Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang


Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ” Pembagian  Waris (Faraidh)”. Dalam  


penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan. Dari sanalah semua
kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun
pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari
kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap
agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Pringsewu , 22 Februari 2014

Penulis                                    

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

DAFTAR ANGGOTA.............................................................................................. ii

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iv
1. BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah........................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 2

C.     Tujuan Penulisan...................................................................................... 2

2. BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Hukum Waris.................................................................. 3

B.     Rukun dan Syarat-syarat Warisan............................................................ 4

C.     Ahli Waris dari Kalangan Laki-laki......................................................... 6

D.    Ahli Waris dari Kalangan Perempuan...................................................... 7

E.     Perbedaan Waris dan  Hibah Serta Hukum Hibah................................... 10

3. BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan.............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

SYARIAT  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan
dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris,
sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para
ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-
Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian
disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah
SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun
kelompok masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan tugas
makalah  ini adalah “tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan masalah tersebut dapat
kami uraikan menjadi sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah pengertian warisan dalam hukum islam ?

2.      Apa saja bentuk, rukun dan syarat warisan ?

3.      Bagaimana pembagian waris dari kalangan laki-laki ?

4.      Bagaimana pembagian waris dari kalangan perempuan ?

5.      Apa perbedaan waris dan hibah serta hukum seputar hibah ?


C.    TUJUAN PENULISAN

Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai
dan dapat memberikan arahan dan penjelasan  yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan
penelitian diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah  ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN DAN HUKUM WARIS

Ilmu waris adalah kajian fikih yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan warisan, kajian
mengenai seseorang kapan dia menjadi ahli warisan dan kapan tidak mendapatkan warisan, wacana
mengenai ukuran yang harus dia dapatkan dari harta peninggalan jika dia adalah ahli waris, dan ilmu
yang membahas pembagia harta warisan kepada ahli waris laki-laki dan pada ahli waris perempuan,
serta segala hal yang masih berkaita dengan warisan.

Mawaris  (adalah bentuk plural dari mirats ( kata mirats dalam bahasa arab biasanya digunakan
untukdua makna, pertama al-baqo’ (kekal, dari sini pula Allah disebut dengan al-warits, maksudnya
adalah yang maha kekal). Kedua, bermakna perpindahan dari satukaum kekaum yang lain. Dalam
syariat islam, al-warits biasanya didefinisikan sebagai seseorang yang mempunyai hak tertentu
setelah pemilik harta meninggal dunia denga sebab-sebab tertentu dan dengan syarat tertentu pula.

Sementara fara’idh  adalah bentuk plural faridhah. Dalam bahasa arab, kata faridhah bermakna


takaran atau ukuran. Ia adalah bentuk subjek (fa’il),namun bermakna objek (maf’ul)). Kata tersebud
adalah deriivasi akar kata al-fardhu yang berate ukuran tau takaran. Dalam syariat, ia memiliki
definisi: “Bagian yang sudah ditentukan secara syariat bagi para peneriam waris”

Ilmu waris atau ilmu faraidh adalah ilmu yang dipelajar untuk mengetahui ukuran hak yang diterima
setiap ahli waris dari harta warisan.

Dalil-dalil akan legalitas ilmu ini berasal dari Al-Qur’an, As-sunnah dan consensus ulama. Dalil dari Al-
Qur’an adalah ayat-ayat tentang warisan “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari hartayang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-
orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah bagiannya. Sesungguhnya
allah menyaksikan segala sesuatu.”(AN-NISAA’:33). Sementara dalil dari sunnah adalah semisal
sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari Muslim, “Berikanlah warisan kepada
orang yang berhak, adapun sisanya, maka prioritas utama adalah diberikan di beriakan kepada anak
laki-laki.”

Banyak hadis Nabi yang mendorong untuk mempelajari ilmu ini. Di antaranya ada sabda Rasulullah
yang berbunyi, “Pelajari oleh kalian ilmu faraidh dan ajarkanlah ia kepada orang banyak, karena aku
akan meninggalkan dunia. Dan sesungguhnya (dikhawatirkan)ilmu ini juga akan tercabud, sehingga
akan muncul fitnah. Sehingga ada dua orang yang bertikai tentang pembagia warisan, namun
keduanya tidak menemukan seseorany yang dapat member eputusan bagi keduanya.”

