Edmund Seko
Ketua Majelis Hakim yang kami hormati,
Panitera,
Pertama-tama, kami selaku Tim Penasihat Hukum Terdakwa menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. ALLAH SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat dan karunia-Nya, persidangan
ini telah berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan atau kendala yang berarti.
Semoga dengan karunia-Nya pula, kita dapat dibimbing dalam menemukan
kebenaran materiil dalam perkara ini.
2. Ketua Majelis Hakim beserta anggota, termasuk Panitera perkara atas kesungguhan
Majelis Hakim dalam memeriksa perkara ini secara fair trial, tanpa memihak dengan
dijiwai oleh suasana presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah),
sebagaimana yang dikehendaki dan diamanatkan oleh Undang-Undang. Oleh karena
itu kami mengharapkan Majelis Hakim tetap konsisten menerapkan prinsip-prinsip
penegakan keadilan pada saat menjatuhkan putusan dalam perkara ini. Kami yakin
Majelis Hakim akan dapat mengeluarkan putusan secara bijaksana yang benar-benar
dapat dibanggakan dan diagungkan sebagaimana tugas mulia mewujudkan keadilan
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa di tengah carut-marutnya dunia hukum di
tanah air tercinta belakangan ini. Adapun terima kasih kami ucapkan kepada Majelis
Hakim yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada kami untuk menyusun
Nota Pembelaan. ini dan selanjutnya membacakannya di muka sidang pengadilan
yang mulia ini, walaupun dalam proses pembuktian kerap kali diwarnai dengan
perdebatan yang sengit dan tajam namun berkat kehandalan dan kematangan Majelis
Hakim selaku pimpinan sidang, proses peradilan berjalan tertib, sopan, dan tidak ada
perbuatan yang saling melecehkan atau menghina martabat peradilan. Perjalanan
sidang demikian, kami rasakan dan kami maknai sebagai bagian dari kecintaan
semua pihak untuk mengungkap kebenaran materil, yang kami yakini sebagai hal
yang jauh dari syak-wasangka. Kiranya Tuhan yang Maha Kuasa, senantiasa terus
melimpahi semua pihak yang terlibat di dalam persidangan ini terutama Majelis
Hakim sebagai benteng terakhir keadilan, agar mendapat limpahan rahmat-Nya dan
kelak dalam mengambil keputusan mendapat petunjuk dari Tuhan yang Maha Esa
demi menegakkan peradilan yang terlepas dari intervensi pihak manapun dan
mendapat kekuatan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengambil keputusan yang
berdasarkan fakta-fakta yang ada selama proses pembuktian terlepas dari semua
opini publik yang dibangun oleh rekan-rekan media.
3. Demikian pula kami ucapkan terima kasih pada Jaksa Penuntut Umum yang dengan
seksama mengikuti persidangan tanpa pernah berhalangan, telah dengan sungguh-
sungguh melaksanakan tugasnya, dan telah mampu menyelesaikan proses
persidangan hingga pembacaan tuntutan, yang kesemuanya itu juga kami maknai
sebagai sikap professional dari Jaksa Penuntut Umum
4. Bahwa kami juga menyampaikan terima kasih pada hadirin pengunjung persidangan
ini yang telah mengikuti jalannya persidangan dengan tertib sehingga persidangan
dapat berjalan dengan lancar.
Terima kasih kami ucapkan pula pada rekan-rekan media yang telah memberikan
perhatian pada proses persidangan ini dan memberitakan yang sebenar-benarnya tanpa adanya
penambahan atau pengurangan berita hanya demi kepentingan rating semata, sehingga
masyarakat tidak terjebak pada pemahaman-pemahaman sesat akibat berita yang disampaikan
tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Semoga dengan disiarkannya persidangan ini dengan
akurat, terpercaya dan sesuai dengan fakta, masyarakat Indonesia akan melihat betapa
transparannya persidangan di Indonesia sekarang.
I. PENDAHULUAN
Panitera,
Menurut Prof. Moeljatno, S.H., seorang Jaksa Penuntut Umum bagaikan garuda yang
mencengkram mangsanya dan tidak akan pernah melepaskannya lagi. Sehingga tidak lupa kami
ucapkan terima kasih sekali lagi pada Jaksa Penuntut Umum yang telah berusaha semaksimal
mungkin untuk berupaya membuktikan kebenaran dalam perkara ini.
Apabila terdapat perbedaan pendapat antara Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, dan
Penasihat Hukum, hal itu adalah suatu hal yang wajar dalam proses persidangan, jangan sampai
demi “memenangkan” perdebatan ini kita harus melupakan tujuan dari persidangan itu sendiri,
yaitu menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. Hal ini juga berkesesuaiandengan
doktrin Taverne:
“hakim bertolak dari hal-hal yang objektif menuju kepada kesimpulan yang subjektif,
Jaksa Penuntut Umum bertolak dari pemikiran yang subjektif ke kesimpulan yang objektif,
sedangkan Penasihat Hukum bertolak dari pemikiran yang subjektif untuk sampai pada
kesimpulan yang subjektif pula”
Jadi Nota Pembelaanini adalah salah satu alat peradilan untuk membantu Majelis Hakim
yang Terhormat untuk sampai pada suatu keyakinan dan dengan keyakinan bahwa kesalahan atas
suatu perbuatan dapat ditentukan secara benar, adil, dan baik bagi Terdakwa, serta bagi korban
dan masyrakat.
Pleidoi merupakan salah satu rangkaian dari due process of right yang dianut di dalam
system peradilan pidana Negara Indonesia. Pembacaan Pleidoi ini mengingat penjelasan umum
KUHAP butir c bahwa:
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penjelasan umum KUHAP butir c merupakan suatu
manifestasi dari Asas Presumption of Innocence (praduga tidak bersalah), yang mana hal
tersebut otomatis berlaku pula bagi Terdakwa. Sehingga berdasarkan Pasal 182 ayat (1) butir b
KUHAP, bahwa Terdakwa dan pembelanya berhak mengajukan pembelaannya.
Cui Bono merupakan istilah yang digunakan oleh Cicero, filsuf romawi yang juga
berprofesi sebagai Advokat, yang ia gunakan dalam pidato pembelaan kliennya di sidang
pengadilan terhadap dua kasus pembunuhan yang berbeda. Pidato dalam kasus pembunuhan
yang pertama berjudul “Pro Roscio Amerino”. Ini adalah kasus pidana pertama (causa publica)
yang dibela Cicero, di mana pada saat itu beliau berumur 27 tahun. Korban pembunuhan adalah
Sextus Rocius. Roscio, anaknya, dituduh sebagai pelaku pembunuhan ayahnya. Cicero membela
Roscio. Dalam pidatonya yang terdiri dari tiga bagian, Cicero dapat membuktikan bahwa
pembunuh Sextus Roscius bukanlah anaknya, tetapi merupakan hasil konspirasi pelaku
sebenarnya yaitu Magnus dan Capito, yang mendapatkan keuntungan kekayaan dari korban
pembunuhan.
Pidato pembelaan Cicero kedua berjudul “Pro Milone”- pembelaan atas sahabatnya, Titus
Annius Milo yang dituduh membunuh lawan politiknya, Publius Clodius Pulcher di Via Appia.
Walaupun pidato pembelaan Cicero diakui sebagai yang terbaik, namun dia gagal membebaskan
Milo karena tekanan massa pendukung Clodius dan intervensi politik terhadap para hakim dan
juri.
Pemaknaan Cui Bono sebagai suatu adagium Latin berarti adanya motif tersembunyi dari
suatu perbuatan. Dalam dunia hukum frasa ini kadang-kadang digunakan dalam pendeteksian
atau investigasi suatu kejahatan dengan pertanyaan utama, siapakah yang mendapat keuntungan
dari suatu tindakan. Cui Bono mengharuskan adanya pemahaman atas segala kemungkinan motif
suatu perbuatan termaksud maksud/niat yang ada dalam pikiran seseorang. Maka seharusnya kita
membuka mata, telinga, dan hati kita agar lebih peka dalam merasakan Untuk kepentingan
siapakah Terdakwa Edmund Seko, S.T.,M.T. disidangkan di pengadilan ini?
Perkara yang kita hadapi ini bukanlah perkara sumir biasa. Mengadili perkara ini tidak
sama seperti perkara mencuri ayam, akan tetapi perkara ini adalah perkara besar, perkara yang
sarat akan konspirasi dan berbagai kepentingan di dalamnya, selain itu perkara ini memiliki
ancaman pidana yang agak berat dan karenanya membuat nestapa bagi Terdakwa selama
hidupnya apabila terjadi kesalahan-kesalahan baik yang bersifat formil maupun materil yang
akan ikut menentukan ke arah mana persidangan ini akan dibawa. Sehingga oleh karenanya, kita
sebagai penegak hukum perlu adanya ketelitian serta keyakinan, terutama bagi Majelis Hakim
yang terhormat. Sehingga dalam putusannya nanti tidak semata-mata berpedoman pada apa yang
tersurat dalam Tuntutan Jaksa, akan tetapi lebih banyak bersandarkan pada hasil pemeriksaan
di dalam persidangan serta keyakinan Majelis Hakim sendiri. Tetapi kami selaku Penasihat
Hukum Terdakwa yakin dan percaya, bahwa Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini benar-
benar mempelopori diterapkannya sistem negative wettelijk dalam pemeriksaan perkara pidana,
sehingga kebenaran materil benar-benar dapat dicapai.
Miscarrige of Justice
Sebelum kita masuk pada pembahasan lebih lanjut dalam Pleidoi ini ada baiknya
kita kembali melihat drama satu babak di halaman-halaman depan buku Max Havelaar yang
ditulis oleh penulis terkenal kita pada masa kolonial, Multatuli yang peran utamanya yaitu
Barbertje telah digantikan oleh saudara Almer Reyhan Irsali, S.Agr. MM pada persidangan ini,
Berikut kisahnya:
SESEORANG konon telah membunuh Barbertje. Dan Lothario pun ditangkap. Ia dituduh
mencincang dan menggarami wanita itu, dan dibawa ke pengadilan. Inilah dialog di depan
mahkamah itu:
Lothario: "Tuan Hakim, saya tidak membunuh Barbertje saya memberinya makan, pakaian, dan
saya urus dia baik-baik... saya punya saksi-saksi yang bisa menerangkan bahwa saya orang
baik dan bukan pembunuh..."
Hakim : "Kau harus digantung... dosamu tambah besar karena kesombonganmu. Tidak pantas
orang yang dituduh bersalah menganggap dirinya seorang yang baik."
Lothario: "Tapi, Tuan Hakim, ada saksi-saksi yang bisa membuktikan itu dan karena saya
dituduh membunuh...."
Hakim : "Kau harus digantung! Kau telah mencincang-cincang Barbertje, menggaraminya, dan
kau puas dengan dirimu sendiri... Tiga kesalahan besar.”
Barbertje: "Tidak, Tuan Hakim, dia tidak menggarami saya sebaliknya, dia banyak berjasa
kepada saya... dia seorang manusia yang mulia!"
Lothario: "Tuan dengar, Tuan Hakim, katanya saya seorang yang baik...."
Hakim tertegun. "Hm . . . " gumamnya. Tapi ia meneruskan, dengan suara tegas, bahwa
kesalahan ketiga yang diperbuat Lothario masih tetap ada. "Polisi, bawa orang itu,"
perintahnya. "Dia harus digantung. Dia bersalah karena dia congkak"
Lothario pun digantung esok harinya.
Gambaran Pengadilan untuk Lothario muncul lagi dalam ingatan kita ketika kita
menjalani persidangan pemeriksaan alat-alat bukti pada hari Senin, 4 Oktober 2010 dan pada hari
Rabu, 6 Oktober 2010. Bahwa fakta persidangan menunjukkan dakwaan penuntut Umum
tidaklah terbukti, ternyata tidak bisa diterima dengan lapang dada oleh Jaksa Penuntut Umum.
Jaksa Penuntut Umum begitu bernafsu ingin membuktikan bahwa Terdakwa adalah pesakitan
yang harus dihukum.
Hal ini terlihat dari cara Jaksa Penuntut Umum menjebak Terdakwa dengan pertanyaan-
pertanyaan yang bisa membuat Terdakwa dan para saksi mengakui suatu perbuatan yang
sebenarnya tidak dilakukan oleh Terdakwa. Jaksa Penuntut Umum terjebak sendiri oleh
gengsinya dan usahanya dalam menyelamatkan muka karena telah salah mendakwa Terdakwa
melakukan kejahatan. Apa yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum bukanlah merupakan
suatu usaha mencari suatu keadilan, melainkan telah berubah menjadi usaha Jaksa Penuntut
Umum dalam menyelamatkan gengsi dan nama baik nya karena kesalahan dan juga sikap tidak
gentleman Penuntut Umum yang tidak mau mengakui kesalahannya karena telah mendakwa
Terdakwa melakukan kejahatan. Saudara Penuntut Umum ternyata sudah lupa dengan semangat
“UNTUK KEADILAN” yang merupakan judul dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan yang
dibuat sendiri oleh Saudara Penuntut Umum. Sepertinya kita harus menerima kenyataan bahwa
semboyan “untuk keadilan” hanyalah sebuah bumbu pemanis untuk mengelabui kita dan tidak
pernah benar-benar dipraktekkan langsung oleh Jaksa Penuntut Umum.
Saudara Jaksa Penuntut Umum sepertinya masih belum menyadari bahwa apa yang
dilakukan oleh saudara Jaksa Penuntut Umum akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan
dunia-akhirat Terdakwa disini. Bukan hanya itu, tuntutan saudara Jaksa Penuntut Umum ini juga
akan menentukan masa depan keluarga Terdakwa, istri, anak-anak, dan juga orang-orang yang
menyayangi Terdakwa.
Kita tentu masih ingat kisah peradilan sesat yang menyidangkan Sugik, Kemat,
dan Devid sebagai Terdakwa dalam kasus Pembunuhan Asrori di Pengadilan Negeri Jombang.
Tim advokat meninggalkan persidangan Sugik pada Hari Kamis, tanggal 25 September 2008,
sebagai bentuk protes keras terhadap Penuntut Umum dan Majelis Hakim yang masih saja
menyidangkan perkara tersebut walaupun alat-alat bukti dan bahkan bukti DNA menunjukkan
bahwa para Terdakwa bukanlah orang yang melakukan perbuatan tersebut. Pada akhirnya,
memang Sugik terbukti tidak bersalah dan di putus bebas oleh Majelis Hakim di Pengadilan
Negeri Jombang. Akan tetapi, Terdakwa lain yang dituduh bersama-sama dengan Sugik
melakukan pembunuhan yaitu Kemat dan Devid akhirnya divonis bersalah. Kemat divonis 17
tahun penjara dan Devid divonis 12 tahun penjara. Sebuah hukuman atas perbuatan yang sama
sekali tidak dilakukan oleh para Terdakwa.
Kita juga tentu masih ingat dengan kisah Miscarriage of Justice lainnya, seperti
dalam kasus Sengkon dan Karta yang dituduh membunuh, padahal pelakunya adalah orang lain.
Atau dalam kasus yang menimpa keluarga Philipus, dimana mereka sekeluarga dihukum karena
membunuh anak-anak dan isteri Rohadi, padahal bukan merekalah pelakunya.
Penuntut Umum telah memulai satu langkah untuk terciptanya sekali lagi kondisi
Misscarriage of Justice pada perkara ini dengan Surat Tuntutan yang disusunnya. Sekaligus akan
menambah panjang daftar peradilan sesat yang sudah ada di Indonesia selama ini apabila Majelis
Hakim yang terhormat mengabulkan tuntutan Saudara Penuntut Umum. Akan tetapi kami Tim
Penasihat Hukum Terdakwa sangat yakin dan percaya dengan integritas dari Majelis Hakim,
karena bukan sekali ini saja kami membela perkara di Pengadilan ini. Dan Majelis Hakim yang
namanya tertera di Surat Penetapan Pengadilan adalah hakim-hakim yang kami kagumi integritas
dan rasa keadilannya.
Gerald Sheindlin, seorang hakim Amerika yang berperan penting dalam menerima dan
mengakui alat bukti DNA dalam peradilan Amerika yang telah mengubah system peradilan
Amerika, pernah menggambarkan tentang Risa sugarman, asisten Jaksa wilayah Bronx Criminal
Court, sebagai berikut:
“Risa Regarded herself as the lonely voice speaking for the dead victims who could no
longer speak for themselves. The heart of justice, she believed, was never to let the murdered die
silently and anonymously. A human life was worth something. It was worth everything”.
Gambaran diri Risa Sugarman yang diungkapkan Sheindlin ini relevan untuk dijadikan
sebagai gambaran diri kita dalam melihat masalah Miscarriage of Justice. Kita harus menjadi
suara yang berbicara tentang korban-korban Miscarriage of Justice yang tidak dapat lagi
berbicara untuk diri mereka. Jantung keadilan itu tidak hanya membiarkan korban
pembunuhan mati secara diam-diam dan tidak dikenal, tapi juga tidak membiarkan
korban Miscarriage of Justice melamentasikan kematian keadilan di balik penjara, bahkan
juga mati diam-diam dan tak dikenal. Jantung penegakan hukum dalam sistem peradilan
pidana adalah keadilan. Hanya dengan tetap menjaga dan tetap memelihara denyut keadilan ini
baru kita dapat mengatakan kesejatian maknanya bahwa “a human life is worth something. It is
worth everything”.
Masalah Miscarriage of Justice merupakan isu aktual yang serius dibicarakan dewasa ini.
Di Negara-negara maju diantaranya Amerika serikat, Inggris, kanada, Australia, masalah ini
dibahas baik dari perspektif politik dan sosila yang dikaitkan dengan system peradilan pidana.
Lembaga-lembaga independen terus menyuarakan dan memperjuangkan keadilan bagi para
korban Miscarriage of Justice. Menurut data yang dirilis Forejustice hingga saat ini terdaftar
2.539 orang korban Miscarriage of Justice dan terjadi berbagai kasus Miscarriage of Justice di
70 negara dunia.
Jika kita menelisik data-data ini nampak beberapa gambaran, sebagai berikut: Pertama,
sebagian besar kasus Miscarriage of Justice terjadi di negara-negara maju yang memiliki sistem
pidana yang jauh lebih mapan dan peduli dengan persoalan penegakan hukum dan hak asasi
manusia; kedua, sistem peradilan pidana di negara-negara tersebut ternyata menunjukkan
Miscarriage of Justice; ketiga, kegagalan tersebut yang menyebabkan banyak korban
ketidakadilan menunjukkan fakta bahwa Miscarriage of Justice merupakan masalah serius dan
universal; keempat, menguatnya kesadaran masyarakat internasional akan seriusnya masalah
Miscarriage of Justice.
Dari data-data ini juga tergambar bahwa tidak adanya data korban Miscarriage of Justice
dari Indonesia. Hal ini dapat berarti; pertama, tidak ada korban Miscarriage of Justice di
Indonesia; atau yang kedua tidak adanya perhatian dalam masalah ini. Kami sendiri melihatnya
dalam arti yang kedua karena kenyataannya adalah banyak terjadi kasus-kasus miscacrriage of
justice di Indonesia.
Miscarriage of Justice merupakan masalah yang serius dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Masalah Miscarriage of Justice sama pentingnya dengan masalah hak asasi manusia.
Mengapa? Michael Kirby, dalam suatu kuliah yang diberikannya di London pada tanggal 4 Juni
1991 mengutip puisi T.S. Eliot berjudul “The Hollow Men”:
“between the idea of British justice and the reality, between the motion of our famous
legal procedures and the act of criminal conviction, a shadow has fallen which is called
Miscarriage of Justice. It casts its dark reflection to our four corners of the world where English
is spoken and the procedures of justice in this city have been copied by quarter humanity”
Michael Kirby dengan tepat melukiskan Miscarriage of Justice sebagai bayangan gelap
pemisah yang menciptakan kesenjangan antara keadilan dengan realitas, antara prosedur hukum
dalam suatu sistem peradilan pidana dengan tindakan penegakan hukum pidana.
Kata “Miscarriage” secara literal berarti kegagalan mencapai suatu tujuan yang
diinginkan. Penambahan kata “justice” di belakang kata “miscarriage” berarti kegagalan
mencapai suatu tujuan tegaknya keadilan. Apakah yang terjadi ketika suatu sistem peradilan
pidana gagal mencapai tujuan tegaknya keadilan?Martin Luther King, Jr (1929-1968),
pemenang hadiah nobel di tahun 1964, menyatakan bahwa hukum dan peraturan itu ada untuk
menegakkan keadilan dan ketika tujuan itu gagal tercapai, hukum dan peraturan itu menjadi
struktur bendungan yang berbahaya yang memblokir aliran kemajuan sosial. Pandangan Luther
King ini senada dengan filsafat hukum alam dari Gottfried Wilhem Leibniz(1646-1716), filsuf
terkemuka di Zaman Rasionalisme. Menurut Leibniz, prinsip dasar hukum alam, yang menjamin
pembangunan manusia dalam segala hubungannya, adalah keadilan.
Pandangan ini juga senada dengan pemikiran filsafat hukum George Gurvitch (1894-
1965), penganut aliran sosiologi hukum, yang meletakkan ide sentral dari sosiologi hukum pada
kenyataan normatif (fait normatif). Kenyataan normatif yang dimaksudkan Gurvitch adalah
penekanan pada hidup dalam masyarakat itu hanya dapat berjalan dalam keamanan, damai, dan
stabilitas sosial berkat hubungannya dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai hidup bersama
yang utama. Menurut Gurvitch, keadilan itu memegang peranan penting dalam membentuk
hukum positif. Hukum itu mendapat arti hukum seluruhnya dari nilai keadilan yang
diwujudkannya.
Inilah salah satu masalah yang muncul ketika terjadi Miscarriage of Justice dalam sistem
peradilan pidana. Hukum kehilangan legitimasinya dalam masyarakat. Hukum kehilangan
esensinya sebagai hukum dan kehilangan justifikasi dan sebab adanya (raison d’etre-nya). Sebab
Miscarriage of Justice adalah ketidakadilan dan hukum dan penegakan hukum melalui sistem
peradilan pidana yang tidak adil pada hakikatnya bukanlah hukum sebagaimana dinyatakan
dalam doktrin hukum Cicero, Agustinus, dan Aquinas, “Lex Iniusta non est Lex”.
Hal ini lebih lanjut dapat menghancurkan prinsip dan cita-cita Negara Hukum Modern.
Miscarriage of Justice merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
oleh negara melalui aparat penegak hukum/sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Hal ini
berarti juga Miscarriage of Justice melanggar hak-hak dasar konstitusional pada korban
Miscarriage of Justice.
Legitimasi sistem peradilan pidana terletak pada dua pilar yakni: efektivitas dan
kebenaran sistem peradilan pidana tersebut. Efektivitas dinilai dari kemampuan dan ketetapan
atau akurasi dalam mendeteksi, melakukan investigasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan dalam persidangan sampai dengan penjatuhan hukuman yang tepat bagi Terdakwa
yang telah tebukti bersalah melakukan suatu tindak pidana sampai tingkat pelaksanaan
pemidanaan.
Kebenaran dinilai dari ketelitian, kecermatan dan upaya-upaya kewajiban negara dengan
hak-hak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan dengan ketaatan pada prinsip-prinsip
hukum dan ketentuan-ketentuan standard prosedur yang ditetapkan perundang-undangan, suatu
proses dinilai benar jika memenuhi syarat-syarat: Pertama, adanya konsistensi penerapan
standar-standar terhadap siapapun dan sepanjang waktu, Kedua, tidak bisa oleh kepentingan
pribadi, Ketiga, akurasi keputusan yang didasarkan informasi dan fakta yang dapat dipercaya,
Keempat, dapat dikoreksi dalam arti terbuka untuk diperdebatkan dan dibanding, Kelima,
representasi dari semua hal tercakup di dalamnya, Keenam, etis, dalam arti terpenuhinya
standard-standard etika.
