Anda di halaman 1dari 6

ARTIKEL

MENYIKAPI VAKSINASI; MENILIK CARA PANDANG


'BUKAN' PRIORITAS UTAMA

Guru Bahasa Indonesia : YUHYI WAHYUNI, S.Pd.

Disusun oleh : ISMAYA (XII MIPA 4)

JL. Kyai Haji Agus Salim No.128, Pegagan, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat 45161

2021
[PEMBUKAAN]

Tanggal 6 Desember tahun lalu, warga Indonesia menyambut gembira


kedatangan vaksin produksi Sinovac asal China itu. Salah satu vaksin yang
dikabarkan akan diedarkan kepada masyarakat sebagai bentuk pencegahan
terhadap Covid-19 yang sudah merajalela di bumi pertiwi, meresahkan semua
kalangan masyarakat, selama hampir satu tahun.

Sayangnya, vaksin yang pertama kali diedarkan pada tanggal 13 Januari dengan
nama coronavac itu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dari mulai uji
klinisnya, gratis, efektivitasnya, kehalalan dan pelaksanaannya. Sampai pada
BPOM yang memberi status Emergency Use Authorization (EUA) pada vaksin
tersebut, dengan presiden Jokowi sendiri yang menjadi orang pertama yang diberi
vaksin, telah terjamin meski tidak 100%.

[ISI]

Sampai saat ini, vaksin telah diedarkan ke sebagian rumah sakit atau puskesmas
wilayah di Indonesia. Para warga yang berpikiran positif sangat antusias
menyambutnya. Berharap akan sebuah perubahan besar pada cairan bernama
vaksin itu. Meski mereka masih harus bersabar karena pembagian vaksin tersebut
yang bertahap.

Dikutip dari laman CNBC Indonesia, disebutkan bahwa prioritas penerima vaksin
pertama adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan tenaga penunjang
yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat hukum, dan petugas pelayanan
publik lainnya.

Selanjutnya, tokoh masyarakat atau agama, pelaku perekonomian strategis,


perangkat daerah kecamatan, perangkat desa, dan perangkat rukun
tetangga/rukun warga.

Prioritas berikutnya, guru atau tenaga pendidik dari PAUD atau TK, SD, SMP, SMA,
atau setingkat atau sederajat, dan perguruan tinggi; aparatur kementerian atau
lembaga, aparatur organisasi perangkat Pemerintah Daerah, dan anggota
legislatif.

Prioritas lainnya adalah masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan
ekonomi dan masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa prioritas utama vaksinasi adalah 'orang
penting'. Meski tidak mengherankan, namun cara pembagian prioritas tersebut
dianggap tidak cukup adil.

Karenanya, tidak sedikit masyarakat yang masih ragu dan gemas dengan
pemberian vaksin tersebut. Jauh-jauh berbicara vaksin, dengan virus corona saja
masih banyak masyarakat yang menyepelekan dan menganggap enteng penyakit
tersebut. Buktinya, masih banyak masyarakat yang tidak menerapkan protokol
kesehatan seperti selalu memakai masker pada tiap kegiatan. Terutama
masyarakat desa yang jauh dari jangkauan mata para pemerintah.

Virus corona saja mereka anggap sebagai hal yang biasa, apalagi pemberian
vaksin yang dianggap penting tapi pembagiannya saja menuruti skala prioritas.
Apalagi pada tahap awal vaksinasi ini hanya diberikan pada warga dengan rentang
usia 18-59 tahun yang dianggap kelompok yang rentan dengan virus Covid-19.

Lalu bagaimana dengan lansia dan anak-anak serta ibu hamil yang sangat
berkemungkinan tertular. Apakah dengan divaksin kita akan aman dari
penyebaran virus Covid-19. Nyatanya tidak. Contoh saja pada wakil bupati
Nganjuk, Marhaen Djumadi yang telah diberi 2 dosis vaksin pada 27 Januari dan
10 Februari lalu, yang baru-baru ini dinyatakan positif covid. Benar, tidak
menutup kemungkinan itu semua bisa terjadi. Besar kemungkinan beliau sudah
terpapar virus sebelum divaksin.

Anggaplah masyarakat yang 'anti' corona itu ndeso, kampungan, atau bahkan
tidak menghargai kebijakan dan pengorbanan pemerintah untuk mengusahakan
negara ini kembali normal. Tapi jangan lupakan mereka yang tetap memantau
perkembangan itu semua melalui media televisi, radio, bahkan internet. Mereka
tau dan paham mengenai pemerintah yang mengusulkan ini itu untuk
masyarakat, tapi yang sangat disayangkan adalah usulan ini itu tersebut banyak
yang tidak sampai pada mereka. Itulah yang menyebabkan mereka bersikap acuh
tak acuh pada vaksinasi. Rasa insecure akibat perbedaan perhatian juga menjadi
sebab timbulnya sikap bodo amat mengenai virus dan vaksinasi. Mereka tahu
mereka sehat, itu sudah cukup meyakinkan mereka bahwa mereka negatif meski
tidak melakukan serangkaian tes yang 'orang penting' lakukan. Tidak ada jaminan
jika mereka divaksin hidup mereka tidak terancam dari virus tersebut.

[KESIMPULAN]
Semuanya kembali pada keyakinan diri masing-masing. Vaksinasi itu perlu dan
penting, apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Apalagi pemerintah yang akan
siap sedia memberi santunan jika ada yang cacat dan meninggal akibat vaksinasi
Covid-19, itu sebuah jaminan yang menenangkan.

Tapi sayangnya jaminan tersebut seperti mengandaikan kita seperti kelinci


percobaan. Jaminan tersebut terdengar seperti sugesti bahwa bisa saja kita akan
cacat atau bahkan lebih buruknya lagi meninggal dunia jika kita divaksin. Lebih
parahnya, pola pikir dan mindset kita akan bertindak menjauhi dan menjadi anti
vaksinasi. Padahal vaksinasi adalah upaya efektif memutus rantai penyebaran
virus.

Meski sekali lagi, tidak ada jaminan 100%. Sia-sia juga jika kita divaksin tapi tetap
tidak mematuhi protokol kesehatan. Itu seperti menggadaikan hidup kita tapi
tidak punya sesuatu untuk menebusnya. Pilihan satu atau pilihan dua, semuanya
memang memiliki resiko besar.
© 2021 Ismaya

Anda mungkin juga menyukai