Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Ulumul Qur’an

Imu Tentang Terjemahan Al-qur'an

Dosen Pengampuh :

Ahmad junaidy Lc.,M.Pd

Disusun Oleh :

Siti Yasinta Ramadhani : 19.2.4.006

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
2020
KATA PENGANTAR

‫س ِم هّٰللا ِ ال َّر ْحمٰ ِن ال َّر ِح ْي ِم‬


ْ ِ‫ب‬

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah swt.Karena berkat rahmat dan
karunianya penyusun dapat membuat makalah ini dengan baik dan dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul "Terjemah Al-Quran". Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Ulumul Quran.Dengan jaman yang semakin berkembang sekarang ini
Al-Quran yang ada di sekitar tidak lagi hanya berbentuk tulisan Arab tetapi disertai dengan
terjemahan didalamnya agar lebih memudahkan kita dalam menafsirkan atau mengambil ini
dari apa yang dituliskan Allah dalam Al-Quran. Kepada semua pihak yang telah memberikan
saran dan dukungan terutama kepada seluruh anggota yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini dan kepada dosen mata kuliah Ulumul Quran penyusun sampaikan
penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya. Peyusun menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penyusun sangat
mengharapkan sumbangan pikiran kritik dan saran. saran dari pembaca demi penyempuraan
selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat memenuhi harapan dan ada manfaatnya bagi
para pembaca.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

BAB 1: PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah...................................................................................... 1


B. Rumusan masalah............................................................................................... 1

BAB 2: PEMBAHASAN

A. Pengertian Terjemah Al-Qur’an......................................................................... 2


B. Hukum Terjemah Harfiyah dan Maknawiyah.................................................... 3
C. Terjemah Tafsiriyah.......................................................................................... 5
D. Hukum Membaca Al-Qur’an dalam shalat dengan selain Bahasa Arab............ 5

BAB 3: PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................................ 8
B. Saran................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al Qur-an adalah warisan Nabi Muhammad yang paling berharga bagi umat islam, yang
patut dijaga dan dilestarikan. Apabila para sahabat, tabi'in dan ulama salaf begitu gigih
melestarikan Al-Quran baik dengan pengumpulannya, penulisannya, pembukuannya dan
penafsirannya maka sudah sepatutnya kita pun dituntut untuk melestarikan Al-Quran
dengan kemampuan yang kita miliki. Seperti dengan gerakan penerjemahan Al-Quran ke
dalam berbagai bahasa di dunia. Penerjemahan Al-Quran menjadi penting karena stagnasi
penerjemahan Al-Quran akan dibarengi dengan penguatan penerjemahan destruktif, suatu
upaya sistematis yang sengaja dibuat untuk membentuk opini publik yang tidak
menguntungkan bagi umat Islam. Maka gerakan penerjemahan harus dihidupkan bukan
ditiadakan atau hanya cukup berdasarkan penerjemahan resmi pemerintah. Terjamah
sebenarnya tidak hanya berarti memindahkanAl-Quran dari bahasa aslinya ke dalam
bahasa selain Al-Qur-an, tetapi berarti juga penafsiran terhadap Al-Quran, maka
seringkali Tafsir jalalain atau tafsir lainnya disebut dengan terjemahan Al-Qur-an. Oleh
karena itu gerakan terjemah Al-Quran mesti terus dikembangkan. Selain merespons
perubahan yang terjadi begitu cepat ataupun mengcounter pemikiran miring terhadap Al-
Quran.

B. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang yang tertulis di atas, maka kita bisa menarik beberapa rumusan
masalah, antara lain yaitu :

A. Apa pengertian Terjemah Al-Qur’an?


B. Apa hukum terjemah harfiyah dan makanwiyah?
C. Apa itu terjemah tafsiriyah?
D. Apa hukum membaca Al-Qur’an dalam Shalat dengan selain Bahasa Arab?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Terjemah Al-Qur’an

Kata terjemah berasal dari bahasa Arab ‫ ت??ر جمة‬yang diadopsi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi terjemah atau tarjamah. Menurut asal katanya kata tersebut
mengandung arti menjelaskan dengan bahasa lain atau memindahkan makna dari satu
bahasa ke bahasa lain. DalamKamus Umum Bahasa Indonesia, disebutkan terjemah =
terjemahan salinan sesuatu bahasa kepada bahasa lain. Menterjemahkan berarti menyalin
atau memindahkan darisatu bahasa pada bahasa lain.

Secara defnitif terjemah adalah suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks
bahasa pertama atau bahasa sumber (source language) dengan padanannya didalam
bahasa kedua atau bahasa sasaran (target language).

