Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

PENGKAJIAN KESEHATAN
PADA SISTEM IMUNOLOGI

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Pengkajian Kesehatan Pada Keperawatan Dewasa
Dosen : Dr. Untung Sujianto, S.Kp, M.Kes

Oleh Kelompok II :
Ainul Yakin Salam (22020115410012)
Noor Fitriyani (22020115410013)
Nia Firdianty Dwiatmojo (22020115410014)
Agus Putradana (22020115410015)
Niken Setyaningrum (22020115410018)
Sigit Harun (22020115410070)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab atas rahmat dan
hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini berjudul
Pengkajian Kesehatan Pada Sistem Imunologi.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Untung Sujianto,
S.Kp, M.Kes selaku koordinator mata kuliah Pengkajian Kesehatan Pada
Keperawatan Dewasa yang telah memberikan tugas ini, sehingga kami memiliki
kesempatan untuk menambah wawasan tentang Pengkajian Kesehatan Pada
Sistem Imunologi.
Kami sangat menyadari dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak
kesalahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik maupun sarannya. Sehingga
di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.

Semarang, Februari 2016

Tim Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

A. BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Tujuan Penulisan

B. BAB II Pengkajian Umum Sistem Imunologi


1. Anatomi Fisiologi
2. Imunitas
3. Pengkajian

C. BAB III Pembahasan

D. BAB IV Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem pertahanan tubuh manusia yang kompleks dalam mencegah
serangan terhadap penyakit sangat kompleks. Sistem pertahanan pada
manusia terdiri dari mekanisme dan respon non spesifik serta respon imun
spesifik. Imunocompetence pada sistem imun dalam tubuh dapat
mengidentifikasi serta menginaktifkan atau menghancurkan substansi asing.
Bila sistem imun tidak responsive, maka dapat terjadi infeksi berat, penyakit
immunodefisiensi serta keganasan. Bila sistem imun bereaksi berlebihan, akan
terjadi gangguan – gangguan hipersensitivitas, seperti alergi dan penyakit
autoimmun lainnya.
Menetapkan masalah keperawatan yang terkait dengan sistem imun,
maka perawat perlu melakukan pengkajian sistem imun yang sistematis,
mencakup anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik.
Pengkajian keperawatan harus dilakukan secara komprehensif dikarenakan
sangat penting dalam menentukan penegakan diagnosis keperawatan.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum :
Memberikan gambaran tentang pengkajian sistem imunologi pada
asuhan keperawatan dewasa.
2. Tujuan Khusus :
a. Memberikan gambaran tentang konsep pada sitem imun.
b. Memberikan gambaran tentang anamnesa yang diperlukan pada
sistem imun.
c. Memberikan gambaran tentang pemeriksaan fisik yang diperlukan
pada sistem imun.
d. Memberikan gambaran tentang pemeriksaan diagnostik pada
sistem imun.
BAB II
PENGKAJIAN UMUM SISTEM IMUNOLOGI
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sistem imun adalah serangkaian molekul, sel dan organ yang bekerja sama
dalam mempertahankan tubuh dari serangan luar yang dapat mengakibatkan
penyakit, seperti bakteri, jamur dan virus.
Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan
terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk
virus, bakteri, protozoa dan parasit..
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh
luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme.
Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh
dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel
yang teraberasi menjadi tumor. Jika sistem kekebalan bekerja dengan baik,
maka dapat melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Namun jika sistem
kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang,
sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam
dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan
pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah
dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
Sistem imunologi terdiri dari sel darah khusus (limfosit dan monosit) dan
struktur khusus, termasuk diantaranya nodus limfe, spleen, thymus, bone
marrow, tonsil, tonsil, adenoid, dan appendiks. Darah merupakan bagian
terpenting dari sistem proteksi ini. Meskipun darah dan sistem imun memiliki
perbedaan, keduanya pada dasarnya saling berhubungan karena sel – selnya
memiliki asalnya yang sama, yaitu sumsum tulang belakang. Selain itu sistem
imun menggunakan aliran darah untuk mentransport komponen sistem imun
ke tempat invasinya.
1. Nodus Limfe
Sistem ini terdiri atas pembuluh limfatik yang terdifusi di seluruh
tubuh, nodus limfa yang terdapat di beberapa tempat tertentu pada
pembuluh limfatik, limfosit yang diproduksi oleh nodus limfa dan
berpatroli di sepanjang pembuluh limfatik, serta cairan getah bening
tempat limfosit berenang di dalamnya, yang bersirkulasi dalam pembuluh
limfatik.
Cara kerja sistem ini adalah sebagai berikut: Cairan getah bening
dalam pembuluh limfatik menyebar di seluruh tubuh dan berkontak
dengan jaringan yang berada di sekitar pembuluh limfatik kapiler. Cairan
getah bening yang kembali ke pembuluh limfatik sesaat setelah melaku-
kan kontak ini membawa serta informasi mengenai jaringan tadi.
Informasi ini diteruskan ke nodus limfatik terdekat pada pembuluh
limfatik. Jika pada jaringan mulai merebak permusuhan, pengetahuan ini
akan diteruskan ke nodus limfa melalui cairan getah bening.
2. Lien (Limpa)
a. Anatomi Lien
Lien/spleen/limfa merupakan organ RES (reticuloendothelial system)
yang terletak di cavum abdomen pada regio hipokondrium/
hipokondriaka sinistra. Lien terletak sepanjang costa IX, X, dan XI
sinistra dan ekstremitas inferiornya berjalan kedepan sampai sejauh
linea aksilaris media. Lien juga merupakan ogan intra peritonial.
b. Morfologi Lien
Lien mempunyai 2 facies, facies diaphragmatica yang berbentuk
konvex dan facies viscelais yang berbentuk lebih datar. Facies
diaphragmatica lin berhadapan dengan diphragma dan costa IX-XI
sinistra. Sedangkan facies viceralis memiliki 3 facies, yaitu facies
renalis yang berhadapan dengan ren sinistra, facies gastric yang
berhadapan dengan gaster, dan facies colica yang berhadapan dengan
flexura coli sinistra.
c. Vaskularisasi Lien
Lien di vaskularisasi oleh arteri renalis yang merupakan cabang dari
truncus coeliacus/tripel hallery bersama arteri hepatica communis dan
arteri gastric sinistra. Tripel hallery sendiri merupakan cabang dari aorta
abdominalis yang di cbangkan setinngi vertebra thoracal XII –vertebra
lumbal I
d. Innervasi Lien
Lien diinervasi oleh persyarafan simpatis nervus sympaticus sngmen
thoracal VI – X dan persarafan parasimpatisnya oleh nervus fagus.
Fisiologis Lien : Organ limfoid terbesar, tempat pembentukan sel darah
saat fetus, tempat perombakan HB. Sewaktu janin limpa atau lien
membentuk sel darah merah dan mungkin pada orang dewasa juga
masih mengerjakannya apabila fungsi sum-sum tulang rusak. Sel darah
merah yang telah rusak di pisahkan dari sirkulasi. Limpa juga
menghasilkan limfosit yang berfungsi juga dalam perlindungan
terhadap penyakit dan mengasilkan zat-zat antibodi. Pada seluruh
jaringan dan organ-organ tubuh terdapat sel-sel tertentu yang dapat
memakan (fagositose) benda- benda asing dan bakteri atau virus.
Mereka terutama berpusat dalam kelenjar limfe, lien, hati, dan sum-sum
tulang belakang. Sel-sel ini memiliki kemampuan besar untuk
berkembng biak dan bertalian dengan limfosit dan dengan organ-organ
pembentuk darah yang bertugas dalam perlindungan tubuh terhadap
infeksi.
3. Sumsum tulang
Sumsum tulang (bahasa Inggris: bone marrow, medulla ossea)
adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior tulang yang
merupakan tempat produksi sebagian besar sel darah baru. Ada dua jenis
sumsum tulang:
a. Sumsum merah, dikenal juga sebagai jaringan myeloid. Sel darah
merah, keping darah, dan sebagian besar sel darah putih
dihasilkan dari sumsum merah.
b. Sumsum kuning. Sumsum kuning menghasilkan sel darah putih dan
warnanya ditimbulkan oleh sel-sel lemak yang banyak
dikandungnya.
Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung banyak
pembuluh dan kapiler darah. Sewaktu lahir, semua sumsum tulang
adalah sumsum merah. Seiring dengan pertumbuhan, semakin banyak
yang berubah menjadi sumsum kuning. Orang dewasa memiliki rata-rata
2,6 kg sumsum tulang yang sekitar setengahnya adalah sumsum merah.
Sumsum merah ditemukan terutama pada tulang pipih seperti tulang
pinggul, tulang dada, tengkorak, tulang rusuk, tulang punggung,
tulang belikat, dan pada bagian lunak di ujung tulang panjang femur
dan humerus. Sumsum kuning ditemukan pada rongga interior bagian
tengah tulang panjang. Pada keadaan sewaktu tubuh kehilangan darah
yang sangat banyak, sumsum kuning dapat diubah kembali menjadi
sumsum merah untuk meningkatkan produksi sel darah.
4. Tymus
Pada masa kanak-kanak, tymus merupakan organ yang mengisi
sebagian besar mediastinum superius. Tymus terdiri dari jaringan
lymphoid berbentuk agak gepeng, mempunyai 2 lobi dan tampak
berbenjol-benjol. Letaknya di belakang os sternum, tetapi pada bayi baru
lahir, dapat mencapai daerah leher melewati aperturthoracis superior
sehingga terdapat di depan pembuluh darah besar. Pada anak yang lebih
besar dan pubertas, thymus akan mengecil. Pada orang dewasa hamper
tidak dapat ditemukan lagi kecuali sebagai nodulus kecil terbungkus
jaringan ikat jarang. Thymus mendapat  darah dari arteria thyroidea
inferior dan arteria thoracica interna. Fungsi thymus adalah membentuk T-
lymphocytes yang berhubungan dengan proses imunologi

5. Cincin Waldeyer
Merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian
terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-
kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, dibawah mukosa
dinding posterior faring dan dekat orifisium tubaeustachius.
6. GALT (Gutassosiated lymphoid tissue)
Sistem kekebalan saluran pencernaan yang sering disebut sebagai GALT
(Gutassosiated lymphoid tissue) dan bekerja untuk melindungi tubuh dari
invasi. Para saluran pencernaan merupakan komponen penting dari
tubuh sistem kekebalan tubuh. Bahkan, usus memiliki massa terbesar
dari jaringan limfoid dalam tubuh manusia. The GALT terdiri dari
beberapa jenis jaringan limfoid yang menyimpan sel-sel kekebalan tubuh,
seperti T dan limfosit B, yang melakukan serangan dan membela terhadap
patogen. Penelitian baru menunjukkan bahwa GALT mungkin terus
menjadi situs utama HIV kegiatan, bahkan jika terapi obat telah
mengurangi jumlah HIV dalam darah perifer.
7. BALT (bronchial-associated lymphoid tissue)
Bronkus-Associated limfoid Tissue (BALT) adalah struktur
limfoid yang dapat ditemukan di daerah peribronchial, perivaskular dan
interstisial paru-paru. BALT terdiri dari agregat limfosit yang menonjol,
sering ditandai oleh proliferasi sel B dan germinal center, didukung oleh
jaringan dendritik folikular sel pusat. Sel T dan sel dendritik Interfollicular
terletak di bawah epitel folikel terkait (FAE) dan terletak di sekitar daerah
sel B  . Konstituen penting lainnya dari jaringan limfoid khusus adalah
limfatik dan venula endotel tinggi (HEVs) mengungkapkan vaskular
seluler-molekul adhesi-1 (VCAM-1).

B. IMUNITAS
1. Definisi
Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk melawan invasi organisme
dan toksin, sekaligus mencegah kerusakan jaringan dan organ.
Untuk melaksanakan fungsi ini secara efisien, sistem imun menggunakan
3 (tiga) strategi dasar, yaitu :
a. Barier fisik dan kimiawi terhadap infeksi.
b. Respon peradangan.
c. Respon kekebalan.
Barier fisik, seperti kulit dan membran mukosa mencegah invasi
hampir semua organisme ke dalam tubuh. Organisme yang melakukan
penetrasi pada barier yang pertama akan mencetuskan respon peradangan
dan kekebalan. Kedua respon meliputi sel–sel (semua variasi dari sel
primitif dalam sumsum tulang belakang).
2. Tipe Imunitas
Pertahanan atau host terhadap substansi asing adalah sama.
Sebaliknya, mikroorganisme khusus atau molekul dapat mengaktivasi
respon imun spesifik dan mengawali keterlibatan sekumpulan sel – sel
imun. Respon spesifik ini diklasifikasikan sebagai kekebalan humoral
atau cell-mediated. Respon ini diproduksi oleh Lymphocytes (sel B dan
sel T).
a. Imunitas Humoral
Pada tahapan ini terjadi respon, adanya invasi antigen yang
menyebabkan sel B membelah dan berdifferensite ke sel plasma.
Akibatnya setiap sel plasma memproduksi dan mensekresi sejumlah
besar antigen spesifik imunoglobulin (Ig) ke dalam aliran darah.
Immunoglobulin terdiri dari 5 tipe – IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM.
Setiap tipe melaksanakan fungsi yang khusus dan berbeda :
1) IgA, IgG, dan IgM melindungi terhadap invasi bakteri dan virus.
2) IgD bertindak sebagai reseptor antigen dari sel B.
3) IgE menyebabkan respon alergi.
b. Imunitas Cell-mediated
Kekebalan jenis ini melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus,
dan jamur. Juga
1. BONE MARROW 2. STEM CELLS 3. THYMUS
The site in the body These cells have the An organ located in the
where most of the cells
potential to chest which instructs
of the immune system differentiate and immature lymphocytes to
are produced as mature into the become mature T-
immature or stem cells.
different cells of the lymphocytes.
immune system.
4. B-LYMPHOCYTES 5. TLYMPHOCYTES 6. T-SUPPRESSOR
These lymphocytes These lymphocytes LYMPHOCYTES
arise in the bone arise in the bone These specialized
marrow and marrow but migrate to lymphocytes "suppress" T-
differentiate into the thymus where they helper lymphocytes and
plasma cells which in are instructed to thereby turn off the
turn produce mature into T- immune response.
immunoglobulins lymphocytes.
(antibodies).
7. T-HELPER 8. PLASMA CELLS 9.IMMUNOGLOBULINS
LYMPHOCYTES These cells develop These highly specialized
These specialized from B-lymphocytes protein molecules, also
lymphocytes "help" and are the cells that known as antibodies, fit
other T-lymphocytes make foreign antigens, such as
and B-lymphocytes to immunoglobulins. polio, like a lock and key.
perform their Their variety is so
functions. extensive that they can be
produced to match all
possible microorganisms
in our environment.

C. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan Sekarang.
Keluhan umum yang dialami oleh pasien yang mengalami
gangguan imunologi termasuk diantaranya fatigue atau kekurangan energi,
kepala terasa ringan, sering mengalami memar, dan penyembuhan luka
yang lambat.
Ajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail
tentang penyakit pasien, seperti :
a. Apakah anda menyadari adanya pembesaran nodus limpha?
b. Apakah anda pernah mengalami kelemahan atau nyeri sendi? Jika iya,
Kapan anda pertama kali merasakan keluhan tersebut? Apakah hal itu
menimpa sebagain dari tubuh anda atau keduanya?
c. Pernahkah dalam waktu dekat ini anda menderita rash, perdarahan
abnormal, atau slow healing sore?
d. Pernahkah anda mengalami gangguan penglihatan, demam, atau
perubahan dalam pola eliminasi?
2. Riwayat Kesehatan Dahulu.
Eksplorasi penyakit utama yang pernah diderita oleh pasien,
penyakit ringan yang terjadi secara berulang, kecelakaan atau cedera,
tindakan operasi, dan alergi. Tanyakan jika ia pernah mengalami tindakan/
prosedur yang berdampak terhadap sistem imun, seperti transfusi darah
atau transplantasi organ
3. Riwayat Keluarga dan Sosial
Klarifikasi jika pasien memiliki riwayat kanker dalam keluarga
atau gangguan hematologi atau imun. Tanyakan tentang lingkungan
dimana ia bekerja dan tinggal untuk membantu menentukan jika ia
terpapar oleh bahan kimia berbahaya atau lainnya.
4. Pemeriksaan Fisik
Efek dari gangguan sistem imun biasanya sulit untuk diidentifikasi
dan dapat berdampak pada semua sistem tubuh. Berikan perhatian khusus
pada kulit, rambut, kuku, dan membran mukosa.
a. Inspeksi
1) Observasi terhadap pallor, cyanosis, dan jaundice. Juga cek
adanya erithema yang mengindikasi inflamasi lokal dan plethora.
2) Evaluasi integritas kulit. Catat tanda dan gejala inflamasi atau
infeksi, seperti kemerahan, pembengkakan, panas, tenderness,
penyembuhan luka yang lama, drainage luka, induration
(pengerasan jaringan) dan lesi.
3) Cek adanya rash dan catat distribusinya
4) Observasi tekstur dan distribusi rambut, catat adanya alopecia.
5) Inspeksi kuku terhadap warna, tekstur, longitudinal striations,
onycholysis, dan clubbing.
6) Inspeksi membran mukosa oral terhadap plak, lesi, oedem gusi,
kemerahan, dan perdarahan.
7) Inspeksi area dimana pasien melaporkan pembengkakan kelenjar
atau ‘lump’ terutama abnormalitas warna dan pembesaran nodus
lymp yang visible.
8) Observasi respiratory rate, ritme, dan energi yang dikeluarkan
saat melakukan upaya bernafas. Catat posisi pasien saat bernafas.
9) Kaji sirkulasi perifer. Inspeksi adanya Raynaud’s phenomenon
(vasospasme arteriol pada jari tangan & kaki –terkadang teling
dan hidung- secara intermitten).
10)Inpeksi inflamasi pada anus atau kerusakan permukaan mukosa.
b. Palpasi
1) Palpasi nadi perifer, dimana seharusnya simetris dan regular.
2) Palpasi abdomen, identifikasi adanya pembesaran organ dan
tenderness.
3) Palpasi joint, cek pembengkakan, tenderness, dan nyeri.
4) Palpasi nodus lymph superfisial di area kepala, leher, axilla,
epitrochlear, inguinal dan popliteal. Jika saat palpasi reveals
pembesaran nodus atau kelainan lain, catat lokasi, ukuran, bentuk,
permukaan, konsistensi, kesimetrisan, mobilitas, warna,
tenderness, suhu, pulsasi, dan vaskularisasi dari nodus.
c. Perkusi
Perkusi anterior, lateral, dan posterior dari thorax. Bandingkan satu
sisi dengan sisi lainnya. Bunyi dull mengindikasikan adanya
konsolidasi yang biasa terjadi pada pneumonia. Hiperesonan
(meningkatnya bunyi perkusi) dapat dihasilkan oleh udara yang
terjebak seperti pada asthma bronchial.
d. Auskultasi
1) Auskultasi diatas paru untuk mengecek suara tambahan yang
abnormal. Wheezing bisa ditimbulkan oleh asthma atau respon
alergi. Crackles disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan
seperti pneumonia.
2) Auskultasi bunyi jantung diatas precordium. Auskultasi normal
reveals hanya bunyi jantung 1 dan 2.
3) Auskultasi abdomen untuk bunyi bowel. Gangguan autoimmun
yang menyebabkan diare, bunyi bowel meningkat. Scleroderma
(pengerasan dan penebalan kuit dengan degenerasi jaringan
konektif) dan gangguan autoimmun lainnya yang menyebabkan
konstipasi, bunyi bowel menurun.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Aglutinin, Febrile/Cold
Nilai normal :
1) Febrile aglitinin : tidak ada penggumpalan pada titer ≤ 1:180
2) Cold aglutinin : tidak ada penggumpalan pada titer ≤ 1:16
Rasional :
Febrile/cold aglutini adalah antibodi yang menyebabkan
agregasi sel darah merah dalam suhu panas atau dingin. Hal ini
dipercaya disebabkan oleh organisme infeksus yang mempunyai
grup antigenik sama dengan beberapa yang diteui oleh RBC.
Normalnya, aglutinin terjadi pada konsentrasi serum kurang dari
1:30 pengenceran
3) Febrile aglutinin terjadi pada infeksi salmonella, ricketsia,
bruselosis dan tularemia, neoplasma/leukimia.
4) Cold aglutinin terjadi pada infeksi mycoplasma pneumonia,
infulensa mononukleosis, RA, limpoma, hemolitik anemia.
Faktor yang mempengaruhi :
Faktor yang mempengaruhi teter aglutinin adalah beberapa
antibiotik (penicilin dan sevalosporin) yang mempengaruhi cold
aglutinin.
Implikasi keperawatan :
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan pada pasien bahwa pemeriksaan tidak memerlukan
waktu yang lama. Pengaturan temperatur penting untuk
pemeriksaan ini; untuk col aglutinin tube dihangatkan sampai suhu
370 c sebelum diisi dengan spesimen. Untuk febrile aglutinin, tube
di dinginkan.
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
Pastikan spesimen dikirimkan segera ke laboratorium sehingga
tidak terjadi homolisis. Lakukan pendinginan pada cold aglutinin
dan pemanasan untuk febril aglitinin. Pastikan pasien tidak terpapar
pada temperatur abnormal, yang akan mempengaruhi hasil tes.
b. Acquired immunodeficiency syndrome AIDS serology (AIDS
screening, HIV antibody tes, western blot tes untuk HIV dan
antibody, ELISA untuk HIV dan antibody)
Tipe tes : darah yang didapat dari pungsi vena sebanyak 7 ml
Nilai normal : tidak ada HIV antigen atau antibodi
Rasional :
AIDS serologi tes digunakan untuk mendeteksi antibodi HIV, virus
yang menyebabkan AIDS. HIV diketahui sebagai Human T-
lyphotropic virus tipe III (HTLV-III) atau Lymphadenopathy-
asociated virus (LAV).
Karena dampak sosial dan medis tes positif HIV antibodi, hasil tes
dan interpretasi harus akurat. Individu yang terinveksi HIV setelah
EIA screening positif diulang dan tes lain (western blot atau IFA)
untuk memvalidasi hasil positif.
ELISA untuk tes antibodi HIV dalam serum atau plasma karena ini
tidak mendeteksi antigen virus, sehingga tidak dapat mendeteksi
sebelum antibodi tebentuk. Sensitivitas ELISA tes berkisar 99% untuk
darah dari orang terinfekasi HIV 12 minggu atau lebih. Kemungkinan
false negatif bila infeksi terjadi pada minggu pertama.
P24 antigen capture asay dapat mendeteksi lebih cepat dari 2-6
minggu setelah infeksi
Faktor yang mempengaruhi hasil serologi AIDS:
1) False positif Autoimun disease, limpoploriferatif disease, leukimia,
limpoma, sipilis, alkoholik
2) False negatif pada masa awal inkubasi atau akhir AIDS
Implikasi keperawatan :
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan pada pasien bahwa pemeriksaan tidak memerlukan
waktu yang lama. Ikuti pentunjuk institusi untuk menjelaskan
kerahasiaan dan informed consent. Kebanyakan pasien akan cemas
saat tes, pertahankan penjelasan yang tidak menghakimi dan
berikan waktu pada klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Perhatikan universal precaution untuk badan dan darah, pakai
sarung tangan saat mengambil darah. Sarung tangan yang robek
memungkinkan sebagai temap masuk virus.
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
Ikuti kebijakan institusi untuk menyampaikan hasil tes. Hasil tidak
diberikan lewat telpon
Jika hasil tes positif, jelaskan pada pasien bahwa
dimungkinkan akibat paparan dari virus dalam tubuh. Hasil positif
tidak mengindikasikan pasien terjangkit AIDS karena tidak semua
pasien dengan antibodi positif diikuti dengan AIDS

