Anda di halaman 1dari 32

PEMBIAYAAN DOKTER SEBAGAI

SAKSI AHLI DALAM SIDANG


PERADILAN

Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


kepaniteraan klinik senior KSM Ilmu Kedokteran
Kehakiman RSU Dr. Pirngadi Medan

DISUSUN OLEH :

DWI NOVLITA ROZI 150611008


EWI YUSLILA 150611048
ELISA HAIRANI 150611018
MAULIANA MEUTIA 150611044
MUTIARA PRATIWI 150611013
PUTRI SARI DEWI 140611036

PEMBIMBING

dr. Dessy D. Harianja, Sp.F


LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Dessy D. Harianja, Sp. F

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini guna

memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di departemen KSM Ilmu

Kedokteran Kehakiman atau Forensik Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan

judul “Pembiayaan Dokter Menjadi Saksi Ahli Dalam Sidang Pengadilan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Dessy D.

Harianja, Sp.F, khususnya sebagai pembimbing penulis, dan semua staff pengajar di

KSM Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Forensik Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

Medan, serta teman-teman di Kepaniteraan Klinik Senior.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan

baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Harapan penulis semoga paper ini dapat memberi manfaat dan menambah

pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu kedokteran

dalam praktek di masyarakat.

Medan, Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………… i

KATA PENGANTAR ……………………………………………… ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………….. iii

BAB 1 Pendahuluan………………………………………………... 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………... 1

BAB 2 Tinjauan Pustaka ………………………………………….. 3

2.1 Dokter Sebagai Saksi Ahli …………………………………… 3

2.2 Kewajiban dokter Sebagai Saksi Ahli ……………………….. 6

2.3 Definisi dan Tugas Dokter Forensik ………………………….. 7

2.4 Definisi, Saksi Ahli, Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli ... 10

2.5 Kriteria Saksi Ahli ……………………………………………. 11

2.6 Hak dan Kewajiban Dokter Forensik Sebagai Saksi Ahli ……. 15

2.7 Dokter Forensik Sebagai Saksi Ahli …………………………. 18

2.8 Hasil Wawancara Dengan Hakim Mengenai Pembiayaan Dokter

Sebagai Saksi Ahli Dalam Sidang Peradilan…………………. 20

BAB 3 Kesimpulan …………………………………………………… 22

DAFTAR PUSTAKA

………………………………………………. 23

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat selalu saja terdapat perselisihan, penganiayaan,

pembunuhan, perkosaan, dan sebagainya. Perkara yang mengganggu ketentraman dan

kepentingan pribadi. Untuk menyelesaikan perkara demikian sangatlah diperlukan suatu

sistem atau cara yang memberikan ganjaran dan hukuman yang setimpal kepada yang

bersalah sehingga perbuatan yang serupa tidak terulang kembali dan sebaliknya yang

tidak bersalah terbebas dari tuntutan hukuman.

Dokter disamping tenaga medis, juga dituntut kewajiban untuk memberikan

bantuan kepada penegak hukum. Ada spesialis tertentu dalam hal ini yang dikenal

sebagai Spesialis Forensik. Di dalam suatu pemeriksaan persidangan perkara pidana

hakim yang melakukan pemeriksaan persidangan namun tanpa adanya alat bukti, hakim

tidak akan dapat mengetahui dan memahami apakah suatu tindak pidana telah terjadi

dan apakah terdakwa benar – benar telah melakukan tindak pidana tersebut dan

bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, jadi dengan adanya alat bukti mutlak

dibutuhkan dan harus ada diajukan di dalam pemeriksaan persidangan sehingga hakim

dapat dengan pasti menemukan kebenaran materil. Dalam hal ini bantuan yang dapat di

berikan dokter dalam bentuk keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah pasal 185

KUHAP butir 1. Keterangan ahli dapat diberikan secara tertulis VER (Visum et

Repertum) maupun secara lisan di depan sidang pengadilan.

1
2

Ilmu Kedokteran Forensik mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk

kepentingan penegakan hukum serta keadilan. Keberadaan dokter forensik atau dokter

yang melakukan pemeriksaan atas diri korban tindak pidana atau tersangka pelaku

tindak pidana merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak dapat diabaikan karena suatu

proses penyidikan haruslah dilakukan dan dilakukan oleh ilmu pengetahuan (scientific

investigation).

Peranan dokter untuk menemukan kebenaran materil dalam perkara hukum

pidana khususnya memegang peranan penting. Bidang hukum dan kedokteran tidak

dapat dipisahkan untuk penegakkan hukum khususnya dalam rangka pembuktian atas

kesalahan sesorang, hanya dokterlah yang mampu dan dapat membantu

mengungkapkan misteri atas keadaan barang bukti yang dapat berupa tubuh atau bagian

dari tubuh manusia. Seorang praktisi medis dapat disebut sebagai saksi ahli medis untuk

memberikan bukti di pengadilan, atau sebagai bagian dari proses penyelesaian sengketa

alternatif. Bukti medis dari seorang ahli sering menjadi bagian yang penting dalam

administrasi peradilan dalam proses hukum yang melibatkan kesalahan dan hal-hal

medis. Bukti yang diberikan oleh dokter sebagai ahli dapat membantu dalam membuat

keputusan yang adil.


