Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

POLITIK HUKUM DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA


SERENTAK

(DOSEN PROF.DR.ACHMAD RUSLAN,S.H.,M.H)

Disusun Oleh:

MUH ALIFAHRIN ATJO

B012202071

MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Pemilihan Kepala Daerah atau yang biasa disingkat menjadi Pilkada, merupakan
agenda penting 5 tahun sekali di masing-masing daerah dalam negara Indonesia .
Pilkada merupakan agenda yang paling menentukan nasib suatu daerah selama 5
tahun kedepan, yaitu suksesi kepemimpinan tertinggi di wilayah eksektuif. Namun, tidak
jarang kepala daerah (petahana) kemudian melanjutkan ke periode kedua dalam masa
jabatannya atau biasa disebut dengan incumbent. Pasca runtuhnya kekuasaan orde
baru, konstitusi Indonesia beberapa kali mengalami tahapan amandemen.

Sampai pada konstitusi yang berlaku di masa sekarang yaitu, UUD NRI Tahun
1945, perubahan atau amandemen telah berlangsung empat tahap perubahan terhadap
konstitusi. Perubahan konstitusi ini tentunya berimplikasi pada peraturan di bawahnya,
khususnya adalah undangundang. Sehingga dalam hal jabatan eksekutif, mulai dari
Presiden hingga Walikota/Bupati dibatasi jabatannya maksimal sepuluh tahun atau dua
periode jabatan. Dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto, jabatan eksekutif sama
sekali tidak dibatasi, hal ini berdampak buruk terhadap pemerintahan, baik di tingkat
pusat maupun daerah.

Dalam sebuah adagiumnya, Lord Acton mengatakan bahwa, power tends to


corrupt, absolute power corrupt absolutely, yang artinya adalah kekuasaan cenderung
disalahgunakan, dan kekuasan yang mutlak pasti disalahgunakan Sehingga pada
pasca reformasi, adanya perubahan terkait pengaturan dibatasinya kekuasaan di
wilayah eksekutif dalam UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 mengatur tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga diatur mengenai cuti
kampanye bagi Kepala Daerah (petahana). Kepala daerah yang ingin maju lagi untuk
periode kedua, harus mengajukan cuti selama masa kampanye pemilihan kepala
daerah. Hal ini banyak menuai kontroversi, karena dianggap akan berimplikasi pada
jalannya pengelola pemerintahan yang tidak berjalan maksimal atau semestinya. Selain
itu, kepala daerah terikat oleh sumpah jabatan untuk menjalankan tugasnya dengan
sepenuhnya. Maka, ketika kepala daerah yang ingin maju lagi ke periode kedua, kepala
daerah tersebut tidak menyelesaikan tugasnya sesuai masa jabatan yang diberikan
kepadanya, karena dipotong masa cuti kampanye yang dilaksanakannya sebagai
syarat calon Kepala Daerah.

Pemilihan umum (Pemilu) sebagai sarana pelaksana kedaulatan rakyat sesuai


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Di
Indonesia pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan pemilihan secara langsung
umum bebas dan rahasia oleh rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketentuan tentang
pemilihan kepala daerah (pilkada) diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang Undang
Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Wali kota dipilih
secara demokratis daerah hingga pemilihan langsung oleh rakyat menjadi opsi bagi
implementasi desentralisasi pemerintahan.

Penyelenggaraan pemerintahan adalah presiden dibantu oleh satu orang wakil


presiden, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah dan
DPRD Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang disebut kepala
daerah, untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk
kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah,yang
masing-masing untuk provinsi disebut wakil gubernur, untuk kabupaten disebut wakil
bupati, dan untuk kota disebut wakil walikota.