Syarat-syarat ini perlu dilengkapi syarat proses yang benar yang dikemukakan Bias &
Moag, yakni: “Respectful, treating those effected with consideration and dignity; justified, in the
explanation of the procedures and outcomes should be adequately reasoned and sincerely
communicated”. Dua hal ini merupakan keadilan interaksional (interactional justice).
Dalam membahas tentang keadilan prosedural ini kita kenal ada teori keadilan
prosedural. Teori ini menjelaskan mengapa persepsi-persepsi kebenaran itu tidak hanya didorong
oleh hasil akhir, sebagai tujuan dari keadilan distributif, tetapi juga dipengaruhi oleh proses yang
benar untuk mencapai hasil. Teori keadilan prosedural menjaga agar orang dapat melihat lebih
jauh dari sekedar putusan jangka pendek. Jadi, dapat terjadi keputusan yang tidak disukai
masih dapat diterima dengan syarat keputusan tersebut didasarkan pada proses yang
dipersepsikan benar.
Dari hasil-hasil studi dan riset mengenai keadilan prosedural menunjukkan bahwa
keputusan-keputusan negatif yang dibuat institusi-institusi penegak hukum dapat diterima oleh
masyarakat tanpa kehilangan loyalitas dan respek terhadap institusi-institusi tersebut jika
masyarakat meyakini bahwa keputusan-keputusan tersebut benar secara prosedural. Hal ini
menunjukkan bahwa keadilan prosedural kuat mempengaruhi legitimasi institusional dan
mempengaruhi penerimaan keputusan-keputusan institusi-institusi tersebut. Dalam Miscarriage
of Justice syarat-syarat untuk terjadinya proses yang benar tidak terjadi sehingga tidak memenuhi
kebenaran prosedural dan putusan-putusan dibuat tidak berdasarkan keadilan prosedural.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya Miscarriage of Justice ini. Diantara faktor-
faktor tersebut seperti dikemukakan H. Archibal Kaiser, yakni: putusan yang salah,
investigasi polisi yang salah arah, pembela yang tidak kompeten, persepsi yang salah oleh
jaksa penuntut umum akan perannya, asumsi faktual dari kesalahan Terdakwa, bukti
identifikasi yang tidak cukup, tekanan masyarakat pada Terdakwa, pengakuan yang salah,
tidak cukup atau salah interpretasi dari bukti forensik, bias yudisial, presentasi yang
buruk dalam melakukan upaya hukum di pengadilan tingkat banding, kasasi serta
kesulitan menemukan bukti-bukti baru yang diterima pada tingkat peninjauan kembali.
Profesor hukum Grant Hammond yang juga hakim di Court of Appeal of New
Zealand, dalam paparnya berjudul “The NewMiscarriage of Justice” yang disampaikan di The
Harkness Henry Lecture di Universitas Waikato pada tahun 2006 menyatakan: “In the end of the
day, Miscarriage of Justice cases are about justice in the most fundamental sense”. Masalah
Miscarriage of Justice tidak lain dari persoalan keadilan dalam persoalan yang paling mendasar,
yakni persoalan pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak individu anggota masyarakat korban
Miscarriage of Justice oleh negara yang direpresentasikan oleh institusi-institusi penegak hukum
dan dilakukan melalui sistem peradilan pidana.
Dari perspektif ini Clive Walker merumuskan bahwa suatu Miscarriage of Justice terjadi
manakala ada perlakuan negara yang melanggar hak-hak dari tersangka, Terdakwa, atau
terpidana. Hal ini dapat terjadi karena: Pertama, defisiensi proses; Kedua, hukum yang
diterapkan pada tersangka, Terdakwa, atau terpidana; Ketiga, tidak adanya justifikasi faktual
untuk menerapkan perlakuan atau hukuman; Keempat, tersangka atau Terdakwa atau terpidana
diperlakukan sebagai musuh oleh negara melampaui kepentingan melindungi hak orang lain;
Kelima, hak-hak pihak lain tidak secara proporsional dan efektif terlindungi oleh tindakan negara
terhadap pelaku kejahatan; Keenam, oleh hukum itu sendiri. Walter menyebut hal-hal ini sebagai
kategori penyebab terjadinya Miscarriage of Justice.
Berdasarkan enam kategori ini Walker empat ciri penting yang tercakup dalam
Miscarriage of Justice, yakni: Miscarriage of Justice tidak hanya terbatas pada produk
pengadilan atau dalam peradilan pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar pengadilan, dalam
bentuk seluruh kekuasaan dari penegak hukum yang bersifat memaksa; Miscarriage of Justice
dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk legalisasi biaya-biaya tidak resmi.
Miscarriage of Justice juga mencakup kelemahan negara ketika menjalankan tanggungjawabnya.
Miscarriage of Justice berkaitan dengan hak-hak.
Korupsi yudisial itu dapat terjadi dalam beberapa bentuk tergantung pada
kepentingan atau keuntungan (motivasi) yang hendak dicapai, antara lain: pertama, dalam
bentuk transaksi hukum. Kasih uang habis perkara (KUHP). Keputusan yang dibuat dalam
sistem peradilan pidana tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan moral dan keadilan, tetapi
semata-mata berdasarkan besaran uang atau materi yang dibayarkan pada aparat penegak hukum;
kedua, intervensi kekuasaan politik dari elit politik. Ini dapat terjadi karena adanya
persekongkolan antara elit politik dengan para penegak hukum. Dengan persekongkolan itu
kepentingan elit politik dapat dilindungi di satu pihak, dan di pihak lain aparat penegak hukum
mendapatkan keuntungan pengamanan posisi jabatan atau promosi jabatan. Persekongkolan ini
umumnya terjadi pada tingkat elit pimpinan institusi-institusi penegak hukum. Dalam bentuk
hubungannya ini, hukum dan sistem peradilan pidana digunakan sebagai alat kepentingan politik.
Hukum yang dikonversikan jadi alat kekuasaan itu seringkali tidak kasat mata,
tetapi dikemas, dibungkus dengan itikad baik. Tetapi itikad itu bukanlah itikad baik yang
merupakan fondasi keadilan sebagaimana pernah diungkapkan Marcus tilius Cicero (106 SM-
43 SM), advokat, penulis, filsuf, orator, dan negarawan romawi. Itikad baik itu bukanlah sebagai
fondasi keadilan, tetapi hanya merupakan topeng. Sejatinya, merupakan suatu tirani itikad baik.
Hakim investigasi berbeda dengan trial judges (hakim yang menyidangkan perkaranya)
dapat mencegah suatu penuntutan yang sewenang-wenang, tuntutan yang didasari oleh alasan-
alasan pribadi atau alasan-alasan balas dendam. Penuntutan yang demikian itu disebut Malice
Prosecution yaitu penyalahgunaan penuntutan (Abuse of Prosecution) yang tidak dibenarkan
oleh hukum. Dengan dibentuknya hakim investigasi, maka akan tercapai hukum acara yang baik
(due process of law atau behoorlijk strafprossrecht).
Secara umum SPP (Sistem Peradilan Pidana) bertujuan untuk menghukum mereka yang
bersalah melakukan kejahatan. Kegagalan dalam menegakkan hukum terjadi jika seorang yang
tidak bersalah dihukum atau sebaliknya orang yang bersalah tidak dihukum. Untuk menekan
kemungkinan terjadinya kegagalan, maka SPP menerapkan prosedur upaya paksa (dwang
middelen) yang seimbang. Prosedur ini bertujuan untuk melindungi HAM orang yang tidak
bersalah dan juga melindungi hak-hak asasi tersangka/Terdakwa yang bersalah sama baiknya.
Keterbatasan tersebut menurut George Sher, terjadi karena betapapun sempurnanya SPP, sistem
tersebut secara terus-menerus tidak mungkin akan memuaskan rasa keadilan masyarakat.
Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan olehaparat penegak hukum
dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan yang berlaku. Tindakan
hukum ini dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seseorang, seperti antara lain
penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.
Artinya apabila aparat penegak hukum melaksanakan tindakan hukum dengan tidak berdasarkan
hukum, maka tindakan itu pasti merupakan pelanggaran HAM.
Sebagaimana telah kita sama-sama ketahui, KUHAP telah menempatkan tersangka atau
Terdakwa dalam posisi his entity and dignity as a humanbeing, yang harus diperlakukan sesuai
dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, hak-hak asasi
manusia yang melekat pada diri tersangka dan Terdakwa tidak boleh dikurangi. Berdasarkan
KUHAP, hak-hak asasi utama tersangka atau Terdakwa yang harus dijunjung antara lain:
Baik tersangka, Terdakwa, maupun aparat penegak hukum adalah sama-sama warga
negara yang mempunyai hak, kedudukan, dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, yakni
sama-sama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu
siapapun harus diperlakukan sama tanpa diskriminasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum.
Setiap orang, apakah dia Tersangka atau Terdakwa, berhak mendapatkan perlindungan hukum
tanpa adanya diskriminasi (entitled without any discrimination to equal protection of the law).
Pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai KUHAP dapat diketahui dari konsideran huruf c
KUHAP:
“pembangunan hukum nasional yang demikian itu dalam bidang Hukum Acara Pidana adalah
agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap
para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing; ke arah
tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945”.
Panitera,
Dalam bagian kedua Pleidoi ini, kami akan menguraikan pokok–pokok pembelaan lebih
rinci dengan mulai memasuki dan membahas materi pembuktian perkara persidangan, yakni
tentang fakta-fakta perkara yang diuraikan. Pertama fakta dalam Surat Dakwaan dan kedua
keterangan-keterangan dalam sidang yakni “keterangan yang mengemukakan dan atau
dikemukakan” dalam persidangan perkara ini yakni yang bersumber dari alat-alat bukti yang
diajukan selama persidangan, apakah merupakan fakta deskriptif, artinya sekedar keterangan saja
sehingga tidak bernilai menurut hukum pembuktian ataukah fakta perspektif (fakta hukum) yang
bernilai dan relevan dengan pembuktian selanjutnya.
Oleh karena itu, keterangan-keterangan “yang dikemukakan” dalam sidang akan kami
klasifikasikan pula ke dalam dua bentuk itu yakni “Fakta Deskriptif dan Fakta Preskriptif”.
Dimaksudkan sebagai fakta deskriptif ialah keterangan yang disampaikan oleh saksi atau
keterangan ahli serta keterangan yang dikutip dari alat bukti surat sebelum diuji
keabsahannya dan atau kebenarannya menurut hukum pembuktian yang diatur dalam
Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksudkan
dalam perkara ini fakta deskriptif itu adalah transkripsi dari seluruh keterangan-keterangan saksi,
ahli dalam sidang.
Kemudian yang dimaksudkan sebagai fakta preskriptif ialah keterangan yang
disampaikan oleh saksi atau keterangan yang dikutip dari alat bukti surat atau keterangan
ahli yang sudah diuji keabsahan dan atau kebenarannya menurut hukum pembuktian
yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Perlu dijelaskan bahwa
dalam perkara ini bahwa yang dimaksudkan fakta preskriptif adalah ekstrak keterangan-
keterangan berdasarkan hukum pembuktian dari alat-alat bukti yang sah. Oleh karena keterangan
dalam fakta preskriptif telah diuji keabsahan dan atau kebenarannya maka dalam Pleidoi ini akan
disebut juga sebagai “Fakta Hukum”, artinya keterangan yang sah sebagai pembuktian suatu
fakta atau keadaan dari alat bukti yang diajukan.