B.     RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WARISAN.

Rukun waris ada tiga:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta
peninggalannya.

2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris
dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.

3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa
uang, tanah, dan sebagainya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga warisan dianggap sah, ada tiga macam,  yaitu :
SyaratPertama :

Orang yang akan mewariskan telah meninggal dunia denga sebenar-benarnya, atau secara legal,
maupun berdasarkan pekiraan. Meninggalnya pewaris secara nyata dapat diketahui dengan melihat
secara langsung atau dengan mendapatkan bukti yang dapat diterima secara syariat. Meninggalnya
pewaris secara legal maksudnya ialah seperti orang hilang, orang yang tidah ada berita dan tidak
diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati. Orang seperti ini harus ditunggu sampai dia
kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan syariat islam.

Ketiak waktu yang ditentukan sudah habis, maka persoalan tersebud bisa diadukan ke
pengadilan dan dihukumi dia telah meninggal. Sejak ia dihukumi sebagai orang yang meninggal
dunia, maka istrinya menjalani masa iddah istri yang ditinggalkan mati suaminya, lalu harta
peninggalanya dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.

Ketika tidak mengetahui secara pasti, mengenaiorang hilang yang hartanya akan dibagi untuk
kemudian istrinya diperintahkan untuk menjalani masa iddah, apakah  dia benar-benar telah
meninggal atau belum. Kita hanya menyandarkan pada ketetapan hakim bahwa dia telah meninggal
dunia.

Sementara kematian berdasarkan perkiraan adalah seperti seorang ibu hamil dipukul perutnya
oleh seseorang, kemudia janin trsebudmengalami keguguran.

Syarat kedua :

 Ahli waris masih hidup, ketika orang yang memiliki warisan meninggal dengan sebenar-
benarnya taua berdasakan perkiraan. Maksud adari ahliwarisnya masih hidup adalah bisa disaksikan
dengan mata secara langsung atau dengan keterangan yangbisa diterima secara syari’.

Sedangkan hidup berdasarkan perkiraan adalah seperti ahli warisnya masih berbentuk janin
berada di perud sang ibu, sementara ayahnya meninggal dunia. Apabial kehamilan itu terjadi tatkala
sang ayah meninggal dunia, dan janinnya masih berbentuk segumpal darah atau sebongkah daging,
maka hal demikian belum dikategorikan hidup.

Syarat ketiga :

Pihak yang akan mendapa waris (ahli waris) diketahui secara definitif. Misalkan si fulan akan
mendapatkan warisan dari si fulan yang sudah meninggal dunia disebabkan dia adalah kerabatnya,
yaitu sodara kandung si mayit, dan tidak ada yang menghalangi dia untuk mendapatkan warisan.
Syarat ini khusus di pengadilan.

C.     AHLI WARIS DARI KALANGAN LAKI-LAKI


               
       Para ulama syariat bersepakat mengenai pewarisan lima belas dari kalangan laki-laki. Mereka itu
adalah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah dengan syarat antara dia dengan si
mayit tidak terhalang  oleh perempuan, ayah, kake ayah dari ayah keatas ddengan syarat antara dia
dan si mayit tidah ada prempuan, saudara laki-laki kandung, anak dari saudara laki-laki kandung
kebawah dengan syaratantara dia dengan simayit tidak ada perempuan, saudara seayah, anak dari
saudara seayah kebawahn dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada perempuan, saudara
laki-laki seibu, paman saudara ayah sekandung, anak paman saudara ayah sekandung kebawah
dengan syarat antara dia dengan si mayit tidak ada perempuan, paman saudara ayah seayah, anak
paman saudara ayah seayah  kebawah denga syarat antara dia dengansi mayit tidak ada perempuan,
suami, maula al-mu’taq (tuan dari orang yang membebaskan budak).

