Anda di halaman 1dari 4

Konsentrasi hormon yang disekresikan dan mencapai sel target harus diregulasi sedemikian rupa

sehingga proses fisiologis yang berjalan sebagai manifestasi kerja hormon tersebut berada dalam status
homeostasis. Jika suatu hormon berlebih (hipersekresi) maka akan berdampak kepada aktivitasi kerja
atau penghambatan yang berlebihan terhadap kinerja sel- sel target yang menjadi sasarannya.
Sebaliknya, jika kadarnya sangat rendah (defisiensi) maka kinerjanya di sel target juga akan menurun
drastis bahkan tidak ada sama sekali. Hipersekresi dan hiposekresi hormon menyebabkan gangguan
sistem tubuh yang membahayakan.

Untuk meregulasi produksi hormon, maka tubuh memiliki sistem umpan balik umpan (feedback). Dua
tipe feedback yang utama dalam sistem regulasi hormonal adalah balik negatif (negative feedback) dan
umpan balik positif (positive feedback). Pada sistem kontrol umpan balik negatif, ketika suatu hormon
disekresikan oleh suatu kelenjar endokrin dan kemudian hormon tersebut berinteraksi dengan sel
targetnya untuk menimbulkan suatu efek fisiologis, maka selanjutnya efek fisiologis yang muncul
tersebut akan berperan sebagai stimulus baru (stimulus tingkat dua) yang akan memberikan efek inhibisi
(penghambatan) terhadap produksi hormon. Dengan demikian, kelenjar yang tadi mensekresikan
hormon akan ditekan aktivitasnya sehingga kadar hormon yang beredar tidak akan berlebihan.
Sebaliknya pada sistem umpan balik positif, efek fisiologis yang muncul justru menjadi pemacu terhadap
produksi suatu hormon lebih banyak lagi pada kelenjar endokrin penghasilnya. Ikhtisar sistem umpan
balik ini disajikan pada Gambar 11.8. Sebagian besar sistem regulasi hormonal bekerja dengan
mekanisme feedback negatif sedangkan sebagian kecilnya merupakan regulasi sistem feedback positif.
Akan tetapi, pada kondisi patologis tertentu, feedback negatif dapat berubah menjadi feedback positif.

Contoh sistem negative feedback adalah ketika terjadi stres (Gambar 11.9). Stres adalah bentuk stimulus
spesifik yang akan menginduksi hipotalamus mensekresikan hormon CRH (corticotrophin releashing
hormone). CRH selanjutnya akan bekerja di sel- sel targetnya yaitu di anterior pituitary sehinga lobus
pituitray tersebut terinduksi untuk menghasilkan ACTH (adrenocorcicotropic hormone). ACTH akan
bekerja di adrenal untuk menstimulasi hormon kortisol. Hormon kortisol ini memiliki efek metabolik
diantaranya peningkatan laju pemecahan glikogen menjadi glukosa dan laju respirasi seluler. Kortisol
yang tinggi di dalam darah akan mencapai sel-sel di pituitari anterior dan hipotalamus untuk kemudian
menghambat kerja dari kedua kelenjar tersebut. Penghambatan ini akan menurunkan kadar CRH dan
ACTH. Akibat turunnya CRH dan ACTH, maka adrenal akan mengalami penurunan kinerja dalam
memproduksi kortisol. Pada akhirnya, kadar kortisol yang tadi tinggi akan menurun sehingga levelnya
kembali normal.

Gambar 11.8. Skema regulasi hormonal dengan sistem umpan balik (feedback) (Ref. Lihat Daftar Sumber
Gambar)

Jika stres berlangsung dalam kurun waktu yang lama, maka sistem umpan balik negatif ini dapat berbalik
menjadi umpan balik positif. Hal ini dimungkinkan karena paparan kortisol yang tinggi terus menerus
akan menyebabkan penurunan sensitivitas reseptornya (reseptor kortisol) di pituitari dan hipotalamus.
Konsekuensinya, CRH dan ACTH akan terus diproduksi kendati kortisol tinggi. Produksi CRH dan ACTH
yang terus menerus akan memacu adrenal untuk meningkatkan produksi kortisol lebih banyak.
Gambar 11.9. Contoh mekanisme umpan balik negatif yang berlangsung akibat stimulus stress (Ref.
Lihat Daftar Sumber Gambar)

11.4. Interaksi Hormon dan Sistem Saraf Pada Vertebrata

Otak merupakan salah satu organ yang menjadi tempat kerja (targeting site) dari hormon. Pada berbagai
area di otak ditemukan banyak sekali reseptor hormon yang memediasi aksi kerja berbagai jenis hormon
baik yang diproduksi oleh kelenjar neuroendokrin (misalnya di hipotalamus) maupun maupun oleh
kelenjar-kelenjar endokrin perifer. Sebagai contoh, reseptor hormon insulin ditemukan di hipotalamus,
korteks cereberum dan area lainnya yang lebih luas di otak (Gambar 11.10).