Kaji pasien terhadap gejala AIDS seperti demam,


kelelahan, kehilangan berat badan, anoreksia, diare, pembengkakan
kelenjar leher.
Minta klien untuk mengidentifikasi kontak seksual yang
memungkinkan mereka untuk diinformasikan dan di tes. Pastikan
klien memahami jika tida menggunakan proteksi saat hubungan
seksual dengan pasangannya akan menempatkan pasangannya pada
reiko tinggi HIV.
c. Anticardiolipin antibody (aCL, ACA)
Tipe tes : darah 5-7 ml dari pungsi vena
Nilai normal
1) IgG anticardiolipin antibodi <23 g/L
2) IgM anticardiolipin antibodi <11mg/L
Rasional :
Antifoffolipid antibodi termasuk ACAs dan lupus
antikoagulan. ACAs (IgG dan IgM) didapatkan sekitar 40% pada
pasien dengan SLE. Dinamakan lupus antikoagulan, karena
diperlihtakan > 75% pasien dengan SLE dan dapat sebagai
antikoagulan untuk memperpanjang fosfolipid dependen
koagulasi tes (PTT). Meskipun demikian ini tidak diasosiasikan
dengan kondisi terjadinya perdarahan. Pasien dengan SLE dengan
ACAs positif dan lupus antikoagulan beresiko tinggi untuk
membentuk antifosfolipid antibodi sindrom. Manifestasi klinik
sindrom ini adalah: trombosis arteri dan vena, neuropsikiatrik
disease, abortus spontan rekuren, trombositopenia. Stroke pada
usia dewasa muda dapat dihubungkan dengan peningkatan level
antibodi ini. Kedua antibodi ini bisa didapatkan pada drug induce
lupus, pada non-outoimune disease seperti sipilis dan infeksi akut
dan proses penuaan normal.
Faktor yang mempengaruhi :
1) False positif pada pasien dengan infeksi sipilis, terjadi cross
reaksi dengan radiolabel antibodi yang digunakan dalam RIA
atau antibodi yang digunakan pada ELISA.
2) Fase transisi ACAs dapat terjadi pada pasien dengan infeksi,
AIDS, inflamasi, outoimun disease atau kanker
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
d. Aldolase
Tipe tes : darah yang didapat dari vena pungsi sebanyak 7 ml
Nilai normal :
Dewasa : 3.0 – 8.2 Sibley-Lehninger U/dl atau 22 – 59 mU
dalam suhu 370c (SI unit)
Rasional :
Aldolase adalah enzim yang digunakan dalam glikolisis glikosa
sama dengan enzim aspartat amino transferase (AST) dan CPK.
Aldolase ada dibanyak jaringan tubuh. Tes aldolase banyak digunakan
untuk mengidentifikasi muscular/hepatoseluler injuri atau destruksi.
Aldolase meningkat pada muscular atropi, dermatomyositis dan
polimyositis, proses gangrene, trauma muskulus, muscular infeksi,
hepatitis kronik, obstruktif jaundice, sirosis hepar. Aldolase normal
pada neurology disease seperti poliomyelitis, mistenia gravis, multiple
sclerosis.
Faktor yang mempengaruhi
Hasil tes diantaranya injeksi intrmuskuler sebelum tes
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan pada pasien bahwa pemeriksaan tidak memerlukan
waktu yang lama. Hindari pemberian injeksi intra muskuler
karena akan meningkatkan level serum aldolase.
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
e. Antimyocardial antibody (AMA)
Tipe tes : darah vena
Nilai normal : negative (jika positif, serum diencerkan)
Rasional
AMA tes digunakan untuk mendeteksi outoumun yang
menyebabkan injuri dan penyakit pada miokardial: penyakit jantung
rematik, cardiomyopati, sindrom post torakotomi, post myocardial
infark.
Tes ini juga tidak hanya untuk outoimun tetapi juga untuk
monitoring respon treatmen. Penelitian menunjukan adanya serum
antibody termasuk komplemen dalam area lesi. Antimyocardial
antibody didapatkan pada 20%-40% pada pasien post myocardial atau
infark myocardial (dressens sindrom). AMA juga mendeteksi
cardiomyopati meskipun peran ini pada akhirnya tidak diketahui.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama.
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
f. Antinuclear antibody (ANA)
Tipe tes : darah vena pungsi 7 ml
Nilai normal : titer < 1:20
Rasional
Aouto antibody diarahkan kepada bahan inti sel lain (anti nuclear
antibody) atau material sitoplasma (anticytoplasmic antibody). ANA
digunakan untuk diagnosa bermacam-macam penyakit outoimun,
tetapi yang pokok adalah untuk screening SLE; tes serum lain harus
untuk konfirmasi diagnosa karena penyakit rematik lain (scleroderma,
RA) dihubungkan juga dengan ANA.
False negative pada 5% pasien SLE. Hubungan antara titer
peningkatan ANA tes dengan beratnya penyakit adalah proporsional.
Faktor yang mempengaruhi
1) False positif pada pengabatan dengan klorotiazid, grizeofulvin,
hidralazin, penicilin, procainamid, dan obat lain.
2) False negatif pada pengobatan dengan steroid.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama.
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
Indikasikan dalam hasil laboratorium adanya pengaruh obat-
obatan. Karena pasien ini selalu dalam kondisi imunocomprom.
Instruksikan pada pasien dengan penyakit autoimun untuk cek
tanda infeksi pada tempat vena pungsi.
g. Complement assay
Tipe tes : darah vena pungsi 7 ml
Nilai normal
1) Total komplemen 75 – 160 U/ml atau 75 – 160 U/L (SI unit).
2) C3 : 55 – 120 mg/dl atau 0.55 – 1.20 gr/L (SI unit).
3) C4 : 20 – 50 mg/dl atau 0.20 – 0.50 g/L (SI unit)
Rasional
Pengukuran komplemen digunakan terutama untuk
mendiagnosa angioedema dan monitor aktifitas penyakit pada pasien
SLE nefritis, membranoproliferatif nefritis, post strepytokokal
nefritis, dan penyakit lain yang diperantarai imun. Serum
komplemen adalah kelompok protein globulin yang sebagian adalah
enzim. Enzim ini memfasilitasi respon imunologik dan inflamasi.
Sistem komplemen merusak sel asing dan mengisolasi antigen asing.
Total komplemen terkadang di beri label CH50, terbuat dari 9 mayor
komponen: dar C1 sampai C9. Aktifasi komplemen klasik di mulai
ketika IgM atau IgG antibodi terikat dengan C1q, sub komplemen
dari C1. C1 mengaktifkan C4 yang mengakitifkan C2 dan
selanjutnya sampai C9.
Satu diaktifkan, komplemen meningkatkan permiabilitas
vaskuler, antibodi dan WBC dikrimkan dari daerah ke area
imun/antigen komplek. Beberapa komplemen meningkatkan
kemotaktik, pagositosis, ikatan imun antibodi ke antigen.
C3 dan C4 komponen dapat dikuantitatifkan oleh penghitungan
dengan pengukuran imunologik langsung. C3 mengambil peran
mayor dari total komplemen. Kekurangan komplemen dapat
kongenital seperti pada angioedema herediter, penyakit yang
dihubungkan dengan peningkatan antibodi/antigen (serum sicknes,
SLE, penolakan transplantasi ginjal, beberapa bentuk
glomerulonefritis).
Komponen komplemen naik mengikuti onset macam-macam
inflamasi kronik atau kerusakan jaringan akut.
Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi level C3 adalah suhu ruangan. Jika
ditinggal dalam suhu kamar lebih dari 1 jam level komplemen
menjadi rendah. Hal ini mengharuskan pengiriman sampel segera,
dan dimasukan dalam lemari pendingin.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
h. C-reactive protein (CRP)
Tipe tes : darah 7 ml dengan pungsi vena periver
Nilai normal : <0.8 mg/dl
Rasional
C-reaktif protein (CRP) adalah non spesifik, reaktan fase akut
yang digunakan untuk mendiagnosa infeksi bakterial dan penyakit
inflamasi (akut rematik fever dan RS). CRP juga meningkat pada
nekrosisi jaringan. CRP dalah protein abnormal yang diproduksi oleh
lifer selama proses infeksi akut. Hasil tes positif menunjukan
kejadian, tetapi tida menunjukan penyebab dari reaksi inflamasi akut.
Sintesis CRP dikenalkan dengan antigen-imun kopleks, bakteri, fungi,
dan trauma. Fungsi CRP analog dengan IgG, kecuali CRP adalah
bukan antigen spesifik. CRP berinteraksi dengan sistem komplemen.
Tes CRP lebih sensitif dan indikator respon cepat dibandingkan
dengan ESR. Pda perubahan fase akut inflamasi, CRP menunjukan
peningkatan lebih awal dan dengan intensitas lebih dibandingkan
dengan ESR. CRP tidak tampak ketika proses inflamasi ditekan
dengan agen antiinflamasi, salisilat atau steroid. Dengan demikian
CRP bukanlah hal yang baik untuk monitoring status penyakit.
Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan CRP menjadi false
positif adalh IUD akibat adanya proses inflamasi
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
i. Cryoglobulin
Tipe tes : darah pungsi vena perifer 10 ml
Nilai normal : tidak terdeteksi adanya cryoglobulin
Rasional
Cryoglobulin adalh serum imunoglobulin abnormal yang
dipresipitasikan pada suhu rendah dan redissolve dengan pemanasan.
Cryoglobulid dapat presipitasi dengan blood vessels dari jari ketika
terpapar udara dingin. Pasien seperti ini dapat menunnukan pupura,
arthralgia, atau raynaud’s fenomena (nyeri, sianosis, jari yang dingin).
1) Serum cryoglobulin yang lebih tingi dari 5 mg/ml diasosiasikan
dengan multipel myeloma, macroglobulinemia, dan leukimia.
2) Cryoglobulin antara 1 – 5 mg/ml diasosiasikan dengan rematoid
artritis.
3) Level kurang dari 1 mg/ml dapat diasosiasikan dengan SLE, RA,
infeksius mononukleus (IM), hepatitis viral, endokarditis, sirosis
dan glomerulonefritis. Cryoglobulin idiopatik atau primer tidak
diasosiasikan dengan penyakit primer.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Instruksikan
pada pasien untuk “fast” 8 jam sebelum mengikuti tes, jika
diindikasikan dari laboratorium.
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
Cryoglobulin dapat disebabkan oleh penyakit yang diasosiasikan
dengan defek koagulasi. Observasi tempat pungsi vena terhadap
kemungkinan hematom. Jika cryoglobulin tredeteksi, instruksikan
pasien menghindari suhu dingin, untuk meminimalkan gejala
Raynaud’s Phenomenon.
j. Epstein-Barr virus titer (EBV)
Tipe tes : darah pungsi vena perifer 5-10 ml
Nilai normal
1) Titer ≤ 1:10 non diagnostik
2) Titer 1:10 – 1:60 indikasi infeksi saat undetermin
3) Titer ≥ 1:320 menunjukan infeksi aktif
Rasional
Epstein-Barr virus (EBV) menginfeksi 80% populasi US. Setelah
infeksi, virus dormant tetapi dapat diaktifkan kembali. EBV dapan
menghasilkan infeksi monoklonal (IM), yang dapat terlihat pada anak-
anak, remaja dan dewasa. Manifestasi klinis berupa fatigue akut,
demam, nyeri tenggorokan, limpadenopati dan splenomegali. Hasil
laboratorium menunjukan adanya limpositosis, limposit atipik,
transien serum heterophil antibodi ditunnukan oleh EBV fase akut.
Viral Capsid Antigen (VCA) dapat menjadi IgG atau IgM. Inti
EBV inti antigen terletak di nukleus limposit yang terinfeksi. Antigen
EBV yang lain adalah early antigen (EA). Ada 2 tipe EA yaitu EA-D
(difus di sitoplasma limposit), EA-R (restricted) terbatas di salah satu
area sitoplasma.
Interpretasi antibody EBV didasarkan pada asumsi:
1) Setelah infeksi EBV, anti-VCA antibodi tampak pertama kali
2) Anti-EA antibodi mengikuti anti-VCA antibodi awal dalam
kejadian sakit. Anti-EA antibodi titer lebih dari 80 menunjukan 2
tahun setelah infeksi monoklonal akut, mengindikasikan EBV
kronis.
3) Selama pemulihan, anti-VCA dan anti-EA antibodi menurun, dan
anti EBNA antibodi terlihat. Anti-EBNA terlihat selama hidup
yang menunjukna pernah terinfeksi sebelumnya.
4) Setelah pemulihan, anti VCA dan anti-EBNA antibodi tetap
nampak tetapi dalam rentang rendah.

Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
Instruksikan pasien dengan inffeksi mononukleus untuk megikuti
aspek perawatan diri: bed rest selama periode panas, gunakan
analgesik (aspirin) untuk ketidaknyamanan umum dan demam, dan
gunakan pelega tenggorokan dan berkumur dengan air hangat
untuk mengatasi tenggorokan sakit.
k. Erythrocyte sedimentation rate (ESR)
Tipe tes : darah pungsi vena perifer 5-10 ml
Nilai normal
Metode westergren
1) Pria ≤ 15 mm/jam
2) Perempuan ≤ 20 mm/jam
3) Anak ≤ 10 mm/jam
4) Bayi 0-2 mm/jam
Rasional
Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah tes non-spesifik
untuk mendeteksi penyakit yang dihubungkan dengan akut atau kronik
infeksi, inflamasi (penyakit vaskuler kolagen), neoplasma, nekrosis
jaringan infark.
ESR mengukur endapan RBC dalam larutan saline atau plasma
dalam periode spesifik. Karena inflamasi, neoplasma, infeksi dan
nekrosis meningkatkan protein (terutama fibrinogen) yang mengisi
plasma, RBC cenderung bertumpuk satu dengan yang lain., yang
meningktakan berat dan menyebabkan turun dengan cepat.
Faktor yang mempengaruhi
1) Terlambat melakukan testing; hasil rendah akan terjadi ketika
spesimen dibiarkan berdiri lebih dari 3 jam sebelum tes
2) Kehamilan (trimester 2 dan 3) menyebabkan elevasi hasil
3) Menstruasi, menyebabkan elevasi hasil
4) Beberapa anemia akan menyebabkan peningkatan palsu nilai ESR
5) Polisitemia akan menurunkan nilai ESR
6) Penyakit yang meningkatkan prtein akan menunjukan peningkatan
semu ESR.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
l. Human lymphocyte antigen (HLA)
Tipe tes : darah vena sekitar 10 ml dalam heparin.
Nilai normal : negatif
Rasional:
Human lymphocyte antigens (HLAs) berada di permukaan WBC
dan semua nukleus sel di jaringan lainnya., HLA selalu mendeteksi
lebih mudah permukaan limfosit. Keberadaan dan kehilangan antigen
ini dijelaskan oleh 4 gen kromosom 6. Kontrol gen lain menunjukan
atau menutupi adanya HLA-A, B, C atau D.
Sistem HLA antigen digunakan untuk mengindikasikan
kompatibilitas jaringan dengan transpalntasi jaringan. Jika HLA
antigen donor tidak kompatibel dengan resipien, resipien akan
membuat antibodi untuk antigen tersebut dan mempercepat penolakan.
Survival transplanatsi jaringan meningkat jika kecocokan HLA baik.
HLA sistem juga digunakan untuk membantu mendiagnosa
beberapa penyakit. Contohnya; HLA-B27 menunjukan 80% pasien
dengan reiters sindrom.
Implikasi keperawatan
1)Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama.
2)Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
m. Human T-cell lymphotropic virus I/II antibody (HTLV)
Tipe tes : darah vena 7 ml
Nilai normal : negative
Rasional
Beberapa tipe HTLV, retrovirus, affect human. Virus endemik di
Jepang, pulau Karibia, Amerika selatan, dan Afrika. HTLV-I di
asosiasikan dengan T-sel leukimia dewasa/limpoma dan penyakit
neurologik seperti Spastik tropikal paraparesis. HTLV_II di
asosiasikan dengan adult hairy cell leukimia.
Meskipun HTLV dan HIV keduanya agen HIV, dan keduanyya
retrovirus, infeksi HTLV tidak dihubungkan dengan AIDS. Transmisi
HTLV hampir sama dengan transmisi HIV (cairan tubuh
terkontaminasi, obat IV, kontak seksual, menyusui).
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
n. Imunoglobulin electrophoresis (Gamma Globulin Electrophoresis)
Tipe tes : darah pungsi vena 7 ml
Nilai normal
IgG:
Dewasa :565-1765 mg/dl
IgA:
Dewasa : 85-385 mg/dl
IgM:
Dewasa :55-375 mg/dl
IgD dan IgE : minimal
Rasional
Protein serum terdiri dari albumin dan globulin. Beberapa tipe
globulin, salah satu diantaranya adalah gamma globulin. Antibodi
berisi gama globulin protein yang dinamakan imunoglobulin
(antibodi). IgG memberikan 75% dari semua serum imunoglobulin,
merupakan mayoritas antibodi serum sirkulating. IgA 15% dalam
imunoglobulin tubuh dan terutama didalam saliva, kolostrum, sekresi
respirasi dan gastrointestinal. IgM adalah imunoglobulin terutama
berespon terhadap grup ABO darah dan rematoid faktor. IgM tidak
melewati plasenta, jadi jika ada peningkatan IgM pada bayi baru lahir
menunjukan adanya infeksi intrauterin. (rubela, sitomegalovirus, atau
STI). IgE selalu memperantarai respon alergi dan diukur untuk
mengetahui penyakt alergi. IgD yang memberikan jumlah terkecil
dalam imunoglobulin jarang dievaluaisi atau didetektsi.
Serum imun elektriforesis digunakan untuk mendetksi dan
monitoring penyakit, termasuk hipersensitifitas, defisiensi imun,
penyakit autoimun, penyakit kronik, myeloma multipel, infeksi viral
kronik, infeksi fetal intrauterin.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
o. Lymphocyte immunophenotyping
Tipe tes : darah pungsi vena 10 ml dalam sodium heparin, 5
ml dalam EDTA.
Nilai normal
Sel Prosentase (%) Jumlah sel/μl
Sel T 60-95 800-2500
Thelper (CD4) 60-75 600-1500
T suppressor (CD8) 25-30 300-1000
Sel B 4-25 100-450
Natural killer cell 4-30 75-500
CD4/CD8 rasio >1.0
Rasional
Semua limfosit berasal dari sel stem dalam sumsum tulang. Limfosit
yang matang di bone marrow dinamakan limfosit sel B. Limfositt ini
menyediakan humoral antibody (memproduksi antibody). Limfosit
yang mature di thymus dinamakan limfosit T, dan berespon terhadap
imunitas seluler. CD4 helper dan CD8 supresor merupakan contoh
limfosit T. Limfosit yang tidak mempunyai T atau B dinamakan
natural killer cell dan penyerang bahan kimia asing atau kanker.
Faktor yang menghambat
1)Variasi diurnal; meskipun ini tidak selalu signifikan, mungkin ada
beberapa sebab ketika limfosit rendah. Hasil yang lebih tinggi
dihitung ketika diperkirakan akhir pagi.
2)Penyakit viral ayang ada, dapat menurunkan jumlah total limfosit
3)Nikotin dan aktifitas berat dapat menurunkan limfosit, meskipun
data ini pada akhit\rnya masih menjadi pertanyaan.
4)Styeroid dapat meningkatkan jumlah limfosit
5)Obat imunosupresi akan menurunkan jumlah limfosit.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Pertahankan sikap tidak menghakimi terhadap praktek seksual
pasien
Berikan waktu bagi pasien untuk mngekspresikan perasaannya
terkait dengan kemungkinan hasil tes
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
Anjurkan pasien untuk memperhatikan tempat vena pungsi.
Pasien dengan AIDS atau resipien organ adalah imunocompromi
dab mudah untuk infeksi. Minta pasien untuk mendiskusikan
harapannya terhadap informasi prognosa yang dapat ditunjukan
dari hasil tes ini.
Interpretasi hasil
CD4 = sel T helper
CD4 = 500-1600, normal
CD4 <500, TBC, diare, kandidiasis oral , limfadenopati
CD4 <200, gejala AIDS, disertai gangguan susunan syaraf pusat
CD4 <50, peningkatan probabilitas mortalitas