3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dokter Sebagai Saksi Ahli

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 KUHAP Butir 26).Dari segi yuridis,

setiap dokter adalah ahli, baik dokter itu ahli ilmu kedokteran kehakiman ataupun

bukan. Oleh sebab itu setiap dokter dapat dimintai bantuannya untuk membantu

membuat tentang perkara pidana oleh pihak yang berwenang.

Dokter pemeriksa sebagai saksi ahli dapat terkait visum et repertum yang dibuat

ataupun di luar VeR berupa pertanyaan hipotetik hakim. Dokter diminta hadir di

pengadilan, oleh karena dua versi. Versi pertama sebagai saksi A Charge. Saksi ini

dihadirkan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dimana keterangannya dapat

menguntungkan maupun memberatkan terdakwa. Versi kedua dokter bertindak sebagai

saksi A de Charge. Saksi ini dihadirkan ke persidangan oleh terdakwa atau penasehat

hukumnya, dimana keterangan yang diberikannya meringankan terdakwa atau dapat

dijadikan dasar bagi nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa atau penasehat hukumnya.

Sehingga pada tahap pemeriksaan di pengadilan, baik jaksa penuntut maupun penasehat

hukum tersangka dapat mengahadirkan saksi atau ahli dengan ijin hakim. Seorang

dokter dapat pula dipanggil untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi, bila dinilai

penyidik terkait langsung dengan kasus.

3
4

Berdasarkan Ethical Guidelines for Doctors Acting as Medical Witnesses,

terdapat dua jenis saksi medis, yaitu apakah sebagai saksi fakta (dokter yang merawat)

atau saksi pendapat (ahli independen).

Saksi fakta diberikan oleh dokter yang memeriksa, merawat atau memberikan

penatalaksanaan sebuah kasus medis. Dokter tersebut akan diminta untuk

mempresentasikan bukti medis terhadap penatalaksanaan yang telah dilakukannya dan

memberikan informasi yang faktual tentang hasilnya.

Saksi pendapat adalah saksi ahli yang independen yang diminta untuk

memberikan pendapat yang independen berdasarkan fakta-fakta dari kasus tertentu yang

sudah ada. Dalam hal ini dokter akan memberikan pendapat sesuai dengan pengalaman

dan keahliannya yang relevan.

Sebagai saksi ahli independen, dokter dapat membantu pengadilan dalam dua

cara, yaitu dengan memberikan pendapat ahli berdasarkan pengetahuan dan

pengalamannya terhadap fakta dan menginformasikan pengadilan mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan keahlian khusus mereka.

Jika diperlukan untuk berdiskusi dengan saksi ahli lain, dokter harus

memberikan penilaian independennya, mengidentifikasi hal-hal yang disetujui, tidak

disetujui dan mengutarakan alasannya. Dokter harus menghindari instruksi atau

permintaan untuk terjadinya kesepakatan. Gunakan cara yang moderat dan objektif

ketika memberikan bukti. Menolak usaha-usaha yang dirancang untuk memprovokasi

dokter dan hindari perdebatan. Seorang saksi ahli harus memiliki kualitas sebagai

berikut:

1. Pengetahuan dan pengalaman praktis dari materi yang dibahas dalam kasus.
5

2. Kemampuan untuk berkomunikasi mengenai temuan atau opini yang akan

disampaikan dengan jelas, singkat, dan dapat dipahami oleh pihak – pihak awam

yang terkait dalam persidangan.

3. Fleksibel dalam hal berpikir dan kepercayaan diri untuk memodifikasi pendapat

sebagai bukti baru atau argument yang berlawanan.

4. Kemampuan untuk berpikir dari sisi yang berbeda agar dapat menguasai situasi

apapun yang bisa saja terjadi di persidangan.

5. Sikap dan penampilan yang meyakinkan di peradilan.

Tugas dan tanggung jawab saksi ahli dalam kasus perdana meliputi:

1. Bukti ahli yang disampaikan harus dipandang sebagai produk independen yang tidak

dipengaruhi bentuk dan isinya oleh keadaan apapun.

2. Saksi ahli harus memberikan bantuan independen pada pengadilan dengan

memberikan pendapat yang objektif terkait dengan keahliannya.

3. Saksi ahli harus menyatakan fakta-fakta atau asumsi yang memiliki dasar yang jelas.

4. Saksi ahli harus memberikan penjelasan apabila terdapat pertanyaan atau

permasalahan yang di luar keahliannya.

5. Jika pendapat ahli tidak berdasarkan penelitian, hanya berdasarkan data yang

tersedia, maka harus disertakan penjelasan bahwa ini hanya bersifat sementara.

Dalam pelaksanaan persidangan, dokter berhak tidak menjawab pertanyaan yang

diajukan kepadanya apabila pertanyaan tersebut di anggap tidak sesuai ataupun tidak

berada dalam ruang lingkup (wewenang) ilmu kedokteran. Jawaban dari pertanyaan

yang tidak sesuai tersebut disampaikan dalam bahasa yang sopan dan tegas.
6

Pedoman menjadi saksi ahli :

1. Hanya menghadiri peradilan yang mengeluarkan panggilan tertulis untuk perintah

menghadap sidang.

2. Membawa file atau dokumen lengkap yang dibutuhkan di pengadilan sesuai dengan

instruksi yang diberikan.

3. Memperjelas apa bidang keahlian yang diharapkan saat persidangan.

4. Menanyakan dan memperjelas laporan tertulis apa yang dibutuhkan peradilan.

5. Tinjau kembali file dan informasi yang relevan terkait kasus untuk menyegarkan

ingatan memusatkan perhatian dan fakta – fakta penting untuk meningkatkan

kreadibilitas kesaksian.

6. Pastikan waktu untuk menghadiri persidangan.

7. Karena saksi ahli bertindak dibawah kode etik dan kerahasiaan, diperlukan

pemahaman yang jelas mengenai perlindungan pengadilan yang dapat diberikan

kepada saksi ahli dan bagaimana penyediannya untuk menghindari pelanggaran

kode etik yang mungkin timbul selama memberikan kesaksian.

2.2 Kewajiban Dokter Sebagai Saksi Ahli

Membantu proses peradilan pada kasus – kasus pidana oleh dokter sebetulnya

tidak kalah pentingnya dengan tugas – tugas kemanusiaan yang lain. Undang-undang

hukum acara pidana menetapkan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

dokter apabila ia dimintai bantuannya sebagai ahli. Dokter dapat dikenakan sanksi

apabila ia tidak melaksanakan kewajiban tersebut tanpa alasan yang sah. Ketentuan

yang mewajibkan dokter memberikan keterangan sebagai ahli apabila diminta, dapat

dilihat pada Pasal 179 butir 1 KUHAP yang menyatakan “Setiap orang yang diminta
7

pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib

memberikan keterangan ahli demi keadilan”.

Ketentuan ini merupakan yang berlaku pada tingkat pemeriksaan di sidang

pengadilan yang apabila dengan sengaja tidak dipatuhi oleh yang bersangkutan tanpa

alasan yang sah dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 224 KUHP.

Pada tingkat penyidikan dan penyidikan tambahan dokter juga mempunyai

kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai ahli apabila diminta. Ketentuan ini

tertuang dalam pasal 120 KUHAP yang berbunyi:

a. Dalam hal penyidik menganggap perlu ia dapat minta pendapat orang ahli atau

orang yang memiliki keahlian khusus.

b. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimana penyidik

bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya atau

jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan

keterangan yang diminta.

Dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 224 KUHP apabila dengan sengaja ia

tidak memenuhi kewajiban tersebut. Adapun bunyi dari pasal 224 KUHP adalah:

“Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-

undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan undang-undang

yang harus dipenuhinya, diancam :

a. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan

bulan.

b. Dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

2.3 Definisi dan Tugas Dokter Forensik


8

Prof. Dr. Budi Sampurna,Sp.F (2009) mendefinisikan Ilmu Kedokteran

Forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan

ilmu kedokteran untuk membantu penegakan hukum, keadilan dan memecahkan

masalah-masalah di bidang hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dokter

Forensik atau dokter ahli kehakiman adalah dokter yang ahli dalam penerapan ilmu

pengetahuan medis bagi persoalan hukum pidana dan kejahatan dengan menggunakan

fakta-fakta medis.

Bantuan dokter dalam melayani pemeriksaan korban diantaranya untuk

pembuatan visum et repertum, sebagai saksi ahli di bidang pengadilan, penentuan

identitas jenazah yang sudah tidak utuh lagi (misalnya hanya tinggal tulang belulang),

penentuan telah berapa lama luka terjadi atau telah berapa lama korban meninggal,

penentuan sebab dan cara kematian korban tindak kekerasan dan kematian yang tidak

wajar, tentang perkosaan, pemeriksaan korban beracun dan lain-lain. Bantuan yang

diminta dapat berupa pemeriksaan di TKP atau di rumah sakit. Dokter tersebut dalam

pemeriksaan harus berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Peranan dari kedokteran forensik dalam penyelesaian perkara pidana di

pengadilan adalah membantu hakim dalam menemukan dan membuktikan unsur-unsur

yang didakwakan dalam pasal yang diajukan oleh penuntut serta memberikan gambaran

bagi hakim mengenai hubungan kausalitas antara korban dan pelaku kejahatan dengan

mengetahui laporan dalam visum et repertum.Implikasi teoritis persoalan ini adalah

bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan suatu perkara yang memerlukan keterangan

dokter forensik, hanya memerlukan keterangan yang berupa visum et repertum tanpa

perlu menghadirkan dokter yang bersangkutan di sidang pengadilan. Sedangkan


9

implikasi praktisnya bahwa hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam

menangani perkara yang memerlukan peran dari kedokteran forensik.

