Anda di halaman 1dari 3

Dalam perspektif sejarah, Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) periode

masa; yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia merdeka.

1. Sejarah Hukum Perdata pada Masa Penjajahan Belanda

Indonesia Sebagai negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia ini ialah hukum bangsa
penjajah. Hal yang sama juga untuk hukum perdata. Hukum Perdata yang diberlakukan bangsa Belanda
ini untuk Indonesia telah mengalami proses adopsi dan perjalanan sejarah yang sangat panjang.

Pada awal mulanya, Hukum Perdata Belanda di rancang oleh suatu Panitia yang dibentuk pada tahun
1814 yang diketuai oleh Mr J.M. Kempres. Pada tahun 1816, Kempers menyampaikan mengenai rencana
Code Hukum tersebut pada Pemerintah Belanda yang didasarkan pada Hukum Belanda Kuno dan
dinamakan Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ini ditentang keras oleh P. Th. Nicolai, yaitu anggota
parlemen berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi presiden pengadilan Belgia. Pada tahun 1824
Kempers menjadi presiden pengadilan Belgia.

Penyusunan kodifikasi Code Hukum selanjutnya diserahkan kepada Nicolai. Akibat perubahan tersebut,
dasar dari pembentukan Hukum Perdata Belanda sebagian besar berorientasi pada Code Civil Perancis.
Code civil Perancis ini meresepsi Hukum Romawi, corpus civilis dari Justinianus. Dengan demikian
Hukum Perdata Belanda merupakan kombinasi dari Hukum Kebiasaan atau Hukum Belanda Kuno dan
Code civil Perancis. Pada tahun 1838, kodifikasi hukum perdata Belanda ditetapkan berdasarkan Stb.
838.

Pada tahun 1848, kodifikasi hukum perdata Belanda ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan pada Stb.
1848. Hukum tersebut hanya diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan dipersamkan dengan mereka
(Golongan Tionghoa). Pada tahun 1919, kodifikasi hukum perdata Belanda yang diberlakukan di
Indonesia dipertegas lagi dengan Stb. 1919.

Dalam perjalanannya, bagi orang-orang selain Eropa; baik golongan Timur Asing, golongan Tionghoa dan
bukan Tionghoa mengalami pembedaan di dalam pelaksanaan perundang-undangan di dalam Hukum
Perdata, yaitu :
(1) Melalui Stb. 1855 No. 79 BW dan BvK dengan pengecualian Hukum waris dan Hukum Kekeluargaan
dinyatakan berlaku untuk semua orang Timur Asing;

(2) Pada tahun 1917 diadakan pembedaan orang Tionghoa dan Non Tionghoa dengan alasan karena bagi
Tionghoa Hukum Eropa yang berlaku saat itu dapat diperluas;

(3) Sejak tanggal 1 September 1925 ini untuk bangsa Tionghoa di wilayah Indonesia diberlakukan Stb.
1917 No. 129, yaitu seluruh hak Privat Eropa berlaku bagi bangsa Tionghoa kecuali pasal-pasal mengenai
Buegerlijke Stand, upacara-upacara sebelum berlangsung pernikahan (bagian 2 dan 3 titel 4 Buku 1 BW)
dan bagi bangsa Tionghoa diadakan BS tersendiri; serta peraturan tersendiri mengenai adopsi anak di
dalam bagian 2 Stb. 1917 No. 129;

(4) Bagi golongan Timur Asing (Arab, India dan lain-lain) pada tanggal 1 Maret 1925 berdasarkan Stb.
Tahun 1924 No. 556 pada pokoknya tunduk pada hukum privat Eropa, kecuali hukum waris dan hukum
kekeluargaan (tunduk pada hukum mereka sendiri, kecuali mengenai pembuatan surat wasiat maka
berlaku hukum BW);

(5) Pada tahun 1926 di dalam BW ada peraturan baru mengenai perjanjian perburuhan yang hanya
berlaku bagi golongan Eropa. Untuk golongan Indonesia dan Timur Asing, diberlakukan peraturan yang
lama yaitu pasal-pasal 1601 sampai dengan pasal 1603 BW.

2. Sejarah Hukum Perdata Sejak Kemerdekaan Indonesia

Hukum Perdata yang diberlakukan di Indonesia didasarkan pada Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945,
yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan
peraturan baru menurut UUD termasuk juga di dalamnya Hukum Perdata Belanda yang berlaku di
Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum di bidang hukum perdata.

Menurut Sudikno Mertokusumo, keberlakuan hukum perdata belanda ini di Indonesia berdasarkan pada
beberapa pertimbangan, antara lain :

(1) Para ahli tidak pernah mempersoalkan secara lebih mendalam mengenai mengapa BW masih berlaku
di Indonesia. Tatanan Hukum Indonesia hendaknya tidak dilihat sebagai kelanjutan dari tata hukum
Belanda, akan tetapi sebagai tata Hukum Nasional.

(2) Sepanjang hukum tersebut (BW) tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, peraturan
mengenai perundang-undangan serta dibutuhkan.
(3) Apabila hukum ini bertentangan, maka secara otomatis tidak berlaku lagi.

Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Hukum Perdata. Yang Menerbitkan Prestasi Pustaka : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai