Anda di halaman 1dari 4

International Patient Safety Goal 

adalah salah satu standar yang berada di dalam


akreditasi Joint Commission International (JCI) yang bertujuan untuk membuat asuhan
keperawatan yang dilakukan di Rumah Sakit khususnya ruang inap menjadi lebih aman.
Kesiapan adalah suatu titik kematangan untuk menerima dan mempraktekkan tingkah laku
tertentu. Berikut penerapan 6 tujuan keselamatan pasien (International Patient Safety
Goals):

1. Identifikasi pasien secara tepat (Identify Patients Correctly): didapat dengan


menggunakan minimal 2 identitas pasien dengan kombinasi nama lengkap dan tanggal
lahir, atau nama lengkap dan nomor rekam medis, atau nama lengkap dan alamat. Untuk
pasien bayi baru lahir, dipasang satu gelang pada kaki dengan warna sesuai jenis kelamin.
Bagi ibu yang baru melahirkan diberi dua identitas dengan gelang pertama sesuai identitas
ibu dan gelang kedua sesuai dengan jenis kelamin bayi dan nomor seri gelang.
2. Mengembangkan komunikasi yang efektif (Improve Effective Communication):
komunikasi verbal dicapai dengan menggunakan metode read back dan SBAR.

1. Read back dilakukan saat perawat menerima perintah lisan dari dokter melalui
telepon dengan cara menulis dan mengulang kembali terapi yang disampaikan
dokter dan harus ditanda tangani dalam waktu 1 x 24 jam.
2. SBAR digunakan saat perawat melapor pasien yang kritis melalui telepon, hand over, dan
operan pasien antar ruangan. Perawat memperkenalkan diri terlebih dahulu saat melapor
melalui telepon. S untuk situation atau situasi yang menggambarkan keadaan pasien yang
dilaporkan, B untuk background atau gambaran riwayat yang mendukung terjadinya kondisi
demikian, A untuk assessment sebagai kesimpulan dari hasil analisa terhadap situasi dan
background, dan R untuk recommendation sebagai usulan pelapor kepada dokter tentang
alternatif tindakan yang dapat dilakukan.
3. Program pemberian medikasi untuk pasien harus dilakukan teach back dimana disebut
lagi nama obat, kemudian mengeja nama obat huruf demi huruf untuk obat-obatan yang
mirip atau kedengarannya sama. Diulang juga dosis, cara pemberian, dan waktu pemberian.
4. Setelah read back, SBAR, dan teach back telah dilaksanakan, perawat memastikan
kembali kebenaran isi read back. Kemudian program yang sudah ditulis pada catatan
perkembangan terintegrasi diberi cap READ BACK dan stiker SIGN HERE untuk
mengingatkan dokter menandatangani program via teleponnya.

Untuk penulisan diagnosa dan terapi medis yang efektif, dilakukan penulisan dengan huruf
cetak, dan semua singkatan sesuai dengan standar singkatan yang ada. Selain itu, dalam
komunikasi verbal juga disampaikan hasil pemeriksaan diagnosis penunjang yang
memerlukan penanganan segera kepada DPJP, disebut nilai hasil kritis. Nilai ini harus
dilaporkan kurang dari satu jam baik oleh dokter atau petugas laboratorium, radiologi, dan
perawatan perekaman EKG kepada DPJP. Bila DPJP tidak dapat dihubungi, hasil dapat
dilaporkan kepada dokter atau perawat In Patient Department. Pelapor harus mencatat
tanggal, waktu menelepon, nama lengkap pelapor sendiri, dan nama lengkap petugas
kesehatan yang dihubungi. Penerima laporan menerima hasil kritis dengan teknik write
back, read back, konfirmasi, dan ditulis dalam rekam medis. Dokter atau perawat IPD
harus langsung menghubungi DPJP yang merawat pasien. DPJP bertugas memberi
interpretasi kepada hasil dan memberi tindakan medis untuk pasien. Pelapor harus
mencatat tindakan yang akan diambil untuk pasien. Semua nilai kritis maupun interpretasi
kemudian disampaikan melalui formulir hasil pemeriksaan sesuai dengan SPO Penyerahan
Hasil.
3. Meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian (Improve the
safety of High-Alert Medications): didapat dengan tidak menyimpan elektrolit seperti KCl
7,64%, NaCl 3%, Natrium Bikarbonat, narkotika, kontras radiologi, insulin injeksi, obat
kemoterapi, obat relaksan otot, dan lain-lain.
4. Meningkatkan benar lokasi, benar pasien, benar prosedur pembedahan (Ensure Correct-
Site, Correct-Procedure, Correct-Patient Surgery): dicapai dengan melakukan site marking
atau memberi tanda yang jelas dan dimengerti untuk mengidentifikasi lokasi untuk operasi
oleh person in charge maupun anggota tim yang telah mendapat briefing mengenai operasi
dan prosedurnya. Setelah itu, dilakukan proses penandaan (checklist) yang melibatkan
pasien untuk menyebutkan nama lengkap, tanggal lahir, dan lokasi atau prosedur tindakan.
Sebelum prosedur dilaksanakan, dilakukan time out dimana staf secara verbal
mengkonfirmasi pasien yang tepat, lokasi tepat telah ditandai, prosedur yang akan
dilaksanakan, dan dokumen juga peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
5. Mengurangi risiko infeksi (Reduce the risk of health care-Associated Infections): didapat
dengan melakukan cuci tangan 6 langkah pada 5 momen (sebelum kontak dengan pasien,
sebelum tindakan aseptis, setelah terkena cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan
pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien).
6. Mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh (Reduce the risk of patient harm resulting
from falls): didapat dengan melakukan pengkajian awal dan berkala mengenai risiko pasien
jatuh dan melakukan tindakan untuk mengurangi risiko yang teridentifikasi. Pada pasien
dewasa digunakan skala Morse dan anak-anak menggunakan skala Humpty Dumpty.
Pemasangan gelang risiko jatuh apabila skor >7 untuk pasien dewasa dan >12 untuk anak-
anak. Pencegahan pasien cedera karena jatuh dapat dilakukan dengan memastikan rem
tempat tidur terkunci, memastikan bel terjangkau, menyingkirkan barang yang berbahaya
terutama pada malam hari seperti kursi tambahan, memastikan alas kaki tidak licin,
mengedukasi pasien untuk mobilisasi secara bertahap, dan lain-lain [6].

6. Liputo G. 6 Goals Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit (IPSG) [Internet]. Gustinerz.com. [cited
27 Maret 2021]. Available from: https://gustinerz.com/6-goals-keselamatan-pasien-di-rumah-
sakit-ipsg/

Adapun standar dari setiap ruangan adalah sebagai berikut:


1. Suhu ruangan 24±2 ºC.
2. Kelembaban ruangan 55±5%.
3. Pencahayaan 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk tidur.
4. Jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter.
5. Ruang perawatan memiliki 6 – 12 kali pergantian udara perjam.
6. Tirai antar tempat tidur yang berbahan non porosif dan mudah di dekontaminasI, rel
tirai harus dibenamkan atau menempel di plafon.
7. Dua kotak kontak listrik di setiap tempat tidur dan tidak ada percabangan atau
sambungan langsung tanpa pengamanan arus.
8. Outlet oksigen di setiap tempat tidur.
9. Bukaan jendela yang aman untuk kebutuhan pencahayaan dan ventilasi alami.
10. Nurse call di setiap tempat tidur yang terhubung ke pos perawat (nurse station).
11. Kamar mandi yang mengikuti persyaratan aksesibilitas.
1. Ukuran ruangan perawatan isolasi minimal 3x4 m2.
2. Satu ruangan untuk satu tempat tidur.
3. Bahan bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi.

4. Setiap ruangan disediakan minimal 2 kotak kontak dan tidak boleh ada
percabangan/sambungan langsung tanpa pengamanan arus.
5. Harus disediakan outlet oksigen dan vakum medik.
6. Disediakan toilet pasien.
7. Dilengkapi wastafel pada ruangan.
8. Persyaratan ventilasi udara sebagai berikut:
1. Ruangan bertekanan lebih negatif dari ruangan disebelahnya.
2. Ruangan harus menjamin terjadinya pertukaran udara baik alami maupun mekanik.
Untuk ventilasi mekanik minimal total pertukaran udara 6 kali/jam.
3. Dilengkapi ruangan antara (airlock) jenis sink, dimana airlock bertekanan lebih
negatif dibandingkan ruangan ruangan disebelahnya.

9. Ruangan harus nengoptimalkan pencahayaan alami. Pencahayaan buatan menggunakan


intensitas cahaya 200 lux untuk penerangan, dan 50 lux untuk tidur.
10. Ruangan perawatan isolasi harus menyediakan nurse call yang terhubung ke pos perawat
(nurse station). [7]

1. Kamar mandi pasien, terdiri dari kloset, shower (pancuran air) dan bak cuci
tangan (wastafel).
2. Khusus untuk kamar mandi bagi penyandang cacat mengikuti pedoman atau
standar teknis yang berlaku.
3. Jumlah kamar mandi untuk penyandang cacat, 1 (satu) buah untuk setiap kelas.
4. Toilet umum, terdiri dari kloset dan bak cuci tangan (wastafel).
5. Disediakan satu toilet umum untuk penyandang cacat di lantai dasar, dengan
persyaratan sebagai berikut:
1. Toilet umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan tampilan
rambu/simbol "penyandang cacat" pada bagian luarnya.
2. Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup
untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.
3. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian pengguna
kursi roda sekitar (45 ~ 50 cm).
4. Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan rambat
(handrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan
pengguna kursi roda dan penyandang cacat yang lain. Pegangan
disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu
pergerakan pengguna kursi roda.
5. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran (shower) dan
perlengkapanperlengkapan seperti tempat sabun dan pengering tangan
harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang yang
memiliki keterbatasan keterbatasan fisik dan bisa dijangkau pengguna
kursi roda.
6. Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin. Lantai tidak boleh
menggenangkan air buangan.
7. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan pengguna kursi
roda.
8. Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa dibuka
dari luar jika terjadi kondisi darurat.
9. Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada daerah pintu masuk,
disarankan untuk menyediakan tombol bunyi darurat (emergency sound
button) bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Anda mungkin juga menyukai