Berdasarkan uraian tersebut, memahami dan mengkaji pemilihan kepala daerah


menarik untuk diteliti terkait politik hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala
daerah secara serentak di Indonesia.
I.II Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah,


yaitu:

1. Bagaimana peran politik hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah


secara serentak?
2. Bagaimana peran politik hukum pada wacana pemilihan serentak ditahun
2024?
BAB II

PEMBAHASAN

A. POLITIK HUKUM DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA


SERENTAK

Secara harfiah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat
dan kratia yang berarti pemerintahan. Sedangkan secara istilah, demokrasi merupakan
dasar hidup bernegara yang menempatkan rakyat dalam posisi berkuasa (government
or role by people) sehingga pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara karena
kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Demokrasi dapat dijustifikasikan
sebagai government of, by, and for people.

Ada dua pendekatan terhadap demokrasi: pendekatan normatif dan pendekatan


empirik. Pendekatan normatif, menekankan pada ide dasar dari demokrasi yaitu
kedaulatan ada di tangan rakyat dan oleh karenanya pemerintahan diselenggarakan
dari, oleh, dan untuk rakyat.

Dalam perkembangannya, ide kedaulatan rakyat secara utuh sulit diterapkan selain
beragam dan seringkali saling bertentangan, rakyat juga sulit dihimpun untuk
penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Oleh karena itulah muncul ide demokrasi
yang terkonkretisasi dalam lembaga perwakilan, baik lembaga eksekutif, legislatif
maupun yudikatif yang anggota-anggotanya dipilih dari partai politik atau perseorangan
sebagai agregasi dari berbagai kepentingan rakyat. Sedangkan pendekatan empirik
menekankan pada perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik sebagai rangkaian
prosedur yang mengatur rakyat untuk memilih, mendudukkan dan meminta
pertanggungjawaban wakilnya di lembaga perwakilan. Wakil-wakil inilah yang kemudian
membuat dan menjalankan keputusan publik .
Undang-undang pemilu era reformasi telah menetapkan secara konsisten enam
asas pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Termasuk Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 1 angka 1 pasal 2 menetapkan hal yang sama frasa langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil tanpa ditambah dan dikurangi. Hal ini menunjukkan bahwa asas
tersebut merupakan prinsip fundamental pemilu.

Berikut penjelasan asas-asas pemilu:

1. Langsung Pemilih berhak memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan


hati nuraninya tanpa perantara. Asas ini berkaitan dengan enganged sang “demos”
untuk memilih secara langsung wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Langsung
berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, anpa perantara. Hak ini tidak diwakilkan
kepada seseorang atau sekelompok orang. Penggunaan hak direct, langsung kepada
siapa yang mau diberikan kekuasaan.

2. Umum ( Algemene, General) Semua warga Negara yang telah memenuhi syarat
sesuai dengan Undang-Undang berhak mengikuti pemilu tanpa ada diskriminasi. Umum
berarti pada dasaranya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal
dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak
ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang sudah berumur 21 (dua puluh
satu) tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan yang bersifat umum mengandung nakna
menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga yang telah telah
memenuhu persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.

3. Bebas (Vrije, Independent) Bebas berarti setiap Negara yang berhak memilih
bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Didalam
melaksankan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya. Didalam demokrasi,
kebebasan merupakan prinsip yang sangat penting dan utama.Dengan pemilu,
kekuasaan dapat diganti secara regular dan tertib. Dengan demikian, semua warga
Negara diberi kebebasan untuk memilih dan dipilih tanpa interverensi dan tsanpa
tekanan dari siapa pun.
4. Rahasia (Vertrouwelijk, Secret) Rahasia berarti dalam memberikan suaranya,
pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan
jalan apa pun. Kerahasiaan ini merupakan trantai dari “makna” kebebasan
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

5. Jujur (Eerlijk, Honest) Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum,


peneyelenggaraan/pelaksanaan, pemerintah dan partai politik peserta pemilu,
pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat
secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

6. Adil (Rechtvaardig, Fair) Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap


pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas
dari kecurangan pihak mana pun. Adil memiliki dua makna, yakni: adil sebagai sikap
moral dan adil karena perintah hukum. Oleh karena itu pemilu memerlukan sikap fair
dari semua pihak, baik dari masyarakat, pemilih, partai politik maupun penyelenggara
pemilu. Sikap adil ini dilakukan agar tetap menjaga kualitas pemilu yang adil dan tidak
berpihak kepada kepentingan individu dan kelompok tertentu.

