Anda di halaman 1dari 65

TUGAS KELOMPOK ALAT KESEHATAN DAN SPESIALITE

OBAT GANGGUAN PERNAPASAN

(ASMA)

Oleh :

Sefti Qurinati Komsi (2020001175)


Septia Fanny Wandari (2020001176)
Serlin Natalia Fono (2020001177)
Sianne Trio Minggu L (2020001178)
Silvia Yolanda (2020001217)
Siti Fatimatuz Zahra (2020001179)
Kelompok 3 Kelas C

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................................i
BAB I............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................................1
B. PERUMUSAN MASALAH..............................................................................................3
C. TUJUAN PENELITIAN...................................................................................................3
BAB II..........................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................4
A. DEFINISI..........................................................................................................................4
B. KLASIFIKASI ASMA......................................................................................................4
BAB III.........................................................................................................................................7
EPIDEMIOLOGI ASMA..............................................................................................................7
BAB IV.......................................................................................................................................10
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI ASMA..............................................................................10
BAB V........................................................................................................................................18
DIAGNOSA ASMA...................................................................................................................18
A. GEJALA.........................................................................................................................18
B. DIAGNOSA....................................................................................................................18
BAB VI.......................................................................................................................................23
TERAPI ASMA..........................................................................................................................23
BAB VII......................................................................................................................................49
KESIMPULAN...........................................................................................................................49
BAB VIII....................................................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................50

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit asma merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia,
baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Saat ini,
penyakit asma juga sudah tidak asing lagi di masyarakat. Asma dapat diderita
oleh semua lapisan masyarakat dari usia anak-anak sampai usia dewasa. Penyakit
asma awalnya merupakan penyakit genetik yang diturunkan dari orang tua pada
anaknya. Namun, akhir-akhir ini genetik bukan merupakan penyebab utama
penyakit asma. Polusi udara dan kurangnya kebersihan lingkungan di kota-kota
besar merupakan faktor dominan dalam peningkatan serangan asma. Asma
adalah penyakit kronis variabel dari sistem pernapasan yang ditandai oleh
penyempitan saluran pernapasan kecil dan bronkiolus, meningkat bronkial
sekresi atau lendir dan pembengkakan mukosa atau peradangan, sering dalam
menanggapi satu atau lebih memicu. Asma ditandai dengan serangan sesak dada,
batuk dan mengi akibat obstruksi jalan napas. Hasil penelitian International
Study on Asthma and Alergies in Childhood pada tahun 2008 menunjukkan, di
Indonesia prevalensi penyakit asma melonjak dari sebesar 4,2 persen menjadi 5,4
persen di jawa tengah 1,5 persen menjadi 2,5 persen dan di surakarta meningkat
dari 1,5 persen menjadi 2 persen. Selama 20 tahun terakhir, penyakit ini
cenderung meningkat dengan kasus kematian yang diprediksi akan meningkat
sebesar 20 persen hingga 10 tahun mendatang. WHO memperkirakan di tahun
2015 terdapat 255 ribu penderita meninggal dunia karena asma. Asma dapat
timbul pada segala umur, dimana 30% penderita mempunyai gejala pada umur 1
tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma, gejala pertamanya muncul
sebelum umur 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang
hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani.

1
2

Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak
yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya
tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan
fungsi dari hari ke hari. Asma juga salah satu diantara beberapa penyakit yang
tidak bisa disembuhkan secara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak
menjamin dalam waktu dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya.
Terutama apabila pekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita
harus selalu berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab serangan.
Karena asma merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total,
biasanya dokter merujuk penderita asma kepada fisioterapi yang dapat membantu
mengatasi permasalahan ditimbulkan akibat asma. Fisioterapi membantu
penderita asma untuk dapat tetap aktif dan mendapatkan kebugaran tubuh yang
optimal. Fisioterapi dapat membantu mengatasi permasalahan yang ditimbulkan
akibat asma. Fisioterapi membantu penderita asma untuk dapat tetap aktif dan
mendapatkan kebugaran tubuh yang optimal. Dari berbagai macam modalitas
fisioterapi untuk mengatasi asma, secara umum paling banyak digunakan adalah
latihan kontrol pernapasan (breathing control), teknik pembersihan saluran napas
(seputum clearance techniques), latihan pola pernapasan (active breathing
techniques) . Berbagai penelitian telah mengemukakan bahwa latihan pernapasan
memberikan perbaikan pada pasien dengan kondisi asma. Fisioterapi mempunyai
kemampuan penanganan asma yang secara umum dengan langkah-langkah
sebagai berikut: melakukan pemeriksaan derajat asma, memaksimalkan fungsi
paru, mempertahankan fungsi optimal paru dengan menghindarkan dari faktor
pencetus, mempertahankan fungsi optimal paru dengan inhalasi, secara teratur
melakukan evaluasi progra fisioterapi pada kondisi asma .
3

B. PERUMUSAN MASALAH
Untuk lebih mengetahui tentang pengobatan asma, maka dibuat rumusan
masalah, apakah asma dapat diobati berdasarkan penatalkasanaannya dan
bagaimana penggolongan obat asma?

C. TUJUAN PENELITIAN
Memperoleh informasi mengenai asma dan mengetahui pengobatan asma serta
penggolongan obat asma berdasarkan penatalaksanaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit Asma berasal dari kata “Ashtma” yang diambil dari Bahasa Yunani
yang berarti “sukar bernapas”. Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik
saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi
kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga
memudahkan terjadinya bronkokontriksi, edema, dan hipersekresi kelenjar, yang
menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi
klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk
– batuk terutama pada malam hari atau dini hari (subuh). Gejala ini berhubungan
dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversible
secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (3).

Gambar 1. Kondisi Asma Bronkial

B. KLASIFIKASI ASMA
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting

4
5

bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin


berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Tabel 1. Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit

Derajat asma Gejala Fungsi Paru

I. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
Malam hari < 2 kali per bulan VEP1 > 80% nilai prediksi
Serangan singkat APE > 80% nilai terbaik
Tidak ada gejala antar
serangan
Intensitas serangan bervariasi
II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu, Variabilitas APE 20 - 30%
tetapi < 1 kali per hari VEP1 > 80% nilai prediksi
Malam hari > 2 kali per bulan APE > 80% nilai terbaik
Serangan dapat
mempengaruhi aktifitas

III. Persisten Sedang Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30%
Malam hari > 1 kali per minggu VEP1 60-80% nilai prediksi
Serangan mempengaruhi APE 60-80% nilai terbaik
aktifitas
Serangan > 2 kali per minggu
Serangan berlangsung
berhari-hari
Sehari-hari menggunakan
inhalasi β2-agonis short acting
IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada Variabilitas APE > 30%
gejala VEP1 < 60% nilai prediksi
Setiap malam hari sering APE < 60% nilai terbaik
timbul gejala
Aktifitas fisik terbatas
Sering timbul serangan
6

Tabel 2. Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat Serangan


7

BAB III
EPIDEMIOLOGI ASMA

Saat ini penyakit Asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.


Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita Asma dan tahun 2025
diperkirakan jumlah pasien Asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja
lebih besar mengingat Asma merupakan penyakit yang underdiagnosed.
Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat diperkirakan
menjadi penyebab meningkatnya penderia Asma.Terdapat sekitar 250.000
kematian yang disebabkan oleh serangan asma setiap tahunnya, dengan
jumlah terbanyak di negara dengan ekonomi rendah-sedang.Data dari
berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit Asma berkisar
antara 1-18% (GINA, 2011).
8

Gambar 2. Prevalensi Asma* Menurut Provinsi Tahun 2013 (13)


Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 18 provinsi
yang mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional. Dari
18 provinsi tersebut, 5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Sedangkan provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit Asma di bawah
angka nasional, dimana 5 provinsi yang mempunyai prevalensi Asma
terendah, yaitu Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bengkulu, dan Lampung.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, melaporkan prevalensi asma di
Indonesia adalah 4,5% dari populasi, dengan jumlah kumulatif kasus asma
sekitar 11.179.032. Asma berpengaruh pada disabilitas dan kematian dini
terutama pada anak usia 10-14 tahun dan orang tua usia 75-79 tahun. Diluar
usia tersebut kematian dini berkurang, namun lebih banyak memberikan efek
disabilitas. Saat ini, asma termasuk dalam 14 besar penyakit yang
menyebabkan disabilitas di seluruh dunia. (RISKESDAS,2013)

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Asma merupakan sepuluh


besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari
data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma
9

menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama


dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di
Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan
obstruksi paru 2/ 1000.
Berbagai penelitian menunjukkan bervariasinya prevalensi asma,
bergantung kepada populasi target studi, kondisi wilayah, metodologi yang
digunakan dan sebagainya. Asma pada anak Woolcock dan Konthen pada
tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan
hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus serta gangguan faal
paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan
menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali
dengan rata-rata umur 13,8  0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala
asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya
mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi
prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996
dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan
Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya
1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan
14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001,
Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta
Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan
pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang
dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent
asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%. Asma pada
dewasa Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan
10

penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan


kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan
Respiratory symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New
South Wales, dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan
alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia
13-70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar
7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2% dan perempuan 6,6%. Rumah Sakit
Rumah sakit Persahabatan, Jakarta merupakan pusat rujukan nasional
penyakit paru di Indonesia, dan salah satu rumah sakit tipe B di Jakarta,
menunjukkan data perawatan penyakit asma sebagai tergambar pada tabel 2.
Data dari RSUD dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan kasus
rawat interval 4 tahun, yaitu tahun 1986, 1990, dan 1994. Didapatkan
frekuensi proporsi rawat inap asma menurun, hal tersebut kemungkinan
karena keberhasilan penanganan asma rawat jalan dan pemberian penyuluhan
sehingga kasus asma yang dirawat menurun. Pada tabel 3 dapat dilihat data
rawat inap di UPF Paru RS dr. Soetomo, Surabaya. Penelitian ISAAC
mendapatkan prevalensi gejala asma dalam 12 bulan berdasarkan kuesioner
tertulis di beberapa negara. Pada gambar 5 dapat dilihat Indonesia berada di
urutan paling rendah dalam prevalensi asma (2).
11
BAB IV
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI ASMA

Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik
dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien
menjadi asma, yaitu :
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan resiko genetik dan lingkungan apabila
terpapar dengan pemicu (induce/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi
pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi
asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan
dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi berat secara
klinis berhubungan dengan hiperaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).
Faktor-faktor pemicu antara lain :
 Allergen dalam ruangan
 Tungau debu rumah
 Binatang berbulu (anjing, kucing, tikus)
 Allergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok
 Pemacu : Rinovirus, ozon, pemakaian beta blocker,
 Pencetus : semua faktor pemacu ditambah dengan aktivitas fisik,
udara dingin, histamin dan metakolin.

12
13

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut


:

Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Asma

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu :


1. Faktor Genetik
 Hiperaktivitas
 Atopi/alergi bronkus
 Faktor yang memodifikasi penyakit genetic
 Jenis kelamin
 Ras/etnik
2. Faktor Lingkungan
 Allergen di dalam ruangan (tungau, debu, rumah, kucing,
jamur/alternaria)
 Allergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
 Makanan, (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
 Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, ß blocker, dll)
 Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dll)
 Ekspresi emosi berlebih
 Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
 Polusi udara di luar dan di dalam ruangan.
14

 Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika aktivitas


tertentu
 Perubahan cuaca (4)

Keterbatasan aliran udara pada asma bersifat recurrent dan disebabkan


oleh berbagai perubahan dalam jalan napas, meliputi :
1. Bronkokonstriksi
Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan timbulnya gejala klinis
asma adalah penyempitan saluran napas yang diikuti gangguan aliran
udara. Pada asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bronkus
(bronkokonstriksi) terjadi secara cepat, menyebabkan penyempitan
saluran napas sebagai respons terhadap paparan berbagai stimulus
termasuk alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut yang diinduksi oleh
alergen ini merupakan hasil IgE-dependent release of mediators dari sel
mast, yang meliputi histamin, tryptase, leukotrien, dan prostaglandin
yang secara langsung mengakibatkan kontraksi otot polos saluran napas
(4).
2. Edema Jalan Napas
Saat penyakit asma menjadi lebih persisten dengan inflamasi yang lebih
progresif, akan diikuti oleh munculnya faktor lain yang lebih membatasi
aliran udara. Faktorfaktor tersebut meliputi edema, inflamasi,
hipersekresi mukus dan pembentukan mucous plug, serta perubahan
struktural termasuk hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas
(4).
3. Airway hyperresponsiveness
Mekanisme yang dapat memengaruhi airway hyperresponsiveness
bersifat multiple, diantaranya termasuk inflamasi, dysfunctional
neuroregulation, dan perubahan struktur, dimana inflamasi merupakan
15

faktor utama dalam menentukan tingkat airway hyperresponsiveness.


Pengobatan yang diarahkan pada inflamasi dapat mengurangi airway
hyperresponsiveness serta memperbaiki tingkat kontrol asma (4).
4. Airway remodeling
Keterbatasan aliran udara dapat bersifat partially reversible pada
beberapa penderita asma. Perubahan struktur permanen dapat terjadi di
saluran napas, terkait hilangnya fungsi paru secara progresif yang tidak
dapat dicegah sepenuhnya dengan terapi yang ada. Airway remodeling
melibatkan aktivasi banyak sel yang menyebabkan perubahan permanen
dalam jalan napas. Hal ini akan meningkatkan obstruksi aliran udara,
airway hyperresponsiveness dan dapat membuat pasien kurang responsif
terhadap terapi.