Reseptor testosteron juga ditemukan pada beberapa area di otak yang memediasi aksi hormon steroid
tersebut untuk berinteraksi dengan saraf yang berkaitan dengan perilaku maskulinitas. Hormon FGF-21
yang diproduksi oleh hati juga memiliki reseptor di beberapa area di otak, salah satunya di hipotalamus.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (Santoso et al., 2017), penginjeksian hormon tersebut ke
rongga otak (rongga ventrikel lateral otak) mencit dapat menurunkan konsumsi makan secara signifikan
dibandingkan

dengan kelompok mencit kontrol (yang hanya diinjeksi dengan larutan NaCl 0.9%) (Gambar 11.11). Hal
ini mengindikasikan bahwa FGF-21 berinteraksi dengan sel-sel saraf pengontrol selera makan di otak.
Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa beberapa saraf khusus di hipotalamus menjadi target
kerja hormon FGF-21. Gambar 11.10. Reseptor insulin ditemukan pada berbagai area di otak
(ditunjukkan olen warna putih fluoresen (Ref. Lihat Daftar Sumber Gambar)

Gambar 11.11. Efek injeksi hormon FGF21 ke otak terhadap jumlah makan pada mencit. Saline (NaCl
0.9%) (Ref. Lihat Daftar Sumber Gambar)

Interaksi yang kompleks juga terlihat dari aksi kerja hormon ghrelin di hipotalamus. Ghrelin diproduksi
oleh lambung dan berperan penting dalam mekanisme munculnya selera makan yang tinggi. Hormon ini
diproduksi lebih banyak saat lapar dan akan turun ketika makanan telah banyak memasuki saluran
pencernaan. Telah diketahui bahwa mekanisme fisiologis dari ghrelin untuk memunculkan selera makan
(appetite) berkaitan dengan interaksinya dengan neuron penghasil neuropeptide Y (NPY) di
hipotalamus. Di hipotalamus banyak sekali ditemukan reseptor hormon ghrelin. Pada penelitian dengan
pendekatan in vitro, telah dibuktikan bahwa interaksi antara hormon ghrelin dengan neuron NPY di
hipotalamus dapat dihambat oleh neuropeptida oksitosin. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa
oksitosin (yang berperan sekaligus sebagai hormon dan sebagai neurotransmitter) di otak memiliki efek
fisiologis terhadap regulasi selera makan dan metabolisme tubuh. Jadi, bukan hanya seperti pemahaman
klasik bahwa oksitosin hanya terlibat dalam kontraksi endometrium, pelepasan ASI dan perilaku
maternal.

Gambar 11.12. Hormon elabela yang diproduksi ginjal dapat mengaktivasi saraf-saraf di hipotalamus
(arginine vasopressin, AVP; corticotrophin releasing hormone, CRH) dan bermanifestasi kepada
penurunan selera makan dan peningkatan laju metabolisme tubuh (Ref. Lihat Daftar Sumber Gambar)
Gambar 11.13. Interaksi antara hormon ghrelin yang diproduksi di lambung dengan neuron penghasil
neuropeptide Y (NPY) dan oksitosin di hipotalamus (Ref. Lihat Daftar Sumber Gambar)

Sebagian besar hewan invertebrata mengandalkan sistem kontrol neuroendokrin. Kelomnok


invertebrata yang lebih tinggi seperti pada molusca memiliki sistem sirkulasi yang lebih berkembang
dibandingkan dengan hewan invertebrata yang lebih rendah seperti pada cacing pipih, oleh karena itu
mereka memiliki lebih banyak mekanisme efisiensi untuk mendistribusikan hormon - hormon yang
diperlukannya. Pada Coelenterata dan Annelida tidak terdapat kelenjar endokrin tapi mekanisme
neurosekresi mengatur pertumbuhan dan reproduksi. Demikian juga pada cacing pipih dan nematoda
hanya mempunyai mekanisme neurosekresi. Hewan rendah yang mempunyai kelenjar endokrin ialah
Cephalopoda, Arthropoda dan hewan yang lebih kompleks lainya. Pada Crustacea terdapat kelenjar
sinus dan pada insekta ada korpus kardiakum, kedua kelenjar tersebut sama dengan neurohipofisis
(hipofisis bagaian belakang) pada vertebrata. Jadi pada dasarnya hewan rendah maupun vertebrata
memiliki suatu hubungan antara sistem syaraf dengan kelenjar endokrin. Hipofisis pada vertebrata
disebut kelenjar neuroendokrin. 11.5. Sistem Endokrin Pada Invertebrata Coelenterata. Pada
Coelenterata selurah sistem syaraf bekerja sebagai sistem neurosekresi. Coelenterata seperti Hydra
memiliki sel -sel dengan substansi sekret yang dilibatkan dalam reproduksi, pertumbuhan dan
regenerasi. Bagian kepala dari Hydra memindahkan sebuah molekul peptida yang disekresi oleh tubuh
yang sedang beristirahat. Substansi ini disebut juga dengan aktivator kepala. Efeknya menyebabkan sisa
dari bagian tubuh untuk regenerasi mulut dan tentakel yang membuat bagian kepala. Pada ubur- ubur,
syaraf cincin sirkum oral dengan serabut radialnya mempunyai sel-sel neurosekresi. Neurohormon
belum diketahui strukturnya tapi mempunyai fungsi penting misalnya untuk proses melepaskan gamet.

