Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum tentang Patien Safety


2.1.1. Pengertian
Menurut Supari tahun 2005, patient safety adalah bebas dari cidera
aksidental atau menghindarkan cidera pada pasien akibat perawatan medis dan
kesalahan pengobatan. Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, termasuk :
assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insident dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
dilakukan (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan patient safety adalah tidak
adanya kesalahan atau bebas dari cedera karena kecelakaan. Keselamatan atau
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah
terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

2.1.2. Tujuan
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2) Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan
masyarakat
3) Menurunnya KTD di Rumah Sakit
4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
penanggulangan KTD

6
2.1.3. Standar Keselamatan Pasien
Tujuh standar Keselamatan Pasien yaitu :
1) Hak pasien yaitu Pasien dan keluarga mempunyai hak untuk mendapat
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan
KTD
2) Mendidik pasien dan keluarga yaitu Rumah sakit harus mendidik pasien
dan keluarganya tentang kewajiban dan tangung jawab pasien dalam
asuhan pasien.
3) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan yaitu Rumahsakit
menjamin keseinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar
tenaga dan antar unit pelayanan.
4) Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien: yaitu
Rumahsakit harus mendisain proses baru atau memperbaiki proses yang
ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.

2.1.4. Enam Sasaran Keselamatan Pasien


1) Sasaran I    :  Ketepatan Identifikasi Pasien
Standar SKP I Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk
memperbaiki/ meningkatkan ketelitian identifikasi pasien
Elemen Penilaian Sasaran I :
a) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
b) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah atau produk
darah.

7
c) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis.
d) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.

2) Sasaran II  :  Peningkatan Komunikasi Efektif


Standar SKP II Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk
meningkatkan efektifitas komunikasi antar para pemberi pelayanan
Elemen Penilaian Sasaran II :
a) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
b) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dibacakan secara lengkap oleh penerima perintah.
c) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah
atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
d) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.

3) Sasaran III  :  Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu


Diwaspadai (High Alert)
Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high alert)
Elemen Penilaian Sasaran III :
a) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan agar memuat proses
identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label dan penyimpanan
elektrolit konsentrat.
b) Implementasi kebijakan dan prosedur.
c) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali
jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah
pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

8
4) Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien
Operasi
Standar SKP IV Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan
untuk memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur dan tepat-pasien.
Elemen Penilaian Sasaran IV :
a) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti
untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien didalam
proses penandaan.
b) Rumah sakit menggunakan suatu cheklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat pre operasi tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan
tepat-pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan
tersedia, tepat dan fungsional.
c) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur
sebelum "incisi/time out" tepat sebelum dimulainya suatu prosedur
tindakan pembedahan.
d) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung suatu
proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat-
prosedur, dan tepat-pasien, termasuk prosedur medis dan dental
yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

5) Sasaran V   : Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


Standar SKP V Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi resiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. 
Elemen Penilaian SasaranV :
a) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand
hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum
(a.l dari WHO Guidelines on Patient Safety.
b) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
c) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan resiko dari
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

9
6) Sasaran VI : Pengurangan Resiko Pasien Jatuh
Standar SKP VI Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan
untuk mengurangi resiko pasien dari cidera karena jatuh.
Elemen Penilaian Sasaran VI :
a) Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien
terhadap resiko jatuh dan melakukan asesmen ulang bila pasien
diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan dan
lain-lain.
b) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi resiko jatuh bagi
mereka yang pada hasil asesmen dianggap beresiko jatuh.

2.2. Theory of Planned Behavior


Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh
Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang
dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Fokus utama dari teori planned behavior
ini sama seperti teori reason action yaitu intensi individu untuk melakukan
perilaku tertentu. Intensi merupakan indikasi seberapa keras orang mau berusaha
untuk mencoba dan berapa besar usaha yang akan dikeluarkan individu untuk
melakukan suatu perilaku. Reason action theory mengatakan ada dua faktor
penentu intensi yaitu sikap pribadi dan norma subjektif (Fishbein & Ajzen, 1975).
Namun Ajzen berpendapat bahwa teori reason action belum dapat menjelaskan
tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol seseorang. Karena
itu dalam theory of planned behavior Ajzen menambahkan satu faktor yang
menentukan intensi yaitu perceived behavioral control. Menurut Ajzen (2005)
ketiga faktor ini yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control
dapat memprediksi intensi individu dalam melakukan perilaku tertentu.
Semenjak pertama kali diperkenalkan, theory of planned behavior telah
berhasil diaplikasikan dalam berbagai macam konteks. Beberapa diantaranya yang
popular adalah untuk memodelkan kecurangan akademis (harding et all, 2000),
partisipasi pada kegiatan fisik (Armitage, 2005), pemilihan tempat rekreasi (Ajzen
and Driver,1990), keikutsertaan menyumbangkan darah (M. Giles et all: 2004),

10
dan partisipasi dalam permainan undian (walker and Courneya : 2004)
(Setyobudi, WT. 2008). Theory of Planned Behavior dapat digambarkan sebagai
berikut ini:

Behaviral belief Attitude

Subjective
Normatif belief Intention
Norma

Control belief Perceived


behavioral
control

Gambar 2.1. Teori Planned Behavior (Ajzen,2005)

2.2.1. Niat (Intention)


Dalam teori perilaku terencana (Theory Of Planned Behavior), perilaku
yang ditampilkan oleh individu timbul karena adanya intensi atau niat untuk
berperilaku. Sementara itu, munculnya niat berperilaku ditentukan oleh sikap,
norma subyektif dan kontrol perilaku yang dipersepsikan. Ketiga komponen ini
berinteraksi dan menjadi indikator bagi niat yang pada gilirannya menentukan
apakah perilaku tertentu akan dilakukan akan dilakukan atau tidak (Ajzen, 1991).
1). Sikap (Attitude)
Scifman dan Kanuk (1997) menyatakan sikap adalah ekspresi perasaan
(inner feeling) yang mencerminkan apakah seseorang senang atau tidak senang,
suka atau tidak suka dan setuju atau tidak setuju terhadap suatu obyek. Obyek
dapat berupa merek, layanan, orang, perilaku dan lain-lain (Susanta,2006). Obyek
dalam penelitian ini adalah layanan keselamatan pasien.
Menurut Azwar S (2011) , sikap terdiri dari tiga komponen yaitu komponen
kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif adalah pengetahuan dan
keyakinan seseorang mengenai suatu obyek sikap, misalnya perawat yakin bahwa
pengetahuan dan keterampilan tentang keselamatan pasien sangat bermanfaat
demi kelancaran program keselamatan pasien. Komponen afektif berisikan

11
perasaan seseorang terhadap obyek sikap, misalnya
perawat   wajib    mendukung    kelancaran program keselamatan pasien di
rumah sakit. Komponen konatif adalah kecenderungan melakukan sesuatu
terhadap obyek sikap, misalnya perawat selalu melaporkan setiap kejadian yang
tidak diinginkan.
Penelitian Ariyani (2009) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dan motivasi terhadap sikap mendukung penerapan program
patient safety di Instalasi perawatan Intensif RSUD DR Moewardi Surakarta.
Berdasarkan uraian diatas maka model pembentukan sikap dapat
digambarkan sebagai berikut :

Kognitif Konatif
1) Pendidikan
1) Pendidikan Sikap 1) Cenderung untuk
2) Pelatihan
2) Pelatihan melaksanakan
3) OJT
3) OJT oleh oleh
Karu/dokter tugas
Karu/dokter
spesialis Afektif 2) Peka terhadap
spesialis kebutuhan pasien
1) Rasa tanggung
3) Merencanakan
jawab
jawab bantuan yang tepat
2) Keinginan menolong
untuk pasien
pasien
3) Rasa empati

Gambar 2.2. Model Sikap (Azwar S, 2011)


Jenis-Jenis Skala Sikap
Menurut Arikunto (1993) ada beberapa bentuk skala yang dapat digunakan
untuk mengukur sikap, antara lain:
1. Skala Likert.
Skala ini disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respons
yang menunjukkan tingkatan. Misalnya: SS = Sangat setuju S = Setuju TB =
Tidak berpendapat TS = Tidak setuju STS = Sangat tidak setuju
2. Skala Jhon West.
Skala ini penyederhana dari skala Likert yang mana disusun dalam bentuk
suatu pernyataan dan diikuti oleh tiga respons yang menunjukkan tingkatan.
Misalnya: S = Setuju R = Ragu-ragu TS = Tidak setuju

12
3. Skala Pilihan Ganda.
Skala ini bentuknya seperti soal pilihan ganda yaitu suatu pernyatan yang diikuti
oleh sejumlah alternative pendapat.
4. Skala Thurstone
Skala Thurstone merupakan skala mirip skala Likert karena merupakan suatu
instrumen yang jawabannya menunjukkan tingkatan. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A B
C D E F G H I J Very favourable, Neutral, Very unfavourable. Pernyataan
yang diajukan kepada responden disarankan oleh Thurstone kira-kira 10 butir,
tetapi tidak kurang dari 5 butir.
5. Skala Guttman
Skala ini dengan yang disusun oleh Bergadus, yaitu berupa tiga atau empat
buah pernyataan yang masing-masing harus dijawab “ya” atau “tidak”.
Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan tingkatan yang berurutan
sehingga bila respoden setuju pernyataan nomor 2, diasumsikan setuju nomor
1. Selanjutnya jika responden setuju dengan nomor 3, berarti setuju pernyataan
nomor 1 dan 2.
6. Semantic Differential Instrumen yang disusun oleh Osgood dan kawan-kawan
ini mengukur konsep-konsep untuk tiga dimensi. Dimensi-dimensi yang ada
diukur dalam tiga kategori. Baik-tidak baik, kuat-lemah, cepat-lambat dan
aktif–pasif, atau dapat juga berguna–tidak berguna.

2.2.3. Norma Subjektif


Ajzen (2001) mengatakan norma subjektif adalah persepsi individu tentang
pengaruh sosial dalam membentuk perilaku tertentu. Norma subyektif merupakan
fungsi dari harapan yang dipersepsikan individu dimana satu atau lebih orang
disekitarnya misalnya orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya
menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu tersebut untuk mematuhi
mereka. Norma subjektif didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tekanan
sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005).
Penelitian Mustikowati (2011), tidak ada hubungan bermakna antara
training dan edukasi, kompetensi, status kawin, tingkat pendidikan, kompleksitas

13
pengobatan pasien, alur pekerjaan, kehadiran dan ketidakhadiran staf, peralatan,
tingkat ketergantungan pasien, lokasi pelayanan terhadap KNC dan KTD, tetapi
berhubungan dengan masa kerja dan umur perawat. Mustikowati
merekomendasikan bahwa dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan KNC dan KTD, diperlukan pendampingan yang optimal
bagi perawat dengan masa kerja yang baru. Berdasarkan uraian diatas maka model
norma subyektif dapat digambarkan sebagai berikut:

Persepsi pimpinan
manajer
Norma
Persepsi Kepala
Subyektif
ruangan

Persepsi Teman
sejawat

Gambar 2.3. Model Norma Subyektif (Ajzen, 2005)

2.2.4. Kontrol Perilaku yang dipersepsikan (Perceived behavioral control)


Kontrol perilaku yang dipersepsikan adalah keyakinan tentang keberadaan
hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan dan
persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat
perilakunya tersebut (perceived power). Kontrol perilaku yang dipersepsikan
dalam studi ini adalah keyakinan perawat tentang seberapa kuat sistem
pengawasan yang dilakukan manajemen rumah sakit untuk meminimumkan
ketidakpatuhan atau memaksimumkan kepatuhan penerapan patient safety.
Penelitian Ayudyawardini (2012) menyatakan bahwa memperhatikan
keselamatan dan kesejahteraan petugas kesehatan juga dinilai perlu untuk
mendukung terciptannya keselamatan pasien.
Berdasarkan uraian diatas maka model kontrol perilaku yang dipersepsikan
dapat digambarkan sebagai berikut:

14
Supervisi

Insentif
Kontrol Perilaku
yang dipersepsikan
Sanksi

Gambar 2.4. Model Kontrol Perilaku yang dipersepsikan (Ajzen, 2005)

2.2.5. Komunikasi
Komunikasi yang efektif merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien berdasarkan standar keselamatan pasien di rumah sakit.
Komunikasi yang tidak efektif adalah hal yang paling sering disebutkan sebagai
penyebab dalam beberapa kasus yang ada di rumah sakit. Komunkasi harus tepat
pada waktunya, akurat, komplit tidak rancu dan dimengerti oleh penerima. (JCI,
2007).
Beberapa masalah terkait komunikasi diantaranya kualitas informasi dalam
rekam medis, pelaporan kejadian dan laporan kasus, status yang menghambat staff
baru untuk berbicara, dan sulitnya menyalurkan informasi diantara organisasi,
brifing pratugas. Ada beberapa sarana brifing di pusat pelayanan kesehatan
antara lain checklist keselamatan pembedahan yang digunakan tim operasi selama
pembedahan (Haynes et al, 2009). Salah satu metode komunikasi yang efektif
adalah komunikasi ISBAR dan SBAR suatu komunikasi yang menggunakan alat
terstruktur ISBAR dan SBAR (Introduction, Situation, Backgroud, Assesment,
Recomendation) untuk mencapai ketrampilan berfikir kritis dan menghemat
waktu (Sukesih, Istanti YP, 2015). Penelitian Fitria (2013) melaporkan adanya
bahwa komunikasi SBAR dapat meningkatkan motivasi dan psikomotor perawat
hal ini dapat mempengaruhi kinerja perawat dan dapat meningkatkatkan budaya
kerja perawat dalam melakukan asuhan keperawatan sehingga dapat
meningkatkan keselamatan pasien. Berdasarkan uraian diatas maka model
komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut:

15
Rekam medis

Laporan kasus

Brifing Komunikasi

Sarana SBAR

Gambar 2.5. Model Komunikasi (Haynes et al, 2009)

2.3. Pengembangan Hipotesis


Sikap perawat terhadap penerapan patient safety dibentuk oleh keyakinan-
keyakinan tentang keselamatan pasien yang meliputi segala hal yang diketahui,
diyakini dan dialami perawat mengenai penerapan keselamatan pasien. .
Keyakinan perawat tentang penerapan patient safety ini akan menghasilkan sikap
positif atau negatif, yang selanjutnya akan membentuk niat untuk menerapkan
atau tidak menerapkan program keselamatan pasien. Hasil penelitian Hanno dan
Violette (1996) serta Bobek dan Hatfield (2003) menyatakan bahwa sikap
terhadap ketidakpatuhan pajak berpengaruh positif terhadap niat ketidakpatuhan
pajak. Mustikasari (2007) juga membuktikan bahwa sikap berpengaruh positif
terhadap niat untuk berperilaku. Berdasarkan teori, penjelasan, dan bukti empiris
di atas, dikembangkan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Sikap berpengaruh terhadap niat perawat untuk menerapkan patient safety.

Norma subjektif merupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan


individu saat satu atau lebih orang di sekitarnya (misalnya, pimpinan, teman
sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu tersebut untuk
mematuhi mereka (Ajzen, 1991). Sikap yang positif atau negatif yang sudah
terbentuk dari pengetahuan dan pengalaman perawat maupun pengalaman orang
lain akan membentuk niat perawat untuk menerapkan atau tidak menerapkan.
Namun, niat ini bisa berubah karena pengaruh orang sekitar tau faktor lainnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dikembangkan hipotesis sebagai berikut:

16
H2 : Norma subjektif berpengaruh terhadap niat perawat untuk menerapkan
patient safety .

Ajzen (1991) mengatakan bahwa kontrol perilaku yang dipersepsikan


mempengaruhi niat didasarkan atas asumsi bahwa kontrol perilaku yang
dipersepsikan oleh individu akan memberikan implikasi motivasi pada orang
tersebut. Mustikasari (2007) dan Arniati (2009) telah membuktikan secara empiris
bahwa kontrol perilaku yang dipersepsikan mempengaruhi niat berperilaku. Hasil
yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Bobek dan Hatfield (2003) serta
Blanthorne (2000), yang menyatakan bahwa kontrol perilaku yang dipersepsikan
tidak memengaruhi niat. Berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, diajukan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
H3 : Kontrol perilaku yang dipersepsikan berpengaruh pada niat perawat untuk
menerapkan patient safety.

Komunikasi adalah penyebab pertama masalah keselamatan pasien (patient


safety). Komunikasi memberikan hubungan institusi, pengetahuan dan
membangun pola perilaku yang dapat diprediksi, hal itu sangat vital bagi
kepemimpinan dan koordinasi tim. Reader et al (2006) menemukan bahwa unsur
komunikasi merupakan penyebab utama dari berbagi insiden yang dilaporkan di
ICU. Penelitian di Indonesia terkait komunikasi dilakukan oleh Praswati (2009)
menyatakan bahwa Komunikasi wom berpengaruh postif terhadap minat guna
jasa ulang. Berdasarkan teori dan hasil penelitian di atas, diajukan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H4 : Komunikasi SBAR berpengaruh pada niat perawat untuk menerapkan
patient safety

17
2.4. Kerangka Konsep
Adapun yang menjadi model penilitian dalam penelitian ini dapat dijelaskan
pada kerangka konsep berikut ini:

Kognitif

Afektif Sikap

Konatif

Persepsi pimpinan manajer

Persepsi kepala ruangan


Norma
Persepsi sejawat
Subyektif

Supervisi

Kontrol Perilaku
Insentif Yang dipersepsikan Niat

Sanksi

Rekam Medis

Laporan kasus

Brifing Komunikasi

Sarana SBAR

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian

18

Anda mungkin juga menyukai