Keterlibatan masyarakat dalam memilih pemimpin di daerah masing-masing


berawal di tahun 2005 ketika bangsa Indonesia memulai era baru dalam
penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala daerah, baik
bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh
DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan
kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada.

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam
undang-undang nomor 32 tahun 2004 3 tentang Pemerintah Daerah yang lebih spesifik
di atur dalam bagian tata cara pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada langsung merupakan
koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukkan perkembangan demokrasi
yang semakin matang di tingkat daerah. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan
pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan
yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendorong dinamika
dalam kehidupan demokrasi di tingkat lokal.

Keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan pemimpin daerah yang


demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat bergantung pada daya kritis
dan rasionalitas pemilih/rakyat itu sendiri. Selanjutnya, sejak Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum berlaku pilkada dimasukkan
dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilukada pertama yang
diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Kemudian, pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai


penyelenggaraan pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di
dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota. Pada tahun 2014, Pilkada secara langsung sempat mengalami
kegentingan. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengangkat isu
krusial terkait Pilkada secara langsung. Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 24
September 2014 memutuskan bahwa Pilkada dikembalikan secara tidak langsung, atau
kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung
oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.

Berkaitan dengan pemilihan umum,A.Sudiharto Djiwandono (1983:201)


mengatakan bahwa :

“Pemilihan umum adalah sarana demokrasi yang penting.Ia merupakan perwujudan


nyata keikutsertaan rakyat dalam suatu tata kehidupan kenegaraaan. Oleh karena itu
pemilihan umum sering kali dijadikan ukuran sejauh mana kadar demokrasi dari suatu
negara yang mengaku dirinya sebagai negara demokrasi.
Setiap pengamat selalu ingin mengetahui apakah pemilihan umum itu benar-benar
dilaksanakan secara bebas dan rahasia, tanpa tekanan dari pihak manapun, dan
diorganisir secara baik dan bersih, sehingga hasilnya benar-benar mencerminkan
aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Berapa banyak pemilih yang menggunakan
haknya juga bisa dijadikan ukuran sejauh mana tingkat kesadaran rakyat akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara atau tingkat kesadaran politik warga negara”.

B. POLITIK HUKUM PADA WACANA PEMILIHAN SERENTAK

Tujuan diselenggarakannya pemilu dan pilkada secara serentak adalah sama-sama


untuk mewujudkan demokrasi yang aman dan efisien. Namun demikian, ada beberapa
perbedaan antara pemilu lansung dan pilkada serentak, pemilu ditujukan untuk memilih
wakil rakyat ditingkat pusat dan daerah. Adapun pilkada ditujukan untuk memilih kepala
daerah. Pemilu dilaksanakan serentak diseluruh wilayah indonesia, adapun pilkada
dilaksanakan hanya dalam lingkup wilayah pemerintahan daerah tertentu saja. Proses
pelaksanaan pemilu dan pilkada makanya berbeda,

Namun sontrak terdengar munculnya wacana untuk melaksanakan pemilu dan


pilkada secara serentak ditahun 2024, meninjau dari pemilu serentak yang dilakukan
ditahun 2019 masih sangat banyak perbaikan yang harusnya ditelaah sebelum
menanggapi wacana yang baru ini.

Sebelum dilaksanakan secara serentak, hampir setiap pekan berlangsung pilkada


di daerah atau wilayah yang berbeda-beda, baik di provinsi, maupun kabupaten dan
kota. Selain itu, meskipun bersifat lokal, dinamika politik pilkada berpotensi
menimbulkan gejolak yang dipicu banyak faktor.