p. Mononucleosis spot tes


Tipe tes : darah vena 7-10 ml
Nilai normal : 1:28 titer
Rasional
Mononukleus spot tes membantu dalam mendiagnosa infeksi mono
nukleus, penyakit yang disebabkan oleh EBV. Sering orang dewasa
muda terinfeksi mononukleosis. Penampakan klinis adanya demam,
paringitis, limpadenopati, splenomegali. Setelah 2 minggu onset
penyakit, banyak pasien ditemukan IgM heterofil antibodi dalam
serumnya. Ketika antibodi secara serial diencerkan sampai 1:56,
infeksi monoklonal menjadi lebih kuat terlihat. Meskipun false positif
dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain yang menyebabkan
peningkatan heterofil antibodi (sepeerti limpoma dan SLE).
Heterofil antibodi normalnya terlihat pada sebagian besar individu
yang terinfeksi infelksi monoklonal.
Monospot tes dilakukan dengan menambahkan serum pasien
dengan equine RBC dalam slide. Jika terjadi aglutinasi, berarti ada
heterofil antibodi dalam serum pasien tersebut, yang mengindikasikan
infeksi EBV. Sekitar 30% dari kasusu IM memiliki heterofil antibodi
negatif. Saat suspec IM, disarankan monospot tes atau EBV serologi
diulang.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama.
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
q. Rheumatoid factor (RF)
Tipe tes : darah pungsi vena 7 ml
Nilai normal
Negatif (<60 U/ml dengan nephelometric testing)
Pasien Lansia bisa secara nyata menunjukan peningkatan nilai.
Rasional
Rematoid Faktor (RF) tes digunakan untuk mendiagnosa RA,
inflamasi kronik pada sebagian besar persendian. Pada penyakit ini,
IgG antibodi diproduksi oleh limfosit dalam membran sinovial
bertindak sebagai antigen. IgG dan IgM antibodi lain bereaksi dengan
antigen ini untuk memproduksi kompleks imun. Kompleks imun ini
mengakstifkan sistem komplemen dan sistem inflamasi yang
menyebabkan kerusakan sendi.
RF tes mengidentifikasi IgM antibodi. Hampir 80% pasien dengan
RA mempunyai titer RF positif. RF harus dijumpai dalam titer
pengenceran lebih besar dari 1:80. Jika kurang dari 1:80 menunjukan
penyakit auto imun seperti SLE dan scleroderma.
Implikasi keperawatan
1) Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
2) Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena pungsi.
BAB III
PEMBAHASAN

A. GANGGUAN REUMATIK ARTHRITIS (RADANG SENDI)


1. Definisi
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang
berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis
berarti radang sendi. Sedangkan Reumatoid arthritis adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002). Engram
(1998) mengatakan bahwa, Reumatoid arthritis adalah penyakit jaringan
penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari
membran sinovial dari sendi diartroidial.
Reumatoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik
kronik yang manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan
tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.(Hidayat, 2006).
Artritis reumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik
kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang
progresif. Akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.
(N.M.Noer Sjaifoellah, 2003)
Artritis Reumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.
Gambar :

2. Klasifikasi Artritis Reumatoid


Buffer (2010) mengklasifikasikan reumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
a. Reumatoid arthritis klasik
Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
b. Reumatoid arthritis defisit
Pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
c. Probable Reumatoid arthritis
pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
d. Possible Reumatoid arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
a. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang
ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak
maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
b. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi
juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.

3. Etiologi Artritis Reumatoid


Hingga kini penyebab Remotoid Artritis (RA) tidak diketahui,
tetapi beberapa hipotesa menunjukan bahwa RA dipengaruhi oleh faktor-
faktor :
a. Mekanisme IMUN ( Antigen-Antibody) seperti interaksi antara IGC
dan faktor Reumatoid.
b. Gangguan Metabolisme.
c. Genetik.
d. Faktor lain : nutrisi dan faktor lingkungan (pekerjaan dan psikososial)
Penyebab penyakit Reumatoid arthritis belum diketahui secara
pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-
antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung
& Raenah, 2008).
Adapun Faktor risiko yang akan meningkatkan risiko terkena nya
artritis reumatoid adalah;
a. Jenis Kelamin.
Perempuan lebih mudah terkena AR daripada laki-laki.
Perbandingannya adalah 2-3:1.
b. Umur.
Artritis reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60
tahun. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan
anak-anak (artritis reumatoid juvenil)
c. Riwayat Keluarga.
Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis
Reumatoid maka anda kemungkinan besar akan terkena juga.
d. Merokok.
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid.
4. Patofisiologi Artritis Reumatoid
Pada Reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan
sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis
menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial
dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer &
Bare, 2002).
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti
edema, kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular.  Peradangan
yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi
artikular kartilago dari sendi.  Pada persendian ini granulasi membentuk
pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.  Pannus masuk ke tulang
sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan
gangguan pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis. 
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan
sendi.  Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara
permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). 
Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi
lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. 
Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya Reumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai
dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada
orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang
lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat
ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis
yang difus (Long, 1996).
5. Tanda Dan Gejala Artritis Reumatoid
Pasien-pasien dengan RA akan menunjukan tanda dan gejala seperti :
a. Nyeri persendian.
b. Bengkak (Reumatoid nodule).
c. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari.
d. Terbatasnya pergerakan.
e. Sendi-sendi terasa panas.
f. Demam (pireksia).
g. Anemia.
h. Berat badan menurun.
i. Kekuatan berkurang.
j. Tampak warna kemerahan di sekitar sendi.
k. Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal.
l. Pasien tampak anemik
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :
a. Gerakan menjadi terbatas.
b. Adanya nyeri tekan.
c. Deformitas bertambah pembengkakan.
d. Kelemahan.
e. Depresi.
Gejala Extraartikular :
a. Pada jantung : Reumatoid heard diseasure,  Valvula lesion (gangguan
katub), Pericarditis, Myocarditis.
b. Pada mata : Keratokonjungtivitis, Scleritis.
c. Pada lympa : Lhymphadenopathy.
d. Pada thyroid : Lyphocytic thyroiditis.
e. Pada otot : Mycsitis.
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada
penderita artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul
sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki
gambaran klinis yang sangat bervariasi.
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
b. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi
di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs
distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat
generalisata tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini
berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1
jam.
d. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
e. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi
sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa
adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada
penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang
timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga
dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak
terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
f. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis Reumatoid.
Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon
(sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan;
walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-
tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu
petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
g. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru
(pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Gejala umum Reumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung
pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang,
penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak
aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan
pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika
penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux &
Lockhart, 2001).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan,
kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri
otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling
sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis Reumatoid
arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta
beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan
gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk Reumatoid
arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari Reumatoid arthritis
adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia
(Long, 1996).
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai
pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif
mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang
belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral
dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari
berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki
adalah hal yang umum.
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
a. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang
ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak
maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
b. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi
juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada
penyakit yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat
reaksi inflamasi yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang
teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan pasien cendrung
menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi
dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi
deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh
ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser terhadap
lainnya dan menghilangkan rongga sendi (Smeltzer & Bare, 2002).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat
serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa
kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu,
siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat
bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi
kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat
menyebabkan demam, dapat terjadi berulang
LAPORAN PENDAHULUAN ARTRITIS REUMATOID
Gambar :

6. Kriteria Diagnostik Artritis Reumatoid


Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid,
Revisi 1987.
Tabel .
No Kriteria Definisi
1 Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan
disekitarnya, sekurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal
2 Artritis pada 3  daerah Pembengkakan jaringan lunak atau persendian
atau lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang)
pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara
bersamaan yang diobservasi oleh seorang
dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14
persendian yang memenuhi kriteria yaitu PIP,
MCP, pergelangan tangan, siku pergelangan
kaki dan MTP kiri dan kanan.
3 Artritis pada       Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan
persendian tangan satu persendian tangan seperti yang tertera
diatas.
4 Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang
tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi,
keterlibatan PIP, MCP atau MTP bilateral dapat
diterima walaupun tidak mutlak bersifat
simetris.
5 Nodul Reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta-
artrikular yang diobservasi oleh seorang dokter.
6 Faktor Reumatoid Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid
serum serum yang diperiksa dengan cara yang
memberikan hasil positif kurang dari 5%
kelompok kontrol yang diperiksa.
7 Perubahan gambaran Perubahan gambaran radiologis yang radiologis
khas bagi arthritis reumotoid pada periksaan
sinar X tangan posteroanterior atau pergelangan
tangan yang harus menunjukkan adanya erosi
atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi
pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan
sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).
Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita
artritis reumatoid jika ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di
atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama 6 minggu. Pasien
dengan dua diagnosis tidak dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai
artritis reumatoid klasik, definit, probable atau possible tidak perlu dibuat.