Biopsi bronkial dari pasien asma menunjukkan gambaran infiltrasi


eosinofil, sel mast serta sel T yang teraktivasi. Karakteristik perubahan
struktural mencakup penebalan membran sub-basal, fibrosis subepitel,
hiperplasia dan hipertrofi otot polos saluran napas, proliferasi dan dilatasi
pembuluh darah, serta hiperplasia dan hipersekresi kelenjar mukus.9,11
Hal ini menunjukkan bahwa epithelium mengalami perlukaan secara
kronis serta tidak terjadi proses repair yang baik, terutama pada pasien
yang menderita asma berat (4).
Serangan asma dapat timbul apabila ada alergen, virus, dan iritan
yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi
asma dini (early asthma reaction=EAR) dan reaksi asma lambat (late
asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut
atau kronik.Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya,
berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinophil dan monosit dalam
jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus. Asma yang disebabkan oleh
16

adanya reaksi alergi akan mengakibatkan adanya aktivasi sel mast yang
akan melepaskan mediator kimia sebagai tanda adanya reaksi
hipersensitivitas (histamine, leukotriene, faktor kemotaktis eosinofil dan
prostaglandin). Mediator kimia ini mampu mempersempit otot polos
bronkiolus, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mengagregasi
platelet, dan menstimulasi reaksi Inflamasi.

Gambar 3. Mekanisme Terjadinya Asma

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal
yang kompleks.Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang
banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di
bawah membran basal.Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sel
mast.Sel makrofag, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit,
dan monosit juga dapat melepaskan mediator (kemenkes, 2008).

1. Early dan Late Onset Asthma


a. Early onset/childhood onset asthma
Faktor risiko utama yang terkait dengan childhood onset asthma
adalah predisposisi genetik, riwayat alergi dan asma keluarga, infeksi
virus respirasi, kolonisasi bakteri, sensitisasi alergi dan paparan
tembakau.12 Riwayat orangtua dengan penyakit atopik telah lama
diketahui menjadi faktor risiko kuat asma pada anak-anak. Penelitian
17

genetik telah menunjukkan bahwa asma bersifat genetik heterogen,


dan telah mengidentifikasi suatu region yang mengandung ORMDL3
di kromosom 17q21 yang sangat terkait dengan childhood onset
asthma dan secara signifikan terkait dengan banyaknya transkrip
ORMDL3. Hasil ini telah berhasil direplikasi di kohort childhood
onset asthma lainnya. Dengan demikian, kecenderungan genetik
memainkan peran utama dalam timbulnya asma pada anak usia dini.
b. Late onset/adult onset asthma
Adult-onset atau late-onset asthma dipertimbangkan ketika gejala
asma muncul pertama kalinya saat usia dewasa. Usia saat diagnosis
menentukan istilah Late Onset Asthma dan bervariasi dari usia 12
tahun sampai ≥65 tahun. Berbeda dengan childhood onset asthma,
prevalensi dan faktor yang terkait dengan adult-onset asthma hanya
sedikit diketahui. Asma tersebut terutama terdapat pada wanita,
memiliki tingkat remisi rendah, serta jarang dikaitkan dengan
penyakit alergi dan atopik. Selain itu, banyak pasien adult-onset
asthma memiliki prognosis yang buruk, disertai penurunan fungsi
paru yang cepat dan keterbatasan aliran udara persisten yang lebih
berat.

Beberapa faktor risiko terkait adult-onset atau late-onset asthma


antara lain paparan iritan di tempat kerja, polutan lingkungan serta papara
rokok (baik aktif maupun pasif), hormon seks wanita, infeksi saluran
napas, konsumsi aspirin dan paracetamol, obesitas, serta kejadian stress
dalam hidup.

Mekanisme Inflamasi Pada Asma Kronis

Mekanisme pada epitel saluran napas melibatkan master regulator seperti


IL-33 akan berdampak pada peningkatan aktivitas dari sitokin tipe 2 dari
18

saluran napas. Umumnya disekresi oleh sel TCD4+ dan akan


menyebabkan kaskade yang meliputi mediated hypersensitivity, aktivasi
sel epitel saluran napas, chemoattraction sel efektor (sel mast, eosinofil
dan basofil), serta remodeling dari epitel dan matriks subepitelial (4).

a. Limfosit (Sel T CD4+)


Kelompok limfosit T CD4+ dikategorikan berdasarkan basis dari
fungsi seluler dan kapasitasnya untuk mensekresikan sitokin spesifik.
Limfosit T CD4+ ini akan berkembang untuk memediasi respon imun
tipe 2 terhadap cacing dan parasit, serta merupakan pusat mekanisme
atopi dan asma. Sel Th2 akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13,
dimana IL-4 merupakan faktor polarisasi yang paling poten. Fungsi
dari IL-4 penting untuk perkembangan sel Th2, IgG1 dan IgE serta
sebagai jalur ekstravasasi eosinofil. IL-5 berfungsi mempengaruhi
diferensiasi, maturasi dan survival eosinophil. Sedangkan IL-13
berperan merangsang timbulnya hiperesponsif bronkus dan
metaplasia sel goblet sehingga meningkatkan produksi mukus yang
berlebihan. Ketiga hal tersebut akhirnya mengakibatkan lumen
saluran napas menyempit (4).
b. IgE-Mediated Hypersensitivity
Produksi allergen-specific IgE membutuhkan alergen yang
ditangkap oleh sel dendritik atau APC lainnya yang dengan bantuan
IL-4 akan menyajikan antigen tersebut untuk diproses oleh sel T naif
menjadi fenotipe sel Th2. IL-4 juga menginduksi perubahan isotope
pada sel B yang akan memproduksi IgE. Sel IL-4 yang berinteraksi
dengan sel B di organ limfoid sekunder adalah sel TFH, dan bukan sel
Th2. Reaksi ini meliputi kontraksi otot polos saluran napas,
peningkatan permeabilitas bronkovaskuler dan sekresi mukus.
Meskipun inflamasi dan perubahan fungsional terkait early-phase
19

responses akan selesai dalam 1 sampai 3 jam, reaksi kedua (“late-


phase”) dapat terjadi pada beberapa penderita asma dan biasanya
dimulai 2 hingga 6 jam setelah paparan dan berlangsung selama 24
sampai 48 jam (4).
1) Eosinofil
Peningkatan jumlah eosinofil pada saluran napas merupakan ciri
patologis dari asma. Eosinofil saluran napas seringkali dikaitkan
dengan hasil pengukuran fungsi paru yang buruk, termasuk airway
hyperesponsiveness. Eosinofil diduga mengubah fungsi paru pada
penderita asma melalui aktivitas protein sitoplasma granul dan
kapasitasnya untuk mensekresikan sitokin.
2) Sel mast
Sel mast dikenal sebagai sel efektor sentral pada asma dengan
beberapa penelitian yang menunjukkan peningkatan jumlah sel mast
di sekret dan mukosa saluran napas.
3) Basofil
Basofil merupakan circulating granulocytes yang berespon terhadap
rangsangan alergi dengan migrasi dan akumulasi pada lokasi tempat
inflamasi. Basofil berperan sebagai sel efektor dan sel memori
terhadap alergen dengan memproduksi mediator lipid dan sitokin
yang dapat mempengaruhi ekstravasasi pembuluh darah dan
menstimulasi sel T CD4 efektor secara langsung serta berperan
terhadap remodeling jaringan (4).
BAB V

DIAGNOSA ASMA

A. GEJALA

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa


pengobatan. Gejala awal berupa :
 Natuk terutama pada malam atau dini hari
 Sesak napas
 Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
 Rasa berat di dada
 Dahak sulit keluar.
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa.
Yang termasuk gejala yang berat adalah:
 Serangan batuk yang hebat
 Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
 Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
 Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan
duduk
 Kesadaran menurun

B. DIAGNOSA
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan semestinya, mengi (whezzing) dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Secara
umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain :

20
21

 Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang


dini hari?
 Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau
batuk setelah terpajan alergen atau polutan?
 Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold)
merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan
(10 hari atau lebih)?
 Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah
melakukan aktifitas atau olahraga?
 Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)
 Apakah ada batuk mengi sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
 Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi,
konjuktivitas alergi?
 Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara
kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai
didapatkannya kelainan. Perlu diperhatikan tanda tanda asma dan
penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan
adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan
mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat,
mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam
keadaan sianosis dan kesadaran menurun. Secara umum pasien yang
sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut sesuai derajat serangan.
22

a) Inspeksi
1) Pasien terlihat gelisah
2) Sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga,
retraksi epigastrum, retraksi suprasternal)
3) Sianosis
b) Palpasi
1) Biasanya tidak ditemukan kelainan
2) Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
c) Perkusi
Biasanya tidak ditemukan kelainan
d) Auskultasi
1) Ekspirasi memanjang
2) Mengi
3) Suara lendir
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma :
 Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer

Gambar 4. Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital
paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1).
Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien
sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
23

pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai


tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas
diketahui dari nilai VEP1< 80% nilai prediksi atau rasio
VEP1/KVP < 75%. Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui
reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 >15 % secara
spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah
pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.(Depkes RI,
2007)
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
• Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP <
75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
• Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan,
atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
• Menilai derajat berat asma (PDPI , 2003)
 Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate
meter
Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)

Gambar 5. Macam-macam PEF meter


24

Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan
sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa.
Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak
ekspirasi (APE). (Depkes RI, 2007)

Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari
untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang
jelas. (PDPI, 2003)

Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah sebagai berikut :


Penuntun meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien diminta
untuk menghirup napas dalam, kemudian diinstruksikan untuk
menghembuskan napas dengan sangat keras dan cepat ke bagian mulut
alat tersebut, sehingga penuntun meteran akan bergeser ke angka
tertentu. Angka tersebut adalah nilai APE yang dinyatakan dalam
liter/menit.

Gambar 5. Cara Mengukur Arus Puncak Ekspirasi dengan PEF


meter

Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi.
Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan
perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah
25

pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian


kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Variabilitas APE ini tergantung
pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya), dan nilai
normal variabilitas ini < 20%. (Depkes RI, 2007). Variabilitas menilai
variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama
1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat
penyakit (lihat klasifikasi) (PDPI, 2003).

 Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)


 Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hiperreaktivitas
bronkus
 Uji alergi (tes tusuk kulit/ skin prick test) untuk menilai ada
tidaknya alergi.
 Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit selain asma

 Diagnosis Banding
Dewasa :
 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
 Bronchitis kronik
 Gagal jantung kongestif
 Batu kronik akibat lain-lain
 Disfungsi laring
 Obstruksi mekanis
 Emboli paru

Anak :
 Rinosinusitis
 Refluks gastroesofageal
 Infeksi respiratorik bawah viral berulang
 Displasia bronkopulmoner
26

 Tuberculosis
 Malformasi kongenital yang menyebabkan
penyempitan saluran respiratorik intrakoral
 Aspirasi benda asing
 Sindrom dyskinesia silier primer
 Defisiensi imun
 Penyakit jantung bawaan
27

C. KLASIFIKASI ASMA

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Secara Umum pada Orang
Dewasa (Sebelum Pengobatan) (11)
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
 Gejala <1x/minggu  ≤ 2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
 Tanpa gejala diluar serangan  APE ≥ 80% nilai terbaik
 Serangan singkat  Variabilitas APE <20%
II. Persisten
Ringan Mingguan APE ≥ 80%
 Gejala > 1x/minggu, tapi <  >2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
1x/hari  APE ≥ 80% nilai terbaik
 Serangan dapat mengganggu  Variabilitas APE20-30%
aktivitas dan tidur
 Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
III. Persisten
Sedang Harian APE 60-80%
 Gejala setiap hari  >1x/minggu  VEP1 60-80% nilai prediksi
 Serangan menggangu aktivitas  APE 60-80% nilai terbaik
dan tidur  Variabilitas APE >30%
 Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten
Berat Kontinyu APE ≤ 60%
 Gejala terus menerus  Sering  VEP1 ≤ 60% nilai prediksi
 Sering kambuh  APE≤ 60% nilai terbaik
 Aktivitas fisik terbatas  Variabilitas APE >30%
28

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Orang Dewasa (Dalam Pengobatan) (11)
Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian

Gejala dan faal paru dalam pengobatan Tahap 1 Intermiten Tahap 2 Pesisten Tahap 3 Persisten
ringan
Sedang

Tahap I: Intermiten Gejala < 1x/mggu Intermiten Persisten ringan Persisten sedang
Serangan singkat Gejala malam < 2x/bln

Faal paru normal diluar serangan

Tahap II: Persisten Ringan Gejala >1x/mggu, Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
tapi <1x/hari

Gejala malam >2x/bln, tapi <1x/mggu Faal


paru normal diluar serangan

Tahap III: Persisten Sedang Gejala setiap hari Persisten sedang Persisten berat Persisten berat

Serangan mempengaruhi tidur dan aktivitas


Gejala malam >1x/mggu

60%<VEP1<80% nilai prediksi


60%<APE<80% nilai terbaik

Tahap III: Persisten Berat Gejala terus Persisten berat Persisten berat Persisten berat
menerus Serangan sering

Gejala malam sering VEP1≤60% nilai


prediksi, atau APE≤60% nilai terbaik
29

Tabel 3. Klasifikasi Derajat Asma pada Anak (6)

Tabel 4. Klasifikasi Asma Menurut Derajat Serangan (6)


30

Tabel 5. Tingkatan Asma Terkontrol


31

BAB VI

TERAPI ASMA

A. Penatalaksanaan (1,3)
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Pada prinsipnya penatalaksanaan dibagi atas 2 yaitu (6):
1. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana asma jangka panjang adalah
edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega), dan menjaga
kekambuhan. Obat pelega diberikan pada sat serangan, obat
pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan dan diberikan
dalam jangka panjang dan terus menerus. Penatalaksanaan asma
jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi :
1) Edukasi yang diberikan mencakup :
 Kapan pasien berobat / mencari pertolongan
 Mengenali gejala serangan asma secara dini
 Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara
dan waktu penggunaannya
32

Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan
pasien adalah pelangi asma, sedangkan pada anak digunakan
lembar harian.
Tabel 6. Pelangi Asma

2) Obat Asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat


pelega yang diberikan pada saat serangan asma, sedangkan
obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma
dan diberikan dalam jangka panjang dan terus – menerus.
Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi
(kortikosteroid – inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan
mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis
diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah
terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain:
 Inhalasi Kortikosteroid
 B2 Agonis Kerja Panjang
 Antileukotrien
33