Di samping sebagai upaya meminimalkan biaya sosial, politik, dan ekonomi, pilkada
langsung secara serentak diharapkan lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Walaupun
pilkada berlangsung di daerah, segenap dinamika yang menyertainya menyita
perhatian dan energi. Melalui pilkada serentak, segenap dinamika yang menyertai
pilkada disatuwaktukan agar perhatian dan energi bangsa selebihnya tercurah untuk
pembangunan. Efisiensi yang sama diharapkan dapat dilakukan dalam pembiayaan
pilkada.

Pada saat menjelang pilkada, APBD tersedot untuk segenap keperluan atas nama
keberhasilan pilkada. Melalui pilkada serentak, yang sebagian pembiayaannya menjadi
beban APBN, diharapkan terjadi efisiensi anggaran terkait pengeluaran untuk pesta
demokrasi lokal tersebut.

Dalam rangka meminimalkan potensi konflik sosial dan gejolak politik serta demi
lebih efektif dan efisien, pemerintah dan DPR bersepakat menyelenggarakan pilkada
langsung secara serentak secara bertahap. Diharapkan, pilkada serentak secara
nasional dapat terselenggara pada tahun 2024.

Pilkada serentak gelombang pertama dilaksanakan pada tanggal 9 Desember


2015. Akan tetapi pembentukan Badan Peradilan Khusus yang akan menangani,
mengadili dan memutus permohonan perselisihan hasil Pilkada Serentak 2015 belum
terbentuk. Untuk itulah DPR dan Pemerintah sebagai pembuat Undang-Undang
mengeluarkan UU No. 8 tahun 2015 sebagai revisi terhadap UU No. 1 tahun 2015
tentang UU Pilkada dengan memasukan norma hukum positif, yaitu Pasal 157 ayat (1-
3) mengamanatkan bahwa “

a) Pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada,


b) Badan Peradilan Khusus Pilkada dibentuk sebelum Pilkada Serentak
Nasional,
c) Perkara perselisihan hasil penetapan perolehan suara hasil pemilihan
diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai terbentuknya Badan
Peradilan Khusus hingga pelaksanaan Pilkada Serentak Nasional.

Menurut Guru Besar Politik Hukum Universitas Airlangga Surabaya Ramlan


Surbakti menilai, rencana pembentukan Badan Pengadilan Khusus Pemilu sangat baik,
namun kewenangan Peradilan Khusus Pemilu haruslah diperjelas dalam tataran
teknisnya, apakah menangani khusus sengketa perselisihan hasil suara pemilu saja,
atau ditambah dengan pidana pemilu atau sengketa administarsi pemilu. Berlandaskan
ketentuan pada Pasal 157 ayat (1-3) UU No. 10 Tahun 2016 perubahan kedua atas UU
No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, memberikan penegasan bahwa “Perkara
perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Badan Peradilan Khusus Pemilu
yang akan dibentuk sebelum pelaksanaan Pilkada Serentak Nasional”.

Dari Pasal 157 tersebut dapat dimaknai bahwa Badan Peradilan Khusus Pemilu
akan menangani tahapan akhir penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 yaitu pada
tahapan Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Kepala Daerah serentak.

Sementara itu, pilkada langsung yang diselenggarakan secara serentak sejak 2015
hingga sekarang dimaksudkan untuk meminimalkan biaya, baik sosial, politik, maupun
ekonomi.

Pilkada serentak adalah sebagai suatu sistem dan sistem itu meliputi bagianbagian
sub sistem.Joko J. Prihatmoko (2005: 201) berpendapat bahwa sub sistem itu meliputi :

(1) Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada
langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi
penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-
masing.
(2) Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan
pilkada dan yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang
bersifat legal maupun teknikal.
(3) Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturanaturan
pilkada baik politis, administratif atau secara pidana.