7. Pemeriksaan Penunjang Artritis Reumatoid


a. Tes serologi : Sedimentasi eritrosit meningkat, Darah bisa terjadi
anemia dan leukositosis, Reumatoid faktor, terjadi 50-90% penderita.
b. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada
jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang
berdekatan ( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista
tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan
osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
c. Scan radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium.
d. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan
irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi.
e. Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih
besar dari normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon
inflamasi, produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan
lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
f. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan
perkembangan panas.
g. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle
Aspiration) atau atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena
mengandung banyak leukosit dan kurang kental dibanding cairan
sendi yang normal.
Kriteria diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli-
arthritis yang simetris yang mengenai sendi-sendi proksimal jari
tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau
lebih bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi peri-
artikuler pada foto rontgen
Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi
pada penegakan diagnosis Reumatoid arthritis, yaitu nodul
Reumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi dan
hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium
menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor Reumatoid yang
positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel
darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C-
reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat
menunjukan hasil yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan
cairan sinovial yang keruh, berwarna mirip susu atau kuning gelap dan
mengandung banyak sel inflamasi, seperti leukosit dan komplemen
(Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk
membantu penegakan diagnosis dan memantau perjalanan
penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang yang
khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan
penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
Gambar

EUMATOID
8. Pengkajian Artritis Reumatoid
a. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi
(bilateral), amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan
pembengkakan.
2) Lakukan pengukuran passive range of mation pada sendi-sendi
synovial.
a) Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi).
b) Catat bila ada krepitasi.
c) Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan.
3) Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral.
a) Catat bia ada atrofi, tonus yang berkurang.
b) Ukur kekuatan otot.
4) Kaji tingkat nyeri, derajat dan mulainya.
5) Kaji aktivitas/kegiatan sehari-hari.
b. Data Dasar Pengkajian
1) Aktivitas/Istirahat
a) Gejala: Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan,
memburuk dengan stress pada sendi : kekakuan pada pagi
hari, Keletihan
b) Tanda: Malaise, Keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot,
kulit : kontraktur atau kelainan pada sendi dan otot
2) Kardiovaskuler
Gejala : Jantung cepat, tekanan darah menurun
3) Integritas Ego
Gejala: Faktor-faktor stress akut atau kronis : Misalnya
finansial, pekerjaan, ketidakmampuan, factor-faktor
hubungan, keputusasaan dan ketidak berdayaan, ancaman
pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya
ketergantungan pada orang lain
4) Makanan dan Cairan
a) Gejala: Ketidakmampuan untuk menghasilkan/
mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat : mual,
anoreksia, kesulitan untuk mengunyah
b) Tanda: Penurunan berat badan, Kekeringan pada
membran mukosa
5) Hygine
Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas
pribadi, ketergantungan pada orang lain.
6) Neurosensori
a) Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki,
hilangnya sensasi pada jari tangan
b) Tanda: Pembengkakan sendi
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala: fase akut dari nyeri, terasa nyeri kronis dan
kekakuan
8) Keamanan
Gejala: Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah
tangga, Kekeringan pada mata dan membran mukosa
9) Interaksi Sosial
Gejala: kerusakan interaksi dan keluarga / orang lsin : perubahan
peran: isolasi

a. Riwayat Psiko Sosial


Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup
tinggi apalagi pad pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi
karean ia merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan
merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat melakukan
pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body image dan
harga diri klien.
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan
organ-organ lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal), tahapan
misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-
bentuk arthritis lainnya. Pengkajian 11 Pola Gordon
1) Pola Persepsi Kesehatan- Pemeliharaan Kesehatan
a) Apakah pernah mengalami sakit pada sendi-sendi?
b) Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya?
c) Riwayat keluarga dengan RA
d) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
e) Riwayat infeksi virus, bakteri, parasit
2) Pola Nutrisi Metabolik
a) Jenis, frekuensi, jumlah makanan yang dikonsumsi (makanan yang
banyak mengandung pospor (zat kapur), vitamin dan protein).
b) Riwayat gangguan metabolic
3) Pola Eliminasi
a) Adakah gangguan pada saat BAB dan BAK?

4) Pola Aktivitas dan Latihan


a) Kebiasaan aktivitas sehari-hari sebelum dan sesudah sakit.
b) Jenis aktivitas yang dilakukan.
c) Rasa sakit/nyeri pada saat melakukan aktivitas.
d) Tidak mampu melakukan aktifitas berat
5) Pola Istirahat dan Tidur
a) Apakah ada gangguan tidur?
b) Kebiasaan tidur sehari.
c) Terjadi 1/2-1 jam setelah bangun tidur.
d) Adakah rasa nyeri pada saat istirahat dan tidur?
6) Pola Persepsi Kognitif
a) Adakah nyeri sendi saat digerakan atau istirahat?
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
a) Adakah perubahan pada bentuk tubuh (deformitas/kaku sendi)?
b) Apakah pasien merasa malu dan minder dengan penyakitnya?
8) Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama
a) Bagaimana hubungan dengan keluarga?
b) Apakah ada perubahan peran pada klien?
9) Pola Reproduksi Seksualitas
b) Adakah gangguan seksualitas?
10) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
a) Adakah perasaan takut, cemas akan penyakit yang diderita?
11) Pola Sistem Kepercayaan
a) Agama yang dianut?
b) Adakah gangguan beribadah?
c) Apakah klien menyerahkan sepenuhnya penyakitnya kepada Tuhan
BAB IV
PENUTUP

Sistem imunologi merupakan sistem yang berperan dalam pertahanan


tubuh manusia. Imunitas tubuh manusia terdiri dari imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated.
Untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif
kepada klien dengan gangguan sistem imunologi, diperlukan pengkajian yang
komprehensif meliputi anamnesa terhadap riwayat kesehatan sekarang, riwayat
kesehatan dahulu dan keluarga dan sosial, pengkajian fisik terhadap berbagai
sistem tubuh yang dipengaruhi oleh sistem imunologi serta pemeriksaan
diagnostik yang meliputi pemeriksaan Aglutinin, AIDs Serologi, ACA, Aldolase,
AMA, ANA, Complement Assay, CRP, Cyroglobulin, EBV, ESR, HLA, HTLV,
Gamma Globulin Electrophoresis, Lymphocyte Immunophenotyping,
Monocleosis Spot Test dan Rhemathoid Factor.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa Brahm U.


Pendit. EGC. Jakarta.

Doenges E Marilynn, 2000., Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

http://www.healthatoz.com/healthatoz/atoz/ency/aids_test.jsp. tanggal akses 20


Februari 20016

http://www.medicinet.com/rheumatoid_arthritis/page4.html. tanggal akses 20


Februari 20016

http://health.reports.com/lupus-wellness.html. tanggal akses 20 Februari 2016

http://evolve.elsevier.com/black/medsurg/. tanggal akses 20 Februari 20016

Jaffe, Marie S. (1996). Medical Surgical Nursing Care Plans (Nursing


Diagnosis and Intervention). Appleton and Large. Connecticut.

Kalim, Handono, 1996., Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Lewis, Sharon Mantik et al. (2004). Medical Surgical Nursing Vol. 2. Mosby
Year Book. St. Louis, Missouri.

Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculaapius


FKUI, Jakarta.

Prince, Sylvia Anderson, 1999., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit., Ed. 4, EGC, Jakarta.

Pagana, Kathleen Deska, 1999. Diagnostic Testing and Nursing Implications, A


Case Study Approach 5th edition. Mosby Inc. St Louis Missoury

Sneltzen, Suzanne C. & Brenda G. Bare. (1996). Medical – Surgical Nursing 8th
edition. Lippincot. Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai