Sinusitis
Sinusitis
PENDAHULUAN
dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan
membran mukosa yang dapat mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011).
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sinusitis
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2011). Sinus paranasal terdiri dari empat pasang
rongga bertulang yang dilapisi oleh mukosa hidung dan epitel kolumnar
bertingkat semu yang bersilia. Rongga udara ini dihubungkan oleh serangkaian
duktus yang mengalir ke dalam rongga hidung (Brunner & Suddarth, 2001).
1
sering terkena sinusitis karena sinus ini merupakan sinus terbesar dan dasarnya
berhubungan dengan dasar akar gigi rahang atas. Klasifikasi secara klinis untuk
sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan
sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau
disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi
pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebab yang tersering
Schow, 2008).
infeksi pada gigi, benda asing, polip, deviasi septum kavum nasi dan tumor dapat
sinusitis maksila, dasar sinus maksila adalah processus alveolaris tempat akar gigi
rahang atas (terutama premolar dua; P2 dan molar satu; M1 rahang atas), sehingga
rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi. Infeksi
gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus atau pembuluh darah dan limfe.
Sinusitis dentogen dapat timbul dari abses periapikal, periodontitis marginal luas
atau apikal kronik, atau setelah ekstraksi gigi (Hilger, 1997). Sinusitis maksila
dapat menimbulkan komplikasi orbita. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi
2
dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, disamping
itu drainase melalui infundibulum yang sempit, dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan
gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh faktor-
faktor predisposisi baik lokal atau sistemik (Mangunkusumo & Soetjipto, 2011).
Keluhan utama pasien berupa hidung tersumbat dan disertai dengan nyeri tekan
pada pipi dan ingus purulen, bisa disertai dengan gejala sistemik seperti demam.
Pada sinusitis maksilaris kronis terdapat rasa penuh pada pipi dan nyeri ketok
pada gigi. Dan gejala lainnya adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, dan halitosis
3
BAB 2
STATUS PASIEN
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : nyeri kepala
4
demam tidak ada. Pasien mempunyai riwayat merokok dan riwayat
5
Oedema : (-)
Anemia : (-)
b. Kepala
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Wajah : Tidak ditemukan kelainan, simetris
Mata : Konjunctiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex cahaya
langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+), pupil
isokor 3 mm
c. Leher
Palpasi : Pembesaran KGB (-), distensi vena jugularis (-), massa (-)
d. Thorax
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi(-),
bentuk dada normal
Palpasi : Fremitus taktil normal
Perkusi : Sonor
Aukultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
e. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung di ICS II linea parasternal
sinistra, Kanan di ICS IV linea parasternal dextra,
kiri di ICS VI linea axilaris anterior.
Auskultasi : BJ I/II normal, bising jantung (-), Gallop (-)
f. Abdomen
Inspeksi : Simetris, perut datar
Palpasi : Soepel
Hepar : Tidak teraba
6
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
g. Kelenjar limfe : Pemeriksaan KGB (-)
h. Ekstremitas : Akral hangat
Superior Inferior
kanan kiri kanan kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -
7
2.5 Status lokalis
8
A B
Keterangan : A. Cavum nasi dextra , B. Cavum nasi Sinistra
Diagnosis Kerja
Sinusitis maxilaris sub akut
2.7 Rencana Pemeriksaan
Skin prick test
Ige Spesisik
Darah rutin
Rontgen SPN posisi Water’s
CT Scan SPN
9
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
10 Januari 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 15,4 gr % 12-16
LED - <15
3 3
Eritrosit 5,4 x 10 /mm 4,5-6,5
Leukosit 15,6 x 103/mm3 4-11
Hematokrit 47,8 % 37-47
MCV 89 fl 76-96
MCH 28,6 pg 27-32
MCHC 32,2 gr% 31-37
RDW 11,9 % 11,5-50
3 3
Trombosit 232 x 10 /mm 150-450
Tabel 1 : Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Interpretasi : Perselubungan atau penebalan mukosa dan gambaran air fluid level.
10
2.9 Terapi
1. Non Operatif
Everison 1x1
2.9 Prognosis
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo Ad sanctionam : Dubia ad bonam
2.10 Follow Up
Tangg SOAP Terapi
al
09-1- S/ Nyeri kepala (+) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2017 Nyeri kelopak mata (+)
- Injeksi :
(H +1) Nyeri kuduk (+)
Amiosin 1 gr/12j
Citikolin 500 gr/12 jam
0/TD= 130/80; HR= 96x/menit;
RR=30x/menit T: 36,7C Ranitidin 1 amp/12 jam
Nyeri tekan abdomen (+) Dexamethason 1 amp/8 jam
Kaku kuduk (-)
-Oral : Capcam
A/ Cephalgia ec meningitis Flunarizin 1x1
P/ Darah rutin Revacor 2x1
Eversion 1x1
10-1- S/ Nyeri kepala ( ) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
11
2017 Nyeri kelopak mata (+) - Injeksi :
(H+2) Nyeri kuduk ( )
Amiosin 1 gr/12j
0/TD= 140/90; HR= 80x/menit; Citikolin 500 gr/12 jam
RR=21x/menit T: 36,8C
Ranitidin 1 amp/12 jam
Kaku kuduk (-)
Dexamethason 1 amp/8 jam
A/ Cephalgia ec meningitis
-Oral : Capcam
P/ pasien dilakukan laparatomi hari ini Flunarizin 1x1
Hb post transfusi PRC 2 bag : 7,8 g%
Revacor 2x1
Eversion 1x1
11-1- S/ Nyeri kepala ( ) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2017 Nyeri retroorbita (+)
- Injeksi :
(H +3) Sulit tidur (+)
BAB (+) BAK (+) Amiosin 1 gr/12j
Citikolin 500 gr/12 jam
0/TD= 130/80; HR= 64x/menit;
RR=21x/menit T: 36,5C Ranitidin 1 amp/12 jam
Dexamethason 1 amp/8 jam
A/ Cephalgia ec meningitis
-Oral :
P/ konsul THT Capcam
Flunarizin 1x1
Revacor 2x1
Eversion 1x1
12/01/ S/ S/ Nyeri kepala ( ) -IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
2017 Nyeri retroorbita ( )
- Injeksi :
BAB (+) BAK (+)
H+4 Amiosin 1 gr/12j
0/TD= 140/80; HR= 78x/menit;
Citikolin 500 gr/12 jam
RR=20x/menit T: 36,7C
Ranitidin 1 amp/12 jam
A/ Konka hipertrofi ec rhinitis alergi + Dexamethason 1 amp/8 jam
sinusitis paranasal sub akut
-Oral :
P/ Senin Turbinektomi + antrostomi Capcam
Flunarizin 1x1
PBJ Revacor 2x1
Eversion 1x1
Tabel 2. Follow Up Pasien
12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung (Kumar dan Clark, 2005). Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran
serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
13
berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Lee, 2008).
disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus
maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad,
2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan
rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2011) dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1
dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah
komplikasi orbita. c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
14
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm, lebarnya 2.4 cm
dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk (Netter, 2006; Mangunkusomo & Soetjipto, 2011). Tidak adanya gambaran
15
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat
merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk
sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior
dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo & Soetjipto, 2011).
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis
16
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
Murad, 2004).
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Mangunkusomo & Soetjipto,
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus
berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah
17
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Ramalinggam, 1990).
saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada
yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa,
sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya
18
akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala,
resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak,
mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara
yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran
transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior
19
tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung
tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip),
tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam,
1997).
dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu
sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik
jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut
kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen
terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang
dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan
sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar
20
2.4. Sinusitis Tipe Dentogen
2.4.1. Definisi
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Kumar dan
Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari
mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem
menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan
antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi.
tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan
abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan
sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar
gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama
yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan
21
Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal
(71.43%).
a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari
gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering
terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh
(Saragih, 2007).
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
2001).
22
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
2.4.4. Patofisiologi
meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi
sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan
serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh
bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
Soetjipto, 2011).
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium
silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang
kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
23
Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa
sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
(Drake, 1997).
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas
sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri
kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya
seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan
kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow,
2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri
di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar
dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga
24
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan
rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis
maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus
yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal
nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik
diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo & Soetjipto, 2011).
Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema,
dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang
terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi
dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui
sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda
khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior
dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan
25
itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana
pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-
scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya
mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.
level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004).
CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung
dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-
mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi
didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk
26
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :
c. Operatif
membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik pilihan
Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua (Chambers dan Deck, 2009).
Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid
oral dan topikal, pencucian rongga hidung dengan natrium klorida atau
pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris atau koreksi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan
27
Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga
drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc
dapat juga dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus
2.4.8. Komplikasi
paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid,
Soetjipto, 2011). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata tidak
dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus (Hilger,
1997).
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008).
Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak melalui
tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak
28
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
2.4.9. Prognosis
membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
BAB 4
KESIMPULAN
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sinusitis sering disebut rhinosinusitis.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus maksila, kemudian
Faktor predisposisi lokal berupa infeksi pada gigi, benda asing, polip, deviasi
septum kavum nasi dan tumor dapat menyebabkan obstruksi ostial yang
penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe
dentogen. Keluhan utama pasien berupa hidung tersumbat dan disertai dengan
29
nyeri tekan pada pipi dan ingus purulen, bisa disertai dengan gejala sistemik
seperti demam. Pada sinusitis maksilaris kronis terdapat rasa penuh pada pipi dan
nyeri ketok pada gigi. Dan gejala lainnya adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia,
dan halitosis.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, J.J., 2009. Acute inflammation of the Nose and Face. In: Ballenger, J.J.
and Snow, J.B. (eds.) Otorhinolaryngology-Head and Neck. 15th ed.
Baltimore, Philadelphia: Williams and Wilkins. 125-128
Chambers, H.F.; Deck, D.H., 2009. B- lactam and other cell wall and membrane
active antibiotics. In: Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed. United
States: McGraw Hill. 773-785
Drake-Lee, A., 1997. Physiology of the nose and paranasal sinuses. In Scott-
Brown Otolaryngology. 6th ed. London: Butterworth. 126-132
30
Hilger, P.A., 1997. Applied anatomy and physiology of the nose. In: Adams GC,
Boeis LR, Hilger PA Boeis Fundamental of otolaryngology. 6th ed.
Philadephia: W.B. Saunders Co; 1997: 187-195
Hilger, P.A., 1994. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies. Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC. 240-260
Hueston, W.J., 2002. Sinusitis. In: Hueston’s. Respiratory disorder. 3rd ed. USA:
McGraw-Hill. 83-102
Kieff, D.A.; Busaba, N.Y., 2004. Isolated Chronic Maxillary Sinus of Non dental
Origin Does Not Correlate Per Se With Ipsilateral. Intranasal Structural
Abnormalities. In: The Annals of Otology, Rhinology and Laryngology
113: 414
Kumar, P. and Clark, M., 2005. The Special Senses. Clinical Medicine. 6th ed.
Philadelphia : Saunders Elsevier. 1153-1155
Lee, K.J., 2008. The nose and paranasal sinuses. Essential Otolaryngology of
Head and Neck Surgery. 9th ed. United States : McGraw Hill. 365-372
Lund, V.J., 1997. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Gleeson
(ed.).Scott-Browns’s Otolaryngology. 6th ed. London: Butterworth. 15-
30
Mangkusumo, E. dan Rifki, N., 2011. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A. dan
Iskandar, N.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 5. Jakarta: Balai
penerbit FKUI. hal. 120-124
Mansjoer, A., 2001. Sinusitis. Kapita Selekta Kedokteran UI. Edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius. 102-103
Mehra, P. and Murad, H., 2004. Maxillary sinus disease of odontogenic origin.
Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 37. 347-364
31
Netter, F.H., 2006. Anatomy of Paranasal Sinuses. In: Netter, H. (ed.) Atlas of
Human Anatomy. 4th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. 36-50
Sobol, S.E., 2011. Sinusitis, maxillary, acute, surgical treatment. Available from:
www.emedicine.com. [Accessed 2 April 2011].
Tucker, R. and Schow, R., 2008. Odontogenic Disease of the Maxillary Sinus. In:
Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. London: Mosby Elsevier. 383-395
Wald, E.R., 1990. Rhinitis and acute and chronic sinusitis. Pediatric
Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders. 729-744
32