Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

Sinusitis maksilaris kronis merupakan penyakit yang sering ditemukan

dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan

kesehatan tersering di seluruh dunia (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011),

Sedangkan menurut Dorland (2000) sinusitis merupakan suatu peradangan

membran mukosa yang dapat mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal.

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus

berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011).

Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sinusitis

sering disebut rhinosinusitis (Ballenger, 2009).

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,

sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang

(Mangunkusumo & Soetjipto, 2011). Sinus paranasal terdiri dari empat pasang

rongga bertulang yang dilapisi oleh mukosa hidung dan epitel kolumnar

bertingkat semu yang bersilia. Rongga udara ini dihubungkan oleh serangkaian

duktus yang mengalir ke dalam rongga hidung (Brunner & Suddarth, 2001).

Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus maksila,

kemudian etmoidalis, frontalis, dan sfenoidalis (Mansjoer, 2000). Sinus maksila

1
sering terkena sinusitis karena sinus ini merupakan sinus terbesar dan dasarnya

berhubungan dengan dasar akar gigi rahang atas. Klasifikasi secara klinis untuk

sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan

berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan

sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau

masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada

hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi

disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi

pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebab yang tersering

adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Streptococcus

viridians, Staphylococcus aureus dan Branhamella catarrhalis (Tucker dan

Schow, 2008).

Sinusitis adalah penyakit multifaktorial. Faktor predisposisi lokal berupa

infeksi pada gigi, benda asing, polip, deviasi septum kavum nasi dan tumor dapat

menyebabkan obstruksi ostial yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Pada

sinusitis maksila, dasar sinus maksila adalah processus alveolaris tempat akar gigi

rahang atas (terutama premolar dua; P2 dan molar satu; M1 rahang atas), sehingga

rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi. Infeksi

gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal

mudah menyebar secara langsung ke sinus atau pembuluh darah dan limfe.

Sinusitis dentogen dapat timbul dari abses periapikal, periodontitis marginal luas

atau apikal kronik, atau setelah ekstraksi gigi (Hilger, 1997). Sinusitis maksila

dapat menimbulkan komplikasi orbita. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi

2
dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, disamping

itu drainase melalui infundibulum yang sempit, dan pembengkakan akibat radang

atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan

selanjutnya menyebabkan sinusitis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011).

Sinusitis maksilaris diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses

inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan

gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh faktor-

faktor predisposisi baik lokal atau sistemik (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011).

Keluhan utama pasien berupa hidung tersumbat dan disertai dengan nyeri tekan

pada pipi dan ingus purulen, bisa disertai dengan gejala sistemik seperti demam.

Pada sinusitis maksilaris kronis terdapat rasa penuh pada pipi dan nyeri ketok

pada gigi. Dan gejala lainnya adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, dan halitosis

(Kumar dan Clark, 2005).

3
BAB 2
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. H
No. RM : 08.34.04
Umur : 35 tahun
Alamat : Gp. Bintang Hu, Kecamatan Lhoksukon
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Aceh
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk : 9 Januari 2017
Tanggal pemeriksaan : 12 Januari 2017

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : nyeri kepala

2. Keluhan Tambahan : nyeri belakang mata, hidung tersumbat

3. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien masuk ke IGD RSU CUT MEUTIA dengan keluhan nyeri

kepala. Nyeri kepala dirasakan sejak 2 bulan SMRS. Nyeri kepala

dirasakan diseluruh lapang kepala hingga menjalar ke mata. Pasien

mengatakan sudah pergi berobat 2 kali ke Puskesmas untuk mengurangi

keluhan ini, namun keluhan tidak berkurang.

Selain itu, pasien mengeluh hidung tersumbat, keluar ingus

berwarna kuning, kadang berwarna hijau dan berbau. Pasien mengaku

merasakan adanya dahak yang keluar dari belakang hidung. Keluhan

4
demam tidak ada. Pasien mempunyai riwayat merokok dan riwayat

bersin-bersin pagi hari dan bila terkena debu.

4. Riwayat penyakit dahulu :

 Rhinitis alergi (+)

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat diabetes mellitus (-)

 Riwayat flek paru/pengobatan 6 bulan (-)

5. Riwayat penyakit keluarga:


 Tidak ada keluarga yang menderita keluhan serupa. Riwayat sakit
kuning, hipertensi, diabetes mellitus, asma, dan alergi pada
keluarga disangkal.
6. Riwayat pemakaian obat:
 Paracetamol dan antibiotik

2.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 86x/menit, reguler
Frekuensi nafas : 23x/menit

2.4 Status Generalisata


a. Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Cepat Kembali
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)

5
Oedema : (-)
Anemia : (-)
b. Kepala
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Wajah : Tidak ditemukan kelainan, simetris
Mata : Konjunctiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex cahaya
langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+), pupil
isokor 3 mm

c. Leher

Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan

Palpasi : Pembesaran KGB (-), distensi vena jugularis (-), massa (-)

d. Thorax
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi(-),
bentuk dada normal
Palpasi : Fremitus taktil normal
Perkusi : Sonor
Aukultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
e. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung di ICS II linea parasternal
sinistra, Kanan di ICS IV linea parasternal dextra,
kiri di ICS VI linea axilaris anterior.
Auskultasi : BJ I/II normal, bising jantung (-), Gallop (-)
f. Abdomen
Inspeksi : Simetris, perut datar
Palpasi : Soepel
Hepar : Tidak teraba

6
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
g. Kelenjar limfe : Pemeriksaan KGB (-)
h. Ekstremitas : Akral hangat
Superior Inferior
kanan kiri kanan kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -

7
2.5 Status lokalis

Telinga Hidung Tenggorok


Pembengkakan -/- Deformitas -/- Palatum molle paralisis -/-
Fistel auris kongen -/- Hematoma -/- Uvula deviasi -/-
Infiltrat/abses -/- Krepitasi -/- Tonsil : T1 / T1
Nyeri tekan -/- Nyeri -/- Hiperemi -/-
MAE : Rinoskopi anterior : Detritus -/-
Hiperemi -/- Vestibulum edema -/-, Kripta melebar -/-
Edema -/- discharge -/-, ulserasi -/- Arkus ant -
Penyempitan -/- Kavum nasi : Arkus post -
Furunkel -/- Mukosa hiperemi +/+ Faring
Fistel -/- Massa -/- Edema -
Sekret, sifat -/- Sekret +/+ Hiperemi -
Serumen -/- Konka edema +/+ pucat -/- Granula -
Granulasi -/- Kriteria B/C Lendir -
Polip -/- Hiperemi +/+
Kolesteatoma -/- Septum deviasi -
Foetor -/-
Membran timpani :
Keadaan T1T1
Tidak tampak kel/normal Hiperemi -
Warna putih mutiara Rinoskopi posterior Granulae -
Perforasi - / - Septum nasi Laringoskopi indirek
Pulsasi - / - Kauda konka Hipofaring
RC -/+ Meatus nasi DBN Epiglotis DBN
Gb. Muara tuba eus Supraglotis
Fossa roenmuller
Aritenoid
Subglotis
Edema -
Massa -
MAE hiperemi -/-
Edema -/-
MT Sulit di evaluasi/intak
RC -/-

8
A B
Keterangan : A. Cavum nasi dextra , B. Cavum nasi Sinistra

2.6 Diagnosis Banding


1. Sinusitis paranasal sub akut
2. Rhinosinusitis kronis
3. Meningitis

Diagnosis Kerja
Sinusitis maxilaris sub akut
2.7 Rencana Pemeriksaan
 Skin prick test
 Ige Spesisik
 Darah rutin
 Rontgen SPN posisi Water’s
 CT Scan SPN

9
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
10 Januari 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 15,4 gr % 12-16
LED - <15
3 3
Eritrosit 5,4 x 10 /mm 4,5-6,5
Leukosit 15,6 x 103/mm3 4-11
Hematokrit 47,8 % 37-47
MCV 89 fl 76-96
MCH 28,6 pg 27-32
MCHC 32,2 gr% 31-37
RDW 11,9 % 11,5-50
3 3
Trombosit 232 x 10 /mm 150-450
Tabel 1 : Hasil Pemeriksaan Laboratorium

b. Foto Rontgen Sinusparanasal posisi Waters

Gambar 2. Rontgen SPN

Interpretasi : Perselubungan atau penebalan mukosa dan gambaran air fluid level.