 Teofilin Lepas Lambat

Jenis Obat Golongan Nama Generik Bentuk/Kemasan Obat

Flutikason propionat IDT


Steroid inhalasi
Budesonide IDT, turbuhaler

Antileukokotrin Zafirlukast Oral (tablet)

Metilprednisolon Oral (injeksi)


Kortikosteroid sistemik
Pengontrol Prednisolon Oral
(Antiinflamasi)
Prokaterol Oral
Agonis 2 kerja lama Formaterol Turbuhaler
Salmeterol IDT

Kombinasi steroid dan Flutikason+salmeterol IDT


agonis 2 kerja lama Budesonide+formoterol Turbuhaler

Oral, IDT, rotacap solution


Salbutamol Oral, IDT, turbuhaler,
Terbutalin solution, ampul (injeksi)
Agonis 2 kerja cepat
Prokaterol
Fenoterol IDT
IDT, solution
Pelega (bronkodilator)

Antikolinergik Ipratropium bromide IDT, solution

Teofilin Oral
Metilsantin Aminofilin Oral, injeksi
Teofilin lepas lambat Oral

Metilprednisolon Oral, inhaler


Kortikosteroid sistemik
Prednisolone Oral

Tabel 7. Jenis Obat Asma


 IDT : Inhalasi Dosis Terukur = Metered Dose Inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer
 Solution : larutan untuk penggunaan nebulasi dengan nebulizer
 Oral : dapat berbentuk sirup, tablet
 Injeksi :dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

2. Tatalaksana asma akut pada anak dan dewasa


Tujuan :
 Mengatasi gejala serangan asma akut
 Mengembalikan fungsi paru ke keaddaaan sebelum serngan
34

 Mencegah terjadinya kekambuhan


 Mencegah kematian karena serangan asma
Serangan akut merupakan perburukan pada asma yang harus
diketahui pasien, penatalaksanaan harus cepat dan sesuai
dengan dengan derajat serangan. Penilaian derajat serangan
berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan
fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat dan cepat. Obat-obat yang
digunakan pada serangan asma, yaitu:
1. Bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium
bromida)
2. Kortikosteroid sistemik
 Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja
cepat dan sebaiknya dalam bentuk inhalasi, bila tidak
memungkinkan dapat diberika secara sistemik. Pada dewasa dapat
diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
 Pada keadaan tertentu (seperti riwayat serangan berat sebelumnya)
dapat diberikan kortikosteroid oral (metilprednisolon) dalam waktu
singkat 3-5 hari.
 Pada serangan sedang dapat diberikan 2 agonis kerja cepat dan
metilprednisolon oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium
bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus/drip). Pada anak belum
diberakan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila
diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.
 Pada serangan berat pasien dirawat dan diberi oksigen, cairan IV, 2
agonis kerja cepat (bila tidak tersedia dapat diganti dengan adrenalin
subkutan), ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV,
aminofilin IV (bolus/drip).
 Pada serangan yang engancam jiwa langsung rujuk ke ICU.
35

 Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi


menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT
(MDI) dengan alat bantu (spacer)

Tabel 7. Algoritma Tatalaksana Serangan Asma Di Rumah dan Di Rumah Sakit


36
37
38

 Terapi Non Farmakologi (2,3,4)


1. Edukasi Pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
o meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum
dan pola penyakit asma sendiri)
o meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
o meningkatkan kepuasan
o meningkatkan rasa percaya diri
o meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
o membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan
mengontrol asma
Bentuk pemberian edukasi
o Komunikasi/nasehat saat berobat
o Ceramah
o Latihan/training
o Supervisi
o Diskusi
o Tukar menukar informasi (sharing of information group)
o Film/video presentasi
o Leaflet, brosur, buku bacaan
o dll
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya
meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan dengan :
1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap
tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya
kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
39

2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang


penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya.
Bila mungkin kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala
dan faal paru).
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan
pasien, sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma
secara konkret.
6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui
bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
7. Mengajak keterlibatan keluarga.
8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status
sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma

2. Pengukuran peak flow meter


Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini
dianjurkan pada :
a. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan
oleh pasien di rumah.
b.Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
c.Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma
persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan
di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui
gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang
mengancam jiwa.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti :
a. Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
b. Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan
40

berjalan baik
c. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan
atau penghentian obat
d. Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Pemberian oksigen
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-
anak
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
a. Penghentian merokok
b. Menghindari kegemukan
c.Kegiatan fisik misalnya senam asma
41

 Terapi Farmakologi,
 Saat ini, pengobatan Langkah 1 hanya dengan beta2-agonis (SABA) kerja
pendek sesuai kebutuhan.
 Pengobatan dengan kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis rendah harian secara
teratur sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan mengurangi risiko
eksaserbasi terkait asma, rawat inap, dan kematian
 Untuk pasien dengan gejala persisten dan / atau eksaserbasi meskipun ICS
dosis rendah, pertimbangkan untuk meningkatkan tetapi. Pertama-tama
periksa masalah umum seperti teknik inhaler, kepatuhan, paparan alergen
persisten, dan komorbiditas
- Untuk orang dewasa dan remaja, pengobatan step-up yang sering
digunkan adalah kombinasi ICS / long-acting beta2-agonist (LABA).
- Untuk orang dewasa dan remaja dengan eksaserbasi meskipun ada terapi
lain, risiko eksaserbasi berkurang dengan kombinasi ICS / formoterol
dosis rendah (dengan beclometasone atau budesonide) sebagai perawatan
dan pereda, dibandingkan dengan perawatan pengontrol pemeliharaan
ditambah SABA sesuai kebutuhan.
- Untuk anak-anak 6-11 tahun, peningkatan dosis ICS lebih disukai
daripada kombinasi ICS / LABA.
 Pertimbangkan terapi setelah pengendalian asma yang baik tercapai dan
dipertahankan selama sekitar 3 bulan, untuk menemukan pengobatan terendah
bagi pasien yang mengontrol gejala dan eksaserbasi
- Berikan pasien rencana tindakan asma tertulis, pantau dengan cermat,
dan jadwalkan kunjungan tindak lanjut
- Jangan menghentikan ICS sepenuhnya kecuali ini diperlukan
sementara untuk memastikan diagnosis asma.
42

 Obat yang digunakan dalam terapi farmakologi asma


Simpatomimetik
Mekanisme Kerja Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini
adalah sebagai berikut :
a. Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
b. Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas dan irama jantung.
c. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan
klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.

Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan


bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada
terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen,
latihan) yang menimbulkan bronkospasme.