Jika anda memperhatikan para ahli waris tersebud, anda akan melihat bahwa diantara mereka ada
yang mendapatkan warisan  dikarenakan faktor ikatan pernikahan, yaitu suami. Satu dari mereka
dapat mewarisi karena faktor walak, yaitu  tuan  yang membebaskan budak (maula al-mu’taq) tiga
belas lainnya mewarisi karena karena faktor hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua
orang yang telah disebutkan. Jika anda melihat kembali orang yang mendapatkan warisan karena
faktor kekerabatan, anda akan melihat mereka terbagi menjadi empat macam : Pertama, pokok dari
simayit(usulul mayit), yaitu  ada dua: ayah dan kakek ayah dari ayah ke atas.

Kedua, cabang si mayit(furu’ al-mayit). Mereka juga ada dua, yaitu anak laki-laki dan cucu  laki-laki
kebawah. Ketiga cabang dari dua orang si mayit. Mereka ada lima yaitu, saudara laki-laki dan
sodaranya kebawah, sodara laki-laki seayah dan anaknya kebawah, sodara laki-laki seibu. Keempat,
cabang dari kakek simayit ayah dari ayah. Mereka ada empat paman saudara laki-laki ayah laki-laki
sekandung dananaknya kebawahpamaan dari saudara laki-laki seayah dan anaknhya kebawah.

Mereka berbeda pendapat mengenai dua macam klangan laki-laki ; pertama maula al-muwalah. Abu
Hanifah berpendapat bahwa dia dapat mewarisi. Sementara tiga imam yang lain berpendapat bahwa
dia tidak dapat mewarisi. Kedua, laki-laki dari dzawi al-arham seprti kake ayah dari ibu, bibi dan anak
laki-laki dari anak perempuan. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal serta ulama
kontenporer Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah  bahwa laki-laki dzawi al-arham mendapat warisan.
Menurut Malik dan Syifii bahwa laki-laki dari dzawi al-arham tidak mendapatkan warisan.

D.     AHLI WARIS PEREMPUAN

Para ulama’bersepakat bahwa ada sepuluh orang dari kalangan wanita yang bisa mendapatkan
warisan. Mereka itu adalah, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki kebawah, ayah
ayah dari anak perempuan dengan syarat angtara anak perempuan dengan si mayit ad a seorang
perempuan, ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat silsilah nasab antara anak perempuan
dengan si mayit semuanya adalah wanita, nenek ibu dari ayah secara langsung, saudara perempuan
kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri dan maulah al-mu’taqoh (tuan
yang memerdekakan budak).

Jika anda melihat kembali para wanita tersebud, anda akan mendapatkan bahwa salah satu dari
mereka mendapatkan warisan karena tali pernikahan, yaitu  istri, satu dari mereka mewarisi karena
wala’, yaitu maula al-mu’taqah dan delapan wanita lainnya mendapatkan warisan karena hubungan
kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua orang sebelumnya. Jika anda melihat kembali delapan
kelompok wanita tersebud yang mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan, anda akan
mendapatkan bahwa mereka dibagi menjadi tiga; pertama, cabang dari si mayit. Kedua nya, anak
perempuan dan cucu dari anak perempuan ke bawah ayahnya. Kedua, pokokdari simayit. Mereka
ada tiga, yaitu ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat-syaratnya, nenek ibu dari ayah. Anda
tidak akan menemukan dari mereka itu cabang dari kake si mayit karena semua cabang dari kakek
nenek dari kalangan wanita seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi saudara perempuan ibu dan
anaknya termasuk dari dzawi al-arham.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tiga macam wanita; Pertama, wanita dari dzawat al-
arham(kerabat dekat wanita), seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi saudara perempuan
ibu,anak perempuan dari bibi saudara perempuan ayah, anak perempuan dari bibi saudara
perempuan ibu dan cucu dari anak perempuan. Menurut Abu Hanifah, Ahmad, ulama-ulama
madzhab Malik kontenporer dan Asy-Syafi’iyah bahwa mereka bisa mendapatkan warisan. Menurut
imam Asy-Syafi’I dan Malik bahwa mereka tidak mendapatkan warisan. Bagian dua, maulah al-
muwalah, menurut Abu Hanifah bahwa dia mendapat warisan.

Sementara menurut tiga imam  lainnya diatidah mendapatkan warisan. Bagian ketiga nenek dari
ayah  jika antara dia dan ayah terdapat lebih dari satu perantara. Imam Malik berkata, “jika antara
dia dengan si mayit tidak ada laki-laki selain ayah si mayit, maka diamendapat warisan seperti ibu ibu
ayah dari si mayit dan ibu ibu ibu ayahnya. Jika antara dia dan si mayit ada dua orang laki-laki maka
dia tidak mendapatkan warisan, seperti ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ayah ayahnya.” Ini adalah salah
satu  pendapa dari Asy-Syafi’i.

Ahmad bin Hambal berkata,”jika antara dia dan si mayit ayahnya atau kakeknya ayah dari ayanhnya,
maka dia mendapatkan warisan seperti ibu ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ibu ibu ayahnya. Jika antara
dia dan si mayit lebih dari dua orang, maka dia tidak mendapatkan warisan seperti ibu ayah ayah
ayahnya.” Abu Hanifah dan Asy-syafi’I berkata,” dalam pendapat yang kedua yaitu pendapat yang
paling rajih, kakek mendapatkan warisan dari sisi ayah meski ada perantara nasab antara dia dengan
si mayit dengan syarat antara dia dengan si mayit seorang laki-laki selain ahli waris.

Seorang laki-laki selain ahli waris tersebud adalah semua laki-laki yang terletak antaradua wanita
seperti ibu  ayah ibu ayah si mayit, jika seorang laki-laki tidak terletak antara dua wanita dalam
silsilah nasab yang sampai kepada mayit, maka dia termasuk ahli waris, seperti ibu ayahnya ibu ibu
ayahnya, ibu ayah ayahnya, ibu ibu ibu ayah ayahnya, ibu ayah ayah ayahnya, dan ibu ibu ayah ayah
ayahnya.

E.       PERBEDAAN WARISAN DAN HIBAH SERTA HUKUM SEPUTAR HIBAH

Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel perbedaan dibawah ini :

           

WARIS HIBAH

WAKTU Setelah wafat Sebelum wafat

PENERIMA Ahli waris Ahli waris dan bukan ahli waris

NILAI Sesuai dengan faraidh Bebas

HUKUM Wajib Sunnah

A.     Warisan

Di dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada seseorang
yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai nominal. Harta tersebut
kemudian dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan pembagian langsung dari langit.
Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia. Di dalam Al Qur’an, Pembagian
warisan telah dicantumkan secara jelas dalam Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 (penjelasan
mengenai pembagian hak waris dalam Islam akan dibahas dalam tulisan berikutnya).
Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang yang masih hidup segar bugar membagi-
bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah
meninggalnya seseorang yang hartanya akan dibagi waris.

B.     Hibah

Apabila ada orang yang masih hidup yang membagi-bagi hartanya, maka hal itu disebut
hibah. Hibah adalah harta yang diberikan kepada pihak lain, baik ahli waris atau pun yang
bukan ahli waris, berapa pun nilainya, semasa dia masih hidup. Konsekuensinya, pada saat
pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik. Begitu dibagikan, harta hibah
tersebut sudah bukan lagi milik yang memberi hibah, tetapi secara sah dan resmi telah
menjadi milik orang yang diberi hibah.

Agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa
mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:

1.      Surat Pernyataan Hibah

Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus
menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu
dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.

Selain itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya. Dan
terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah agar
tidak muncul masalah di kemudian hari.

Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan
resmi.

2. Pengurusan Surat Kepemilikan

Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait,selanjutnya
harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.

Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru
sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah
diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.

Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus dibalik-
nama pada saat penghibahan itu.

3. Penyerahan Harta

Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah
diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.

Sebagai pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau
harta itu secara fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat
dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan
kepemilikan.
BAB III

PENUTUP

         A.    KESIMPULAN

Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan)
merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya
yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya
atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga
mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai
kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang
bersangkutan dengan hak orang lain.

Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya


sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan
ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur
dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan
seadil-adilnya.
DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra

http://media.isnet.org/islam/Waris

alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html

www.mutiarahadits.com/70/33/76/warisan-waria-atau-banci.html
http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam/

Anda mungkin juga menyukai