Fakta hukum ini akan diaplikasikan pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan
untuk menjawab pertanyaan apakah Fakta Hukum telah memenuhi unsur-unsur tindak pidananya
atau tidak untuk dapat menyimpulkan secara sah apakah ada perbuatan melawan hukum yang
dilakukan klien kami. Atas fakta hukum itu. Konkritnya, bila fakta hukum memenuhi semua
unsur-unsur tindak pidananya artinya dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan
oleh karenanya patut dihukum. Namun, bila fakta hukum itu tidak memenuhi semua unsur-unsur
tindak pidananya artinya dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka harus
dibebaskan.
Dalam Pleidoi ini fakta deskriptif, yakni keterangan yang disampaikan saksi, dan isi alat
bukti surat secara apa adanya sebagaimana sudah disinggung diatas selengkapnya akan dijadikan
sebagai lampiran Pleidoi ini dalam bentuk transkripsi. Oleh karenanya, fakta deskriptif ini
akurat, lengkap, dan sah sebagai bahan pertimbangan yang obyektif. Fakta preskriptif atau fakta
hukum ini akan menjadi materi Pleidoi lebih lanjut yakni sebagai materi analisa hukum perkara
ini untuk menentukan ada atau tidak ada fakta dan kesalahan Terdakwa sebagaimana
didakwakan dan dituntut.
Dengan kata lain, apakah benar terbukti kebenaran dari fakta hukum dakwaan Tim Jaksa
Penuntut Umum.
sah apakah ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan klien kami. Atas fakta hukum itu.
Konkritnya, bila fakta hukum memenuhi semua unsur-unsur tindak pidananya artinya dakwaan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan oleh karenanya patut dihukum. Namun, bila fakta
hukum itu tidak memenuhi semua unsur-unsur tindak pidananya artinya dakwaan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan maka harus dibebaskan.
Dalam Pleidoi ini fakta deskriptif, yakni keterangan yang disampaikan saksi, dan isi alat
bukti surat secara apa adanya sebagaimana sudah disinggung diatas selengkapnya akan dijadikan
sebagai lampiran Pleidoi ini dalam bentuk transkripsi. Oleh karenanya, fakta deskriptif ini
akurat, lengkap, dan sah sebagai bahan pertimbangan yang obyektif. Fakta preskriptif atau fakta
hukum ini akan menjadi materi Pleidoi lebih lanjut yakni sebagai materi analisa hukum perkara
ini untuk menentukan ada atau tidak ada fakta dan kesalahan Terdakwa sebagaimana
didakwakan dan dituntut.
Dengan kata lain, apakah benar terbukti kebenaran dari fakta hukum dakwaan Tim Jaksa
Penuntut Umum.
A. KETERANGAN SAKSI
1. SAKSI A CHARGE
• Bahwa benar saksi mengenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan
TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi bersedia akan memberikan keterangan dengan sebenar-
benarnya
• Bahwa benar saksi sekarang ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
• Bahwa benar saksi mengenal TERDAKWA sebagai rekan kerja sebagi
insinyur di perusahaan perminyakan PT.Jaya Perkasa di daerah Sulawesi
Tenggara
• Bahwa benar saksi mengenal Nuke Listyawati sebagi istri dari TERDAKWA
• Bahwa benar saksi mengetahui status pernikahan sah Nuke listyawati dengan
TERDAKWA .
• Bahwa benar saksi menanyakan perihal tentang pernikahan yang dilakukan
oleh TERDAKWA dengan Nadia Pratiwi.
• Bahwa benar saksi mendapat jawaban bahwa TERDAKWA sudah
menceraikan Nuke Listyawati dari TERDAKWA prihal pernikahannya
dengan Nadia Pratiwi.
• Bahwa benar saksi menanyakan tentang status pernikahan Nuke listyawati
dengan TERDAKWA pada Nuke Listyawati.
• Bahwa benar saksi mendapatkan keterangan mengenai jawaban dari Nuke
Listyawati bahwa status pernikahannya masih resmi menikah dengan
TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi menghadiri dan menyaksikan pernikahan TERDAKWA
dengan Nadia Listyawati.
• Bahwa benar saksi memberitahu kepada Nuke Listyawati bahwa
TERDAKWA sudah menikah dengan Nadia Pratiwi.
• Bahwa benar saksi hadir dan menyaksikan pernikahan TERDAKWA dengan
Nadia Listyawati.
2. Nama Lengkap: Nuke Listyawati, Tempat lahir : Bogor, Umur / tanggal lahir:
39tahun / 15 November 1979, Jenis Kelamin: Perempuan, Warga Negara:
Indonesia, Agama: Islam, Alamat Tinggal: Jl. Mandela selatan No.23 Rt/Rw
001/004,kelurahan: Grogol,kecamatan:Grogol pertamburan,Jakarta barat
Pekerjaan: sekretaris swasta pendidikan: strata 1, memberikan keterangan
dibawah sumpah, pada pokoknya sebagai berikut :
• Bahwa benar saksi menikah dengan TERDAKWA pada hari Selasa, 20 Mei
2008, dihadapan Ustad La Ode Muhammad Apri di Kantor Urusan Agama
Grogol Petamburan Jakarta Barat.
• Bahwa benar saksi mengetahui bahwa TERDAKWA bekerja di perusahaan
minyak PT. Jaya Perkasa sebagai Insinyur.
• Bahwa benar saksi Bekerja di PT. Cipta Karya Mandiri yang berkantor di
Jakarta Selatan.
• Bahwa benar saksi pernah mengalami cekcok dalam rumah tangganya dengan
TERDAKWA pada Januari 2015 dengan Alasan TERDAKWA yang sangat
sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak ada waktu dengan keluarga
• Bahwa benar saksi kerapkali di bentak oleh TERDAKWA selepas percekcokan
dengannya.
• Bahwa benar saksi sempat diminta pisah ranjang oleh TERDAKWA hingga
akhirnya saksi pindah tempat tinggal ke tempat Ibunya.
• Bahwa benar saksi diminta buku nikahnya oleh TERDAKWA ketika pamit
untuk bekerja ke Sulawesi Tenggara pada 1 Februari 2018.