Dalam The New Oxford Dictionary of English disebutkan : the process of translating
words or text from one language into another.

Dari dua pengertian tadi terlihat ada dua kata kunci dalam kegiatan terjemah: teks dan
padanan. Yang dimaksud teks di sini adalah teks dalam pengertian yang luas bisa berarti
wacana atau juga satuan bahasa yang paling lengkap bisa berupa tulisan ataupun lisan.
Kemudian yang dimaksud dengan padanan juga dalam pengertian yang luas, bukan saja
padanan kata per kata.

Jadi, Terjemahan Al-Qur’an artinya memindahkan Al-Qur’an pada bahasa lain yang
bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar dapat
dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga ia bisa memahami maksud kitab
Allah swt. dengan perantaraan terjemahan ini.

2
B. Hukum Terjemah Harfiyah dan Maknawiyah
1. Terjemah Harfiyah

Pengertian Tarjamah Harfiyah adalah memindahkan (suatu isi ungkapan) dari satu
bahasa ke bahasa lain, dengan mempertahankan bentuk atau urutan kata-kata dan susunan
kalimat aslinya.

Terjemah ini mustahil dilakukan dalam Al-Qur'an, apabila dilakukan maka penggantian
huruf atau kalimat dari bahasanya akan menghilangkan kemukjizatannya, sehingga tidak
lagi bisa disebut Qur'an. Perlu digaris bawahi bahwa bahasa mempunyai dua makna:
makna pertama ialah makna asli yang tidak ada satu bahasa pun yang berbeda, makna
kedua atau makna yang berbeda dengan perbedaan bahasa dan banyak manusia salah
memahami dan berbeda derajat kehalusannya. Seperti misalnya menterjemah ayat:

ْ ‫َواَل تَجْ َعلْ يَدَكَ َم ْغلُوْ لَةً اِ ٰلى ُعنُقِكَ َواَل تَ ْبس‬
ِ ‫ُطهَا ُك َّل ْالبَس‬
‫ْط فَتَ ْق ُع َد َملُوْ ًما َّمحْ سُوْ رًا‬

"Dan janganlah engkau tanganmu mencekik lehermu dan janganlah menghamparkannya


selebar mungkin maka engkau akan terduduk merugi" (QS. Al-Isra : 29)

Kalau anda menerjemahkan ayat di atas secara harfiyah seperti contoh terjemah di atas
maka anda tidak akan memahami maksudnya. Sesungguhnya yang dimaksud ayat ini
ialah larangan bakhil dan berlebih-lebihan dan bukan seperti yang disebut secara harfiyah
dalam terjemah di atas.

2. Terjemah Maknawiyah

Dalam penerjemahan makna-makna sanawi al-Qur’an tidaklah mudah sebab tidak ada
satu bahasa pun yang sesuai dengan bahasa Arab dalam dalalah [petunjuk] lafadz-
lafadznya terhadap makna-makna yang oleh ahli ilmu bayan dinamakan khawaassut
tarkib (karakteristik-karakteristik susunan). Hal demikian tidak mudah didakwakan
seseorang. Dan itulah yang dimaksudkan Zamarkasyi dalam pernyataan sebelumnya.

Segi-segi balaghah al-Qur’an dalam lafadz maupun susunan, baik nakirah maupun
ma’rifatnya, taqdiim dan ta’khiir-nya, disebutkan dan dihilangkannya maupun hal-hal
lainnya adalah yang menjadi keunggulan bahasa al-Qur’an, dan ini mempunyai pengaruh
tersendiri terhadap jiwa. Segi-segi kebalaghahan al-Qur’an ini tidak mungkin terpenuhi
jika makna-makna tersebut dihiliangkan dalam bahasa lain, karena bahasa mana pun tidak
mempunyai khawas tersebut.

3
Adapun makna-makna asli, dapat dipindahkan ke dalam bahasa lain. Dalam al-
Muwaffaqaat, Syatibi menyebutkan makna-makna asli dan makna-makna sanawi,
kemudia ia menjelaskan, menerjemahkan al-Qur’an dengan cara pertama, yakni dengan
memperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan al-
Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada kalangan awam dan mereka tidak
mempunyai pemahaman kuat untuk mengetahui maknanya. Cara demikian diperbolehkan
berdasarkan konsensus ulama Islam. Dan konsensus ini menjadi hujjah bagi
dibenarkannya penerjemahan makna asli al-Qur’an.