10
2.9 Terapi

1. Non Operatif

-IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i


- Injeksi : Amiosin 1 gr/12j
Citikolin 500 gr/12 jam
Ranitidin 1 amp/12 jam
Dexamethason 1 amp/8 jam
-Oral : Capcam
Flunarizin 1x1
Revacor 2x1

Everison 1x1

2. Operatif (Turbinektomi + Antrostomi)

2.9 Prognosis
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo Ad sanctionam : Dubia ad bonam

2.10 Follow Up
Tangg SOAP Terapi
al
09-1- S/ Nyeri kepala (+) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2017 Nyeri kelopak mata (+)
- Injeksi :
(H +1) Nyeri kuduk (+)
Amiosin 1 gr/12j
Citikolin 500 gr/12 jam
0/TD= 130/80; HR= 96x/menit;
RR=30x/menit T: 36,7C Ranitidin 1 amp/12 jam
Nyeri tekan abdomen (+) Dexamethason 1 amp/8 jam
Kaku kuduk (-)
-Oral : Capcam
A/ Cephalgia ec meningitis Flunarizin 1x1
P/ Darah rutin Revacor 2x1
Eversion 1x1
10-1- S/ Nyeri kepala ( ) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i

11
2017 Nyeri kelopak mata (+) - Injeksi :
(H+2) Nyeri kuduk ( )
Amiosin 1 gr/12j
0/TD= 140/90; HR= 80x/menit; Citikolin 500 gr/12 jam
RR=21x/menit T: 36,8C
Ranitidin 1 amp/12 jam
Kaku kuduk (-)
Dexamethason 1 amp/8 jam
A/ Cephalgia ec meningitis
-Oral : Capcam
P/ pasien dilakukan laparatomi hari ini Flunarizin 1x1
Hb post transfusi PRC 2 bag : 7,8 g%
Revacor 2x1
Eversion 1x1
11-1- S/ Nyeri kepala ( ) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2017 Nyeri retroorbita (+)
- Injeksi :
(H +3) Sulit tidur (+)
BAB (+) BAK (+) Amiosin 1 gr/12j
Citikolin 500 gr/12 jam
0/TD= 130/80; HR= 64x/menit;
RR=21x/menit T: 36,5C Ranitidin 1 amp/12 jam
Dexamethason 1 amp/8 jam
A/ Cephalgia ec meningitis
-Oral :
P/ konsul THT Capcam
Flunarizin 1x1
Revacor 2x1
Eversion 1x1
12/01/ S/ S/ Nyeri kepala ( ) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2017 Nyeri retroorbita ( )
- Injeksi :
BAB (+) BAK (+)
H+4 Amiosin 1 gr/12j
0/TD= 140/80; HR= 78x/menit;
Citikolin 500 gr/12 jam
RR=20x/menit T: 36,7C
Ranitidin 1 amp/12 jam
A/ Konka hipertrofi ec rhinitis alergi + Dexamethason 1 amp/8 jam
sinusitis paranasal sub akut
-Oral :
P/ Senin Turbinektomi + antrostomi Capcam
Flunarizin 1x1
PBJ Revacor 2x1
Eversion 1x1
Tabel 2. Follow Up Pasien

12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,

sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus

paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk

rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga

hidung (Kumar dan Clark, 2005). Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran

pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus

serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus

terutamanya berisi udara (Hilger,1997).

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada

muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.

Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),

terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,

resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan

ostium sinus maksila (Drake,1997).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus

frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,

sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang

13
berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia

8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus

ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Lee, 2008).

2.1.1. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila

disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus

maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad,

2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan

fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah

permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral

rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya

adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah

superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008).

Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2011) dari segi klinik yang perlu

diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat

berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1

dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi

tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah

naik ke atas menyebabkan sinusitis. b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan

komplikasi orbita. c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus,

sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus

14
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid

anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat

menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Gambar 2.1 Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, 2006)

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-

empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan

akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990).

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar

daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang

lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih

lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).

Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm, lebarnya 2.4 cm

dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-

lekuk (Netter, 2006; Mangunkusomo & Soetjipto, 2011). Tidak adanya gambaran

15
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan

adanya infeksi sinus (Rachman,2005).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa

serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini

(Lund, 1997; Mangunkusomo & Soetjipto, 2011). Sinus frontal berdrainase

melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan

infundibulum etmoid (Lee, 2008).

2.1.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat

merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk

sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari

anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior

dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo & Soetjipto, 2011).

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di

antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus

superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di

depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan

dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya

lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis

(Hilger, 1997; Ballenger, 2009).

16
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan

atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan

pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan

Murad, 2004).

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan

lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis

dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Mangunkusomo & Soetjipto,

2011 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan

dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).

2.1.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.

Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya

adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya

bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di

bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus

(Hilger, 1997; Netter, 2006).

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media

dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral

berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah

17
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons

(Ramalinggam, 1990).

