Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN

STEVEN JOHNSON SYNDROME

OLEH :

KELOMPOK 4

1. Asmita Suarni
2. Isna Yuliastini
3. Leni Inges saputri
4. Ni wayan erviani
5. Nurul Hasanah
6. Risa Astriani
7. Silvia Anita Lestari
8. Umara Ning Hidayatni

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN MATARAM

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM


INTEGUMEN PADA KASUS SYNDROM STEVAN JOHNSO*N

A. Pengertian
1. Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal
necrolysis (TEN) atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang
mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan
memisahkan dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks
yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. (Fitriany Julia dan Alratisda Fajri,
2019, Jurnal Averrous Vol.5 No.1 Mei 2019)
2. Steven JohnsonAdalah sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura( Mochtar Hamzah, 2005 :
147).
3. Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lender di orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.( Kapita Selekta
Kedokteran, 2000 : 136 ).
4. Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lender di
orifisium dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan sampai berat
kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura( Djuanda,
Adhi, 2000 : 147 ).
5. Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis ( Junadi, 1982: 480 ).
6. Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk ( Mansjoer, A. 2000: 136 ).
7. Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lender di orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula disertai purpura, kelainan dimukosa dan konjung.
B. Etiologi
Etiologi pasti Sindrom Stevens – Johnson (SSJ) belum diketahui. Salah satu
penyebabnya ialah alergi obat sistemik, diantaranya penisilin dan semisintetiknya,
streptomisin, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgetik (misalnya : derivate
salisil/pirazolon, metamizol, metampiron, dan parasetamol), klorpromazin,
karbamazepin, kinin, antipirin, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan oleh infeksi
(bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, psca vaksinasi, radiasi, dan makanan.

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa factor yang dapat
dianggap sebagai penyebab adalah:
1) Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti piretik )
 Penisilline
 Sthreptomicine
 Sulfonamide
 Tetrasiklin
2) Anti piretik atau analgesic ( derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol )
 Kloepromazin
 Karbamazepin
 Kirin Antipirin
 Tegretol
3) Infeksi mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur dan parasit )
4) Neoplasma dan factor endokrin
5) Factor fisik ( sinar matahari, radiasi, sinar-X, penyakit polagen, kehamilan)
6) Pasca vaksinasi : - BCG, Smalpox dan Poliomyelits
7) Penyakit-penyakit keganasan : - Karsinoma penyakit Hodgkins, limfoma, myeloma,
dan polisitemia

C. Klasifikasi
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan
organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh,
pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi.
Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan
jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit
bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak
kaki, punggung, bahu dan bokong.

Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam
yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan
jaringan ikat.

1. Lapisan Kulit
a. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler..Epidermis
terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) :
Stratum Korneum,Stratum Lusidum,Stratum Granulosum,Stratum
Spinosum,Stratum Basale (Stratum Germinativum),
Fungsi Epidermis :Proteksi barier,Organisasi sel, Sintesis vitamin D dan
sitokin, Pembelahan dan mobilisasi sel, Pigmentasi (melanosit), Pengenalan
alergen (sel Langerhans).
b. Dermis
Dermis Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong
epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis.
Fungsi Dermis : Struktur penunjang, Mechanical strength, Suplai nutrisi,
Menahan shearing forces dan respon inflamasi.
c. Subcutis
Subkutan Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-
beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi
menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
Fungsi Subkutis / hipodermis : Melekat ke struktur dasar, Isolasi panas,
Cadangan kalori, Kontrol bentuk tubuh,Mechanical shock absorber.
2. Fisiologi kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya
adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier
infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme.
3. Fungsi Imun
Terdapat dua macam tipe imunitas yaitu :
a. Imunitas alami (natural)
Imunitas alami akan memberikan respons nonspesipik terhadap setiap
penterang asing tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar dari
mekanisme pertahanan alami berupa kemampuan untuk membeda kan antara
“diri sendiri” dan “bukan diri sendiri”. Sawar fisik mencakup kulit serta
membrane mukosa yang utuh sehingga mikroorganisme pathogen dapat dicegah
agar tidak masuk ke dalam tubuh, dan silia pada traktus respiratorius bersama
respons batuk serta bersin yang bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran
nafas atas dari mikroorganisme pathogen sebelum mikroorganisme tersebut
dapat menginvasi tubuh lebih lanjut.

Sawar kimia seperti getah lambung yang sam, enzim dalam air mata serta
air liur (saliva) dan substansi dalam secret kelenjar sebasea serta lakrimalis,
bekerja dengan cara nonspesifik unuk menghancurkan bakteri dan jamur yang
menginvasi tubuh. Sel darah putih atau leukosit turut serta dalam respons imun
humoral maupun seluler. Leukosit granuler atau granulosit yang mencakup
neutrofil, eusinofil, dan basofil.

b. Imunitas didapat (akuisita)


Imunitas yang didapat (acquired immunity) terdiri atas respons imunyang
tidak dijumpai pada saat lahir tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup
seseorang. Imunitas ini didapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit
penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respons imunyang
bersifat protektif. Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologo akan
dibentuk tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini
biasanya berlangsung selama bertahun – tahun atau bahkan seumur hidup.
Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan
dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah penderita sakit atau
menjalani imunisasi. Gama – globulin dan antiserum yang didapat dari plasma
darah rang yang memiliki imunitas didapatkan dalam keadaan darurat untuk
memberikan kekebalan terhadap penyakit ketika resiko terjangkit suatu penyakit
tertentu cukup besar.
c. Stadium Respons Imun
Terdapat empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu respons imun,
keempat stadium tersebut yaitu :Stadium pengenalan, Stadium proliferasi,
Stadium respons, Stadium efektor,
faktor – faktor yang memepengaruhi system imunUsia ,Jenis kelamin,
Nutrisi, Penyakit, Faktor – faktor psikoneuro-imunologi, Obat – obatan.

d. Antigen
Terdapat beberpa teori tentang mekanisma yang digunakan limfosit B untuk
mengenali antigen penyerang dan kemudian bereaksi dengan memproduksi
antibody yang tepat. Sebagian antigen memiliki kemampuan untuk memicu
pembentukan antibody secara langsung oleh limfosit B, sementara sebagian
lainnya memerlukan bantuan sel – sel T. sel T merupakan bagian dari system
surveilans yang tersebar diseluruh tubuh, dengan bantuan makrofag maka
limfosit T akan manganali antigen dari penyerang asing. Limfosit T mengambil
pesan antigenic atau cetak biru (blueprint) antigen dan kemudian kembali ke
nodus limfatikus yang terdekat dengan pesan tersebut.
e. Antibody
Limfosit B yang disimpan dalam nodus limfatikus, dibagi lagi menjadi ribuan
klon yang masing – masing bersifatrespnsif terhadap suatu kelompok tunggal
antigen dengan karakteristik yang hamper identik. Pesan antigenic yang dibawa
kembali ke nodus limfatikus akan menstimulasi kln spesifik limfosit B untuk
membesar, membelah diri, dan memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi
sel – sel plasma yang dapat memproduksi antibody spesifik terhadap antigen.
Antibody merupakan protein besar yang dinamakan immunoglobulin, setiap
molekul antibody terdiri atas dua subunit yang mengandung rantai peptide
ringan dan berat. Beberapa karakteristik immunoglobulin yaitu antara lain , Ig G
(75 % dari total imunoglobulin), Ig A (15 % dari total imunoglobulin), Ig M (10
% dari total imunoglobulin), Ig D (0,2 % dari total imunoglobulin),Ig E (0,004
% dari total imunoglobulin)
f. Respons Imun Seluler
Reaksi seluler dimulai leh pemhikatan antigen dengan reseptor antigen
pada permukaan sel T. sel T akan membawa cetak biru atau pesan antigenic ke
nodus limfatikus tempat produksi sel – sel T yang lain distimulasi. Sebagian sel
T tetap berada dalam nodus limfatikus dan mempertahankan memri untuk
antigen tersebut. Sedangkan sebagian sel T lainnya akan bermigrasi dari nodus
limfatikus ke dalam system sirkulasi umum dan akhirnya ke jaringan tempat sel
tersebut berada.