Namun demikian, terjemahan makna-makna asli itu tidak terlepas dari kerusakan karena
satu buah lafadz di dalam al-Qur’an terkadang mempunyai makna atau lebih yang
diberikan oleh ayat. Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya
meletakkan satu lafadz yang hanya menunjukkan satu makna, karena tidak mendapatkan
satu lafadz serupa dengan lafadz Arab yang dapat memberikan lebih dari satu makna itu.

Terkadang al-Qur’an menggunakan sebuah lafadz dalam pengertian majaz (kiasan), maka
dalam hal demikian penerjemah hanya mendatangkan satu lafadz yang sama dengan
lafadz Arab dimaksud dalam pengertian yang hakiki. Karena hal ini dan hal lain maka
terjadilah banyak kesalahan dalam penerjemahan makna-makna al-Qur’an.

Pendapat yang dipilih oleh Syatibi sebelumnya yang dianggapnya sebagai hujjah tentang
kebolehan menerjemahkan makna asli al-Qur’an tidaklah mutlak. Sebab sebagian ulama
membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu dengan kadar darurat dalam
menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenaan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah,
tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuannya,
diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.

4
C. Terjemah Tafsiriyah

Terjamah tafsiriyah adalah terjamah dengan bahasa selain bahasa Al-Qur'an dengan
bahasa Arab maupun bahasa lainnya. Contoh: Tafsir jalalain, Hasyiyatut tafsir:

Terjemah semacam ini tetap mencantumkan bahasa aslinya dan menggunakan pemisah
antara Al-Qur'an dengan terjemahnya. Dalam bahasa selain Arab kita temukan dalam dua
kolom berbeda sebagaimana kita lihat pada umumnya.

Terjamah Tafsiriyah juga adalah menerangkan sebuah kalimat dan menjelaskan artinya
dengan bahasa yang berbeda, tanpa mempertahankan susunan dan urutan teks aslinya,
dan juga tidak mempertahankan semua Makna yang terkandung dan dikehendaki dari
naskah aslinya. Cara praktek terjemahan semacam ini, pertama-tama dengan cara
memahami Makna yang dikehendaki dari naskah aslinya, kemudian kita mengungkapkan
pemahaman tersebut dengan gaya bahasa terjemah yang kita pakai, sesuai dengan tujuan
dari makna tersebut.

Setelah kita ketahui apa itu Tarjamah Tafsiriyah, dan dimana letak perbedaannya dengan
Tarjamah Harfiyah; maka, bisa kita simpulkan, bahwa terjemah Al-Qur’an dengan
Tarjamah Tafsiriyah hukumnya Boleh; karena, sebenarnya terjemahan model ini bisa
dikategorikan Tafsir dengan bahasa selain bahasa diturunkannya Al-Qur’an yaitu bahasa
Arab.

Para ulama telah menemukan kata sepakat (Ijma’) terhadap bolehnya menafsirkan Al-
Qur’an bagi pakar atau ahlinya, sesuai dengan kemampuan basyariahnya, tanpa harus
tahu semua apa yang dikehendaki Allah Swt dari firman-Nya tersebut; sementara
Tarjamah Tafsiriyah telah masuk dalam koridor Tafsir ke dalam bahasa ‘Ajam (selain
bahasa Arab).

D. Hukum membaca Al-Qur’an dalam Shalat dengan Selain Bahasa Arab

Pendirian para ulama dalam hal pembacaan al-Qur’an dalam shalat dengan selain
bahasa Arab, terbagi atas dua madzab:
1. Boleh secara mutlak, atau di saat tidak sanggup mengucapkan dengan bahasa Arab.
2. Haram, dan shalat dengan bacaan seperti ini tidak sah.

5
Pendapat pertama adalah pendapat ulama madzab Hanafi.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia berpendapat, boleh dan sah membaca al-Qur’an
dalam shalat dengan bahasa Persia. Dan atas dasar ini, sebagian shahabat [murid]nya
memperbolehkan pula membacanya dalam bahasa Turki, India dan bahasa-bahasa
lainnya. Nampaknya mereka dalam hal ini memandang al-Qur’an adalah nama bagi
makna-makna [substansi, hakekat] yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz Arab. Sedangkan
makna-makna itu tidaklah berbeda-beda karena perbedaan lafadz dan bahasa.

Dua orang murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Husain, membatasi hal
tersebut dengan “dalam keadaan darurat”. Mereka membolehkan bagi yang tidak mampu
mengucapkan bahasa Arab, membaca al-Qur’an dalam shalat dengan bahasa asing, tetapi
tidak bagi yang tidak sanggup membacanya dengan bahasa Arab. Dalam Mi’rajud
Diraayah dikemukakan, kami memperbolehkan membaca terjemah al-Qur’an [dalam
shalat] bagi yang tidak mampu jika hal itu tidak termasuk makna, sebab terjemahan
tersebut adalah al-Qur’an juga dilihat dari segi cakupannya terhadap makna. Oleh karena
itu makna membacanya lebih baik daripada meninggalkannya samasekali karena
pembebanan [taklif] itu sesuai dengan kemampuan.