• Bahwa benar saksi tidak memberikan buku nikahnya kepada TERDAKWA
karena dianggap tidak ada hubungan dengan pekerjaannya.
• Bahwa benar saksi tidak menerima surat panggilan dari Peradilan Agama
Jakarta Barat perihal kasus perceraian yang dipaparkan.
• Bahwa benar saksi mendapatkan Informasi perihal pernikahan TERDAKWA
dengan Nadia Pratiwi dari Tegar Rastratama di Sulawesi Tenggara, melalui
telepon seluler.
• Bahwa benar saksi belum bercerai dengan TERDAKWA.
• Bahwa benar saksi mengenal dengan Tegar Rastratama sebagai teman dari
TERDAKWA
• Bahwa benar saksi mendapat kabar dari Tegar Rastratama bahwa
TERDAKWA melakukan pernikahan pada hari minggu, 15 juli 2018 dengan
Nadia Pratiwi.
Atas keterangan Saksi tersebut di Persidangan, Terdakwa
menyatakan keberatan
2. SAKSI A DE CHARGE
3. Keterangan Ahli
1. KETERANGAN TERDAKWA
Bahwa benar Edmund Seko merupakan suami
dari Nuke Listyawati.
Bahwa benar pada bulan Januari 2015 terjadi
pertengkaran antara Edmund Seko dengan
Nuke Listyawati.
Bahwa benar alasan terjadinya pertengkaran
Edmund Seko melarang Nuke Listyawati
untuk bekerja.
Bahwa benar di tengah percekcokan, Edmund
Seko, sudah mengajak untuk membicarakan
masalah mereka secara baik-baik, namun
saksi Nuke Listyawati menolak.
Bahwa benar saksi Nuke Listyawati meminta
untuk pisah ranjang dengan Edmund Seko.
Bahwa benar saksi Nuke Listyawati
meninggalkan Edmund Seko dan tinggal di
rumah orang tuanya.
Bahwa benar Edmund Seko bertenu dengan
saksi Iptu Romariotua di Jalan
Bahwa benar Edmund Seko menceritakan
masalahnya dengan Nuke Listyawati kepada
saksi Iptu Romariotua.
Bahwa benar saksi Iptu Romariotua
menawarkan pembuatan surat keterangan
kehilangan buku nikah kepada Edmund Seko
Bahwa benar sejak awal Edmund Seko sudah
terus-menerus menolak ide tersebut.
Bahwa benar saksi Iptu Romariotua,
membuatkan surat keterangan kehilangan
buku nikah yang palsu tanpa persetujuan
Edmund Seko terlebih dahulu.
Bahwa benar Edmund Seko mau tidak mau
menerima surat keterangan kehilangan buku
nikah yang palsu yang dibuat oleh saksi Iptu
Romariotua
1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
disidang pengadilan ;
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan terhadapnya;
Melanggar pasal 266 KUHP tentang Pemalsuan Surat Jo. Pasal 55 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bahwa pertama-tama kami akan membahas tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum
pada Klien dalam Dakwaan Tunggal sebagaimana yang telah diuraikan dalam
rumusan Melanggar Pasal 266 Jo. Pasal 55 ayat 1 tentang Pemalsuan Surat
terhadap Surat Kehilangan Buku Nikah dalam delik Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Bahwa terkait dengan rumusan Pasal tersebut di atas dan dihubungkan dengan
apa yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Klien dalam tuntutannya
maka dapat diuraikan unsur-unsur sebagai berikut :
1. Barang siapa;
2. Menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik;
3. Dengan maksud untuk memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran;
4. Diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
Paling lama tujuh tahun;
I. Barang Siapa
III. Dengan maksud untuk memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai
dengan kebenaran
Klien kami pada awalnya tidak memiliki niat utuk membuat surat keterangan
hilang buku nikah yang palsu. Pertama-tama, kami sebagai Penasehat Hukum
ingin menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan niat. Kata “niat” itu sendiri
berarti keinginan untuk melakukan sesuatu. Sejak pertama kali percakapan
dimulai, klien kami semata-mata meminta pertolongan kepada saksi Iptu
Romariotua untuk menyelesaikan masalahnya yang kemudian saksi Iptu
Romariotua memberikan surat kehilangan buku nikah palsu kepada klien kami.
Maka dari itu, perkara dalam kasus ini bukan diawali oleh klien kami, Edmund
Seko, melainkan diawali oleh saksi Iptu Romariotua dengan perbuatan sepihak
yang langsung memberikan surat kehilang buku nikah palsu.
Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau kematian seseorang karena kurang
hati-hatinya orang lain, suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orangtua
korban yang lazimnya mendapat nafkah dan pekerjaan korban, berhak menuntut
ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah
pihak, serta menurut keadaan.
Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau
karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut
penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini
dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut
keadaan. Ketentuan terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang.
Dari seluruh uraian tersebut di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Berdasarkan seluruh uraian Pembelaan kami di atas, perkenankanlah kami memohon hal berikut
kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk berkenan memutus
sebagai berikut :
1. Menyatakan Klien kami, Edmund Seko S.T.,M.T. tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan menurut hukum, melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dalam dakwaan dan tuntutan;
2. Membebaskan Terdakwa Irfan Prawira, S.E.,M.M. dari seluruh dakwaan
dan tuntutan tersebut (vrijspraak) sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana; Atau setidak-tidaknya melepaskan
Terdakwa Irfan Prawira dari semua tuntutan hukum (onstlag van alle
rechtvervolging) sesuai dengan pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
3. Mengembalikan barang bukti yang disita dalam perkara ini kepada yang
berhak darimana barang bukti tersebut disita;
4. Mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat dan martabat Terdakwa
Ifran Prawira ke dalam kedudukan semula;
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et Bono).Sebagai bahan untuk kita renungkan bersama,
perlu kita camkan kata mutiara dari seorang bijak yang mengatakan Fiat Justitia
Roat Coallum (tegakkan hukum walau langit akan runtuh).