Platyhelminthes. Pada cacing pipih, sel-sel neurosekresi terdapat pada ganglion otak. Fungsinya belum
diketahui tapi diduga belum mempunyai peranan dalam proses regenerasi. Memiliki kesamaan dengan
Coelenterata, dimana substansi yang ditemukan pada cacing pipih terlibat dalam proses regenerasi. Hal
ini juga memperlihatkan bahwa hormon - hormon terlibat dalam regulasi osmotik dan ionik seperti pada
proses reproduksi. Nematoda. Adanya peranan kontrol neuroendokrin pada Nematoda, terdapat pada
kelompok yang bersifat parasit. Seperti banyak organisme parasit yang memiliki tahapan yang berbeda
pada siklus hidupnya dan sering melengkapi siklus hidupnya pada host berbeda pula. Oleh karena itu
perubahan perkembangan dari nematoda harus beriringan dengan gerakan nematoda ini untuk sebuah
lingkungan dan inang baru. Nematoda memiliki sistem neuroendokrin yang diasosiasikan dengan sistem
saraf (nervous) pada ganglia di bagian kepala dan beberapa tali saraf yang melewati sepanjang
tubuhnya. yang Annelida. Annelida, seperti Polychaeta (Neris), oligochaeta (Lumbricus) dan Hirudinae
(Hirudo) memperlihatkan tingkat kemajuan pada proses pembentukan kepala. Otak telah
memperlihatkan sejumlah besar neuron neurosekretoris. Neuron neurosecretory dari hewan - hewan ini
biasanya memiliki sistem sirkulasi yang berkembang dengan baik. Sistem endokrin hewan hewan ini
diasosiasikan dengan beberapa aktivitas seperti pertumbuhan, perkembangan, regenerasi dan
perkembangan dari sistem reproduksi.

Gambar 11.14. Kelenjar endokrin utama pada Crustacea (Ref. Lihat Daftar Sumber Gam Insekta. Insekta
memiliki kesamaan dengan crustacea pada kenaekaragaman fungsi fisiologisnya yang dikontrol oleh
organ - organ endokrin (pada perbandingan dengan invertebrata lain) dan keutamaan dari sistem
kontrol neuroendokrin. Ada 3 kelompok utama dari sel - sel neuroendokrin pada sistem saraf serangga
yaitu (a) Sel – sel neurosekretori median yang mengirim akson - akson menuju ke sepasang corpora
cardiaca yang menjadi tempati penyimpanan dan pelepasan neurohormon; (b) kelompok sel - sel
neurosecretori lateral, yang juga mengirim akson -aksonnya menuju ke corporacardiaca; (c) sel - sel
neurosecretori subesophageal, yang mengirim akson - aksonnya menuju ke corpora allata. Insekta juga
memiliki kelompok kelenjar - kelenjar endokrin lainnya selain neuroendokrin. Berikut adalah hormone-
hormon yang dimiliki oleh insekta : Hormon Juvenile: Dihasilkan di corpora alata (di belakang otak),
mempertahankan fase larva (molting larva dari fase ke fase), menginduksi perkembangan larva yang
lebih besar dari segi ukuran, efeknya signifikan terhadap hormon ecdyson. Jika JH tinggi, ecdyson hanya
memicu molting larva; jika JH rendah, ecdyson memicu pembentukan puva dan jika JH tidak ada, terjadi
pembentukan imago lebih cepat. a, b. Hormon Prothoraciotropic (PTTH): Dibutuhkan selama
pembentukan puva dan molting dan dihasilkan oleh dua pasang massa sel di bagian otak larva. Berfungsi
memacu kelenjar prothorak untuk menghasilkan hormone-hormonnya. C. Hormon Ekdison: Dihasilkan
di kelenjar prothoracic di thorax dan kerjanya mempengaruhi proses ekdisis (molting) dari larva hingga
dewasa.

Gambar 11.15. Kelenjar endokrin pada insekta beserta hormon-hormon yang dihasilkannya (Ref. Lihat
Daftar Sumber Gambar)

Anda mungkin juga menyukai