagaimana tugas mulia mewujudkan keadilan
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa di tengah carut-marutnya dunia hukum di
tanah air tercinta belakangan ini. Adapun terima kasih kami ucapkan kepada Majelis
Hakim yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada kami untuk menyusun
Nota Pembelaan. ini dan selanjutnya membacakannya di muka sidang pengadilan
yang mulia ini, walaupun dalam proses pembuktian kerap kali diwarnai dengan
perdebatan yang sengit dan tajam namun berkat kehandalan dan kematangan Majelis
Hakim selaku pimpinan sidang, proses peradilan berjalan tertib, sopan, dan tidak ada
perbuatan yang saling melecehkan atau menghina martabat peradilan. Perjalanan
sidang demikian, kami rasakan dan kami maknai sebagai bagian dari kecintaan
semua pihak untuk mengungkap kebenaran materil, yang kami yakini sebagai hal
yang jauh dari syak-wasangka. Kiranya Tuhan yang Maha Kuasa, senantiasa terus
melimpahi semua pihak yang terlibat di dalam persidangan ini terutama Majelis
Hakim sebagai benteng terakhir keadilan, agar mendapat limpahan rahmat-Nya dan
kelak dalam mengambil keputusan mendapat petunjuk dari Tuhan yang Maha Esa
demi menegakkan peradilan yang terlepas dari intervensi pihak manapun dan
mendapat kekuatan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengambil keputusan yang
berdasarkan fakta-fakta yang ada selama proses pembuktian terlepas dari semua
opini publik yang dibangun oleh rekan-rekan media.

3. Demikian pula kami ucapkan terima kasih pada Jaksa Penuntut Umum yang dengan
seksama mengikuti persidangan tanpa pernah berhalangan, telah dengan sungguh-
sungguh melaksanakan tugasnya, dan telah mampu menyelesaikan proses
persidangan hingga pembacaan tuntutan, yang kesemuanya itu juga kami maknai
sebagai sikap professional dari Jaksa Penuntut Umum
4. Bahwa kami juga menyampaikan terima kasih pada hadirin pengunjung persidangan
ini yang telah mengikuti jalannya persidangan dengan tertib sehingga persidangan
dapat berjalan dengan lancar.

Terima kasih kami ucapkan pula pada rekan-rekan media yang telah memberikan
perhatian pada proses persidangan ini dan memberitakan yang sebenar-benarnya tanpa adanya
penambahan atau pengurangan berita hanya demi kepentingan rating semata, sehingga
masyarakat tidak terjebak pada pemahaman-pemahaman sesat akibat berita yang disampaikan
tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Semoga dengan disiarkannya persidangan ini dengan
akurat, terpercaya dan sesuai dengan fakta, masyarakat Indonesia akan melihat betapa
transparannya persidangan di Indonesia sekarang.

I. PENDAHULUAN

Ketua Majelis Hakim yang kami hormati,

Hakim Anggota yang kami hormati,

Saudara Jaksa Penuntut Umum,

Panitera,

Dan hadirin sidang yang kami hormati,

Serta sidang yang kami muliakan

Menurut Prof. Moeljatno, S.H., seorang Jaksa Penuntut Umum bagaikan garuda yang
mencengkram mangsanya dan tidak akan pernah melepaskannya lagi. Sehingga tidak lupa kami
ucapkan terima kasih sekali lagi pada Jaksa Penuntut Umum yang telah berusaha semaksimal
mungkin untuk berupaya membuktikan kebenaran dalam perkara ini.

Apabila terdapat perbedaan pendapat antara Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, dan
Penasihat Hukum, hal itu adalah suatu hal yang wajar dalam proses persidangan, jangan sampai
demi “memenangkan” perdebatan ini kita harus melupakan tujuan dari persidangan itu sendiri,
yaitu menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. Hal ini juga berkesesuaiandengan
doktrin Taverne:

“hakim bertolak dari hal-hal yang objektif menuju kepada kesimpulan yang subjektif,
Jaksa Penuntut Umum bertolak dari pemikiran yang subjektif ke kesimpulan yang objektif,
sedangkan Penasihat Hukum bertolak dari pemikiran yang subjektif untuk sampai pada
kesimpulan yang subjektif pula”

Jadi Nota Pembelaanini adalah salah satu alat peradilan untuk membantu Majelis Hakim
yang Terhormat untuk sampai pada suatu keyakinan dan dengan keyakinan bahwa kesalahan atas
suatu perbuatan dapat ditentukan secara benar, adil, dan baik bagi Terdakwa, serta bagi korban
dan masyrakat.

Pleidoi merupakan salah satu rangkaian dari due process of right yang dianut di dalam
system peradilan pidana Negara Indonesia. Pembacaan Pleidoi ini mengingat penjelasan umum
KUHAP butir c bahwa:

“setiap orang ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di

muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai

adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperboleh

kekuatan hukum tetap”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penjelasan umum KUHAP butir c merupakan suatu
manifestasi dari Asas Presumption of Innocence (praduga tidak bersalah), yang mana hal
tersebut otomatis berlaku pula bagi Terdakwa. Sehingga berdasarkan Pasal 182 ayat (1) butir b
KUHAP, bahwa Terdakwa dan pembelanya berhak mengajukan pembelaannya.

Untuk Kepentingan Siapa?! (Cui Bono)

Cui Bono merupakan istilah yang digunakan oleh Cicero, filsuf romawi yang juga
berprofesi sebagai Advokat, yang ia gunakan dalam pidato pembelaan kliennya di sidang
pengadilan terhadap dua kasus pembunuhan yang berbeda. Pidato dalam kasus pembunuhan
yang pertama berjudul “Pro Roscio Amerino”. Ini adalah kasus pidana pertama (causa publica)
yang dibela Cicero, di mana pada saat itu beliau berumur 27 tahun. Korban pembunuhan adalah
Sextus Rocius. Roscio, anaknya, dituduh sebagai pelaku pembunuhan ayahnya. Cicero membela
Roscio. Dalam pidatonya yang terdiri dari tiga bagian, Cicero dapat membuktikan bahwa
pembunuh Sextus Roscius bukanlah anaknya, tetapi merupakan hasil konspirasi pelaku
sebenarnya yaitu Magnus dan Capito, yang mendapatkan keuntungan kekayaan dari korban
pembunuhan.
Pidato pembelaan Cicero kedua berjudul “Pro Milone”- pembelaan atas sahabatnya, Titus
Annius Milo yang dituduh membunuh lawan politiknya, Publius Clodius Pulcher di Via Appia.
Walaupun pidato pembelaan Cicero diakui sebagai yang terbaik, namun dia gagal membebaskan
Milo karena tekanan massa pendukung Clodius dan intervensi politik terhadap para hakim dan
juri.

Pemaknaan Cui Bono sebagai suatu adagium Latin berarti adanya motif tersembunyi dari
suatu perbuatan. Dalam dunia hukum frasa ini kadang-kadang digunakan dalam pendeteksian
atau investigasi suatu kejahatan dengan pertanyaan utama, siapakah yang mendapat keuntungan
dari suatu tindakan. Cui Bono mengharuskan adanya pemahaman atas segala kemungkinan motif
suatu perbuatan termaksud maksud/niat yang ada dalam pikiran seseorang. Maka seharusnya kita
membuka mata, telinga, dan hati kita agar lebih peka dalam merasakan Untuk kepentingan
siapakah Terdakwa Edmund Seko, S.T.,M.T. disidangkan di pengadilan ini?

Perkara yang kita hadapi ini bukanlah perkara sumir biasa. Mengadili perkara ini tidak
sama seperti perkara mencuri ayam, akan tetapi perkara ini adalah perkara besar, perkara yang
sarat akan konspirasi dan berbagai kepentingan di dalamnya, selain itu perkara ini memiliki
ancaman pidana yang agak berat dan karenanya membuat nestapa bagi Terdakwa selama
hidupnya apabila terjadi kesalahan-kesalahan baik yang bersifat formil maupun materil yang
akan ikut menentukan ke arah mana persidangan ini akan dibawa. Sehingga oleh karenanya, kita
sebagai penegak hukum perlu adanya ketelitian serta keyakinan, terutama bagi Majelis Hakim
yang terhormat. Sehingga dalam putusannya nanti tidak semata-mata berpedoman pada apa yang
tersurat dalam Tuntutan Jaksa, akan tetapi lebih banyak bersandarkan pada hasil pemeriksaan
di dalam persidangan serta keyakinan Majelis Hakim sendiri. Tetapi kami selaku Penasihat
Hukum Terdakwa yakin dan percaya, bahwa Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini benar-
benar mempelopori diterapkannya sistem negative wettelijk dalam pemeriksaan perkara pidana,
sehingga kebenaran materil benar-benar dapat dicapai.

Miscarrige of Justice

Sebelum kita masuk pada pembahasan lebih lanjut dalam Pleidoi ini ada baiknya
kita kembali melihat drama satu babak di halaman-halaman depan buku Max Havelaar yang
ditulis oleh penulis terkenal kita pada masa kolonial, Multatuli yang peran utamanya yaitu
Barbertje telah digantikan oleh saudara Almer Reyhan Irsali, S.Agr. MM pada persidangan ini,
Berikut kisahnya:

SESEORANG konon telah membunuh Barbertje. Dan Lothario pun ditangkap. Ia dituduh
mencincang dan menggarami wanita itu, dan dibawa ke pengadilan. Inilah dialog di depan
mahkamah itu:

Lothario: "Tuan Hakim, saya tidak membunuh Barbertje saya memberinya makan, pakaian, dan
saya urus dia baik-baik... saya punya saksi-saksi yang bisa menerangkan bahwa saya orang
baik dan bukan pembunuh..."

Hakim : "Kau harus digantung... dosamu tambah besar karena kesombonganmu. Tidak pantas
orang yang dituduh bersalah menganggap dirinya seorang yang baik."

Lothario: "Tapi, Tuan Hakim, ada saksi-saksi yang bisa membuktikan itu dan karena saya
dituduh membunuh...."

Hakim : "Kau harus digantung! Kau telah mencincang-cincang Barbertje, menggaraminya, dan
kau puas dengan dirimu sendiri... Tiga kesalahan besar.”

Tiba-tiba, ke ruangan itu muncul seorang perempuan.


Hakim berseru: "Siapa kau, hai, perempuan?"

Perempuan itu menjawab: "Saya Barbertje...."


Mendengar itu, Lothario, si tertuduh, berkata, bersyukur. "Tuan Hakim," katanya, "Tuan lihat,
saya tidak membunuhnya !"

Hakim: "Hm... ya... begitu... tapi bagaimana tentang penggaraman?"

Barbertje: "Tidak, Tuan Hakim, dia tidak menggarami saya sebaliknya, dia banyak berjasa
kepada saya... dia seorang manusia yang mulia!"

Lothario: "Tuan dengar, Tuan Hakim, katanya saya seorang yang baik...."

Hakim tertegun. "Hm . . . " gumamnya. Tapi ia meneruskan, dengan suara tegas, bahwa
kesalahan ketiga yang diperbuat Lothario masih tetap ada. "Polisi, bawa orang itu,"
perintahnya. "Dia harus digantung. Dia bersalah karena dia congkak"
Lothario pun digantung esok harinya.

Gambaran Pengadilan untuk Lothario muncul lagi dalam ingatan kita ketika kita
menjalani persidangan pemeriksaan alat-alat bukti pada hari Senin, 4 Oktober 2010 dan pada hari
Rabu, 6 Oktober 2010. Bahwa fakta persidangan menunjukkan dakwaan penuntut Umum
tidaklah terbukti, ternyata tidak bisa diterima dengan lapang dada oleh Jaksa Penuntut Umum.
Jaksa Penuntut Umum begitu bernafsu ingin membuktikan bahwa Terdakwa adalah pesakitan
yang harus dihukum.

Hal ini terlihat dari cara Jaksa Penuntut Umum menjebak Terdakwa dengan pertanyaan-
pertanyaan yang bisa membuat Terdakwa dan para saksi mengakui suatu perbuatan yang
sebenarnya tidak dilakukan oleh Terdakwa. Jaksa Penuntut Umum terjebak sendiri oleh
gengsinya dan usahanya dalam menyelamatkan muka karena telah salah mendakwa Terdakwa
melakukan kejahatan. Apa yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum bukanlah merupakan
suatu usaha mencari suatu keadilan, melainkan telah berubah menjadi usaha Jaksa Penuntut
Umum dalam menyelamatkan gengsi dan nama baik nya karena kesalahan dan juga sikap tidak
gentleman Penuntut Umum yang tidak mau mengakui kesalahannya karena telah mendakwa
Terdakwa melakukan kejahatan. Saudara Penuntut Umum ternyata sudah lupa dengan semangat
“UNTUK KEADILAN” yang merupakan judul dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan yang
dibuat sendiri oleh Saudara Penuntut Umum. Sepertinya kita harus menerima kenyataan bahwa
semboyan “untuk keadilan” hanyalah sebuah bumbu pemanis untuk mengelabui kita dan tidak
pernah benar-benar dipraktekkan langsung oleh Jaksa Penuntut Umum.

Saudara Jaksa Penuntut Umum sepertinya masih belum menyadari bahwa apa yang
dilakukan oleh saudara Jaksa Penuntut Umum akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan
dunia-akhirat Terdakwa disini. Bukan hanya itu, tuntutan saudara Jaksa Penuntut Umum ini juga
akan menentukan masa depan keluarga Terdakwa, istri, anak-anak, dan juga orang-orang yang
menyayangi Terdakwa.

Majelis Hakim yang mulia,

Kita harus selalu waspada dengan Miscarriage of Justice, kegagalan dalam


menerapkan keadilan, jika tidak ingin menambah panjang sejarah kelam dunia peradilan kita.
Misscarriage of Justice adalah suatu kondisi dimana para penegak hukum yang memiliki
wewenang untuk menegakkan hukum, malah menyalahgunakan wewenangnya dan
menggunanakan hukum demi kepentingan pribadi. Dalam literatur hukum, Miscarriage of
Justice juga diartikan sebagai suatu kondisi hukum di mana seseorang yang tidak bersalah
diproses atau bahkan dihukum pidana padahal ia tidak bersalah atau tidak ada tindak
pidana yang dilakukan namun proses penegakan hukum telah mengarahkan pada dirinya
sebagai pelaku kejahatan.

Kita tentu masih ingat kisah peradilan sesat yang menyidangkan Sugik, Kemat,
dan Devid sebagai Terdakwa dalam kasus Pembunuhan Asrori di Pengadilan Negeri Jombang.
Tim advokat meninggalkan persidangan Sugik pada Hari Kamis, tanggal 25 September 2008,
sebagai bentuk protes keras terhadap Penuntut Umum dan Majelis Hakim yang masih saja
menyidangkan perkara tersebut walaupun alat-alat bukti dan bahkan bukti DNA menunjukkan
bahwa para Terdakwa bukanlah orang yang melakukan perbuatan tersebut. Pada akhirnya,
memang Sugik terbukti tidak bersalah dan di putus bebas oleh Majelis Hakim di Pengadilan
Negeri Jombang. Akan tetapi, Terdakwa lain yang dituduh bersama-sama dengan Sugik
melakukan pembunuhan yaitu Kemat dan Devid akhirnya divonis bersalah. Kemat divonis 17
tahun penjara dan Devid divonis 12 tahun penjara. Sebuah hukuman atas perbuatan yang sama
sekali tidak dilakukan oleh para Terdakwa.

Kita juga tentu masih ingat dengan kisah Miscarriage of Justice lainnya, seperti
dalam kasus Sengkon dan Karta yang dituduh membunuh, padahal pelakunya adalah orang lain.
Atau dalam kasus yang menimpa keluarga Philipus, dimana mereka sekeluarga dihukum karena
membunuh anak-anak dan isteri Rohadi, padahal bukan merekalah pelakunya.

Penuntut Umum telah memulai satu langkah untuk terciptanya sekali lagi kondisi
Misscarriage of Justice pada perkara ini dengan Surat Tuntutan yang disusunnya. Sekaligus akan
menambah panjang daftar peradilan sesat yang sudah ada di Indonesia selama ini apabila Majelis
Hakim yang terhormat mengabulkan tuntutan Saudara Penuntut Umum. Akan tetapi kami Tim
Penasihat Hukum Terdakwa sangat yakin dan percaya dengan integritas dari Majelis Hakim,
karena bukan sekali ini saja kami membela perkara di Pengadilan ini. Dan Majelis Hakim yang
namanya tertera di Surat Penetapan Pengadilan adalah hakim-hakim yang kami kagumi integritas
dan rasa keadilannya.

Gerald Sheindlin, seorang hakim Amerika yang berperan penting dalam menerima dan
mengakui alat bukti DNA dalam peradilan Amerika yang telah mengubah system peradilan
Amerika, pernah menggambarkan tentang Risa sugarman, asisten Jaksa wilayah Bronx Criminal
Court, sebagai berikut:

“Risa Regarded herself as the lonely voice speaking for the dead victims who could no
longer speak for themselves. The heart of justice, she believed, was never to let the murdered die
silently and anonymously. A human life was worth something. It was worth everything”.

Gambaran diri Risa Sugarman yang diungkapkan Sheindlin ini relevan untuk dijadikan
sebagai gambaran diri kita dalam melihat masalah Miscarriage of Justice. Kita harus menjadi
suara yang berbicara tentang korban-korban Miscarriage of Justice yang tidak dapat lagi
berbicara untuk diri mereka. Jantung keadilan itu tidak hanya membiarkan korban
pembunuhan mati secara diam-diam dan tidak dikenal, tapi juga tidak membiarkan
korban Miscarriage of Justice melamentasikan kematian keadilan di balik penjara, bahkan
juga mati diam-diam dan tak dikenal. Jantung penegakan hukum dalam sistem peradilan
pidana adalah keadilan. Hanya dengan tetap menjaga dan tetap memelihara denyut keadilan ini
baru kita dapat mengatakan kesejatian maknanya bahwa “a human life is worth something. It is
worth everything”.

Masalah Miscarriage of Justice merupakan isu aktual yang serius dibicarakan dewasa ini.
Di Negara-negara maju diantaranya Amerika serikat, Inggris, kanada, Australia, masalah ini
dibahas baik dari perspektif politik dan sosila yang dikaitkan dengan system peradilan pidana.
Lembaga-lembaga independen terus menyuarakan dan memperjuangkan keadilan bagi para
korban Miscarriage of Justice. Menurut data yang dirilis Forejustice hingga saat ini terdaftar
2.539 orang korban Miscarriage of Justice dan terjadi berbagai kasus Miscarriage of Justice di
70 negara dunia.
Jika kita menelisik data-data ini nampak beberapa gambaran, sebagai berikut: Pertama,
sebagian besar kasus Miscarriage of Justice terjadi di negara-negara maju yang memiliki sistem
pidana yang jauh lebih mapan dan peduli dengan persoalan penegakan hukum dan hak asasi
manusia; kedua, sistem peradilan pidana di negara-negara tersebut ternyata menunjukkan
Miscarriage of Justice; ketiga, kegagalan tersebut yang menyebabkan banyak korban
ketidakadilan menunjukkan fakta bahwa Miscarriage of Justice merupakan masalah serius dan
universal; keempat, menguatnya kesadaran masyarakat internasional akan seriusnya masalah
Miscarriage of Justice.

Dari data-data ini juga tergambar bahwa tidak adanya data korban Miscarriage of Justice
dari Indonesia. Hal ini dapat berarti; pertama, tidak ada korban Miscarriage of Justice di
Indonesia; atau yang kedua tidak adanya perhatian dalam masalah ini. Kami sendiri melihatnya
dalam arti yang kedua karena kenyataannya adalah banyak terjadi kasus-kasus miscacrriage of
justice di Indonesia.

Sidang yang kami muliakan,

Miscarriage of Justice merupakan masalah yang serius dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Masalah Miscarriage of Justice sama pentingnya dengan masalah hak asasi manusia.
Mengapa? Michael Kirby, dalam suatu kuliah yang diberikannya di London pada tanggal 4 Juni
1991 mengutip puisi T.S. Eliot berjudul “The Hollow Men”:

“Between the idea

And the reality

Between the motion

And the act

Falls the shadow”

Lebih lanjut Kirby mengungkapkan:

“between the idea of British justice and the reality, between the motion of our famous
legal procedures and the act of criminal conviction, a shadow has fallen which is called
Miscarriage of Justice. It casts its dark reflection to our four corners of the world where English
is spoken and the procedures of justice in this city have been copied by quarter humanity”

Michael Kirby dengan tepat melukiskan Miscarriage of Justice sebagai bayangan gelap
pemisah yang menciptakan kesenjangan antara keadilan dengan realitas, antara prosedur hukum
dalam suatu sistem peradilan pidana dengan tindakan penegakan hukum pidana.

Kata “Miscarriage” secara literal berarti kegagalan mencapai suatu tujuan yang
diinginkan. Penambahan kata “justice” di belakang kata “miscarriage” berarti kegagalan
mencapai suatu tujuan tegaknya keadilan. Apakah yang terjadi ketika suatu sistem peradilan
pidana gagal mencapai tujuan tegaknya keadilan?Martin Luther King, Jr (1929-1968),
pemenang hadiah nobel di tahun 1964, menyatakan bahwa hukum dan peraturan itu ada untuk
menegakkan keadilan dan ketika tujuan itu gagal tercapai, hukum dan peraturan itu menjadi
struktur bendungan yang berbahaya yang memblokir aliran kemajuan sosial. Pandangan Luther
King ini senada dengan filsafat hukum alam dari Gottfried Wilhem Leibniz(1646-1716), filsuf
terkemuka di Zaman Rasionalisme. Menurut Leibniz, prinsip dasar hukum alam, yang menjamin
pembangunan manusia dalam segala hubungannya, adalah keadilan.

Pandangan ini juga senada dengan pemikiran filsafat hukum George Gurvitch (1894-
1965), penganut aliran sosiologi hukum, yang meletakkan ide sentral dari sosiologi hukum pada
kenyataan normatif (fait normatif). Kenyataan normatif yang dimaksudkan Gurvitch adalah
penekanan pada hidup dalam masyarakat itu hanya dapat berjalan dalam keamanan, damai, dan
stabilitas sosial berkat hubungannya dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai hidup bersama
yang utama. Menurut Gurvitch, keadilan itu memegang peranan penting dalam membentuk
hukum positif. Hukum itu mendapat arti hukum seluruhnya dari nilai keadilan yang
diwujudkannya.

Pandangan-pandangan tersebut di atas menurut hukum itu, termasuk sistem peradilan


pidana untuk penegakan hukum, haruslah adil, yakni hukum harus mempunyai suatu isi yang
dapat dibenarkan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Hukum tidak hanya richtiges recht,
melainkan juga harus geresrecht recht sama seperti semboyan skolastik, “ius quia justum”
(hukum karena adil).

Inilah salah satu masalah yang muncul ketika terjadi Miscarriage of Justice dalam sistem
peradilan pidana. Hukum kehilangan legitimasinya dalam masyarakat. Hukum kehilangan
esensinya sebagai hukum dan kehilangan justifikasi dan sebab adanya (raison d’etre-nya). Sebab
Miscarriage of Justice adalah ketidakadilan dan hukum dan penegakan hukum melalui sistem
peradilan pidana yang tidak adil pada hakikatnya bukanlah hukum sebagaimana dinyatakan
dalam doktrin hukum Cicero, Agustinus, dan Aquinas, “Lex Iniusta non est Lex”.

Hal ini lebih lanjut dapat menghancurkan prinsip dan cita-cita Negara Hukum Modern.
Miscarriage of Justice merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
oleh negara melalui aparat penegak hukum/sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Hal ini
berarti juga Miscarriage of Justice melanggar hak-hak dasar konstitusional pada korban
Miscarriage of Justice.

Terjadinya Miscarriage of Justice dalam sistem peradilan pidana menunjukkan adanya


“the descent society” masyarakat yang direndahkan- di tengah perkembangan masyarakat
menuju suatu masyarakat beradab, civilized society. Masyarakat disebut sebagai suatu
masyarakat beradab apabila para anggota masyarakat tidak saling merendahkan satu dengan
yang lainnya. Sedangkan suatu masyarakat disebut sebagai “decent” apabila institusi sosial
dalam masyarakat itu tidak merendahkan anggota masyarakat. Institusi sosial, menurut Avishai
Margalit, dapat dideskripsikan dalam dua cara, yakni pertama, secara abstrak berupa hukum dan
aturan (rules and laws); kedua secara kongkrit, berupa tingkah laku aktual. Seorang anggota
masyarakat dapat direndahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia oleh institusi sosial yang
abstrak. Misalnya adanya aturan atau hukum bersifat rasialis atau diskriminatif. Dapat juga
seorang anggota masyarakat direndahkan harkat dan martabatnya oleh institusi sosial bersifat
konkrit. Misalnya hakim menghukum orang yang tidak bersalah.

Dalam Miscarriage of Justice institusi-institusi penegak hukum yang merepresentasikan


negara melakukan tindakan merendahkan harkat dan martabat anggota-anggota masyarakat
korban tindakan tersebut baik korban langsung (direct victim) Miscarriage of Justice yakni orang
yang dihukum, maupun korban tidak langsung (indirect victim) Miscarriage of Justice, yakni
keluarga, sahabat , dan lingkungan masyarakat.

Sidang yang kami muliakan,

Legitimasi sistem peradilan pidana terletak pada dua pilar yakni: efektivitas dan
kebenaran sistem peradilan pidana tersebut. Efektivitas dinilai dari kemampuan dan ketetapan
atau akurasi dalam mendeteksi, melakukan investigasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan dalam persidangan sampai dengan penjatuhan hukuman yang tepat bagi Terdakwa
yang telah tebukti bersalah melakukan suatu tindak pidana sampai tingkat pelaksanaan
pemidanaan.

Kebenaran dinilai dari ketelitian, kecermatan dan upaya-upaya kewajiban negara dengan
hak-hak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan dengan ketaatan pada prinsip-prinsip
hukum dan ketentuan-ketentuan standard prosedur yang ditetapkan perundang-undangan, suatu
proses dinilai benar jika memenuhi syarat-syarat: Pertama, adanya konsistensi penerapan
standar-standar terhadap siapapun dan sepanjang waktu, Kedua, tidak bisa oleh kepentingan
pribadi, Ketiga, akurasi keputusan yang didasarkan informasi dan fakta yang dapat dipercaya,
Keempat, dapat dikoreksi dalam arti terbuka untuk diperdebatkan dan dibanding, Kelima,
representasi dari semua hal tercakup di dalamnya, Keenam, etis, dalam arti terpenuhinya
standard-standard etika.

Syarat-syarat ini perlu dilengkapi syarat proses yang benar yang dikemukakan Bias &
Moag, yakni: “Respectful, treating those effected with consideration and dignity; justified, in the
explanation of the procedures and outcomes should be adequately reasoned and sincerely
communicated”. Dua hal ini merupakan keadilan interaksional (interactional justice).

Terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas mewujudkan suatu kebenaran prosedur, yakni


gagasan bahwa “If the primary legal procedural safeguard are in place then the procedur must
be fair, regardless of wether on actually think it is fair”. Terjaga dan terjaminnya kebenaran
prosedural melahirkan keadilan prosedural (procedural justice) dan memberikan legitimasi pada
sistem peradilan pidana.

Dalam membahas tentang keadilan prosedural ini kita kenal ada teori keadilan
prosedural. Teori ini menjelaskan mengapa persepsi-persepsi kebenaran itu tidak hanya didorong
oleh hasil akhir, sebagai tujuan dari keadilan distributif, tetapi juga dipengaruhi oleh proses yang
benar untuk mencapai hasil. Teori keadilan prosedural menjaga agar orang dapat melihat lebih
jauh dari sekedar putusan jangka pendek. Jadi, dapat terjadi keputusan yang tidak disukai
masih dapat diterima dengan syarat keputusan tersebut didasarkan pada proses yang
dipersepsikan benar.

Dari hasil-hasil studi dan riset mengenai keadilan prosedural menunjukkan bahwa
keputusan-keputusan negatif yang dibuat institusi-institusi penegak hukum dapat diterima oleh
masyarakat tanpa kehilangan loyalitas dan respek terhadap institusi-institusi tersebut jika
masyarakat meyakini bahwa keputusan-keputusan tersebut benar secara prosedural. Hal ini
menunjukkan bahwa keadilan prosedural kuat mempengaruhi legitimasi institusional dan
mempengaruhi penerimaan keputusan-keputusan institusi-institusi tersebut. Dalam Miscarriage
of Justice syarat-syarat untuk terjadinya proses yang benar tidak terjadi sehingga tidak memenuhi
kebenaran prosedural dan putusan-putusan dibuat tidak berdasarkan keadilan prosedural.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya Miscarriage of Justice ini. Diantara faktor-
faktor tersebut seperti dikemukakan H. Archibal Kaiser, yakni: putusan yang salah,
investigasi polisi yang salah arah, pembela yang tidak kompeten, persepsi yang salah oleh
jaksa penuntut umum akan perannya, asumsi faktual dari kesalahan Terdakwa, bukti
identifikasi yang tidak cukup, tekanan masyarakat pada Terdakwa, pengakuan yang salah,
tidak cukup atau salah interpretasi dari bukti forensik, bias yudisial, presentasi yang
buruk dalam melakukan upaya hukum di pengadilan tingkat banding, kasasi serta
kesulitan menemukan bukti-bukti baru yang diterima pada tingkat peninjauan kembali.

Profesor hukum Grant Hammond yang juga hakim di Court of Appeal of New
Zealand, dalam paparnya berjudul “The NewMiscarriage of Justice” yang disampaikan di The
Harkness Henry Lecture di Universitas Waikato pada tahun 2006 menyatakan: “In the end of the
day, Miscarriage of Justice cases are about justice in the most fundamental sense”. Masalah
Miscarriage of Justice tidak lain dari persoalan keadilan dalam persoalan yang paling mendasar,
yakni persoalan pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak individu anggota masyarakat korban
Miscarriage of Justice oleh negara yang direpresentasikan oleh institusi-institusi penegak hukum
dan dilakukan melalui sistem peradilan pidana.

Dari perspektif ini Clive Walker merumuskan bahwa suatu Miscarriage of Justice terjadi
manakala ada perlakuan negara yang melanggar hak-hak dari tersangka, Terdakwa, atau
terpidana. Hal ini dapat terjadi karena: Pertama, defisiensi proses; Kedua, hukum yang
diterapkan pada tersangka, Terdakwa, atau terpidana; Ketiga, tidak adanya justifikasi faktual
untuk menerapkan perlakuan atau hukuman; Keempat, tersangka atau Terdakwa atau terpidana
diperlakukan sebagai musuh oleh negara melampaui kepentingan melindungi hak orang lain;
Kelima, hak-hak pihak lain tidak secara proporsional dan efektif terlindungi oleh tindakan negara
terhadap pelaku kejahatan; Keenam, oleh hukum itu sendiri. Walter menyebut hal-hal ini sebagai
kategori penyebab terjadinya Miscarriage of Justice.

Berdasarkan enam kategori ini Walker empat ciri penting yang tercakup dalam
Miscarriage of Justice, yakni: Miscarriage of Justice tidak hanya terbatas pada produk
pengadilan atau dalam peradilan pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar pengadilan, dalam
bentuk seluruh kekuasaan dari penegak hukum yang bersifat memaksa; Miscarriage of Justice
dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk legalisasi biaya-biaya tidak resmi.
Miscarriage of Justice juga mencakup kelemahan negara ketika menjalankan tanggungjawabnya.
Miscarriage of Justice berkaitan dengan hak-hak.

Poin keempat ini merefleksikan suatu pendekatan berdasarkan hak-hak individualistik


terhadap Miscarriage of Justice sebagaimana perkembangan dewasa ini yang semakin banyak
menggunakan teori hak individual dalam menganilisis sistem peradilan pidana.

Lebih lanjut Walker menjelaskan bahwa keenam kategori menyebabkan terjadinya


Miscarriage of Justice dapat menimbulkan suatu kegagalan yang tidak bersifat langsung yang
mempengaruhi komunitas masyarakat secara keseluruhan. Suatu penghukuman yang lahir dari
ketidakjujuran atau rekayasa akan menimbulkan tuntutan terhadap legitimasi negara yang
seharusnya menghormati hak-hak individu. Dalam konteks ini Miscarriage of Justice akan
menimbulkan bahaya bagi integritas moral dalam proses pidana. Bahkan lebih jauh lagi, dapat
merusak kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum.

Sidang yang kami muliakan,

Hal-hal yang menyebabkan Miscarriage of Justice sebagaimana dikemukakan H.


Archibal Kaiser dan Clive Walker juga menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya Miscarriage
of Justice di Indonesia. Tetapi perkenankanlah kami menelisik lebih jauh persoalan yang lebih
mendasar faktor-faktor tersebut, khususnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Persoalan mendasar pertama adalah, hukum telah dikonversikan menjadi alat


kekuasaan. Dalam konstitusi kita memang dinyatakan dengan tegas bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Apa artinya itu? Tidak lain adalah Indonesia adalah negara yang adil. Mengapa?
Karena kesejatian hukum adalah keadilam dengan dua prinsip sederhana yang berlaku universal,
yakni Neminem Laedere (jangan merugikan orang) dan Unicique Sumtribuere (berikan kepada
tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya). Dua prinsip ini berlaku tidak hanya dalam relasi
antara orang perorang dalam masyarakat dan relasi individu dengan komunitasnya, tetapi juga
relasi antara negara dengan warga negara. Artinya negara tidak boleh merugikan anggota
masyarakat dan memberikan kepada warga negara apa yang menjadi haknya. Tujuan hukum
adalah mencegah berkuasanya ketidakadilan, yakni kekuasaan yang melanggar dua prinsip
tersebut di atas
Hukum hanya dihormati masyarakat dalam kesejatian makna dan tujuannya ini.
Para pendiri negara kita menyadari bahwa negara dan masyarakat Indonesia tidak dapat eksis
jika hukum tidak dihormati. Kalaupun eksis, negara dan masyarakat itu hidup dalam krisis yang
panjang.

Ketika hukum telah dikonversikan menjadi alat kekuasaan, maka institusi-institusi


penegakan hukum mempersepsikan diri sebagai organ-organ negara yang memiliki otoritas
hukum yang adalah alat kekuasaan itu. Ketika dipersepsikan demikian, maka institusi-institusi
penegakan hukum, kepolisian, kejaksaan, KPK, pengadilan yang direpresentasikan masing-
masing oleh aparat penegak hukum, tidak lagi imun terhadap penyakit kekuasaan yang
diungkapkan Lord Acton itu, “power tends to corrupt, and absolutely power tends to corrupt
absolutely”. Maka terjadilah praktik korupsi yudisial (Judicial Corruption) dalam sistem
peradilan pidana.

Korupsi yudisial itu dapat terjadi dalam beberapa bentuk tergantung pada
kepentingan atau keuntungan (motivasi) yang hendak dicapai, antara lain: pertama, dalam
bentuk transaksi hukum. Kasih uang habis perkara (KUHP). Keputusan yang dibuat dalam
sistem peradilan pidana tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan moral dan keadilan, tetapi
semata-mata berdasarkan besaran uang atau materi yang dibayarkan pada aparat penegak hukum;
kedua, intervensi kekuasaan politik dari elit politik. Ini dapat terjadi karena adanya
persekongkolan antara elit politik dengan para penegak hukum. Dengan persekongkolan itu
kepentingan elit politik dapat dilindungi di satu pihak, dan di pihak lain aparat penegak hukum
mendapatkan keuntungan pengamanan posisi jabatan atau promosi jabatan. Persekongkolan ini
umumnya terjadi pada tingkat elit pimpinan institusi-institusi penegak hukum. Dalam bentuk
hubungannya ini, hukum dan sistem peradilan pidana digunakan sebagai alat kepentingan politik.

Hukum yang dikonversikan jadi alat kekuasaan itu seringkali tidak kasat mata,
tetapi dikemas, dibungkus dengan itikad baik. Tetapi itikad itu bukanlah itikad baik yang
merupakan fondasi keadilan sebagaimana pernah diungkapkan Marcus tilius Cicero (106 SM-
43 SM), advokat, penulis, filsuf, orator, dan negarawan romawi. Itikad baik itu bukanlah sebagai
fondasi keadilan, tetapi hanya merupakan topeng. Sejatinya, merupakan suatu tirani itikad baik.

Sidang yang kami muliakan,

Tujuan dari peradilan adalah menemukan kebenaran obyektif


(Objective Truth) dengan melindung Hak-hak Asasi si Terdakwa dan mencegah orang yang tidak
bersalah dijatuhi pidana. Hakim investigasi merupakan lembaga yang dimaksudkan untuk
mewujudkan tujuan peradilan tersebut. Menurut pendapat kami, lembaga hakim investigasi
sudah saatnya diimplementasikan wewenang dari hakim investigasi dalam mengawasi tindakan
dan diskresi yang dimiliki aparat Penegak Hukum, meliputi Polisi, Jaksa, Pengadilan, LP dan
Advokat. Hakim investigasi memiliki wewenang untuk memeriksa aparat penegak hukum yang
diduga melakukan pelanggaran HAM terhadap Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana. disamping
memiliki wewenang melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa yang dilanggar HAM-nya,
saksi-saksi, dan bukti-bukti, hakim investigasi juga diberi wewenang untuk memberi perintah
penahanan, penggeledahan, dan upaya paksa lain(coercive measures).

Hakim investigasi berbeda dengan trial judges (hakim yang menyidangkan perkaranya)
dapat mencegah suatu penuntutan yang sewenang-wenang, tuntutan yang didasari oleh alasan-
alasan pribadi atau alasan-alasan balas dendam. Penuntutan yang demikian itu disebut Malice
Prosecution yaitu penyalahgunaan penuntutan (Abuse of Prosecution) yang tidak dibenarkan
oleh hukum. Dengan dibentuknya hakim investigasi, maka akan tercapai hukum acara yang baik
(due process of law atau behoorlijk strafprossrecht).
Secara umum SPP (Sistem Peradilan Pidana) bertujuan untuk menghukum mereka yang
bersalah melakukan kejahatan. Kegagalan dalam menegakkan hukum terjadi jika seorang yang
tidak bersalah dihukum atau sebaliknya orang yang bersalah tidak dihukum. Untuk menekan
kemungkinan terjadinya kegagalan, maka SPP menerapkan prosedur upaya paksa (dwang
middelen) yang seimbang. Prosedur ini bertujuan untuk melindungi HAM orang yang tidak
bersalah dan juga melindungi hak-hak asasi tersangka/Terdakwa yang bersalah sama baiknya.
Keterbatasan tersebut menurut George Sher, terjadi karena betapapun sempurnanya SPP, sistem
tersebut secara terus-menerus tidak mungkin akan memuaskan rasa keadilan masyarakat.

Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan olehaparat penegak hukum
dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan yang berlaku. Tindakan
hukum ini dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seseorang, seperti antara lain
penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.
Artinya apabila aparat penegak hukum melaksanakan tindakan hukum dengan tidak berdasarkan
hukum, maka tindakan itu pasti merupakan pelanggaran HAM.

Sebagaimana telah kita sama-sama ketahui, KUHAP telah menempatkan tersangka atau
Terdakwa dalam posisi his entity and dignity as a humanbeing, yang harus diperlakukan sesuai
dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, hak-hak asasi
manusia yang melekat pada diri tersangka dan Terdakwa tidak boleh dikurangi. Berdasarkan
KUHAP, hak-hak asasi utama tersangka atau Terdakwa yang harus dijunjung antara lain:

a. Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum

Baik tersangka, Terdakwa, maupun aparat penegak hukum adalah sama-sama warga
negara yang mempunyai hak, kedudukan, dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, yakni
sama-sama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu
siapapun harus diperlakukan sama tanpa diskriminasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum.
Setiap orang, apakah dia Tersangka atau Terdakwa, berhak mendapatkan perlindungan hukum
tanpa adanya diskriminasi (entitled without any discrimination to equal protection of the law).

b. Praduga tak bersalah

Setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya


dibuktikan dalam sidang pengadilan yang bebas dan jujur di muka umum. Hak asasi inilah yang
menjadi salah satu prinsip dalam penegakan hukum yang diamanatkan KUHAP yakni:

1. Presumption of innocence atau praduga tak bersalah

2. Kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam pengadilan yang berimbang


atau fair trial dan tidak memihak (impartialty)

3. Persidangan harus terbuka untuk umum

4. Persidangan harus dilakukan tanpa campur tangan dari pemerintah atau


kekuasaan sosial politik manapun. Terdakwa harus diadili dalam suatu
peradilan yang mengemban independent judicial power encroachments
by government or political parties.

c. Penangkapan atau penahan harus didasarkan bukti permulaan yang cukup.

Wewenang aparat penegak hukum dalam melakukan penangkapan dan penahanan


harus dibatasi dan didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Penangkapan tidak bisa
didasarkan pada selera dan sikap masa bodoh aparat penegak hukum.
d. Hak mempersiapkan pembelaan secara dini.

KUHAP memberikan kebebasan kepada tersangka atau Terdakwa untuk


didampingi Penasihat Hukum dalam setiap tingkat pemeriksaanm mulai dari tingkat
penyelidikan.

Pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai KUHAP dapat diketahui dari konsideran huruf c
KUHAP:

“pembangunan hukum nasional yang demikian itu dalam bidang Hukum Acara Pidana adalah
agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap
para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing; ke arah
tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945”.

II. FAKTA PERSIDANGAN

Ketua Majelis Hakim yang kami hormati,

Hakim Anggota yang kami hormati,

Saudara Jaksa Penuntut Umum,

Panitera,

Dan hadirin sidang yang kami hormati,

Serta sidang yang kami muliakan.

Dalam bagian kedua Pleidoi ini, kami akan menguraikan pokok–pokok pembelaan lebih
rinci dengan mulai memasuki dan membahas materi pembuktian perkara persidangan, yakni
tentang fakta-fakta perkara yang diuraikan. Pertama fakta dalam Surat Dakwaan dan kedua
keterangan-keterangan dalam sidang yakni “keterangan yang mengemukakan dan atau
dikemukakan” dalam persidangan perkara ini yakni yang bersumber dari alat-alat bukti yang
diajukan selama persidangan, apakah merupakan fakta deskriptif, artinya sekedar keterangan saja
sehingga tidak bernilai menurut hukum pembuktian ataukah fakta perspektif (fakta hukum) yang
bernilai dan relevan dengan pembuktian selanjutnya.

Oleh karena itu, keterangan-keterangan “yang dikemukakan” dalam sidang akan kami
klasifikasikan pula ke dalam dua bentuk itu yakni “Fakta Deskriptif dan Fakta Preskriptif”.
Dimaksudkan sebagai fakta deskriptif ialah keterangan yang disampaikan oleh saksi atau
keterangan ahli serta keterangan yang dikutip dari alat bukti surat sebelum diuji
keabsahannya dan atau kebenarannya menurut hukum pembuktian yang diatur dalam
Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksudkan
dalam perkara ini fakta deskriptif itu adalah transkripsi dari seluruh keterangan-keterangan saksi,
ahli dalam sidang.
Kemudian yang dimaksudkan sebagai fakta preskriptif ialah keterangan yang
disampaikan oleh saksi atau keterangan yang dikutip dari alat bukti surat atau keterangan
ahli yang sudah diuji keabsahan dan atau kebenarannya menurut hukum pembuktian
yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Perlu dijelaskan bahwa
dalam perkara ini bahwa yang dimaksudkan fakta preskriptif adalah ekstrak keterangan-
keterangan berdasarkan hukum pembuktian dari alat-alat bukti yang sah. Oleh karena keterangan
dalam fakta preskriptif telah diuji keabsahan dan atau kebenarannya maka dalam Pleidoi ini akan
disebut juga sebagai “Fakta Hukum”, artinya keterangan yang sah sebagai pembuktian suatu
fakta atau keadaan dari alat bukti yang diajukan.

Fakta hukum ini akan diaplikasikan pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan
untuk menjawab pertanyaan apakah Fakta Hukum telah memenuhi unsur-unsur tindak pidananya
atau tidak untuk dapat menyimpulkan secara sah apakah ada perbuatan melawan hukum yang
dilakukan klien kami. Atas fakta hukum itu. Konkritnya, bila fakta hukum memenuhi semua
unsur-unsur tindak pidananya artinya dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan
oleh karenanya patut dihukum. Namun, bila fakta hukum itu tidak memenuhi semua unsur-unsur
tindak pidananya artinya dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka harus
dibebaskan.

Dalam Pleidoi ini fakta deskriptif, yakni keterangan yang disampaikan saksi, dan isi alat
bukti surat secara apa adanya sebagaimana sudah disinggung diatas selengkapnya akan dijadikan
sebagai lampiran Pleidoi ini dalam bentuk transkripsi. Oleh karenanya, fakta deskriptif ini
akurat, lengkap, dan sah sebagai bahan pertimbangan yang obyektif. Fakta preskriptif atau fakta
hukum ini akan menjadi materi Pleidoi lebih lanjut yakni sebagai materi analisa hukum perkara
ini untuk menentukan ada atau tidak ada fakta dan kesalahan Terdakwa sebagaimana
didakwakan dan dituntut.

Dengan kata lain, apakah benar terbukti kebenaran dari fakta hukum dakwaan Tim Jaksa
Penuntut Umum.

sah apakah ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan klien kami. Atas fakta hukum itu.
Konkritnya, bila fakta hukum memenuhi semua unsur-unsur tindak pidananya artinya dakwaan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan oleh karenanya patut dihukum. Namun, bila fakta
hukum itu tidak memenuhi semua unsur-unsur tindak pidananya artinya dakwaan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan maka harus dibebaskan.

Dalam Pleidoi ini fakta deskriptif, yakni keterangan yang disampaikan saksi, dan isi alat
bukti surat secara apa adanya sebagaimana sudah disinggung diatas selengkapnya akan dijadikan
sebagai lampiran Pleidoi ini dalam bentuk transkripsi. Oleh karenanya, fakta deskriptif ini
akurat, lengkap, dan sah sebagai bahan pertimbangan yang obyektif. Fakta preskriptif atau fakta
hukum ini akan menjadi materi Pleidoi lebih lanjut yakni sebagai materi analisa hukum perkara
ini untuk menentukan ada atau tidak ada fakta dan kesalahan Terdakwa sebagaimana
didakwakan dan dituntut.
Dengan kata lain, apakah benar terbukti kebenaran dari fakta hukum dakwaan Tim Jaksa
Penuntut Umum.

A. KETERANGAN SAKSI

1. SAKSI A CHARGE

. Nama Lengkap: Tegar Rastratama Tempat lahir : Jakarta, Umur / tanggal


lahir: 42 tahun /17 Desember 1976, Jenis Kelamin: Laki-laki, Warga Negara:
Indonesia, Agama: Islam, Alamat Tinggal: Jl. Tawakal ujung No.7 Kelurahan:
Tomang,Kecamatan : Grogol pertamburan Jakarta, Pendidikan: strata 2,
memberikan keterangan dibawah sumpah, pada pokoknya sebagai berikut :

• Bahwa benar saksi mengenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan
TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi bersedia akan memberikan keterangan dengan sebenar-
benarnya
• Bahwa benar saksi sekarang ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
• Bahwa benar saksi mengenal TERDAKWA sebagai rekan kerja sebagi
insinyur di perusahaan perminyakan PT.Jaya Perkasa di daerah Sulawesi
Tenggara
• Bahwa benar saksi mengenal Nuke Listyawati sebagi istri dari TERDAKWA
• Bahwa benar saksi mengetahui status pernikahan sah Nuke listyawati dengan
TERDAKWA .
• Bahwa benar saksi menanyakan perihal tentang pernikahan yang dilakukan
oleh TERDAKWA dengan Nadia Pratiwi.
• Bahwa benar saksi mendapat jawaban bahwa TERDAKWA sudah
menceraikan Nuke Listyawati dari TERDAKWA prihal pernikahannya
dengan Nadia Pratiwi.
• Bahwa benar saksi menanyakan tentang status pernikahan Nuke listyawati
dengan TERDAKWA pada Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi mendapatkan keterangan mengenai jawaban dari Nuke
Listyawati bahwa status pernikahannya masih resmi menikah dengan
TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi menghadiri dan menyaksikan pernikahan TERDAKWA
dengan Nadia Listyawati.
• Bahwa benar saksi memberitahu kepada Nuke Listyawati bahwa
TERDAKWA sudah menikah dengan Nadia Pratiwi.
• Bahwa benar saksi hadir dan menyaksikan pernikahan TERDAKWA dengan
Nadia Listyawati.

Atas keterangan Saksi tersebut di Persidangan, Terdakwa


menyatakan keberatan

2. Nama Lengkap: Nuke Listyawati, Tempat lahir : Bogor, Umur / tanggal lahir:
39tahun / 15 November 1979, Jenis Kelamin: Perempuan, Warga Negara:
Indonesia, Agama: Islam, Alamat Tinggal: Jl. Mandela selatan No.23 Rt/Rw
001/004,kelurahan: Grogol,kecamatan:Grogol pertamburan,Jakarta barat
Pekerjaan: sekretaris swasta pendidikan: strata 1, memberikan keterangan
dibawah sumpah, pada pokoknya sebagai berikut :
• Bahwa benar saksi menikah dengan TERDAKWA pada hari Selasa, 20 Mei
2008, dihadapan Ustad La Ode Muhammad Apri di Kantor Urusan Agama
Grogol Petamburan Jakarta Barat.
• Bahwa benar saksi mengetahui bahwa TERDAKWA bekerja di perusahaan
minyak PT. Jaya Perkasa sebagai Insinyur.
• Bahwa benar saksi Bekerja di PT. Cipta Karya Mandiri yang berkantor di
Jakarta Selatan.
• Bahwa benar saksi pernah mengalami cekcok dalam rumah tangganya dengan
TERDAKWA pada Januari 2015 dengan Alasan TERDAKWA yang sangat
sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak ada waktu dengan keluarga
• Bahwa benar saksi kerapkali di bentak oleh TERDAKWA selepas percekcokan
dengannya.
• Bahwa benar saksi sempat diminta pisah ranjang oleh TERDAKWA hingga
akhirnya saksi pindah tempat tinggal ke tempat Ibunya.
• Bahwa benar saksi diminta buku nikahnya oleh TERDAKWA ketika pamit
untuk bekerja ke Sulawesi Tenggara pada 1 Februari 2018.
• Bahwa benar saksi tidak memberikan buku nikahnya kepada TERDAKWA
karena dianggap tidak ada hubungan dengan pekerjaannya.
• Bahwa benar saksi tidak menerima surat panggilan dari Peradilan Agama
Jakarta Barat perihal kasus perceraian yang dipaparkan.
• Bahwa benar saksi mendapatkan Informasi perihal pernikahan TERDAKWA
dengan Nadia Pratiwi dari Tegar Rastratama di Sulawesi Tenggara, melalui
telepon seluler.
• Bahwa benar saksi belum bercerai dengan TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi mengenal dengan Tegar Rastratama sebagai teman dari
TERDAKWA
• Bahwa benar saksi mendapat kabar dari Tegar Rastratama bahwa
TERDAKWA melakukan pernikahan pada hari minggu, 15 juli 2018 dengan
Nadia Pratiwi.
Atas keterangan Saksi tersebut di Persidangan, Terdakwa
menyatakan keberatan

3. Nama Lengkap : Anung Nusanto, Tempat Lahir: Jakarta, Umur/Tanggal Lahir:


38 Tahun, 29 April 1980, Jenis Kelamin: Laki-Laki, Kebangsaan: Indonesia,
Alamat: Jl.Rawabuaya RT/RW 012/002,Kelurahan:Cengkareng
Barat,Kecamatan:Cengkareng,Jakarta Barat Agama: Islam, Pekerjaan: Petugas
Keamanan, Pendidikan: SMP. Dibawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan sebagai berikut:

• Bahwa benar saksi mengetahui status perkawinan resmi antara TERDAKWA


antara Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi bekerja sebagai petugas keamanan di kediaman
TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi menyaksikan percekcokan antara TERDAKWA dengan
Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi telah bekerja dengan TERDAKWA sejak awal pernikahan
dengan Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi mengetahui bahwa terdakwa bekerja di perusahaaan
perminyakan PT. Jaya Perkasa di Sulawesi Tenggara.
• Bahwa benar saksi mengetahui bahwa Nuke Listyawati bekerja di PT.Cipta
Karya Mandiri.
• Bahwa benar saksi menerima surat panggilan milik Nuke Listyawati dari
Pradilan Agama Jakarta Barat soal perceraian.
• Bahwa benar saksi di perintah oleh terdakwa untuk menahan surat panggilan
tersebut agar tidak disampaikan pada Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi mengetahui sidang perceraian TERDAKWA tanpa
kehadiran Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi mengetahui TERDAKWA berniat menceraikan Nuke
Listyawati untuk menikah kembali.

Atas keterangan Saksi tersebut di Persidangan, Terdakwa


menyatakan keberatan

4. Nama Lengkap: Iptu.Romariotua Tempat lahir : Jakarta, Umur /


tanggal lahir: 42 tahun /19 September 1976, Jenis Kelamin: Laki-laki,
Warga Negara: Indonesia, Agama: Islam, Alamat Tinggal: Jl.Rawa Baya
Kelurahan: Cenkareng Barat ,Kecamatan : Cengkareng Kota Jakarta,
Pendidikan:SMA memberikan keterangan dibawah sumpah, pada
pokoknya sebagai berikut
• Bahwa benar saksi sewaktu diperiksa dalam keadaan sehat jasmani dan
rohani.
• bahwa benar saksi bersedia untuk memberikan keterangan yang benar
dan bersedia untuk disumpah.
• Bahwa benar saksi mengenal TERDAKWA dan tidak memiliki
hubungan keluarga dengan TERDAKWA
• Bahwa benar saksi merupakan polisi yang bertugas di Jakarta Barat.
.
• Bahwa benar saksi melakukan perencanaan pertemuan dengan
TERDAKWA .
• Bahwa benar saksi mengetahui permasalahan pada rumah tangga
TERDAKWA dengan Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi melakukan pertemuan dan kesepakatan di Join Coffe
di jl.Bulungan Blok C1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
• Bahwa benar saksi melakukan surat keterangan palsu kehilangan buku
nikah TERDAKWA dengan Nuke Listyawati yang di perintahkan oleh
TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi pada hari Kamis,8 Februari 2018 memberi kepada
TERDAKWA surat keterangan kehilangan palsu buku nikah
TERDAKWA.
• Bahwa benar TERDAKWA menerima hasil surat pemalsuan surat
keterangan kehilangan palsu yang diberikan oleh saksi.

Atas keterangan Saksi tersebut di Persidangan, Terdakwa


menyatakan keberatan

2. SAKSI A DE CHARGE

1. Nama Lengkap :Winda Kusumawati, Tempat Lahir: Aceh,


Umur/Tanggal Lahir: 69 Tahun, 7 Agustus 1949, Jenis Kelamin: Perempuan,
Kebangsaan: Indonesia, Alamat: Gampong Lancong, Kelurahan Lancong ,
Kecamatan Sungai Mas, Kota Aceh Barat, Agama: Islam, Pekerjaan: Ibu
Rumah Tangga, Pendidikan: Sekolah Lanjut Tingkat Atas. Dibawah sumpah
pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:

• Bahwa benar saksi merupakan orangtua dari TERDAKWA.


• Bahwa benar saksi akan bersedia memberikan keterangan dengan sebenar-
benarnya.
• Bahwa benar saksi sekarang ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
• Bahwa benar saksi mengetahui dari TERDAKWA bahwa TERDAKWA
dengan Nuke Listyawati sudah bercerai.
• Bahwa benar saksi mengetahui TERDAKWA selaku putranya sudah
menikah lagi dengan Nadia Pratiwi.
• Bahwa benar alamat saksi sesuai dengan identitasnya.
• Bahwa benar saksi mengenal Nuke Listyawati sebagai menantu dari saksi.
• Bahwa benar saksi mengetahui bahwa TERDAKWA dengan Nuke
Listyawati pernah bertengkar.
• Bahwa benar saksi hadir dan menyaksikan pernikahan TERDAKWA
dengan Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi sudah mengenal Nadia Pratiwi sebagai istri
TERDAKWA.

Atas keterangan Saksi tersebut di Persidangan, Terdakwa


menyatakan tidak keberatan dan menerimanya.

2. Nama Lengkap :Nadia Pratiwi, Tempat Lahir: Sulawesi, Umur/Tanggal Lahir: 37


Tahun, 18 November 1981, Jenis Kelamin: Perempuan, Kebangsaan: Indonesia, Alamat:
JI. Betoambri No. 57, RT/RW 001/014, Kelurahan Mona Barat, Kecamatan Sulawesi
Tenggara, Kota Sulawesi Tenggara, Agama: Islam, Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga,
Pendidikan: Sekolah Menengah Atas. Dibawah sumpah pada pokoknya memberikan
keterangan sebagai berikut :

• Bahwa benar saksi mengenal dan memiliki hub-


ungan dengan TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi juga mengenal Tegar Rastramata sebagai teman kerja
TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi akan memberikan keterangan sebenar-benarnya.
• Bahwa benar saksi sehat secara jasamani dan rohani.
• Bahwa benar saksi mengetahui jika TERDAKWA sudah bercerai dengan
istrinya bernama Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi sudah mengenal oleh orangtua TERDAKWA Winda
Kusumawati.
• Bahwa benar alamat saksi sesuai dengan identitas.
• Bahwa benar saksi memberikan keterangan didahului dengan sumpah.
• Bahwa benar saksi mengetahui bahwa TERRDAKWA sudah bercerai dengan
istri pertamanya.
• Bahwa benar saksi sehat dan siap untuk mengikuti persidangan pada hari ini.

Atas keterangan Saksi tersebut di Persidangan, Terdakwa


menyatakan tidak keberatan dan menerimanya.

3. Keterangan Ahli

Dr.Rogomos Simamora S.H M.H lahir di Sumatera Utara, 12 Januari 1960,


Umur 58 Tahun, Jenis Kelamin Laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Agama Kristen
Protestan, Pendidikan terakhir Strata 3, pekerjaan Dosen di Universitas Trisakti, Alamat
Jl. Rawa Buaya No. 12A, Jakarta Barat. Ahli dibawah sumpah di persidangan pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut :
 Bahwa benar ahli Dr.Rogomos Simamora S.H M.H sewaktu diperiksa dalam keadaan
sehat jasmani dan rohani serta akan memberikan keterangan dengan sebenarnya.
 Bahwa benar ahli Dr.Rogomos Simamora S.H M.H adalah Dosen di Universitas Trisakti
 Bahwa benar ahli Dr.Rogomos Simamora S.H M.H tidak mengenal terdakwa Edmund
Seko
 Bahwa benar ahli Dr.Rogomos Simamora S.H M.H bersedia untuk di sumpah
 Bahwa menurut Dr.Rogomos Simamora S.H M.H (Erdianto Effendi, 2011 : 97) tindak
pidana merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab.
 Bahwa menurut Dr.Rogomos Simamora S.H M.H, Pemalsuan Surat adalah perbuatan
yang dilakukan pelaku dengan cara mengubah surat asli sedemikian rupa, hingga isinya
menjadi lain dari aslinya.
 Bahwa menurut Dr.Rogomos Simamora S.H M.H, pengertian Surat adalah sarana
komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi tertulis oleh suatu pihak
kepada pihak lain baik yang berkaitan dengan kegiatan bisnis maupun non bisnis.
 Bahwa menurut Dr.Rogomos Simamora S.H M.H, Pemalsuan adalah kejahatan yang
didalamnya mengandung sistem ketidakbeneran atau palsu atas suatu hal (objek) yang
sesuatunya itu nampak dari seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya
bertentangan dengan yang sebenarnya
 Bahwa menurut Dr.Rogomos Simamora S.H M.H, merumuskan Unsur-unsur tindak
pidana sebagai berikut :
- Barang siapa
- Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik
- Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah
keterangan sesuai dengan kebenaran.
 Bahwa menurut Dr.Rogomos Simamora S.H M.H, membuat keterangan palsu, yakni
berupa surat pernyataan, mengubah (menambah, mengurangi, atau merekayasa) surat
tersebut sedemikian rupa, sehingga isinya tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.
 Arti dari menambahkan adalah membubuhkan (sesuatu) supaya menjadi banyak
(lengkap, dan sebagainya)
 Arti dari mengurangi adalah mengambil atau memotong sebagian dari surat keterangan
 Arti dari merekayasa adalah penerapan kaidah-kaidah ilu dalam pelaksanaan (seperti
perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan system
yang ekonomis dan efisien)

1. KETERANGAN TERDAKWA
 Bahwa benar Edmund Seko merupakan suami
dari Nuke Listyawati.
 Bahwa benar pada bulan Januari 2015 terjadi
pertengkaran antara Edmund Seko dengan
Nuke Listyawati.
 Bahwa benar alasan terjadinya pertengkaran
Edmund Seko melarang Nuke Listyawati
untuk bekerja.
 Bahwa benar di tengah percekcokan, Edmund
Seko, sudah mengajak untuk membicarakan
masalah mereka secara baik-baik, namun
saksi Nuke Listyawati menolak.
 Bahwa benar saksi Nuke Listyawati meminta
untuk pisah ranjang dengan Edmund Seko.
 Bahwa benar saksi Nuke Listyawati
meninggalkan Edmund Seko dan tinggal di
rumah orang tuanya.
 Bahwa benar Edmund Seko bertenu dengan
saksi Iptu Romariotua di Jalan
 Bahwa benar Edmund Seko menceritakan
masalahnya dengan Nuke Listyawati kepada
saksi Iptu Romariotua.
 Bahwa benar saksi Iptu Romariotua
menawarkan pembuatan surat keterangan
kehilangan buku nikah kepada Edmund Seko
 Bahwa benar sejak awal Edmund Seko sudah
terus-menerus menolak ide tersebut.
 Bahwa benar saksi Iptu Romariotua,
membuatkan surat keterangan kehilangan
buku nikah yang palsu tanpa persetujuan
Edmund Seko terlebih dahulu.
 Bahwa benar Edmund Seko mau tidak mau
menerima surat keterangan kehilangan buku
nikah yang palsu yang dibuat oleh saksi Iptu
Romariotua

III. ANALISIS FAKTA

Sebelum masuk ke dalam penjelasan analisis fakta, Penasehat Hukum ingin


memaparkan terlebih dahulu siapa saja yang dapat disebut sebagai saksi dalam suatu
persidangan. Menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Piana
(“KUHAP”), saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Saksi meiliki hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi dalam suatu persidangan.
- Kewajiban saksi antara lain :
1. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);
2. Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal
167 KUHAP);
3. Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).

- Hak-hak saksi antara lain :


1. Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta
berhak diberitahukan alas an pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

2. Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi


dapat memberikan alas an yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada
penyidik (Pasal 113 KUHAP);
3. Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam
bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);
4. Saksi berhal menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya
dengan memberikan alas an yang kuat (Pasal 118 KUHAP);
5. Berhak untuk tidak diajukn pertanyaan yang menjerat kepada saksi (pasal 166
KUHAP);
6. Berhak atas tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 177 ayat
(1) KUHAP).
7. Berhak atas penerjemah jika saksi tersebut biksu dan/atau tuli serta tidak dapat
menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).

Penasehat Hukum juga meyakini bahwa keterangan saksi dianggap


bernilai sebagai alat bukti yang sah dalam rangka perkara pidana
berlandaskan Pasal 185 ayat (1) dan (2) KUHAP, menyatakan :

1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
disidang pengadilan ;
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan terhadapnya;

Fakta hukum berkenaan keterangan saksi dalam persidangan dinilai sangat


penting untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak.

 Bahwa benar saksi Iptu Romariotua tidak meiliki hubungan keluarga


dengan klien kami.
 Bahwa benar saksi Iptu Romariotua telah berteman lama dengan klien
kami.
 Bahwa benar saksi Iptu Romariotua melakukan pertemuan dan
kesepakatan di Join Café di Jl. Bulungan Blok C1 Kebayoran Baru
Jakarta Selatan.
 Bahwa benar saksi Iptu Romariotua menawarkan surat kehilangan
untuk Klien kami.
 Bahwa tidak benar Klien kami memerintahkan saksi Iptu Romariotua
untuk membuat surat keterangan palsu kehilangan buku nikah,
sebaliknya saksi Iptu Romariotua lah yang menginisiasi pembuatan
surat keterangan palsu tersebut
 Bahwa benar saksi Nuke Listyawati pernah mengalami cekcok dalam
rumah tangganya pada januari 2015 dengan Klien kami.
 Bahwa tidak benar Klien kami membentak saksi Nuke Listyawati
selepas percekcokan dengannya.
 Bahwa tidak benar Klien kami meminta pisah ranjang dengan saksi
Nuke Listyawati, sebaliknya saksi lah yang menginginkan ia dan
Klien kami untuk pisah ranjang. Saksi juga mengatakan ingin pindah
ke tempat tinggal ibunya.
 Bahwa benar Klien kami mengenal saksi Tegar Rastratama sebagai
insinyur di Perusahaan Perminyakan PT. Jaya Perkasa di daerah
Sulawesi Tenggara.
 Bahwa tidak benar saksi Anung Nusanto menyaksikan percecokan
antara Klien kami dengan saksi Nuke Listyawati. Nyatnya Klien kami
cekcok dengan istrinya hanya beberapa kali didalam rumah,
sedangkan saksi Anung Nusanto sebagai satpam tidak pernah masuk
kedalam rumah Klien kami sehingga Penasihat Hukum menyimpulkan
bahwa saksi Anung Nusanto hanya berasumsi.

IV. ANALISIS YURIDIS

Setelah kami menyampaikan dan mengungkapkan Analisa Fakta yang terungkap


di muka persidangan, maka tibalah saatnya bagi kami Penasihat Hukum untuk
membahas Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Bahwa Dakwaan dalam perkara ini
disusun dalam bentuk Tunggal kepada Klien Kami telah terbukti melakukan
perbuatan sebagaimana yang dimaksud yaitu :
KLIEN KAMI

Melanggar pasal 266 KUHP tentang Pemalsuan Surat Jo. Pasal 55 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bahwa pertama-tama kami akan membahas tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum
pada Klien dalam Dakwaan Tunggal sebagaimana yang telah diuraikan dalam
rumusan Melanggar Pasal 266 Jo. Pasal 55 ayat 1 tentang Pemalsuan Surat
terhadap Surat Kehilangan Buku Nikah dalam delik Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.

Bahwa terkait dengan rumusan Pasal tersebut di atas dan dihubungkan dengan
apa yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Klien dalam tuntutannya
maka dapat diuraikan unsur-unsur sebagai berikut :

1. Barang siapa;
2. Menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik;
3. Dengan maksud untuk memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran;
4. Diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
Paling lama tujuh tahun;

I. Barang Siapa

Alangkah naifnya uraian pembuktian unsur Barangsiapa yang dibuat oleh


penuntut umum dalam tuntutannya tersebut, hanya dengan seseorang
membenarkan mengenai indentitas dirinya maka orang tersebut sudah dapat
diakatakan telah memenuhi unsur barang siapa, bayangkan apabila Penuntut
umum mempunyai pola pikir yang sama, alangkah kacaunya proses penegakan
Hukum di negara kita.
Selain itu, hanya dengan seorang terdakwa menyatakan memahami mengenai apa
yang didakwakan kepadanya maka bagi penuntut umum hal terserbut juga sudah
cukup untuk menyatakan bahwa perumusan unsur barangsiapa tersebut juga telah
terpenuhi, Bagaimana kualitas Penuntut Umum di negara Kita yang menjujung
tinggi supremasi hukum dapat menyatakan hal yang demikian, apakah berarti
apabila seseorang yang memahami mengenai masalah yang didakwakan kepada
dirinya berarti orang itu secara otomatis bersalah dengan memenuhi unsur
barangsiapa apa adanya pembuktian yang lebih jauh lagi? Mungkin Penuntu
Umum terlalu bernafsu untuk menghukum Terdakwa anak tanpa mau membuka
Mata, Telinga, dan Hati mengenai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Bernarkah surat dakwaan dan surat tuntutan saudara Penuntut Umum didasarkan
pada “UNTUK KEADILAN”, ataukah hanya didasarkan pada nafsu untuk
menuntut dan menghukum terdakwa, karena memang sejak semula terdakwa
ditargetkan untuk dihukum?
Pembuktian unsur “barangsiapa”, yaitu subjek hukum yang diduga atau
didakwa melakukan tindak pidana adalah bergantung pada pembuktian delik
intinya, sebab unsur “barangsiapa”, merupakan suatu elemen delik yang tidak
dapat berdiri sendiri dan tidak dapat ditempatkan sebagai unsur pertama atas
perbuatan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum dalam
dakwaannya Perbuatan KLIEN sebagaimana diatur dan diancam pidana
dengan Pasal 266 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Maka Unsur “barang siapa” hanya merupakan kata ganti orang
dimana unsur ini baru mempunyai makna pabila dikaitkan dengan unsur-unsur
pidana lainnya, oleh karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan dengan
unsur-unsur lain dalam perbuatan yang didakwakan dalam kaitan barang siapa.
Dengan demikian, untuk menentukan “barangsiapa” dalam Perbuatan
Klien sebagaimana diatur dan diancam pidana dengan Pasal 266 jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
ditujukan pada Klien subjek Hukum yang didakwa melakukan perbuatan pidana,
quad non, maka tidak secara otomatis terbukti hanya mengajukan terdakwa
dalam persidangan ini. Melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu unsur dari
pasal Perbuatan Klien sebagaimana diatur dan diancam pidana dengan
Pasal 266 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP tersebut. Dengan terbuktinya seluruh unsur dari perbuatan yang
didakwaan tersebut, barulah dapat membahas lalu menyatakan bahwa unsur
“barangsiapa” yang ditunjukan kepada terdakwa sebagai subyek hukum yang
melakukan tindak pidana.
Pengertian unsur “barangsiapa”, menyangkut kepada adagium “Actus Reus Mens
Rea” seorang hanya dapat dibebani sebuah tanggung jawab pidana, bukan hanya
karna dia telah melakukan suatu perilaku lahiriah (outward conduct) yang harus
dapat dibuktikan oleh seorang Jaksa Penuntut Umum, tetapi juga bahwa pada
waktu perbuatan itu dilakukan olehnya, orang itu harus memiliki sifat kalbu (state
of mind) yang terkait secara langsung dengan perbuatan itu. Dengan kata lain,
actus reus adalah “elemen luar” sedang mens rea adalah unsur kesalahan (fault
element) atauunsur mental (mental element).

Dengan belum dapat dibuktikannya oleh Penuntut Umum dalam


membahas pengertian pasal dalam dakwaan Perbuatan Klien sebagaimana
diatur dan diancam pidana dengan Pasal 266 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP. Pidana “barangsiapa” tidak dapat
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan.

II. Menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik

Jaksa Penuntut Umum salah dalam merumuskan uraian unsur “menyuruh


memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta” dalam surat tuntutan.
Sebagaimana yang diketahui dari kata “menyuruh” yang berarti seseorang yang
memulai, memberikan saran, atau memerintahkan orang lain untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan kehendak si penyuruh. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut
Umum menyatakan bahwa klien kami, Edmun Seko, merupakan pihak yang
menyuruh. Namun pada kenyataannya, sebagaimana berdasarkan kesaksian dari
salah satu saksi a charge yang dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum, saksi Iptu
Romariotua, menyatakan “Bahwa benar saksi yang menawarkan surat
keterangan hilang untuk TERDAKWA”. Maka dari itu, sudah jelas disaksikan
oleh saksi Iptu Romariotua sendiri bahwa ialah yang dari awal menawarkan diri
untuk membantu klien kami membuat surat keterangan hilang buku nikah. Dalam
hal ini dapat dilihat bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak memahami bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Kata “menyuruh” berarti memerintah
(seseorang/pihak) untuk melakukan sesuatu. Di sini, saksi Iptu Romariotua
bersaksi bahwa sejak awal ia sudah menawarkan untuk membuat surat
keterangan hilang buku nikah, maka dari itu klien kami, Edmund Seko, dalam
kasus ini hanya menyetujui penawaran yang diberikan oleh saksi Iptu
Romariotua. Setelah itu saksi Iptu Romariotua juga bersaksi “Bahwa benar
saksi membuat surat keterangan palsu kehilangan buku nikah
TERDAKWA dengan Nuke Listyawati yang di perintahkan oleh
TERDAKWA”. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana kesaksian yang diberikan
oleh saksi yang dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum kontradiksi antara satu
dengan yang lainnya. Karenanya, kami selaku Penasehat Hukum dari klien kami,
Edmund Seko, percaya bahwa kesaksian yang diberikan oleh salah satu saksi
yang dibawa Jaksa Penuntut Umum yaitu saksi Iptu Romariotua tidak jelas dan
tidak dapat sepenuhnya dipercaya untuk dijadikan sebagai kesaksian yang sah
apalagi sebagai alat bukti dalam persidangan ini.
Maka dari itu, kami akan mengacu pada kesaksian klien kami, Edmund Seko
yang menyatakan bahwa pemalsuan surat nikah merupakan inisiatif dari saksi
Iptu Romariotua. Saksi Iptu Romariotua, yang mana pekerjaannya sebagai
seorang “Iptu”, tentu saja ia yang mengtahui dengan lebih baik apa yang harus
dilakukan, sehingga klien kami mempercayainya dalam mengambil keputusan
yang terbaik untuk menyelesaikan masalahnya. Serta dikuatkan dengan bukti
percakapan melalui aplikasi LINE antara saksi Iptu Romariotua dan klien kami
yang mana ia dimana klien kami meminta solusi atas masalahnya, kemudian
saksi Iptu Romariotua menawarkan untuk memalsukan surat kehilangan buku
nikah. Setelah itu, saksi Iptu Romariotua menyerahkan surat kehilangan buku
nikah palsu itu kepada klien kami. Ini membuktikan bahwa klien kami tidak
pernah menyuruh atau berinisiatif untuk membuat surat kehilangan buku nikah
palsu.

III. Dengan maksud untuk memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai
dengan kebenaran

Klien kami pada awalnya tidak memiliki niat utuk membuat surat keterangan
hilang buku nikah yang palsu. Pertama-tama, kami sebagai Penasehat Hukum
ingin menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan niat. Kata “niat” itu sendiri
berarti keinginan untuk melakukan sesuatu. Sejak pertama kali percakapan
dimulai, klien kami semata-mata meminta pertolongan kepada saksi Iptu
Romariotua untuk menyelesaikan masalahnya yang kemudian saksi Iptu
Romariotua memberikan surat kehilangan buku nikah palsu kepada klien kami.
Maka dari itu, perkara dalam kasus ini bukan diawali oleh klien kami, Edmund
Seko, melainkan diawali oleh saksi Iptu Romariotua dengan perbuatan sepihak
yang langsung memberikan surat kehilang buku nikah palsu.

IV. Jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum mengatakan bahwa perbuatan klien


kami dalam menggunakan akta membuat pihak korban dirugikan secara
immateril. Namun, nyatanya telah diatur Mahkamah Agung dalam Putusan
perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994 “Berdasarkan Pasal 1370,
1371, 1372 KUHPerdata ganti kerugian imateriil hanya dapat diberikan dalam
hal-hal tertentu saja seperti perkara kematian, luka berat dan penghinaan.”

Ketentuan Pasal 1370 KUHPerdata

Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau kematian seseorang karena kurang
hati-hatinya orang lain, suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orangtua
korban yang lazimnya mendapat nafkah dan pekerjaan korban, berhak menuntut
ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah
pihak, serta menurut keadaan.

Ketentuan Pasal 1371 KUHPerdata

Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau
karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut
penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini
dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut
keadaan. Ketentuan terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang.

Ketentuan Pasal 1372 KUHPerdata

Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh


penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai
satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan,
begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.
Berdasarkan pasal-pasal yang telah dipaparkan oleh Penasehat Hukum, maka
tidak ditemukan indikasi serta faktor yang menyatakan bahwa klien kami,
Edmund Seko, merugikan korban secara immateriil. Maka dari itu, Penasehat
Hukum menyimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Hukum tidak mengerti dan
memahami tuntutan yang ia buat.
PERMOHONAN

Majelis Hakim yang kami muliakan,

Dari seluruh uraian tersebut di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Berdasarkan seluruh uraian Pembelaan kami di atas, perkenankanlah kami memohon hal berikut
kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk berkenan memutus
sebagai berikut :

1. Menyatakan Klien kami, Edmund Seko S.T.,M.T. tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan menurut hukum, melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dalam dakwaan dan tuntutan;
2. Membebaskan Terdakwa Irfan Prawira, S.E.,M.M. dari seluruh dakwaan
dan tuntutan tersebut (vrijspraak) sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana; Atau setidak-tidaknya melepaskan
Terdakwa Irfan Prawira dari semua tuntutan hukum (onstlag van alle
rechtvervolging) sesuai dengan pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
3. Mengembalikan barang bukti yang disita dalam perkara ini kepada yang
berhak darimana barang bukti tersebut disita;
4. Mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat dan martabat Terdakwa
Ifran Prawira ke dalam kedudukan semula;
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et Bono).Sebagai bahan untuk kita renungkan bersama,
perlu kita camkan kata mutiara dari seorang bijak yang mengatakan Fiat Justitia
Roat Coallum (tegakkan hukum walau langit akan runtuh).

Demikianlah Nota Pembelaan (Pleidoi) ini kami sampaikan dengan harapaan


dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam memberikan
putusan nanti. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat,
kebijaksanaan serta pengampunan dalam hidup kita.
Jakarta Barat, 14 Desember 2018
Hormat Kami,

PENASEHAT HUKUM EDMUND SEKO, S.T.,M.T.


SHEFANY TAMBA AND PARTNERS
Advocates and Legal Consultants

Tiffany Suhendra, S.H., M.H.

Shelin DeviDebora Simanjuntak, S.H., M.H.

Romariotua, S.H., M.H.

Anda mungkin juga menyukai