Hal yang tidak dapat diabaikan dalam mewujudkan pemilihan yang demokratis adalah
tanggungjawab negara, yang meliputi:

1. Negara harus mengambil langkah-langkah yang legislative dan tindakan lain


yang diperlukan sesuai dengan proses konstitusionalnya untuk menjamin hak-
hak dan kerangka institusional untuk pemilu periodic, murni bebas dan adil,
sesuai dengan kewajiban menurut UU Internasional;
2. Mengambil kebijakan dan langkah langkah institusional guna kemajuan
pencapaian dan konsolidasi cita-cita demokratis
3. Negara harus menghormati dan menjamin hak asasi setiap orang dan harus
tunduk pada perundang-undangannya;
4. Negara harus mengambil langkah-langkah yang perlu agar partai dan para
calonnya memperoleh kesempatan yang cukup untuk membeberkan platform
pemilihan;
5. Negara harus menjamin prinsip pencoblosan secara rahasia, pemilih dapat
memberikan suaranya dengan bebas, tanpa rasa takut atau intimidasi;
6. Negara harus menjamin prinsip pencoblosan terhindar dari pemalsuan dan hal-
hal yang tidak sah, perhitungan suara dilalukan oleh tenaga terlatih, boleh
dipantau dan/atau diverifikasi secara adil;
7. Negara menjamin transparansi dari seluruh proses pemilihan;
8. Negara menjamin bahwa partai-partai dan para calon serta para pendukung
memperoleh pengamanan bersama, negara harus mencegah terjadinya
kekerasan dalam pemilihan;
9. Negara menjamin bahwa pelanggaran hak asasi dan segala pengaduan
berkaitan dengan proses pemilihan ditangani segera dalam periode proses
pemilihan dan secara efektif oleh lembaga independen yang tidak memihak,
seperti komisi pemilihan atau pengadilan;

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemilu adalah pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan tertentu. Untuk itu
pemilihan umum sangat penting karena dalam pemilu terjadi pelaksanaan kedaulatan
rakyat. Pilkada dilakukan untuk memilih kepala daerah. Pilkada pada dasarnya sama
dengan pilpres. Keduanya diselenggarakan untuk memilih pemimpin secara langsung.
Ada enam asas pemilu di Indonesia, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil. Tujuan diselenggarakannya pemilu dan pilkada adalah sama-sama untuk
mewujudkan demokrasi. Pemilu dilaksanakan serentak diseluruh wilayah indonesia,
adapun pilkada dilaksanakan hanya dalam lingkup wilayah pemerintahan daerah
tertentu saja.
Penerapan Pemilu dan Pilkada secara serentak sedianya akan memberikan
efisiensi dalam terjadinya proses demokrasi diIndonesia namun harus dipahami juga
bawasanya ketertiban didalam pelaksanaannya juga harus dipikirkan dengan sebaik
mungkin guna mewujudkan kedewasaan berdemokrasi diIndonesia.

Hari-hari pesta demokrasi Pilkada Serentak melambungkan harapan sekaligus


kecemasan sebagian orang, berharap gelaran akbar ini dapat menuntaskan berbagai
masalah yang selama ini mengganjal dalam pembangunan di daerah. Dari soal
regenarasi kepemimpinan lokal, pemerataan sumber daya, masalah politik dinasti,
sampai revitalisasi otonomi daerah. Namun, terbesit juga rasa cemas bahwa pesta
demokrasi lokal yang berjalan langsung dan serentak ini tidak dapat memenuhi semua
keinginan yang muncul, tidak menjamin bahwa hasilnya akan memuaskan semua
pihak, ditambah spekulasi masalah keamanan, potensi munculnya kecurangan,
gugatan oleh pihak yang tidak luas dengan hasilnya, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

MD, Moh. Mahfud. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Prihantoro, Joko J. 2007. Mendemokratiskan Pemilu: Dari Sistem Sampai Elemen
Teknis. Semarang; Pustaka Pelajar.

Makalah dan jurnal :


Achmad Arifulloh Jurnal Pembaharuan Hukum Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015
Wahyu Nugroho Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 3, September 2016

Anda mungkin juga menyukai