Anda di halaman 1dari 3

Metode Jigsaw pada awalnya dikembangkan oleh Elliot Aronson pada tahun 1970 di Austin,

Texas. Sebagai teknik Pembelajaran Kooperatif, ini telah dipelajari oleh sejumlah peneliti di
berbagai tingkatan dan mata pelajaran (Holliday, 2002). Dalam metode Jigsaw setiap siswa
dalam kelompok diberikan materi yang berbeda. Kemudian, semua siswa yang memiliki bagian
materi yang sama dikumpulkan untuk membentuk “kelompok ahli”. Dalam kelompok ahli ini
siswa berdiskusi hingga menguasai materi. Setelah itu, mereka kembali ke kelompok semula
untuk menjelaskan materi kepada yang lain.

Johnson, Johnson dan Holubec (1993) menyatakan bahwa ada lima prinsip strategi Jigsaw:

1) Saling ketergantungan positif. Setiap siswa hendaknya melakukan beberapa upaya untuk
keberhasilan kelompok dengan memberikan kontribusi unik pada upaya bersama.

2) Interaksi primitif tatap muka. Setiap anggota kelompok harus menjelaskan secara lisan
bagaimana menguasai materi atau memecahkan masalah, mengajar yang lain, memeriksa
pemahaman anggota lain, mendiskusikan konsep dan mengaitkan pembelajaran saat ini dengan
pembelajaran sebelumnya.

3) Akuntabilitas individu atas pencapaian kelompok. Ukuran kelompok harus kecil karena
kelompok kecil meningkatkan akuntabilitas individu yang lebih besar. Nantinya guru harus
menguji siswa secara acak dengan meminta salah satu siswa untuk mempresentasikan
kelompoknya secara lisan.

4) Keterampilan interpersonal. Keterampilan sosial merupakan bagian penting dalam mencapai


keberhasilan pembelajaran Jigsaw di kelas. Keterampilan sosial ini meliputi pengambilan
keputusan, kepemimpinan, pembangunan kepercayaan, komunikasi, dan manajemen konflik.

5) Pemrosesan kelompok. Setiap kelompok harus mendiskusikan seberapa baik mereka


mencapai tujuan mereka dan memelihara hubungan kerja yang efektif. Selain itu, mereka harus
mendiskusikan tindakan apa yang bermanfaat dan perilaku apa yang perlu dilanjutkan atau
diubah.

Berikut sepuluh langkah dalam mengimplementasikan Jigsaw di kelas menurut Aronson (2008):

1) Siswa dibagi menjadi 5 sampai 6 orang di setiap kelompok. Kelompok-kelompok ini harus
memiliki kemampuan, ras, jenis kelamin dan etnis yang beragam.

2) Guru menunjuk satu siswa di setiap kelompok untuk menjadi ketua kelompok. Para pemimpin
ini hendaknya menjadi siswa yang paling penting dalam kelompok.

3) Materi dibagi menjadi 5-6 segmen dan dibagikan untuk setiap anggota kelompok.

4) Setiap siswa harus mempelajari bagian materi mereka sendiri


5) Guru memberikan waktu kepada siswa untuk membaca dan memahami bagian materi yang
diberikan.

6) Selanjutnya membentuk kelompok Jigsaw dimana siswa harus berkumpul dengan siswa
dengan materi yang sama. Ini disebut "kelompok ahli". Dalam kelompok ini siswa harus
berdiskusi tentang 30 pokok materi, memecahkan masalah dan berlatih presentasi yang akan
dibuat.

7.) Siswa kembali ke rumah / kelompok jigsaw dan mengajar rekan mereka dalam kelompok
Jigsaw mereka. Anggota lain didorong untuk mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi.

8.) Guru mengapung dari kelompok untuk mengamati proses. Guru boleh turun tangan jika siswa
menemui kesulitan. Jika ada siswa dalam kelompok yang mendominasi diskusi, maka peran
pemimpin yang menanganinya. Guru bisa membisikkan kepada ketua kelompok sampai ketua
kelompok bisa menanganinya sendiri.

9) Terakhir, guru memberikan kuis pada materi agar siswa dapat mempelajari sesuatu daripada
berpikir bahwa itu hanya untuk kesenangan dan permainan.
Aronson, E., Blaney, N., Stephin, C., Sikes, J., & Snapp, M. (1978). The Jigsaw Classroom. Beberly Hills.

Johnson, D. W., Johnson, R. T. & Holubec, E. J. 1994. Cooperation in the classroom (6th ed.)
Edina, MN: Interaction Book Company.

Holliday, D. C. 2002. Jigsaw IV: Using Student/Teacher Concerns To Improve Jigsaw III. ERIC
ED

Anda mungkin juga menyukai