Diriwayatkan, Abu Hanifah telah mencabut kembali “kebolehan secara mutlak” yang
dinukil dari beliau tersebut.

Pendapat kedua adalah pendapat jumhur. Ulama madzab Hanafi, Syafi’i dan Hambali
tidak membolehkan bacaaan terjemahan al-Qur’an dalam shalat, baik yang mampu
membaca bahasa Arab maupun tidak, sebab terjemahan al-Qur’an bukanlah al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah susunan perkataan mukjizat, yaitu kalamullah yang menurut-Nya
sendiri, ber-“bahasa Arab.” Dan dengan menerjemahkannya hilanglah kemukjizatannya
dan terjemahannya bukanlah kalamullah.

Berkata Qadi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi, salah seorang fuqaha Maliki, ketika menafsirkan
firman Allah yang artinya: “Dan jikalau Kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam
bahasa selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-
ayatnya?’ Apakah [patut al-Qur’an itu] dalam bahasa asing sedang [Rasul adalah orang]
Arab?” (Fushshillat: 44) sebagai berikut:

6
“Para ulama kita mengatakan, ayat ini membatalkan pendapat Abu Hanifah yang
menyatakan bahwa menerjemahkan al-Qur’an dengan menggantikan bahsa Arabnya
dengan bahasa Persia itu boleh. Sebab, Allah telah berfirman dalam surah Fushshilat ayat
44. Dalam ayat ini Allah menafikan jalan bagi bahasa asing untuk masuk ke dalam al-
Qur’an. 

Al-Hafidz Ibnu Hajar, salah seorang fuqaha Syafi’i, dalam Fathul Baari berkata: “Jika
seseorang sanggup membacanya dalam bahasa Arab, maka ia tidak boleh beralih darinya,
dan shalatnya tidak sah, dengan membaca terjemahan tersebut, walaupun ia tidak sanggup
membacanya dengan bahasa Arab.” Kemudian ia menyebutkan, Syari’ [Allah, Rasul]
telah membuat bagi mereka yang tidak sanggup membaca dengan bahasa Arab,
penggantinya, yaitu dzikir.

Agama mewajibkan kepada para pemeluknya agar mempelajari bahasa Arab, karena
bahasa ini adalah bahasa al-Qur’an dan kunci untuk memahaminya. Dan berkata juga
Ibnu Taimiyah dalam al-iqtida’, “Juga, karena bahasa Arab itu sendiri termasuk agama.
Dan mengetahuinya adalah fardlu yang wajib, karena memahami kitab dan sunnah adalah
fardlu. Keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu,
yang kewajiban tidak dapat dijalankan secara sempurna kecuali dengannya, maka ia
adalah wajib.”

Adapun pendapat ulama madzab Hanafi mengenai kebolehan shalat dengan terjemahan
al-Qur’an, maka mereka yang membolehkan memandang kebolehan ini hanya sebagai
rukshah [dispensasi] bagi orang yang tidak mampu. Namun mereka tetap sependapat
bahwa terjemahan al-Qur’an tidaklah dinamakan al-Qur’an. Terjemahan ini sama dengan
status dzikir kepada Allah dalam pendapat ulama di luar madzab Hanafi.

Mengenai penerjemahan dzikir [bacaan] dalam shalat, baik yang wajib seperti takbiratul
ihram maupun bukan, masih diperselisihkan. Dzikir yang wajib tidak boleh diterjemahkan
menurut Malik, Ishak dan Ahmad dalam satu riwayatnya yang paling shahih, tetapi boleh
menurut Abu Yusuf, Muhammad dan Syafi’i. Sedang dzikir-dzikir lainnya tidak boleh
diterjemahkan menurut Malik, Ishak dan sebagian murid-murid Syafi’i. Dan bila dzikir-
dzikir itu diselang-selingi terjemahan maka batalah shalat. Sementara itu Imam Syafi’i
sendiri menegaskan, bahwa hal demikian adalah makruh jika tidak dapat membaca bahasa
Arab. Pendapat ini adalah juga pendapat murid-murid Ahmad.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terjemahan Al-Qur’an artinya yaitu memindahkan Al-Qur’an pada bahasa lain yang
bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar dapat
dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga ia bisa memahami maksud kitab
Allah swt. dengan perantaraan terjemahan ini.

Terjamah Harfiyah adalah memindahkan (suatu isi ungkapan) dari satu bahasa ke bahasa
lain, dengan mempertahankan bentuk atau urutan kata-kata dan susunan kalimat aslinya.

Terjamah tafsiriyah adalah terjamah dengan bahasa selain bahasa Al-Qur'an dengan
bahasa Arab maupun bahasa lainnya. Tarjamah Tafsiriyah lah yang dianggap boleh dan
perlu untuk dijadikan sebagai piranti dalam menerjemahkan teks-teks Al-Qur’an, bukan
Tarjamah Harfiyah; dan mengingat banyaknya kemaslahatan di balik terjemah Al-Qur’an
dengan terjemahan yang benar. Tentu saja harus diimbangi dengan profesionalisme
penerjemah, serta tidak keluar dari syarat-syarat yang diperlukan, sehingga produk
terjemahannya bisa diterima secara luas dan masyarakat tercerahkan karenanya.

Terdapat dua hukum membaca Al-Qur’an dalam Shalat dengan Selain Bahasa Arab, yaitu
1.Boleh secara mutlak, atau di saat tidak sanggup mengucapkan dengan bahasa Arab,
2.Haram, dan shalat dengan bacaan seperti ini tidak sah. Pendapat boleh adalah pendapat
ulama madzab Hanafi.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia berpendapat, boleh dan sah membaca al-Qur’an
dalam shalat dengan bahasa Persia. Dan atas dasar ini, sebagian shahabat [murid]nya
memperbolehkan pula membacanya dalam bahasa Turki, India dan bahasa-bahasa
lainnya. Nampaknya mereka dalam hal ini memandang al-Qur’an adalah nama bagi
makna-makna [substansi, hakekat] yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz Arab. Sedangkan
makna-makna itu tidaklah berbeda-beda karena perbedaan lafadz dan bahasa. Namun
Diriwayatkan, Abu Hanifah telah mencabut kembali “kebolehan secara mutlak”
yang dinukil dari beliau tersebut.

8
Pendapat boleh yaitu adalah pendapat jumhur. Ulama madzab Hanafi, Syafi’i dan
Hambali tidak membolehkan bacaaan terjemahan al-Qur’an dalam shalat, baik
yang mampu membaca bahasa Arab maupun tidak, sebab terjemahan al-Qur’an
bukanlah al-Qur’an. Al-Qur’an adalah susunan perkataan mukjizat, yaitu
kalamullah yang menurut-Nya sendiri, ber-“bahasa Arab.” Dan dengan
menerjemahkannya hilanglah kemukjizatannya dan terjemahannya bukanlah
kalamullah.

B. Saran

Dari analisa makalah yang dibuat ini kita dapat menilai bahwa tidak semua
terjemhan Al-Qur'an dapat kita terima begitu saja, terlebih lagi bila penerjemah
nya bukan seorang muslim yang tahu tentang seluk-beluk ilmu Al-Qur'an.
Apalagi hasil terjemahan para orientalis yang terbukti mempunyai kepentingan
tersembunyi. Maka patutlah kita mewaspadai dan lebih penting lagi memahami
arti sebuah terjemah Al-Qur'an. Lebih baik jika kita menggunakan Bahasa Al-
Qur’an dalam mengaplikasikannya kedalam sholat agar sah dan tidak boleh di
saat sholat kita membaca terjemahan dari ayat Al-Qur’an tersebut.

9
Daftar Pustaka

Amelia, Ade. Makalah Terjemah Al-Qur'an (1),


https://www.academia.edu/31639166/MAKALAH_TERJEMAH_AL-QURAN_1_

Anwar, Rosihun. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2012

Darismah. Tarjamah Makna Al-Qur'an antara Tarjamah Harfiyah dan Tarjamah Tafsiriyah.
https://darismah.blogspot.com/2014/03/tarjamah-makna-al-quran-antara-tarjamah.html?m=1

Shalahudin, Hamid. Study Ulumul Qur'an. Jakarta: PT. Intimedia Ciptanusantara. 2002

Sugiarto, Untung. Hukum Terjemah Maknawiyah Al-Qur'an.


https://alquranmulia.wordpress.com/2014/01/20/hukum-terjemah-manawiyah-al-quran/

Sugiarto, Untung. Hukum Membaca Al-Qur'an dalam Shalat dengan Selain Bahasa Arab.

https://alquranmulia.wordpress.com/2014/01/20/hukum-membaca-al-quran-dalam-shalat-
dengan-selain-bahasa-arab/

10

Anda mungkin juga menyukai