Tabel 8. Perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakoinetik bronkodilatsi


simpatomemetik
43

Tabel 9 . Pengobatan Berdasarkan Derajat Asma (11)


44

Penggolongan Obat Asma

Golongan Obat Mekanisme Nama Obat Indikasi Dosis Sediaan Efek Samping Kontra Indikasi
Kerja
Xantin Bronkodilator Metyl Untuk  Dewasa : 3 x  Kapsul 130 mg terjadi pada level Hipersensitivitas
dengan cara Xanthine menghilangkan 130 – 150 : Bufabron. serum teofilin terhadap semua

inhibisi non (Teofilin) gejala atau mg/hari (BUFA yang < 20 xantin, peptik ulser,
pencegahan asma mcg/mL. Pada mengalami
selektif  Anak 6 - 12 ANEKA)
bronkial dan level lebih dari 20 gangguan seizure
fosfodiesterase tahun: 3 x 65 – Broncophylin,
bronkospasma mcg/mL : mual, (kecuali menerima
sehingga terjadi 150 mg/hari p.c Theobron;
reversibel yang muntah, diare, obat-obat
peningkatan Euphylin retard : (INTERBAT)
berkaitan dengan sakit kepala, antikonvulsan yang
cAMP bronkhitis kronik 2 x 1 tablet sehari  Tablet 150 insomnia, sesuai
dan emfisema. mg : iritabilitas. Pada
Bronsolvan level yang lebih
(KALBE); dari 35 mcg/mL :

 Tablet Retard hiperglisemia,


hipotensi, aritmia
250 mg :
jantung,
Euphylin retard
takikardia (lebih
; ( PHAROS)
45

 Tablet Retard besar dari 10

mite 125 mg : mcg/mL pada

Euphylin bayi prematur),


seizure, kerusakan
Retard mite
otak dan
 Teofilin 130
kematian.
mg + Efedrin
HCl 10 mg :
Grafasma
(GRAHA
FARMA)

mempunyai efek Aminofilin Obstruktif  Bronkospasme Injeksi Ampul takikardia, hipersensitif


kuat pada saluran napas akut Dewasa : 24 mg/ mL (1 palpitasi, mual terhadap
kontraktilitas reversible, Loading Dose : ampul = 10 mL) dan etilendiamin.
diafragma pada Supositoria
asma akut 6 mg/ KgBB/ : Aminofilin gangguansaluran
orang sehat dan aminofilin : iritasi
berat IV; (INDO FARMA) cerna yang lain,
dengan demikian atau infeksi dari
Secara infus sakit kepala,
mampu rektum atau kolon
selama 20 – 40 stimulasi system
menurunkan bagian bawah.
46

kelelahan serta menit. saraf pusat,


memperbaiki Dosis insomnia,
kontraktilitas Pemeliharaan : aritmia, dan
pada pasien
0,5 mg/ KgBB/ konvulsi
dengan penyakit
jam terutama bila
obstruksi saluran
diberikan
pernapasan
melalui injeksi
kronik.
intravena cepat.
Anti Bronkodilator Ipratropium Digunakan dalam  Dewasa : 40 mcg  Inhaler : 20 Sakit punggung, Hipersensitif
Muskarinik dengan cara Bromida bentuk tunggal atau (2x semprot) 3 – mcg/ semprot : sakit dada, terhadap

memblok efek kombinasi dengan 4 x sehari. Atrovent bronkhitis, batuk, ipratropium


bronkodilator lain penyakit paru bromida, atropin
bronkokontriksi  Anak : 20 mcg, (BOEHRINGE
(terutama beta obstruksi kronik dan turunannya.
dari asetilkolin diberikan 3 – 4 x R INGLHEIM
adrenergik) sebagai yang semakin
pada reseptor sehari. PHARMA
bronkodilator parah, rasa lelah
muskarinik M3 Ipratropium SERVICES
dalam pengobatan berlebihan, mulut
yang terdapat bronkospasmus Bromida 0,5 mg INDO) kering, dispepsia,
pada otot polos yang berhubungan + Salbutamol  Larutan dipsnea,
saluran nafas. dengan penyakit sulfat 2,5 mg : 1 inhalasi 0,025 epistaksis,
47

paru-paru ampul secara % (0,25 gangguan pada


obstruktif kronik, nebulasi, diberikan mg/mL) : saluran
termasuk 3 – 4 x sehari Atrovent pencernaan, sakit
bronkhitis kronik kepala, gejala
Ipratropium
dan emfisema. seperti influenza,
Bromida 0,5 mg
mual, cemas,
+ Salbutamol
faringitis, rinitis,
sulfat 2,5 mg :
sinusitis, infeksi
Combivent saluran
(BOEHRINGER pernapasan atas
INGLHEIM dan infeksi
PHARMA saluran urin
SERVICES
INDO),
Farbivent
(FAHRENHEIT)
Tiotropium digunakan sebagai  Dosis Spiriva :  Kapsul untuk Efek samping Riwayat
Bromida perawatan Inhalasi 1 kapsul/ inhalasi 18 terjadi pada 3% hipersensitif
bronkospasmus hari. mcg/ kapsul : pasien atau lebih, terhadap atropin
yang berhubungan terdiri dari sakit atau turunannya,
48

dengan penyakit Dosis Spiriva Spiriva perut, nyeri dada termasuk


paru obstruksi Respimat Inhaler 2,5 mcg (tidak spesifik), ipratropium atau
kronis termasuk (inhaler) : 2 : Spiriva konstipasi, mulut komponen sediaan.
bronkitis kronis dan kering, dispepsia,
semprotan Respimat
emfisema edema, epistaksis,
diberikan 1 x (BOEHRINGER
infeksi,
sehari pada waktu INGLHEIM
moniliasis,
yang sama PHARMA
myalgia,
SERVICES faringitis, ruam,
INDO) rhinitis, sinusitis,
infeksi pada
saluran
pernapasan atas,
infeksi saluran
urin dan muntah.
Simpatomemetik Obat

Beta 2 Agonis Relaksasi otot Salbutamol/ Agonis β2 kerja  Oral dewasa : 3  Tablet/ kapsul Bronkhitis (1,5– simpatomimetik
(Short Acting) polos pada Albuterol diperlama (seperti – 4 x 4 mg/ hari 2mg; 4 mg : 4)%, epistaksis dikontraindikasikan
salmeterol dan (1-3)%, untuk penderita;
saluran nafas  Oral anak : 0,05 Astharol
furmoterol) peningkatan nafsu yang alergi terhadap
dengan
49

menstimulasi digunakan, – 0,1 mg/ kgBB/ (SANBE), makan, sakit perut obat dan
reseptor beta 2 bersamaan dengan kali setiap 6-8 Azmacon (3%),, kram otot komponennya

adrenergik, obat antiinflamasi, jam (ARMOX (1-3)%. (reaksi alergi jarang


untuk kontrol terjadi), aritmia
sehingga terjadi  Inhalasi aerosol INDO
jangka panjang jantung yang
peningkatan C- (DPI/MDI) FARMA),
terhadap gejala berhubungan
AMP dan dewasa : 100 – Brondisal
yang timbul pada dengan takikardia,
menghasilkan 200 mcg (1-2 (GLOBAL
malam hari. Obat angina, aritmia
tidak terjadinya golongan ini juga hirupan) 3-4 x 1 MULTI ventrikular yang
bronkokontriksi dipergunakan untuk  Inhalasi aerosol PHARMA LAB) memerlukan terapi
mencegah anak : 100 mcg , Fartolin (PT. inotopik, takikardia
bronkospasmus (1 hirupan), DEVA atau blok jantung
yang diinduksi oleh dapat dinaikkan INDUSTRIES), yang berhubungan
latihan fisik. menjadi 200 mcg Grafalin dengan intoksikasi
Agonis β2 kerja (INDOPHARM digitalis (karena
(2 hirupan) bila
singkat (seperti isoproterenol),
perlu A), Lasal
albuterol, bitolterol, dengan kerusakan
Inhalasi nebuliser (LAPI) ,
pirbuterol, otak organik,
Dewasa dan Suprasma
terbutalin) adalah anestesia lokal di
Anak diatas 18 (DEXA
50

terapi pilihan untuk bulan : 2,5 mg MEDICA), daerah tertentu (jari


menghilangkan sebanyak 4 x 1 Salbuven tangan, jari kaki)
gejala akut dan (PHAROS) karena adanya
bronkospasmus risiko penumpukan
 Nebule 2,5 mg
yang diinduksi oleh cairan di jaringan
: Ventolin
latihan fisik. (udem), dilatasi
Nebules
jantung, insufisiensi
Inhaler 100
jantung,
mcg/ puff : arteriosklerosis
Ventolin serebral, penyakit
Inhaler (Glaxo jantung organik
smith kline (karena efinefrin);
Indonesia) pada beberapa kasus
vasopresor dapat
Fenoterol HBr  Inhaler Dewasa  Inhaler 100 dikontraindikasikan,
dan Anak >12 mcg/ semprot : glukoma sudut

tahun asma Berotec sempit, syok

akut : 1 semprot, Larutan nonafilaktik selama


anestesia umum
5 menit inhalasi 0,1 % :
51

kemudian Berotec dengan hidrokarbon


diberikan dosis (BOEHRINGER halogenasi atau

ke-2 jika belum INGLHEIM siklopropan (karena


epinefrin dan
ada perbaikan. PHARMA
efedrin).
Dosis perlu SERVICES
ditambah jika INDO)
belum dapat
diatasi dengan 2
semprot.
 Pencegahan : 1
– 2 semprot,
maksimal 8
semprot/ hari

Asma Bronkial
dan penyempitan
saluran nafas
reversibel : 1 – 2
52

semprot, maksimal
8 semprot/ hari
Terbutalin Asma dan  Oral Dewasa : 1  Tablet/ Kaplet Tremor
Sulfat kondisi lain – 2 tablet 2,5 mg : (terutama di
yang diberikan 2 – 3 x Lasmalin tangan),
berkaitan 1 (1 tablet = 2,5 (LAPI), Nairet ketegangan,
dengan mg) (OTTO), sakit kepala,
obstruksi  Oral Anak : 75 Neosma (PT. kram otot, dan
saluran mcg/ kgBB IFARS) , palpitasi. Efek
napas yang diberikan 2-3 x Tismalin samping lain
reversible. 1, 7-15 tahun 2,5 (METISKA termasuk
mg diberikan 2-3 FARMA), takikardi,
x 1. Yarisma, aritmia,
 Injeksi SC, IM, Sedakter (PT. vasodilatasi
atau IV lambat : DEVA perifer,
Dewasa 250-500 INDUSTRIES) gangguan tidur
mcg sampai 4 x  Syrup 1,5 mg/ dan tingkah
1; Anak 2-15 5mL : Nairet, laku.
53

tahun 10 mcg/ Sedakter Bronkospasme,


kgBB sampai  Injeksi Ampul, paradoksikal,
maksimal 300 0,5 mg/ mL : urtikaria,
mcg Nairet, Relivan angioedema,
 Inhalasi aerosol (PT. NOVELL hipotensi dan
: Dewasa dan PHARM. LAB) kolaps
Anak 250 – 500 Inhalasi :
mcg (1-2 Bricasma
hirupan), untuk Turbuhaler
gejala persisten (serbuk inhalasi)
sampai 3-4 x 1 0,5 mg/ dosis;
 Inhalasi Bricasma
nebulizer : 5 mg Repsule (cairan
2-4 x 1; Anak < inhalasi) 2,5
3 tahun 2mg; mg/mL
Anak 3-6 tahun 3 (Astra Zeneca)
mg; Anak 6-8
tahun 4 mg; Anak
54

>8 tahun 5 mg.


Diberikan 2-4 x 1
Beta 2 Agonis Relaksasi otot Formoterol  -  Tidak ada
(Long Acting) polos pada Fumarat sediaan tunggal
saluran nafas Formoterol Terapi asma,  Pemeliharaan  Symbicort 80/ Sakit kepala, Hipersensitif
Fumarat Obstruksi paru Dewasa dan 4,5 turbuhaler agitasi, terhadap obat dan
dengan
dihidrat + + kronis terapi Remaja ≥12 : Mengandung lemah,bingung, komponen obat
menstimulasi
reseptor beta 2 Budesonide simtomatis tahun : 1-2 Budesonide 80 pusing, mual,

adrenergik, pada penderita inhalasi 2 x 1 mcg dan gangguan tidur,

sehingga terjadi obstruksi paru untuk 80/ 4,5 Formoterol palpitasi,

peningkatan C- kronis (FEV1 mcg atau 160/ Fumarat 4,5 takikardi;

AMP dan <50% dari 4,5 mcg mcg tremor; kram;

menghasilkan normal) dan tergantung  Symbicort 160/ infeksi candida

tidak terjadinya resiko beratnya gejala 4,5 turbuhaler pada oropharing,

bronkokontriksi eksaserbasi  Pemeliharaan : Mengandung iritasi


berulang pada anak 6-11 tahun Budesonide 160 tenggorokan,
pasien yang : 2 inhalasi 2 x 1 mcg dan batuk, serak,
mempunyai (80/ 4,5 mcg) Formoterol spasme bronkus,
gejala yang  Pereda Dewasa Fumarat 4,5 urtikaria,
55

mengikuti & Remaja ≥12 mcg pruritus.


penggunaan tahun : 1 (Glaxo smith
bronkodilator inhalasi pada kline
kerja panjang. pagi dan sore Indonesia)
atau 2 inhalasi. 
Maksimal 4
inhalasi per hari
Salmeterol  -  Tidak ada Sakit pada

sediaan tunggal sendi/punggung,


Salmeterol + Terapi asma,  Inhaler Dewasa  Inhaler kram otot, Hipersensitif
Fluticason Obstruksi paru dan Anak ≥12 Seretide 50 : mialgia, sakit terhadap obat dan
Propionat kronis terapi tahun : 2 Salmeterol 25 pada otot (1-3)%, komponen obat

simtomatis inhalasi (Seretide mcg + infeksi saluran


pernapasan
pada penderita 50 atau Seretide Fluticasone 50
atas,.nasifaringitis
obstruksi paru 125) 2 x 1. mcg
(14%), penyakit
kronis (FEV1  Inhaler Anak ≥4  Inhaler
pada rongga
<50% dari tahun : 2 Seretide 125 : hidung atau sinus
normal) dan inhalasi (Seretide Salmeterol 25 (6%), infeksi
resiko 50) 2 x 1 mcg +
56

eksaserbasi Fluticasone 125 saluran


berulang, pada mcg pernapasan bawah

pasien yang  Inhaler (4%), alergi rinitis


(lebih dari 3%),
mempunyai Seretide 100 :
rinitis, laringitis,
gejala yang Salmeterol 50
trakeitis/bronkitis
mengikuti mcg +
(1-3)%, rasa
penggunaan Fluticasone 100
lemas, influenza
bronkodilator mcg (lebih dari 3%),
kerja panjang.  Inhaler gastroenteritis,
Seretide 250 : urtikaria, sakit
Salmeterol 50 gigi, malaise/rasa
mcg + lelah, erupsi kulit

