Disusun oleh :
Euphemia M.M Ileng (23181001)
Kholifah Rosdiana Fitriani (23181002)
Lisinta Ferawati Dato (23181003)
Nurul Rika Octavia (23181004)
Riri Pustika Sari (23181005)
Samusyah (23181006)
Rifka friskila Nee (231913007)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu,
keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat mencapai,
mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas
hidup dari lahir sampai mati. Bagaimana peran perawat dalam menangani
pasien yang sedang menghadapi proses sakaratul maut?
Peran perawat sangat konprehensif dalam menangani pasien karena
peran perawat adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian
integral dari bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi
kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena
pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual
( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi
ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual)
merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO,
1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan terutama perawat untuk
memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat yang
konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas
mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya dan perawat juga dapat
bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan
yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun peran
spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini
sangat penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan
sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.
Menurut Dadang Hawari (1977,53) “orang yang mengalami
penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami
penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian sehingga
pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan
perhatian khusus”.
Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat,
perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase
akhir kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di samping perawat.
B. Tujuan
1. Mengetahui tahap-tahap menjelang ajal
2. Mengetahui rentang respon terhadap kematian
3. Mengetahui macam tingkat kesadaran pasien dan keluarga terhadap
kematian
4. Mengetahui bantuan yang dapat diberikan saat berduka
5. Mengetahui kebutuhan seseorang dengan penyakit terminal
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tahap Tahap Menjelang Ajal
Dr. Elisabeth kubler-Rosa (1969) telah mengidentifikasi lima tahap
berduka yang dapat terjadi pada pasien menjelang ajal. Tahap-tahap
tersebut adalah mengingkari, marah, tawar-menawar, depresi dan
menerima. Jika terdapat cukup waktu dan dukungan mental, beberapa
pasien dapat menggerakkan emosinya melalui tiap tahap sampai titik
penerimaan penyakitnya dan kematiannya. Tahap-tahap tersebut yaitu:
1. Menolak (Denial )Pada fase ini, pasien/klien tidak siap menerima
keadaan yang sebenarnya terjadi, dan menunjukkan reaksi menolak.
Timbul pemikiran-pemikiran seperti: “Seharusnya tidak terjadi dengan
diriku, tidak salahkah keadaan ini?”. Beberapa orang bereaksi pada
fase ini dengan menunjukkan keceriaan yang palsu (biasanya orang
akan sedih mengalami keadaan menjelang ajal).
2. Marah (Anger )
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya
dengan segala hal yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan
cita-citanya. Timbul pemikiran pada diri klien, seperti:
“Mengapa hal ini terjadi dengan diriku?”
Kemarahan-Kemarahan tersebut biasanya diekspresikan kepada obyek-
obyek yang dekat dengan klien, seperti keluarga, teman dan tenaga
kesehatan yang merawatnya.
3. Menawar (Bargaining )
Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat
menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan
dirinya. Pada pasien yang sedang dying, keadaan demikian dapat
terjadi, seringkali klien berkata: “Ya Tuhan, jangan dulu saya mati
dengan segera, sebelum anak saya lulus jadi sarjana”.
4. Kemurungan ( Depresi)
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan
mungkin banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk
dengan tenang disamping pasien yang sedang melalui masa sedihnya
sebelum meninggal.
5. Menerima/Pasrah (Acceptance)
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh klien dan
keluarga tentang kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi
yaitu kematian. Fase ini sangat membantu apabila kien dapat
menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang terbaik bagi
dirinya menjelang ajal. Misalnya ingin bertemu dengan keluarga
terdekat, menulis surat wasiat, dan sebagainya.
B. Rentang Respon Terhadap Kematian
Respons kematian atau berduka seseorang terhadap kehilangan dapat
melalui tahap-tahap berikut (Potter, A. Patricia dan Anne G. Perry. 2010) :
1. Tahap Pengingkaran.
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,
tidak dipercaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa
kehilangan benar-benar terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga
dari orang yang menerima diagnosis terminal akan terus berupaya
mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini
adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak
jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu
harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung dalam beberapa menit
hingga beberapa tahun. (Potter, A. Patricia dan Anne G. Perry. 2010).
2. Tahap Marah
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul
sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang
yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku
agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan,
bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons fisik
yang sering terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah,
susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya. (Potter, A. Patricia dan
Anne G. Perry. 2010).
3. Tahap Tawar-Menawar
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadi
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara
halus atau terang-terangan seolah-olah kehilangan tersebut dapat
dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar
dengan memohon kemurahan Tuhan. (Potter, A. Patricia dan Anne G.
Perry. 2010).
4. Tahap Depresi
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan
bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain menolak makan,
susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain. (Potter, A.
Patricia dan Anne G. Perry. 2010)
5. Tahap Penerimaan
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
yang berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau
hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang
dialaminya dan mulai memandang ke depan. Gambaran tentang objek
atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap.
Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu
dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai,
maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi
perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap
penerimaan akan memengaruhi kemampuan individu tersebut dalam
mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya. (Potter, A. Patricia dan
Anne G. Perry. 2010).
C. Manisfestasi Klinis
Tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan
nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical
Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian,
yaitu:
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.
Adapun manisfestasi klinis dari pasien terminal yaitu
1. Kehilangan Tonus Otot, ditandai :
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya
reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea,
muntah, perut kembung, obstipasi dan sebagainya.
d. Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
2. Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai:
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan,
telinga dan hidung.
3. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital:
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
d. Gangguan Sensoria: Penglihatan kabur.
e. Gangguan penciuman dan perabaan.
f. Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal :
g. Pupil mata melebar.
h. Tidak mampu untuk bergerak.
i. Kehilangan reflek.
j. Nadi cepat dan kecil
k. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
l. Tekanan darah sangat rendah.
m. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
n. Tanda-tanda Meninggal secara klinis.
D. Macam Tingkat Kesadaran/Pengertian Pasien dan Keluarganya
Terhadap Kematian
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 tipe:
1. Closed Awareness/Tidak Mengerti Pada situasi seperti ini, dokter
biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang diagnosa
dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat
hal ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan
sering kepada pasien dan keluarganya. Perawat sering kal
dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan
sembuh, kapan pulang, dan sebagainya.
2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi Pada fase ini
memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang
berat baginya.
3. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka Pada situasi ini,
klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun
dirasakan getir. Keadaan ini memberikan kesempatan kepada
pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat
akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.
E. Bantuan yang Dapat Diberikan Saat Tahap Berduka
Bantuan terpenting berupa emosional.
1. Pada Fase Denial : Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien
dengan denial dengan cara mananyakan tentang kondisinya atau
prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan perasaan -
perasaannya.
2. Pada Fase Marah : Biasansya pasien akan merasa berdosa telah
mengekspresikan perasaannya yang marah. Perawat perlu
membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal yang
normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian.
Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai
orang yang dapat dipercaya, memberikan ras aman dan akan
menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga
membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
3. Pada Fase Menawar : Pada fase ini perawat perlu mendengarkan
segala keluhannya dan mendorong pasien untuk dapat berbicara
karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak masuk
akal.
4. Pada Fase Depresi : Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya
dan mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih
baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan
tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
5. Pada Fase Penerimaan : Fase ini ditandai pasien dengan perasaan
tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-temannya dibutuhkan
pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu
dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan
mampu untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
Di ruang paliatif terdapat seorang pasien bernama Nn. SINTA yang sedang
menjalani perawatan dari penyakit kanker otak stadium akhir. Perawat dan
rohaniawan datang untuk mengunjungi pasien. Di ruangan tersebut ada ibu pasien
yang bernama Ny. ipeh.
Sinta Pasien
Ipeh Ibu pasien
Aca Perawat 1
Rifka Perawat 2
Nurul Rohaniawan
Riri Dokter
Sam Ahli Gizi
Rohaniawan: assalamualaikum
Perawat: selamat pagi mbak sinta
Pasien: waalaikum salam
Ibu pasien : selamat pagi
Perawat 1&2: perkenalkan saya perawat ACA dan RIFKA dan rekan saya
ibu Nurul, beliau adalah rohaniawan di rumah sakit ini. Pagi ini saya dan
rekan saya, akan menemani mbak sinta selama menjalani perawatan.
ibu Pasien: iya bu nurul & bu aca
rohaniawan: Bagaimana kabarnya mbak?
Perawat 1: apa yang dirasakan hari ini mba sinta?
ibu Pasien: yah.. begini bu, kepala anak saya bu.
Perawat 2: apakah semalam bisa tidur?
Pasien: tidur saya hanya sebentar bu..
Ibu pasien: mengeluh pusing katanya bu semalam minta pijitin kepalanya
Perawat 1: baik, ada keluhan lain mba sinta?
Pasien: pusing sekali, lemas badannya, mual juga bu
Perawat 1: baik, akan segera saya panggilkan dokter..
Rohaniawan: bagaimana makannya mbak sinta, bu ipeh?
Ibu pasien: mau tapi sedikit pak
Rohaniawan: baik.
Ibu pasien: kalo makan buah naga boleh ga suster? anaknya kepingin.
Perawat 2: buah naga ya.. Hm.. Boleh saja bu..
Ibu pasien: kalo makan sarimi boleh ga bu?
Perawat 1: makan mie boleh bu... Tapi sedikit saja.
End.
DAFTAR PUSTAKA
Potter, A. Patricia dan Anne G. Perry. 2010. Fundamental Keperawatan, Edisi 7
Buku 2. Singapore: Elsevier
World Medical Assembly, Sydney, Australia, August 1968 and amended by the
35th World Medical Assembly, Venice, Italy, October 1983