Peran ahli (expert) termasuk dokter dalam bidang kedokteran forensik adalah

dalam rangka member kejelasan suatu peristiwa yang dapat menjawab 7 pertnyaan:

1. Apa yang terjadi (what)

2. Siapa yang terlibat (who)

3. Dimana terjadi (where)

4. Kapan terjadi (when)

5. Bagaimana terjadinya (how)

6. Dengan apa melakukannya (with what)

7. Kenapa terjadinya peristiwa tersebut (why)

Makin banyak informasi yang diberikan oleh ahli, makin terang peristiwa yang

terjadi, sehingga akan memudahkan para penyidik dan Judex facti memutuskan perkara

secara adil dan diterima mereka yang berperkara. Tugas pokok seorang dokter dalam

bidang forensik adalah membantu pembuktian melalui pembuktian ilmiah termasuk

dokumentasi informasi/prosedur, dokumentasi fakta, dokumentasi temuan, analisis dan

kesimpulan, presentasi (sertifikasi).

Dinilai menurut waktu penyidikan hingga persidangan dokter mempunyai peran

sebagai berikut:

1. Masa penyelidikan: Pemeriksaan di TKP dan analisis data yang

ditemukan.

2. Masa penyidikan: Pembuatan Visum et Repertum dan BAP saksi ahli.


10

3. Masa persidangan: Dokter berperan dalam memberikan keterangan ahli, sebagai

saksi ahli pemeriksa, menjelaskan visum et repertum, menjelaskan kaitan temuan

VeR dengan temuan ilmiah alat bukti sah lainnya. Dokter juga berperan

menjelaskan segala sesuatu yang belum jelas dari sisi ilmiah.

Pendekatan kedokteran forensik selain menjadi ahli klinik medikalisasi dan

terapi, ilmu forensik juga berperan dalam hal non – terapi, yaitu pembuktian. Ilmu

forensik sangat komprehensif mencakup psikososial, yuridis. Akan tetapi forensik juga

tidak bisa dikatakan hukum karena forensik tidak menentukan suatu peristiwa disebut

pembunuhan, perkosaan atau mengatakan siapa pelaku. Forensik hanya memberi

petunjuk cara kematian, pidana atau petunjuk siapa pelaku.

Ilmu kedokteran forensik mengutamakan prinsip dasar etika kedokteran

meliputi:

a. Prinsip tidak merugikan ( non maleficence)

b. Prinsip berbuat baik ( beneficence)

c. Prinsip menghormati otonomi pasien (autonomy)

d. Prinsip keadilan ( justice)

2.4 Definisi Saksi, Saksi Ahli, Keterangan Saksi, dan Keterangan Ahli

Berdasarkan pasal 1 butir 26 KUHAP saksi adalah orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri

dan ia alami sendiri.

Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan

berdasarkan pengalaman keahliannya tentang fakta atau data suatu kejadian,


11

baik yang ditemukan sendiri maupun oleh orang lain, serta mampu

menyampaikan pendapatnya tersebut. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa

Indonesia, pengertian saksi ahli yaitu orang yang dijadikan saksi karena

keahliannya, bukan karena tahu sendiri. Saksi ahli merupakan orang yang

memenuhi syarat dalam hal pengetahuan dan pengalamannya untuk memberikan

pendapat tentang isu tertentu ke pengadilan.

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang

ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan

dari pengetahuannya (pasal 1 butir 27 KUHAP) dan merupakan salah satu alat

bukti yang sah (pasal 184 butir 1 KUHAP).

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (pasal 1 butir 28

KUHAP). Ketrangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di siding

pengadilan (pasal 186 KUHAP) dan merupakan salah satu alat bukti yang sah

(pasal 184 butir 1 KUHAP).

2.5 Kriteria Saksi Ahli

KUHAP hanya memakai salah satu istilah saja yaitu “ahli” untuk saksi ahli.

Namun secara teoritis terdapat tiga macam ahli yang terlibat dalam suatu proses

peradilan. Mereka itu adalah:

1. Ahli (deskundige)
12

Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang

ditanyakan pendapatnya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contoh ahli yang

demikian ini misalnya dokter spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan. Yang

diminta pendapatnya tentang obat “X” yang dipersoalkan dapat atau tidak menimbukan

abortus dalam perkara tindak pidana pengguguran kandungan.

2. Saksi ahli (getuige deskundige)

Orang ini menyaksikan barang bukti atau saksi diam (silent wintness). Ia

melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. Sebagai contoh misalnya

seorang dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap mayat. Jadi ia menjadi saksi

karena menyaksikan barang 25 bukti (mayat) dan kemudian menjadi ahli. karena

mengemukakan pendapatnya tentang sebab kematian orang itu.

3. Orang ahli (zaakkundige)

Orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang sebenarnya juga dapat

dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi akan memakan banyak waktu. Sebagai contoh

misalnya seorang pegawai Bea dan Cukai diminta menerangkan prosedur pengeluaran

dan pemasukan barang dari pelabuhan atau seorang karyawan Bank diminta

menerangkan prosedur untuk mendapatkan kredit dari Bank. Sebenarnya tanpa orang

tersebut menerangkan pendapatnya hakim pun dapat menentukan apakah telah terjadi

suatu tindak pidana atau tidak, karena hakim dapat dengan mudah mencocokkan apakah

dalam kasus yang sedang diperiksanya itu telah terjadi penyimpangan dari prosedur

yang seharusnya atau tidak.

Ada beberapa pasal yang menyebut kualifikasi keahlian khusus, seperti ahli

yang mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu (pasal 132 KUHAP), ahli
13

forensik atau dokter (pasal 133 ayat 1 KUHAP, pasal 179 ayat 1 KUHAP), tetapi

penyebutan tersebut tidak mengandung syarat-syarat seorang ahli, melainkan menyebut

bidang-bidang keahlian tertentu.

Jika kriteria yang yang tercantum pada pasal 1 butir 28 KUHAP dikaitkan

dengan pasal 120 dan pasal 133 KUHAP, maka terdapat dua kelompok ahli, yaitu:

1. Ahli secara umum

2. Ahli kedokteran kehakiman

Jika pasal 1 butir 28 dikaitkan dengan pasal 133 ayat 1 dan pasal 179 ayat 1

KUHAP, maka akan dapat dikelompokkan tiga macam ahli, yaitu:

1. Ahli kedokteran kehakiman

2. Dokter yang menjadi ahli

3. Ahli pada umumnya (mempunyai keahlian khusus dalam bidang tertentu).

Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan ahli, maka ahli dapat dibedakan

antara:

1. Ahli yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan sesuatu yang telah

dilakukannya berdasarkan keahlian khusus untuk itu. Misalnya, seorang dokter ahli

forensik yang memberikan keterangan ahli di siding pengadilan tentang penyebab

kematian setelah dokter tersebut melakukan bedah mayat (autopsy), atau seorang

akuntan memberikan keterangan di siding pengadilan tentang hasil audit yang

dilakukannya atas keuangan suatu instansi pemerintah.

2. Ahli yang menerangkan semata-mata tentang keahlian khusus mengenai sesuatu

hal yang berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa tanpa

melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Misalnya, ahli dibidang perakit bom yang
14

menerangkan di dalam siding pengadilan tentang cara merakit bom. Bahkan dalam

praktik, seorang ahli hukum bidang keahlian/konsentrasi khusus seringkali digunakan

dan mereka juga disebut seorang ahli.

California Evidence Code memberi definisi tentang ahli sebagai seseorang yang

dapat memberi keterangan jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman,

latihan atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang

ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya. Menurut Tirtan Hodgkinson dan

Mark James definisi ahli mempunyai dua deskripsi yang relevan, yaitu sebagai berikut:

“Experiensed, the one is expert or who has gained skill experience. Trained by

experience or practice, skilled, skillful, as does the noun the one who special knowledge

or skill causes him to be regarded as an authority, as specialis. The term skilled when

use person, is described as meaning (i) possessed of skill or knowledge, and (ii)

properly trained or experienced”.

Artinya: berpengalaman, yaitu orang yang berpengalaman atau mendapatkan

kecakapan dari pengalaman tersebut. Terlatih oleh pengalaman praktik, cakap terampil

sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan atau ketrampilan tertentu dan menjadikan

ia sebagai spesialis. Kata cakap atau terampil diartikan sebagai memiliki ketrampilan

atau pengetahuan yang cukup terlatih dan berpengalaman.

Seorang ahli tidak selalu ditentukan oleh adanya pendidikan formal khusus

untuk bidang keahliannya, tetapi pada pengalaman dan atau bidang pekerjaan tertentu

yang ditekuninya selama waktu yang panjang, yang menurut akal sangat wajar menjadi

ahli dalam bidang khusus tersebut.


15

Sering terjadi perdebatan antara jaksa dengan penasihat hukum tentang status

ahli seseorang. Dalam menghadapi perdebatan mengenai ahli dan bukan ahli hakimah

yang pada akhirnya menentukan orang itu ahli atau bukan ahli. Berdasarkan pasal 160

ayat 1c KUHAP sewajarnya hakim memeriksa orang yang dihadapkan itu, dan nanti

akan dipertimbangkan dalam putusan apakah seseorang itu ahli atau bukan. Hakim perlu

meneliti apakah kompetensi orang tersebut pada kenyataannya diakui oleh masyarakat

secara luas ataukah tidak, atau setidaknya mendapat penunjukan dari lembaga resmi

yang sah yang berhubungan dengan bidang keahlian orang tersebut, misalnya dari

instansi yang bersangkutan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saksi ahli harus

memiliki:

1. Pengetahuan tentang kasus yang dipermasalahkan dan memiliki pengalaman

dalam

praktek tersebut.

2. Memiliki kemampuan penalaran analitik untuk memenuhi tugasnya.

3. Kemampuan untuk mengutarakan temuan dan pendapat secara jelas, ringkas dan

disesuaikan dengan pengadilan sebelum bukti diberikan.

4. Memiliki pemikiran yang fleksibel untuk mengubah pendapat terhadap bukti-

bukti atau

kontra-argumen.

5. Penampilan yang dapat menunjukan kepercayaan diri terutama saat di

pengadilan.

Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli forensik atau dokter atau

ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Semua ketentuan
16

tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan ketrangan ahli,

dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan

keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam

bidang keahliannya (pasal 179 KUHAP).

2.6 Hak dan Kewajiban Dokter Forensik Sebagai Saksi Ahli

Hak dan kewajiban dokter merupakan salah satu komponen yang penting dalam

pembuktian hukum acara pidana. Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya

digunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolak ukur masing-masing. Oleh

Karena itu, dalam praktiknya harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Pada saat

berurusan dengan medikolegal, tolak ukur norma hukumlah yang diberlakukan.

Alat bukti yang sah berdasarkan KUHAP pasal 187 butir c, memaparkan

kewajiban dokter, untuk membanu peradilan, yaitu dalam bentuk: keterangan ahli,

pendapat orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari

seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau

sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Keterangan dokter sebagai

saksi ahli yang dituangkan baik bentuk keterangan maupun dalam bentuk surat visum et

repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP pasal 184

ayat 1, yaitu (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, (e)

keterangan terdakwa.

Didasarkan KUHAP, saksi ahli memiliki kewajiban dan hak sebagai berikut:

1. Kewajiban

a. Sebagaimana tertulis dalam KUHAP pasal 133 ayat 1 mengenai kewajiban

dokter untuk memberikan bantuan kepada penyidik yang berbunyi: ”Dalam hal penyidik
17

untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun

mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang

mengajjukan permintaan keterangan ahli pada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

dan atas ahli lainnya”.

b. Saksi ahli memiliki kewajiban pada pengadilan untuk menjadi independen dan

obyektif dalam bukti yang mereka sediakan. Dalam menjalankan kewenangan, hakim

dapat menolak sama sekali bukti yang dipaparkan oleh para ahli yang mereka tahu

memiliki atau diduga merupakan hasil suapan dari pihak tertentu dalam gugatan hukum

tersebut. Ini adalah alas an utama mengapa para ahli tidak boleh menerima instruksi

untuk bertindak sebagai saksi ahli atas dasar tidak menang, tidak ada biaya.

Saksi ahli yang dipanggil dalam suatu kasus pidana maupun perdata harus

datang memenuhi panggilan tersebut atau dapat diancam pidana penjara dan denda

sebagaimana yang telah diatur yaitu:

a) Didasarkan pasal 159 ayat 2 KUHAP yaitu: “Dalam hal saksi tidak hadir,

meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua siding mempunyai cukup alasan

untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka ketua sidang dapat

memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan”.

b) Didasarkan pasal 161 ayat 1 Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981

KUHAP yaitu: “Dalam hal saksi atau ahli tanpa alas an yang sah menolak untuk

bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam pasal 160 ayat 3 dan ayat 4,

maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan

hakim ketua siding dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling

lama empat beals hari”.


18

c) Dalam keterlibatan sebagai saksi ahli, apabila sengaja tidak memenuhi

kewajibannya, maka diberikansanksi sebagaimana tertulis dalam KUHP pasal 224 tahun

1981: “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-

undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang

harus dipenuhinya, diancam: (a) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling

lama Sembilan bulan, (b) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam

bulan”. Menurut KUHP pasal 522 tahun 1981, “Baran siapa menurut undang-undang

dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum,

diancam dengan pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.

d) Pasal 161 ayat 2 KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal tenggang waktu

penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau

mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang

dapat menguatkan keyakinan hakim”. Pada pasal ini menerangkan bahwa keterangan

saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap

sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat

menguatkan keyakinan hakim.

e) Pasal 216 KUHP ayat 1 yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja tidak

menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat

yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian

pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula

barangsiapa dengan sengaja mencegah, mengahalang-halangi atau menggagagalkan

tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama

empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah”.
19

2. Hak sebagai saksi ahli.

a. Didasarkan pada pasal 229 ayat 1 KUHAP yaitu: “Saksi atau ahli yang telah

hadir memenuhi panggilan dalam rangka memeberikan keterangan di semua tingkat

pemeriksaan, berhak mendapat penggangtian biaya menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Tidak ada keterangan lanjutan mengenai pasal ini. Namun

selama ini, penggantian biaya ini banyak ditafsirkan sebagai penggantian biaya

transport dan akomodasi. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Asisten Pidana Khusus

pada Kejaksaan Tinggi DKI bahwa kejaksaan tidak mempunyai pos untuk pengeluaran

membayar saksi ahli. Menurutnya, penggantian biaya yang dimaksud pada pasal 229

KUHP hanyalah penggantian biaya transportasi.

b. Didasarkan pada pasal 229 KUHAP ayat 2 berbunyi: “Pejabat yang melakukan

pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1)”. Pada prakteknya, mengenai biaya penggantian bagi saksi

atau ahli biasanya dibebankan pada pihak yang membutuhkan apakah saksi atau ahli

tersebut menguntungkan atau tidak bagi pihak terkait.

2.7 Dokter Forensik Sebagai Saksi Ahli

Dokter ahli forensik memiliki peran membantu pengadilan pada hal-hal

teknis sesuai dengan spesialisasi mereka. Dalam menjalankan tugasnya di

pengadilan, seorang ahli harus bersikap independen, dan tidak dipengaruhi oleh

pihak manapun. Dokter forensik dilibatkan apabila ditemukan adanya perkara

pembunuhan yang dilakukan oleh orang awam, yang dengan latar belakang

pendidikan formal antara lain setidaknya telah menyelesaikan pelatihan selama 4

tahun setelah pendidikan kedokteran dan penambahan 1 tahun aktivitas terkait


20

dengan tugas otopsi medikolegal yang melibatkan unnatural, suspicious,

violent, dan unexpected deaths. Adapun berbagai ahli dengan spesialitasnya

masing-masing yang terlibat di dalamnya. Selain itu dibutuhkan peran ahli-ahli

lainnya, seperti toxicologist, serologist, criminalist, dentist, dan anthropologist.

Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apapun

kepada pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam siding pengadilan)

karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah

mengucapkan sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran. Dokter

forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban

membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan

dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam

visum et repertum semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang

diperiksanya.

Pihak-pihak yang berwenang meminta bantuan ahli kedokteran

kehakiman dalam kaitannya dengan persoalan hukum yang hanya dapat

dipecahkan dengan bantuan ilmu kedokteran kehakiman:

1. Hakim pidana, melalui jaksa dan dilaksanakan oleh penyidik

2. Hakim perdata, meminta langsung kepada ahli kedokteran

3. Hakim pada pengadilan agama

4. Jaksa penuntut umum

5. Penyidik
21

Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam KUHAP pasal 133

ayat 2 dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk

pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Dalam Ethical Guidelines for Doctors Acting as Medical Witnesses

menyebutkan ada dua jenis saksi medis yang dapat dilakukan oleh seorang dokter yaitu

saksi fakta atau sebagai saksi pendapat, Saksi fakta diberikan oleh dokter yang

memeriksa, merawat, dan memberikan penatalaksanaan sebuah kasus medic, sedangkan

saksi pendapat adalah saksi ahli yang independen yang diminta memberikan pendapat

ahli berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya terhadap fakta dan

menginformasikan pengadilan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keahlian

khususnya.

Pada berbagai kasus, pemeriksaan otopsi diijinkan dilakukan oleh dokter

forensik untuk menentukan dan memperkirakan cara kematian korban dan akan lebih

baik apabila dokter diikutsertakan pada pemeriksaan TKP. Dalam ilmu forensik dikenal

3 cara kematian, diantaranya kematian wajar (natural death), tidak wajar (un-natural

death) dan tidak dapat ditentukan (un-determinde). Untuk dapat menentukan penyebab

kematian secara pasti, pembedahan mayat (otopsi) mutlak dilakukan. Tanpa

pembedahan mayat tidak mungkin dapat ditentukan sebab kematian secara pasti. Bagi

pihak penyidik, sebab kematian yang ditentukan oleh dokter sangat membantu dalam

tugas penyidikannya.

Semua alat-alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana yang berlaku

mempunyai kekuatan hukum yang sama. Menurut KUHAP pasal 169: “Keterangan

saksi tunggal, tanpa adanya alat bukti lain, tak dapat dipercaya menurut hakim”.
22

Pernyataan ini mendukung penting setiap komponen dari masing-masing alat-alat bukti

dalam peradilan. Oleh karena itu salah satu kewajiban dokter bukan hanya dalam

kewajibannya untuk memberikan kesaksian tetapi juga dengan memberikan surat

keterangan ahli yang dituangkan dalam visum et repertum.

2.8 Hasil Wawancara Dengan Hakim Mengenai Pembiayaan Dokter Sebagai

Saksi Ahli Dalam Sidang Peradilan

Menurut hasil wawancara dengan hakim ini mengenai pembiayaan dokter

sebagai saksi ahli dalam sidang peradilan pengadilan menjawab seperti berikut :

1. Pasal 229 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana menyatakan bahwa saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan

dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat

penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini

tidak ada undang-undang yang lebih khusus mengenai besaran pembiayaan sebagai ahli

di persidangan. Ahli di dalam pasal tersebut mencakup orang-orang yang memiliki

keahlian di dalam bidang suatu bidang tertentu termasuk dokter.

2. Tidak ada nominal pasti terkait ahli yang bersaksi di persidangan karena tidak

ada UU yang mengatur dengan jelas. Di dalam praktek biaya pengganti tersebut lebih

diartikan kepada biaya akomodasi, transportasi dan konsumsi yang diberikan oleh pihak

yang memanggil ahli tersebut di persidangan, baik itu jaksa penuntut umum maupun

terdakwa dan penasehat hukum.

3. Sampai saat ini tidak ada UU khusus yang mengatur sehingga diserahkan kepada

masing-masing pihak berapa jumlah anggaran yang telah disepakati.


23

4. Yang membiayai adalah pihak yang memanggil saksi ahli dipersidangan, baik

itu jaksa penuntut umum maupun terdakwa bersama dengan penasehat hukumnya.

5. Dalam praktek biasanya biaya akomodasi, transportasi, maupun konsumsi.

Intinya adalah tidak ada undang-undang khusus yang mengatur biaya pengganti

bagi ahli yang hadir kepersidangan.Bagi jaksa penuntut umum tidak memiliki anggaran

khusus untuk ahli yang hadir sehingga terkadang uang pribadi jaksa tersebut tergantung

sesuai dengan kemampuannya, lain halnya dengan ahli yang dihadirkan oleh terdakwa

dan penasehat hukumnya. Biasanya penasehat hukum memiliki dana yang berasal dari

terdakwa sehingga tidak menjadi masalah berapa pun yang diminta ahli kepada

terdakwa dan penasehat hukumnya.


BAB 3

KESIMPULAN

Seorang dokter tidak hanya melakukan pemeriksaan medis untuk kepentingan

diagnostik dan pengobatan penyakit saja tetapi dokter juga harus siap mengenali tanda-

tanda adanya tindak pidana tehadap tubuh manusia. Dalam proses penegakan perkara

pidana kejahatan, dokter mempunyai peran sebagai berikut: masa penyelidikan

(Pemeriksaan di TKP dan analisis data yang ditemukan), masa penyidikan (pembuatan

visum et repertum dan BAP saksi ahli), dan pada masa persidangan (Dokter berperan

dalam memberikan keterangan ahli, sebagai saksi ahli pemeriksa, menjelaskan visum et

repertum, menjelaskan kaitan temuan VeR dengan temuan ilmiah alat bukti sah lainnya.

Dokter juga berperan menjelaskan segala sesuatu yang belum jelas dari sisi ilmiah.

Dokter forensik dilibatkan apabila ditemukan adanya perkara pembunuhan yang

dilakukan oleh orang awam. Sehingga salah satu kewajiban dokter bukan hanya dalam

kewajibannya untuk memberikan kesaksian tetapi juga dengan memberikan surat

keterangan ahli yang dituangkan dalam visum et repertum.

Sebagai saksi ahli, dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi

apapun kepada pihak lain di luar yang bersangkutan dengan hukum (misalnya media

massa, kecuali dalam siding pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah

seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia

harus menyimpan rahasia kedokteran.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Firdaus Sholihin, Wiwin Yulianingsih, Kamus Hukum Kontenporer, Jakarta:

Sinar Grafika, 2016, hlm. 6

2. Idris AM. Visum Et Repertum. Ed.1. Jakarta: Bina Rupa Aksara: 1997. p.2-6.

3. Susanti R. Peran Dokter Sebagai Saksi Ahli Di Persidangan. Jurnal Kesehatan

Andalas: 2013: 2(2): p.101-104.

4. Septimaulina, R., Suhaimi, Mujibussalim. Pelaksanaan Hak Ahli/Saksi

Mendapatkan Penggantian Biaya. Syiah Kuala Law Journal: 2018: 2(1): p.89-101.

5. Australian Medical Association. Ethical Guidelines for Doctors Acting as

Medical Witnesses. AMA Position Statement. 2011; 1-6.

6. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Reperdum dalam Aspek Hukum

Acara Pidana, Semarang: Satya Wacana, 1989, hlm. 29.

7. Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, 2012, hlm.

61

8. Flora, Henny S. Peran Psikiater Sebagai Saksi Ahli Dalam Pembuktian Perkara

Pidana Guna Memutuskan Perkara Pidana Bagi Hakim Pengadilan. Jurnal Hukum

Pro Justitia: 2009: 27(2): p.143-153.

9. Sampurna B, Samsu Z, Siswaja TD. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan

Hukum. Ed.2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta: 2008.

10. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib

Persidangan.

11. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

23
24

12. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Anda mungkin juga menyukai