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2011) sampai

saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada

yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa,

karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi

sinus paranasal antara lain adalah:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi

sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga

dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan

tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung

dan organ-organ yang dilindungi.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya

18
akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala,

sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai

resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara

dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana

mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia

dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara

teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur

yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran

transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior

yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara

19
tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung

dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara

tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip),

tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam,

1997).

2.3. Klasifikasi Sinusitis

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut

dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu

(Mangunkusomo & Soetjipto, 2011).

Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas

sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik

jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu

infectious atau non-infectious (Sobol, 2011).

Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut

dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi

kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen

terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang

menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe

dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan

sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar

(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

20
2.4. Sinusitis Tipe Dentogen

2.4.1. Definisi

Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya

disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Kumar dan

Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari

mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem

pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat

menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan

proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus

dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi

Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa

antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi.

Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila

tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan

abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan

sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar

gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama

sebagai penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota,

Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila

yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan

mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji

21
Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal

(71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari

gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering

terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh

tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai

sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).

b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan

terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi

(Saragih, 2007).

c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi

dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus

(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan

sinus maksila (Ross, 1999).

e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan

tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).

f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki,

2001).

g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista

radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

22
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat

menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo

dan Soetjipto, 2011).

2.4.4. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-

meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi

sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan

serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh

bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandung zat-zat yang

berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk

bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk

dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan

Soetjipto, 2011).

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya

sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium

sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi

silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang

kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan

retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997).

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena

infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga

jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

23
Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa

sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput

periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama

sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan

mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar

membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus.

Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus

menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila

(Drake, 1997).

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini

berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas

sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem

fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.4.5. Gejala Klinis

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri

kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya

seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan

kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow,

2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri

di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar

dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga

seringkali ada (Sobol,2011).

24
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan

rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis

maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus

yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal

mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen

menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan

nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik

dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk

diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo & Soetjipto, 2011).

Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema,

dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang

terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi

atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal

dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan

menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui

sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda

khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior

dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan

sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain

25
itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana

pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post

nasal drip (Ross, 1999).

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-

scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya

mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.

Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid

level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004).

CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung

dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang

diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-

operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo

& Soetjipto, 2011).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan

mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik

yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus

maksila (Mangunkusomo & Soetjipto, 2011). Kebanyakan sinusitis disebabkan

infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella

catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi

didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk

dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).

26
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding

medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat

kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus

untuk terapi (Mangunkusomo & Soetjipto, 2011).

2.4.7. Terapi

Prinsip terapi :

a. Atasi masalah gigi

b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi

c. Operatif

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut

bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik pilihan

berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah

resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan Amoksisilin-

Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua (Chambers dan Deck, 2009).

Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid

oral dan topikal, pencucian rongga hidung dengan natrium klorida atau

pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris atau koreksi

gangguan gigi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan

sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali

ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson, 2010).

27
Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga

drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc

dapat juga dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus

maksila. Tindakan ini dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk

mengkoneksi sinus maksila dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho

dan Hwang, 2008).

2.4.8. Komplikasi

Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus

paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid,

kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah

selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo &

Soetjipto, 2011). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata tidak

dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus (Hilger,

1997).

Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis

frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila

dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008).

Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak melalui

tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak

dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997).

Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis

kronis dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan

28
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan

kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya

disembuhkan (Ballenger, 2009).

2.4.9. Prognosis

Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan

pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus

membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai

prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).

BAB 4
KESIMPULAN

Sinusitis merupakan suatu peradangan membran mukosa yang dapat

mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal. Kejadian sinusitis umumnya

disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sinusitis sering disebut rhinosinusitis.

Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus maksila, kemudian

etmoidalis, frontalis, dan sfenoidalis. Sinusitis adalah penyakit multifaktorial.

Faktor predisposisi lokal berupa infeksi pada gigi, benda asing, polip, deviasi

septum kavum nasi dan tumor dapat menyebabkan obstruksi ostial yang

berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis

dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis Sedangkan berdasarkan

penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe

dentogen. Keluhan utama pasien berupa hidung tersumbat dan disertai dengan

29
nyeri tekan pada pipi dan ingus purulen, bisa disertai dengan gejala sistemik

seperti demam. Pada sinusitis maksilaris kronis terdapat rasa penuh pada pipi dan

nyeri ketok pada gigi. Dan gejala lainnya adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia,

dan halitosis.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of


otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC, hal; 174, 240-247, 1997.

Ballenger, J.J., 2009. Acute inflammation of the Nose and Face. In: Ballenger, J.J.
and Snow, J.B. (eds.) Otorhinolaryngology-Head and Neck. 15th ed.
Baltimore, Philadelphia: Williams and Wilkins. 125-128

Chambers, H.F.; Deck, D.H., 2009. B- lactam and other cell wall and membrane
active antibiotics. In: Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed. United
States: McGraw Hill. 773-785

Cho, D.; Hwang, P., 2008. Results of endoscopic maxillary mega-antrostomy in


recalcitrant maxillary sinusitis. Am. J. Rhinol 22: 658-662

Drake-Lee, A., 1997. Physiology of the nose and paranasal sinuses. In Scott-
Brown Otolaryngology. 6th ed. London: Butterworth. 126-132

30
Hilger, P.A., 1997. Applied anatomy and physiology of the nose. In: Adams GC,
Boeis LR, Hilger PA Boeis Fundamental of otolaryngology. 6th ed.
Philadephia: W.B. Saunders Co; 1997: 187-195

Hilger, P.A., 1994. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies. Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC. 240-260

Hueston, W.J., 2002. Sinusitis. In: Hueston’s. Respiratory disorder. 3rd ed. USA:
McGraw-Hill. 83-102

Kieff, D.A.; Busaba, N.Y., 2004. Isolated Chronic Maxillary Sinus of Non dental
Origin Does Not Correlate Per Se With Ipsilateral. Intranasal Structural
Abnormalities. In: The Annals of Otology, Rhinology and Laryngology
113: 414

Kumar, P. and Clark, M., 2005. The Special Senses. Clinical Medicine. 6th ed.
Philadelphia : Saunders Elsevier. 1153-1155

Lee, K.J., 2008. The nose and paranasal sinuses. Essential Otolaryngology of
Head and Neck Surgery. 9th ed. United States : McGraw Hill. 365-372

Longhini, A.B.; Branstetter, B.F.; Ferguson, B.J., 2010. Unrecognized


odontogenic maxillary sinusitis: A cause of endoscopic sinus surgery failure.
Am. J. Rhinol Allergy 24: 296-300

Lund, V.J., 1997. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Gleeson
(ed.).Scott-Browns’s Otolaryngology. 6th ed. London: Butterworth. 15-
30

Mangunkusumo E, Soetjipto D, Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,


Restuti RD. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FK UI, hal; 150, 154-155, 145-153.

Mangkusumo, E. dan Rifki, N., 2011. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A. dan
Iskandar, N.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 5. Jakarta: Balai
penerbit FKUI. hal. 120-124

Mansjoer, A., 2001. Sinusitis. Kapita Selekta Kedokteran UI. Edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius. 102-103

Mehra, P. and Murad, H., 2004. Maxillary sinus disease of odontogenic origin.
Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 37. 347-364

31
Netter, F.H., 2006. Anatomy of Paranasal Sinuses. In: Netter, H. (ed.) Atlas of
Human Anatomy. 4th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. 36-50

Rachman, M.D., 2005. Sinus paranasalis dan mastoid. Dalam: Ekayuda, I.


Radiologi diagnostik. Edisi 1. Jakarta: FK-UI. 431-439

Ramalinggam, K.K., 1990. Anatomy ang physiology of nose and paranasal


sinuses. A Short Practice of Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia: WB
Saunders. 241-231

Ross, K., 1999. The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis. Current issues in


Diagnosis and Management. London: The Royal Society of Medicine
Press Round Table Series 67

Saragih, A.R., 2007. Rinosinusitis Dentogen. Dalam: Dentika Dental Journal


12(1). 81-84 Prabhu, S.P.; Padwa, L.; Robson, C.; Rahbar, R., 2009. Dentigerous
cyst associated with a displaced tooth in the maxillary sinus : As unusual
cause of recurrent sinusitis in an adolescent. Pediatr Radiol 39: 1102-1104

Sobol, S.E., 2011. Sinusitis, maxillary, acute, surgical treatment. Available from:
www.emedicine.com. [Accessed 2 April 2011].

Tucker, R. and Schow, R., 2008. Odontogenic Disease of the Maxillary Sinus. In:
Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. London: Mosby Elsevier. 383-395

Wald, E.R., 1990. Rhinitis and acute and chronic sinusitis. Pediatric
Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders. 729-744

32

Anda mungkin juga menyukai