Fluticason 250 dan dismenorea


(1-3)%.
mcg
 Inhaler
Seretide 500 :
Salmeterol 50
mcg +
57

Fluticason 500
mcg (Glaxo
smith kline
Indonesia)
Kortikosteroid Mengurangi Budesonide  Turbuhaler  Turbohaler efek samping Bronkospasma akut
produksi mukus Dewasa : 200 – 200 mcg. dosis terjadi pada 3% yang membaik,

dan potensiasi 1200 mcg/ hari : Pulmicort pasien atau lebih, terapi utama pada
seperti nyeri, sakit status asmatikus
efek agonis terbagi dalam 2-4 Repsule 0,25
punggung, infeksi atau episode asma
reseptor beta dosis. mg/mL; 0,5
saluran akut lain yang
Pemeliharaan : mg/mL :
pernapasan atas, memerlukan
200 – 400 mcg 2 Pulmicort
sinusitis, tindakan intensif,
x 1 saat pagi dan Repsules faringitis, batuk, hipersensitif
malam  (Astra Zeneca) konjungtivitis, terhadap beberapa
 Repsule Dewasa sakit kepala, komponen, infeksi
dan Anak >12 rhinitis, jamur sistemik,

tahun : 1 – 2 mg epistaksis, otitis kultur sputum

2x1 media, infeksi menunjukkan hasil


telinga, infeksi positif untuk
 Pemeliharaan :
virus, gejala flu, Candida albicans.
58

0,5 – 1 mg 2 x perubahan suara


per hari
Fluticasone Pencegahan  Dewasa dan  Cairan sakit kepala,
Propionat asma berat Anak > 16 inhalasi faringitis,

pada dewasa tahun : 500 – (nebule) 0,5 kongesti hidung,


sinusitis, rhinitis,
dan remaja 2000 mcg 2x per mg/ 2 mL; 2
infeksi saluran
hari mg/ 2 mL :
pernapasan atas,
 Anak 4 – 16 Flixotide
influenza,
tahun : 1000 (Glaxo smith
kandidiasis oral,
mcg 2x per hari kline diare, disfonia,
Indonesia) gangguan
menstruasi,
hidung berair,
rhinitis alergi dan
demam.
Prednisone menekan  Dewasa :40 – 60  Tablet 5 mg : memperlemah Hindari penggunaan
reaksi radang mg/ hari terbagi Eltazon (PT. sistem imun tubuh pada penyakit hati
dan reaksi menjadi 2 dosis IFARS) ,
alergi
untuk 3 – 10 Inlason (PT.
59

hari. Berlico Mulia


 Anak ≤11 tahun Farma) ,
: 1 – 2 mg/kgBB/ Lexacort
hari selama 3 – (Molex Ayus)
10 hari.
Maksimal 60
mg/ hari
A. Peranan Apoteker Terhadap Pengobatan Asma
Pengobatan asma merupakan pengobatan jangka panjang, oleh sebab itu
diperlukan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi atau menggunakan obat
sangat diharapkan. Peranan apoteker dalam penatalaksanaan asma yaitu
mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat yang dapat timbul
pada tahapan berikut : (3)
1. Rencana Pengobatan (Care Plan)
Peran apoteker adalah memberikan rekomendasi dalam pemilihan obat
yang tepat berdasarkan kondisi pasien yang diperoleh dari hasil
wawancara dan hasil diagnose dokter.
2. Implementasi Pengobatan
a) Menyediakan obat (drug supply management)
b) Pemberian informasi dan edukasi
Tujuan pendidikan kepada pasien adalah agar mereka lebih mengerti
dan memahami rejimen pengobata yang diberikan sehingga pasien
dapat lebih berperan aktif dalam pengobatannya yang dapat
meningkatkan kepatuhan mereka dalam menggunakan obat. Kegiatan
pemberian informasi dan edukasi ini dapat diberikan dalam bentuk
pelayanan Konseling Obat atau dalam bentuk kegiatan penyuluhan.
c) Konseling
Untuk penderita yang mendapatkan resep dokter dapat diberikan
konseling secara lebih tersetruktur dengan Tiga Pertanyaan Utama
(Three Prime Question)
3. Monitoring dan evaluasi
monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan
keberhasilan terapi. Pelaksanaan kegiatan ini memerlukan pencatatan data
pengobatan pasien (medication record)

60
61

BAB VII
KESIMPULAN

1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya.
2. Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara.
3. Terapi awal diberiksan golongan short acting Beta 2 antagonis (SABA)
atau diberikan nebulasi, ketika tiada respon maka diberikan golongan
kortikosteroid oral sistemik, dan dilanjutkan dengan SABA inhalasi jika
respon semakin memburuk segera dibawa ke IGD.
4. Peran apoteker dalam pengobatan penyakit asma adalah : Membuat
rencana pengobatan (care plan), Implementasi pengobatan (Penyedia obat,
pemberian informasi dan edukasi ke pasien, dan konseling) dan
melakukan monitoring dan evaluasi obat.
62

BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

1. Medidata. 2019. MIMS Referensi Obat Informasi Ringkas Produk


Obat. Jakarta: Gramedia.
2. Ganiswarna, S. Farmakologi dan Terapi Edisi V (cetak ulang dengan
tambahan), Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran UI : Jakarta. 2012.
3. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Pharmaceutical
Care Untuk Penyakit Asma. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2007.
4. Global Initiative for Asthma (GINA), 2011, Global Strategy for Asthma
Management and Prevention, GINA, New York. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK), Diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI. Jakarta. 2011
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pengobatan Dan
Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta. 2008.
7. Yudhawati, R., Krisdanti, D.P.A. (2017). Imunopatogenesis Asma. Jurnal
Respirasi. 3(1), 28-32
8. Bateman, E., Boulet, L., Fitzgerlad, M., 2010, Global Strategy For Asthma
Management and Prevention Update 2010, http://www.google. com/url,
diakses 17 Maret 2021.
9. Sukandar, E.Y., et al. 2008. ISO Farmokoterapi Buku 1. Jakarta: PT Isfi
Penerbitan.
10. Heru Sundaru dan Sukamto. 2006. Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
63

11. PDPI. (2003). Asma. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di


Indonesia: Hal. 19-24.

12. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, 2016.
13. Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Hal. 85.

Anda mungkin juga menyukai