Terdapat dua klasifikasi utama sel T efektor yang turut serta dalam
menghancurkan mikroorgansme asing. Sel T killer atau sitotoksik menyerang
antigen sacara langsung dengan mengubah membrane sel dan menyebabkan
lisis sel. Sel – sel hipersensitifitas tipe lambat melindungi tubuh melalui
produksi dan pelepasan limfosit. Limfokin yang termasuk dalam kelompok
glikoprotein yang lebih besar dan dikenal dengan nama sitokin, dapat
merekrut, mengaktifkan serta mengatur limfosit dan sel – sel darah putih
lainnya.

Limfosit lain yang membantu dalam memerangi mikroorganisme yaitu


limfosit null dan sel natural killer (NK). Limfosit null, merupakan
subpolpulasi limfosit yang kurang mengandung cirri – cirri khas dari limfosit
B dan T. Sel NK yang mewakili suppulasi limfosit lainnya tanpa karakteristik
sel B dan T yang akan mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme dan
beberapa tipe sel malignan. Sel NK dapat membunuh langsung
mikroorganisme penginvasi dan menghasilkan sitokin.

D. Patofisiologis
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif
tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali
dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang (Djuanda, 2000: 147) .
karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, Stres hormonal diikuti
peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat, Kegagalan
termoregulasi, Kegagalan fungsi imun, Infeksi.
1.      Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2.      Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel
yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E. Pathway

Alergi Infeksi Neoplasma faktor fisik Makanan


obat2an mikroorganism
e

Steven Johnson
Syndrome

Reaksi Alergi Type III Reaksi Alergi Type IV

Kompleks antigen & antibodi Sel T 

Terperangkap dalam jar. Limfosit & sitotoksin terlepas


Kapiler

Sel Mast 

Jaringan kapiler rusak

Akumulasi neutrofil

Reaksi Radang

Jaringan kulit dan mucosa Kelainan pada mata


eritema

Inflamasi dermal dan


epidermal
Kelainan selaput Conjungtivitis
lendir dan ofisium
Nyeri
Kesulitan menelan
Persepsi sensori
Kelainan penglihatan

Intake tidak adekuat

Kelemahan Fisik Integritas kulit

Nutrisi kurang dari Supply Nutrisi ke


kebutuhan tubuh jaringan otot  Intoleraksi aktivitas
F. Tanda dan Gejala

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:


1.    Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

2.    Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian
disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3.    Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen,
perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
G. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan
file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5
mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson
berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah
masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20
mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut
dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit
(K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-
50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80
mg.

3. Infus dan tranfusi darah


Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran
dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus
yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

H. Komplikasi
Bronkopneumonia (16%), sepsis, kehilangan cairan/darah, gangguan
keseimbangan elektrolit, syok, dan kebutaan karena gangguan lakrimasi.

Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

 Kehilangan cairan dan darah


 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
 Gastroenterologi - Esophageal strictures
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
 Pulmonari – pneumonia, bronchopneumoni
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
 Infeksi sitemik, sepsis.

I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
 Bila ditemukan leukositosis penyebab kemungkinan dari infeksi
 Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi.
2. Histopatologi
 Infiltrasi sel ononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superficial
 Edema dan extravasasi sel darah merah di dermis papilar.
 Degenerasi hidrofik lapisan absalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
 Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang dianeksa
 Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
3. Imunologi
 Deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial dan pada pembulih
darah yang mengalami kerusakan
 Terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara tersendiri atau
dalam kombinasi

J. Prognosis penyakit
Tes SCORTEN adalah tes untuk menskoring derajat keparahan Sindroma Steven
Johnson. Perhitungan dilakukan dalam 24 jam untuk memprediksi kematian. Adanya
penampakan dari tiap hal dibawah ini mendapat skor 1, dan jumlah dari poin-poin
inilah yang dinamakan angka SCORTEN dengan maksimum skor 7. Penampakan
yang diukur : umur lebih dari 40 tahun, adanya keganasan, nadi lebih dari 120 kali per
menit, kadar glukosa lebih dari 252 mEq/L5, luas permukaan tubuh yang terkena
lebih dari 10 % (Gustiawan, 2010.
Menurut Siregar, RS (2005, hlm.142) prognosis umumnya baik, dapat sembuh
secara sempurna bergantung pada perawatan dan cepatnya mendapat terapi yang
tepat. Jika terdapat purpura, prognosisnya lebih buruk, angka kematian lebih kurang
5-15 % karena purpura dapat menyebabkan pendarahan kecil didalam kulit, membran
mukosa, atau permukaan serosa tetapi dapat menyebabkan terjadinya lesi bercorak
anular atau serpiginosa dan biasanya terjadi setelah penyakit menular yang ditandai
dengan gejala demam, anemia, dan pendarahan kulit simetris yang timbul
mendadak  serta cepat meluas pada ekstrimitas bawah, sring ditandai dengan ganggren
dan trombosis intravaskuler yang luas.
K. Pengkajian
1. Identitas.
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan.
 Keluhan Utama
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan.
 Riwayat Kesehatan Sekarang.
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven
Johnson biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri
kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
 Riwayat Kesehatan Dahulu.
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu,
riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien.
 Riwayat Kesehatan Keluarga.
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.
 Riwayat Psikososial.
Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial.

3. Pola Fungsional Gordon.


 Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya?.
b. Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan konsumsi obat-
obatan tertentu?.
c. Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya kesehatan?.
pada klien dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat konsumsi
obat-obatan tertentu.
 Pola nutrisi –metabolism.
pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama dirawat di
rumah sakit?.
b. Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?.
c. Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah sakit?.
d. Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?.
e. Apakah klien mengalami mual dan muntah?.
f. Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan atau sebaliknya.
pada klien dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan nafsu
makan, sariawan pada mulut, dan kesulitan menelan.
 Pola eliminasi.
pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?.
b. Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?.
c. Kaji konsistensi BAB dan BAK klien.
d. Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?.
Klien dengan Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin, konstipasi,
membutuhkan bantuan untuk eliminasi dari keluarga atau perawat.
 Pola aktivitas – latihan.
pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat di rumah sakit?.
b. Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri.
c. Kaji tingkat ketergantungan klien
0 = mandiri.
1 = membutuhkan alat bantu.
2 = membutuhkan pengawasan.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain.
4 = ketergantungan
d. Apakah klien mengeluh mudah lelah?.
Klien dengan Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa lemas,
sehingga sulit untuk beraktifitas.
 Pola istirahat – tidur.
pada pola ini kita mengkaji:
a. Apakah klien mengalami gangguang tidur?.
b. Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang?.
c. Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?.
Klien dengan Steven Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan
istirahat karena nyeri yang dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada kulit.
 Pola kognitif – persepsi.
pada pola ini kita mengkaji:
a. Kaji tingkat kesadaran klien.
b. Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien, apakah mengalami
perubahan?.
c. Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien?.
d. Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?.
Klien dengan Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada penglihatannya,
serta rasa nyeri dan panas di kulitnya
 Pola persepsi diri - konsep diri.
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah klien memandang dirinya terhadap penyakit yang
dialaminya?.
b. Apakah klien mengalami perubahan citra pada diri klien?.
c. Apakah klien merasa rendah diri?.
Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa malu
dengan keadaan tersebut, dan mengalami gangguan pada citra dirinya.
 Pola peran – hubungan.
pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?.
b. Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?.
c. Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat sekitarnya?
 Pola reproduksi dan seksualitas.
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Bagaimanakah status reproduksi klien?.
b. Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?
 Pola koping dan toleransi stress.
Pada pola ini kita mengkaji:
a. Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini?.
b. Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang dialaminya?.
c. Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?
 Pola nilai dan kepercayaan.
Pada pola ini kita mengakaji:
a. Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien.
b. Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?

4. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi: Warna, suhu, kelembapan, kekeringan
 Palpasi: Turgor kulit, edema.
Data focus
DS: gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandangan kabur, aktifitas menurun.
DO: kemerah-merahan, memegang tenggorokan, tampak gelisah, tampak lemas
dalam beraktifitas.

5. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang.


 Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia.
 Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
 Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA

L. Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit.
2. Gangguan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit karena
destruksi lapisan kulit.
3. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari
intravaskuler ke dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya
jaringan kulit akibat luka.
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kesulitan
menelan.
5. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan  kelemahan fisik.
6. Infeksi berhubungan dengan hilangnya barier/perlindungan kulit.
7. Gangguan citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi,
kecacatan, kejadian traumatic.
M. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
Tujuan : Nyeri dapat dikontrol atau hilang.
Kriteria hasil :
 Klien melaporkan nyeri berkurang.
 Skala nyeri 0-2.
 Klien dapat beristirahat.
 Ekspresi wajah rileks.
 RR : 16 - 20 x/menit.
 TD : 100-130/60-90 mmHg.N    : 60 – 90 x/menit

No                     Intervensi                          Rasional

1 Kaji tingkat skala nyeri 1 – 10, Untuk mengetahui tingkat nyeri klien dan
lokasi dan intensitas nyeri merupakan data dasar untuk memberikan
intervensi
2 Kaji tanda-tanda vital (TD, RR, N) Untuk memonitor keadaan klien dan
mengetahui terjadinaya syok neurologik
3 Anjurkan dan ajarkan klien tehnik Untuk mengurangi persepsi nyeri,
relaksasi nafas dalam, distraksi, meningkatkan relaksasi dan menurunkan
imajinasi ketegangan otot
4 Tingkatkan periode tidur tanpa Kekurangan tidur dapat meningkatkan
gangguan persepsi nyeri
5 Kendalikan faktor lingkungan yang Lingkungan yang tenang dapat
dapat mempengaruhi respon pasien menjadikan pasien dapat istirahat.
terhadap ketidaknyamanan
6 Kolaborasi dalam pemberian obat Membantu mengurangi atau
analgetik menghilangkan nyeri
2. Gangguan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit karena
destruksi lapisan kulit.
Tujuan               : integritas kulit menunjukkan regenerasi jaringanKriteria hasil :
 Luka mencapai penyembuhan tepat pada waktunya dan bebas dari purulen.
 Tidak ada tanda-tanda infeksi (nyeri, merah, bengkak, panas, fungsio lesi).
 Kulit membaik/ terjadi regenerasi jaringan.
 TD : 100-130/60-90 mmHg.
 N : 60 – 90 x/menit.
 Suhu : 36,5- 37, 4 C

No                 Intervensi                         Rasional

1 Kaji ukuran, warna luka, Memberikan informasi dasar tentang


perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi luka
kondisi sekitar luka
2 Berikan perawatan luka yang tepat Meningkatkan pemulihan dan menurunkan
dan tindakan kontrol infeksi risiko infeksi
3 Berikan lingkungan yang lembab Lingkungan yang lembab memberikan
dengan kompres kondisi optimum bagi penyembuhan luka
4 Dorong klien untuk istirahat Untuk mendukung pertahanan tubuh

5 Tingkatkan masukan nutrisi, Untuk meningkatkan pembentukan


protein dan karbiohidrat granulasi yang normal dan kesembuhan
6 Kolaborasi pemberian obat Memperlancar terapi dan mempercepat
sistemik proses penyembuhan

3. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari


intravaskuler ke dalam rongga interstisial dan rusaknya jaringan kulit akibat luka.
Tujua  : Tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria hasil     :
 Haluaran urine individu adekuat (0,5-1,0 mg/kg BB/jam).
 Turgor kulit baik.
 Urin jernih dan berwarna kuning.
 Membran mukosa lembab.
 TD normal (100-130/60-90 mmHg).
 Denyut nadi (60-90 x/menit).
 Kadar elektrolit serum dalam batas normal.

No                 Intervensi                         Rasional

1 Kaji dan catat turgor kulit Untuk mengetahui keseimbangan cairan


tubuh
2 Observasi tanda vital Untuk memonitor  keadaan umum klien

3 Monitor dan catat cairan yang Agar keseimbangan cairan tubuh klien
masuk dan keluar terpantau
4 Timbang BB klien setiap hari Penggantian cairan tergantung pada BB
klien
5 Berikan penggantian cairan IV Resusitasi cairan menggantikan kehilangan
yang dihitung, elektrolit, plasma, cairan/elektrolit dan mencegah komplikasi
albumin
6 Awasi pemeriksaan laboratorium Mengidentifikasi kehilangan darah atau
(Hb/Ht, natrium urine random) kerusakan sel darah merah, dan kebutuhan
penggantian cairan dan elektrolit

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kesulitan menelan.
Tujuan               : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil     :
 Tidak terjadi penurunan BB/BB ideal.
 Nafsu makan meningkat.
 Lesi di bibir atau mulut tidak ada.
 Makanan yang disediakan 80% dihabiskan

No                 Intervensi                         Rasional

1 Monitor intake dan output nutrisi Untuk mengetahui pemasukan dan


pengeluaran makanan
2 Kaji terhadap malnutrisi dengan Memberikan pengukuran objektif terhadap
mengukur tinggi dan BB status nutrisi
3 Jaga kebersihan mulut untuk Mulut yang bersih memungkinkan
menambah nafsu makan pasien peningkatan nafsu makan
4 Berikan makan sedikit tapi sering Makanan dalam porsi kecil mudah
hingga jumlah asupan nutrisi dikonsumsi oleh klien dan mencegah
tercukupi terjadinya anoreksia.
5 Berikan makanan untuk pasien Memudahkan pasien dalam menelan
dalam bentuk hangat dan sedian makanan
lunak/bubur
6 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Agar kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
menentukan kebutuhan nutsi klien
7 Kolaborasi dengan tim medis Memberikan dukungan nutrisi bila klien
tentang makanan pengganti tidak bisa mengkonsumsi jumlah yang
(enteral /parenteral) cukup banyak peroral.

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan  kelemahan fisik.


Tujuan               : Klien dapat bertoleransi terhadap aktivitas.
Kriteria Hasil    : Klien mengatakan peningkatan toleransi aktivitas

No                 Intervensi                         Rasional


1 Kaji respon individu terhadap Untuk mengetahui tingkat kemampuan
aktivitas individu dalam pemenuhan aktivitas
sehari-hari.
2 Bantu klien dalam memenuhi Energi yang dikeluarkan lebih optimal
aktivitas sehari-hari dengan
tingkat keterbatasan yang dimiliki
klien
3 Jelaskan pentingnya pembatasan Pembatasan aktivitas penting untuk
aktivitas membatasi energi yang dikeluarkan, karena
energi penting untuk membantu proses
metabolisme tubuh
4 Libatkan keluarga dalam Klien mendapat dukungan psikologi dari
pemenuhan aktivitas klien keluarga

6. Resiko infeksi berhubungan dengan hilangnya barier/perlindungan kulit.


Tujuan               :  Tidak terjadi infeksi lokal atau sistemik.
Kriteria hasil     :
 Tidak ada tanda-tanda infeksi (merah, bengkak, panas, nyeri, fungsio lesi).
 Leukosit (5000 - 10000/mm3).
 Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 - 37,4  C).
 RR : 16 – 20 x/menit.
 TD : 100-139/60-96 mmHh.
 N    : 60 – 100 x/menit.
 Luka mencapai penyembuhan tepat waktu, bebas dari purulen dan tidak demam
No Intervensi Rasional
1 Monitor tanda-tanda vital Perubahan tanda vital secara drastis
merupakan komplikasi lanjut untuk terjadinya
infeksi
2 Observasi keadaan luka setiap Untuk mengidentifikasi adanya penyembuhan
hari
3 Jaga agar luka tetap bersih atau Menurunkan resiko inspeksi dan untuk
steril mencegah terjadinya kontaminasi silang
4 Lakukan perawatan luka setiap Untuk mempercepat penyembuhan
hari (kompres luka dengan NaCl)
dan bersihkan jaringan nekrotik
5 Berikan perawatan pada mata Mata dapat membengkak oleh drainase luka
6 Tingkatkan asupan nutrsisi Nutrisi mempengaruhi sintesis protein dan
fotositosis
7 Batasi pengunjung dan anjurkan Untuk mencegah terjadinya kontaminasi
pada keluarga/pengunjung untuk silang
mencuci tangan sebelum kontak
langsung dengan klien
8 Pantau hitung leukosit, hasil Peningkatan leukosit menunjukkan infeksi,
kultur dan tes sensitivitas pemeriksaan kultur dan sensitivitas
menunjukkan mikroorganisme yang ada dan
antibiotic yang tepat diberikan
9 Kolaborasi berikan antibiotic Mengurangi jumlah bakteri

7. Gangguan citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi,


kecacatan, kejadian traumatic.
Tujuan : terjadi perbaikan penampilan peran.
Kriteria hasil :
 Klien tidak berperasaan negative tentang dirinya.
 Klien menyatakan penerimaan situasi diri.
 Klien tidak takut/malu berinteraksi dengan orang lain.
 Klien bicara dengan keluarga terdekat tentang situasi/ perubahan yang  terjadi
No Intervensi Rasional
1 Kaji makna kehilangan/perubahan Episode traumatic mengakibatkan
pada pasien/orang terdekat perubahan tiba-tiba
2 Terima dan akui ekspresi frustasi, Penerimaan perasaan sebagai respons
ketergatnungan, marah, kedukaan. normal terhadap apa yang terjadi
Perhatikan perilaku menarik diri membantu perbaikan
dan penggunaan penyangkalan
3 Bersikap realistis dan positif Meingkatkan kepercayaan dan
selama pengobatan, pada mengadakan hubungan antara pasien dan
penyuluhan kesehatan dan perawat
menyusun tujuan dalam
keterbatasan
4 Berikan harapan dalam parameter Meningkatkan perilaku positif dan
situasi individu memberikan kesempatan untuk menyusu
tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realita
5 Berikan penguatan positif terhadap Kata-kata penguatan dapat mendukung
kemajuan dan dorong usaha untuk terjadinya perilaku koping positif
mengikuti tujuan rehabilitasi
6 Dorong interaksi keluarga dan Mempertahankan /membuka garis
dengan tim medis rehabilitasi komunikasi dan memberikan dukungan
terus-menerus pada pasien dan keluarga

DAFTAR PUSTAKA

Askep Pasien Dengan Gangguan Sistem Integumen, Sister School Program Dinas
Kesehatan Propinsi Jateng Semarang, 2004
Carpenito, Lynda Jual, 2004 Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi.Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III, Jakarta : EGC
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi
2. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
Edisi IV, Jakarta : EG
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8, volume 3.Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2.Jakarta: Media Aesculapius.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media
Aesculapius : Jakarta

LAMPIRAN

PERTANYAAN :

1. Mengapa kelompok mengangkat diagnosa gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan


tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan?
2. Kulit bagian mana saja yang mungkin terkena steven johnson dan penularannya
melalui apa?
3. Mengapa anak usia dibawah 3 tahun tidak terkena steven johnson?
4. Apa saja komplikasi dari penyakit ini, dan tolong jelaskan maksud dari reaksi
hipersensitif tipe 3 dan 4?

JAWABAN
1. Kami mengangkat diagnosa gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kesulitan menelah karena salah satu tanda dan gejala penyakit
ini ada kesulitan menelan apabila penyakit ini menyerang bagian membran mukosa.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.
2. Yang bisa terkena steven johnson adalah semua bagian. Selain menyerang kulit,
steven johnson juga menyerang lapisan mukosa dan mata.
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi
purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian
disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan
anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di
bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas
dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernafas.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen,
perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
3. Syndrome ini sebagian besae menyerang orang dewasa. Syndrom ini jarang
ditemukan pada usia 3 tahun kebawah karena anak pada usia tersebut masih memiliki
daya imun yang kuat. Namun bukan anak dengan usia tersebut tidak terkena, hanya
saja jarang ditemukan.
4. A. Komplikasi yang diakibatkan dari penyakit ini adalah
 Kehilangan cairan dan darah
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
 Gastroenterologi - Esophageal strictures
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
 Pulmonari – pneumonia, bronchopneumoni
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulit sekunder
 Infeksi sitemik, sepsis

B. Reaksi Hipersensitif
i. Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

ii. Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel
yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Anda mungkin juga menyukai