Anda di halaman 1dari 8

POLITIK HUKUM OTONOMI DAERAH TENTANG PEMILUKADA

Eko Sabar Prihatin


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Jalan Prof. Sudarto,SH, Kampus Tembalang
email: sabareko@gmail.com

Abstract

Legal policy as the direction of the national legal system should provide guidance on how policies on
particular issues of regional autonomy election conducted by the organizers of the central government to
lower governmental units. The need for the role of local government is strengthened by an
understanding of the welfare state paradigm, requiring the intervention of the state in all areas of public
life.

Key words : Legal Policy, Decentralization, Regional Head Elections

Abstrak

Politik hukum sebagai arah sistem hukum nasional harus memberikan arahan bagaimana kebijakan di
bidang otonomi daerah khususnya masalah pemilukada dilaksanakan oleh para penyelenggara
pemerintahan dari pusat sampai satuan pemerintahan yang lebih rendah. Kebutuhan akan peran
pemerintahan daerah tersebut diperkuat oleh suatu pemahaman mengenai paradigma negara
kesejahteraan, yang menghendaki campur tangan negara di segala bidang kehidupan masyarakat.

Kata Kunci: Politik Hukum, Otonomi Daerah, Pemilukada

A. Pendahuluan terpaksa dilahirkan perundang-undangan yang


Penetapan suatu negara sebagai negara menyimpang, maka ia tetap merupakan
hukum yang berkesejahteraan memberikan pelaksanaan tujuan nasional, sebab, hakikatnya
konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan politik hukum adalah kebijakan politik yang
memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, menentukan aturan hukum apa yang seharusnya
segenap individu dari perlakuan tidak adil dan berlaku mengatur berbagai hal kehidupan
perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus bermasyarakat dan bernegara. Dalam hal ini
mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya termasuk penataan tentang otonomi daerah
sebagai warga negara dan hak asasi manusianya Seiring dengan era transisi dari otoritarianisme
terjamin. Di mana hal ini hanya dapat dilaksanakan menuju proses demokratisasi dalam konteks
jika ketentuan tentang “jaminan” tersebut kehidupan berbangsa dan bernegara di indonesia,
dituangkan dalam konstitusi. yang kemudian diikuti dengan hadirnya kebijakan
Dalam konsepsi seperti ini, maka politik hukum1 otonomi daerah, maka sebenarnya kita dapat
harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan melihat minimal ada 3 (tiga) perubahan politik
atau tujuan nasional. Sehingga hukum yang hukum otonomi daerah, yaitu;
dihasilkan dari mesin legislasi dapat berlaku secara Pertama, perubahan dari sentralisasi
nasional, tidak tumpang tindih, tersusun secara kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
hierarki dan bermuara pada konstitusi. Namun, jika Dalam perspektif ini, di masa “Orde Baru” misalnya,
1 Bandingkan A. Amrullah, 2007. Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan. Malang, BP Universitas Brawijaya,
hlm 52. Soedarto memberikan pengertian mengenai politik hukum, yaitu “… kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan”. Dari definisi tersebut penulis dapat mengemukakan bahwa pertama, politik hukum merupakan instrumen bagi para pembuat
kebijakan mengenai bagaimana mengarahkan cara pencapaian suatu tujuan. Kedua, instrumen tersebut dibentuk dalam peraturan perundang-undangan.
Ketiga, kebijakan tersebut harus merepresentasikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian akan tampak titik temu dengan prinsip-prinsip pemerintahan
yang baik, di antaranya partisipasi masyarakat, yang dapat diakomodasi dalam politik hukum.

49
MMH, Jilid 43 No. 1 Januari 2014

Otonomi Daerah tidak lebih dari sekedar demokrasi, segenap aktor demokrasi mesti memiliki
penyerahan kewenangan oleh Pusat kepada daerah persepsi dan pemahaman yang sama, bahwa locus
dalam konteks administratif belaka, sedangkan saat demokrasi bukan lagi hanya di gedung dewan
ini, konsep Otonomi mencakup kewenangan yang perwakilan rakyat daerah (DPRD), namun juga
luas dan nyata, dimana Pemerintah daerah berhak terdapat di basis massa rakyat.
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di Anggota dewan perwakilan di daerah cenderung
daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi berpikir bahwa setelah mereka duduk di lembaga
masyarakat setempat. Kewenangan daerah perwakilan itu, maka dirinya telah sepenuhnya
mencakup kewenangan dalam seluruh urusan merepresentasikan masyarakat yang telah
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang, memilihnya. Di sisi lain pihak pemerintah daerah
(i). Politik luar negeri, (ii). Pertahanan, (iii), yang menjalankan kekuasaan eksekutif cenderung
keamanan, (iv). Yustisi / Peradilan, (v). Moneter dan merasa lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh
fiskal nasional, dan (vi). Agama, yang disebutkan masyarakat. Dengan pemahaman itu maka baik
dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 wakil rakyat yang duduk di DPRD maupun
tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. pemerintah daerah tidak menjadikan partisipasi
Kedua, perubahan dari manajemen rakyat sebagai rujukan utama dalam pelaksanaan
pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi otonomi daerah, tetapi hanya dijadikan justifikasi
kepada egalitarian dan demokrasi. Di masa Orde dan legitimasi dalam setiap kebijakan yang
Baru misalnya, kebijakan otonomi daerah diletakkan diambilnya, bahkan seringkali kebijakan yang
dalam kerangka otoritarianisme kekuasaan, diambil tidak sejalan dengan suara konstituen.
kebijakan yang top down dan sentralisasi Sehingga forum-forum jaring aspirasi masyarakat
pembangunan, sehingga daerah hanya (jaring asmara) yang dilakukan oleh DPRD maupun
dieksploitasi sumber daya alamnya saja --- daerah melalui forum musyawarah rencana pembangunan
menjadi “sapi perahan” oleh pemerintah pusat tanpa (Musrenbang) yang dilakukan oleh eksekutif mulai
diimbangi dengan pemerataan pembangunan. dari tingkat kelurahan/desa, tingkat kecamatan
Sedangkan saat ini otonomi daerah berada dalam maupun sampai tingkat kabupaten/kota, hanya
kerangka demokratisasi serta sentralisasi sekedar formalitas belaka.
pembangunan, dimana daerah diberi kewenangan Ketiga, perubahan dari sistem perwakilan
untuk mengurus daerahnya sendiri. Meskipun menjadi sistem pemilihan secara langsung. Dalam
dalam realitas empirik, implementasi otonomi konteks ini dimasa lalu pemilihan kepala daerah
daerah yang sudah berjalan kurang lebih 11 dengan menggunakan sistem perwakilan, dimana
(sebelas) tahun ini belum dirasakan dampaknya kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD yang
bagi masyarakat luas terutama untuk mendorong merupakan representasi dari rakyat didaerah yang
terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah. dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan
Terdapat gejala yang sulit dibantah bahwa sekarang ini kepala daerah dipilih secara langsung
otonomi daerah lebih dimaknai sebagai semata- oleh masyarakat di daerahnya.
mata kekuasaan pemerintah daerah untuk Berdasarkan hal tersebut, maka politik hukum
mengatur pemerintahan sendiri tanpa diikuti dengan sebagai arah sistem hukum nasional harus
visi pemerintahan yang menyejahterakan seluruh memberikan arahan bagaimana kebijakan di bidang
rakyat. Otonomi daerah telah didistorsi menjadi otonomi daerah khususnya masalah pemilukada
otonomi pemerintahan daerah semata, karena tersebut dilaksanakan oleh para penyelenggara
partisipasi rakyat masih belum dapat mengakses pemerintahan dari pusat dan sampai satuan
titik-titik strategis pengambilan keputusan di daerah. pemerintahan yang lebih rendah. Kebutuhan akan
Pasca reformasi disadari atau tidak telah terjadi peran pemerintahan daerah tersebut diperkuat oleh
paradoks demokrasi. Terdapat pemahaman suatu pemahaman mengenai paradigma negara
demokrasi yang lebih bersifat prosedural semata kesejahteraan, yang menghendaki campur tangan
dan menghilangkan makna demokrasi yang lebih negara di segala bidang kehidupan masyarakat.2
substantif. Padahal dalam konteks pembangunan Berdasarkan uraian tersebut di atas maka

2 Satjipto Rahardjo. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat. Yogyakarta, Genta Publishing, cetakan II. hlm. 16

50
Eko Sabar Prihatin, Politik Hukum Otonomi Daerah tentang Pemilukada

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: kita tidak mengamanatkan Pemilihan kepala daerah
“Bagaimanakah pelaksanaan Politik Hukum dilakukan secara langsung, karena hal tersebut
Otonomi Daerah Dalam Pemilukada hanyalah sekedar sebuah tafsir saja terhadap
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun rumusan “dipilih secara demokratis” yang dilakukan
2004?” oleh pembentuk Undang-undang, menjadi “dipilih
s e c a r a l a n g s u n g ”. 5 S e b a g a i m a n a y a n g
B. Pembahasan dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,6 pengertian
1. Pemilukada Langsung : Eksperimentasi “dipilih secara demokratis” bersifat luwes, sehingga
Demokrasi Lokal dalam pengaturan selanjutnya bisa dipilih secara
Pasca amandemen Undang-Undang Dasar langsung atau tetap dipilih oleh DPRD sebagaimana
Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, praktek sebelumnya.
khususnya pasal 18 ayat (4), menyebutkan: Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
Gubernur, Bupati dan Wali kota masing-masing secara langsung pada hakekatnya dianggap
sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, sebagai bentuk perwujudan praktek demokrasi yang
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. paling sempurna, karena dengan pemilihan kepala
Rumusan “dipilih secara demokratis” dalam daerah secara langsung ini diharapkan mampu
ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 inilah memunculkan calon-calon pemimpin yang dikenal
yang kemudian ditafsirkan oleh Pemerintah dan dan lebih dekat dengan masyarakat. Secara teoritis
DPR, menjadi “dipilih secara langsung”. Hal ini dapat tentu Pemilukada langsung memberikan ruang yang
dilihat dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang- sangat luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi
Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan secara aktif dalam menentukan pejabat publik di
Daerah3, yang menentukan, bahwa Gubernur, daerahnya masing-masing. Namun demikian
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala berdasarkan realitas empirik penyelenggaraan
pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemilukada secara langsung yang sudah berjalan
dipilih dalam suatu pasangan calon yang dilakukan sejak bulan Juni tahun 2005 sampai dengan tahun
secara demokratis berdasarkan asas langsung, 2010 ini yang sudah berlangsung di 347 daerah
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehingga lebih, ada beberapa persoalan mendasar yang perlu
pemilihan kepala daerah kemudian dikategorikan dikaji lebih lanjut, mengingat Pelaksanaan pemilihan
juga masuk dalam ranah hukum Pemilu, terlebih lagi umum Kepala Daerah secara langsung dibeberapa
setelah terbitnya Undang-undang No. 22 tahun 2007 daerah masih diwarnai dengan konflik politik,
tentang Penyelenggara Pemilihan umum, yang anarkisme massa, serta masih terjadi berbagai
kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-undang bentuk kecurangan, mulai dari 'sembako politik',
No. 12 tahun 2008, tentang perubahan kedua atas politik uang (money politics), tidak netralnya
Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang penyelenggara Pemilu maupun mobilisasi aparat
Pemerintahan Daerah, yang salah satunya adalah birokrasi untuk memenangkan pasangan calon
pengalihan penanganan sengketa hasil tertentu, meskipun kasus-kasus tersebut sangat
penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan sulit dibuktikan namun aromanya begitu terasa,
wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung (MA) sehingga persoalan-persoalan tersebut menjadi
4
yang dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). kontraproduktif bagi perjuangan nilai-nilai
Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 ini demokrasi yang hendak ditegakkan.7
apabila kita cermati betul, maka sejatinya konstitusi Persoalan lain yang tidak kalah urgen untuk kita
3 Undang-Undang ini sudah direvisi secara terbatas dengan Undang-Undang No. 12 tahun 2008, pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
4 Dalam ketentuan Pasal 236 C Undang-Undang No. 12 tahun 2008, dan bandingkan dengan ketentuan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2004,
yang menyebutkan; Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Lihat dan bandingkan juga
dalam A.Mukthie Fadjar, Pemilu yang demokratis dan berkualitas; Penyelesaian Hukum pelanggaran Pemilu dan PHPU, dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 No.1,
April 2009.
5 Ibnu Tricahyo, 2009, Reformasi Pemilu, menuju pemisahan pemilu nasional dan lokal, Malang : Penerbit In-Trans Publishing, hlm. 81.
6 Jimly. Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta, Penerbit Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
7 Pemilukada Langsung di Kabupaten Tuban – Jawa Timur misalnya, merupakan contoh kasus yang paling nyata atas Pemilukada Langsung yang diwarnai
dengan anarkisme massa pasca Pemilukada langsung yang disebabkan oleh kekalahan pasangan calon bupati dan wakil bupati yang didukungnya. Begitu juga
dengan Pemilihan Gubernur secara Langsung di Maluku Utara yang penetapannya berlarut larut yang dikarenakan Rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU
daerah terdapat dua rekapitulasi suara yang isinya berbeda, sehingga hal inilah yang dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan hasil Pilkada langsung ke
Mahkamah Agung (MA).

51
MMH, Jilid 43 No. 1 Januari 2014

kaji dan direnungkan bersama adalah begitu kajian dan evaluasi terhadap politik hukum otonomi
besarnya beban biaya yang harus dikeluarkan untuk daerah dalam pelaksanaan Pemilihan Umum
membiayai perhelatan pesta demokrasi lokal Kepala Derah (Pemilukada) secara langsung
tersebut, baik anggaran yang dikeluarkan dan menjadi sebuah keniscaya, apalagi pada tahun
diambil dari dana APBD Provinsi/Kabupaten/Kota 2010 ini juga digelar Pemilukada dibeberapa
maupun anggaran yang harus dikeluarkan oleh daerah.
masing-masing Pasangan calon yang akan
bertarung dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah8, 2. Pelanggaran Pemilukada & Implikasinya
dan anggaran yang telah dikeluarkan begitu besar Pelanggaran-pelangaran pemilukada secara
tersebut tidak sebanding dengan harapan untuk garis besar dalam setiap tahapan pelaksanaan
lebih mensejahterakan masyarakat di daerah. Oleh pemilukada secara langsung dapat diklasifikasikan
karena itu tidak salah kalau ada beberapa tokoh menjadi 2 (dua) pelanggaran, 11 yaitu; (i).
masyarakat yang mengusulkan agar Pemilihan Pelanggaran administratif, dan (ii). Pelanggaran
Umum Kepala Daerah dikembalikan saja seperti Pidana. Meskipun dalam ketentuan undang-undang
aturan semula yaitu cukup dipilih melalui proses di No. 32 tahun 2004, maupun dalam undang-undang
DPRD Provinsi dan atau Kabupaten/kota. 9 No.12 tahun 2008, tentang Pemerintahan daerah
Meskipun wacana penghapusan Pemilukada yang dijadikan dasar pelaksanaan pemilihan kepala
langsung tersebut ada yang merespon dengan sinis daerah secara langsung, adakalanya pelanggaran
dan khawatir, bahkan ada yang berargumentasi hal yang terjadi merupakan pelanggaran administratif
itu akan berimplikasi pada kemunduran demokrasi saja, tetapi ada juga pelanggaran tersebut selain
yang sudah susah payah dibangun dan merupakan pelanggaran administratif, juga
diperjuangkan. merupakan pelanggaran pidana.12
Mengingat pemilihan kepala daerah di era Pelanggaran administratif adalah pelanggaran-
sebelumnya, dimana ketika Kepala daerah dipilih pelanggaran terhadap ketentuan, tata cara, dan
oleh DPRD, bukan berarti tanpa masalah, bahkan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang
selama kurun waktu transisi (1998-2002) terjadi Pemilihan Kepala daerah,13 yang tidak didefinisikan
kurang lebih 6 (enam) kasus pemilihan Gubernur sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan
yang bermasalah dan 10 (sepuluh) kasus pemilihan dengan hukuman dan atau denda. Konsekwensi
Bupati dan walikota di seluruh Indonesia yang dari pelanggaran administratif ini adalah gagalnya
menyebabkan terjadinya konflik politik. Secara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
umum kasus-kasus tersebut meliputi; (i). terjadi daerah untuk mengikuti sebagian tahapan
perbedaan penafsiran dari segi hukum atas hasil Pemilukada dan atau gagalnya pasangan calon
pemilihan, (ii). adanya kelompok pendukung yang kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk
tidak menerima hasil pemilihan sehingga mengikuti tahapan pemilukada, karena tidak
menimbulkan protes, (iii). hasil pemilihan dianggap memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam
cacat hukum, (iv). adanya issue politik uang (money Undang-Undang No. 32 tahun 2004, dan Undang-
politics), dan (v). penolakan hasil pemilihan karena Undang No. 12 tahun 2008, tentang pemerintahan
calon jadi diduga korupsi.10 daerah. Selain itu, apabila pelanggaran administratif
Oleh karena itu sudah barang tentu perlunya ini yang berkaitan dengan pelanggaran tata cara
8 Dibeberapa daerah tidak jarang pasangan calon yang terpilih didukung oleh elit ekonomi (pengusaha 'hitam') yang sudah pasti akan menagih janji ketika terpilih
melalui berbagai proyek --- termasuk meruieslagh aset-aset daerah yang strategis untuk kepentingan tertentu.
9 Setidaknya wacana ini pernah dikemukakan oleh Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi yang pernah mewacanakan perlunya penghapusan Pemilukada
Langsung dan Pemilukada perlu dikembalikan pada mekanisme semula, yaitu dipilih oleh DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
10 Dhurorudin Mashad dkk, 2005, Konflik Antar Elit Politik lokal dalam Pemilihan kepala daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 7.
11 Pasal 65 Undang-Undang No. 32 tahun 2004, menyebutkan; Pilkada dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan. Masa persiapan
sebagaimana dimaksud, meliputi; (i). Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, (ii). Pemberitahuan DPRD kepada
KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah, (iii). Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan
pemilihan kepala daerah, (iv). Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS, (v). Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Sedangkan tahap
pelaksanaan meliputi; (i). Penetapan daftar Pemilih, (ii). Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, (iii). Kampanye, (iv).Pemungutan
suara, (v). Penghitungan suara, dan (vi). Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
12 Seperti pelanggaran konvoi atau arak-arakan di jalan protokol, kampanye yang dilakukan oleh Pasangan calon atau tim kampanyenya diluar jadwal yang telah
ditentukan, selain merupakan pelanggaran administratif, juga merupakan pelanggaran pidana.
13 Undang-undang No. 32 tahun 2004, dan Undang-undang No. 12 tahun 2008, tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004, tentang
pemerintahan daerah.

52
Eko Sabar Prihatin, Politik Hukum Otonomi Daerah tentang Pemilukada

kampanye, maka dapat dikenai sanksi oleh KPU syarat seperti yang telah ditentukan dalam undang-
daerah yang berupa; (i). Peringatan tertulis, apabila undang.
penyelenggara kampanye melanggar larangan Sedangkan kelemahan penyelesaian
walaupun belum terjadi gangguan, (ii). Penghentian pelanggaran-pelanggaran Pidana yang ditangani
kegiatan kampanye di tempat terjadinya oleh Panwaslu adalah pelanggaran tersebut
pelanggaran atau diseluruh daerah pemilihan yang seringkali telah melampau waktu yang telah
bersangkutan, apabila terjadi gangguan terhadap ditentukan, dimana Panitia pengawas pemilihan
keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak
pemilihan lain. menindaklanjuti laporan atau temuan pelanggaran
Sedangkan pelanggaran Pidana adalah selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan
tindakan-tindakan yang oleh undang-undang tersebut diterima atau pelanggaran tersebut
ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat ditemukan. Dalam hal panitia pengawas pemilihan
pada hukuman penjara dan atau denda. Ketentuan memerlukan keterangan tambahan dari pelapor
pidana pemilukada ini dapat dilihat lebih lanjut dalam untuk melengkapi laporan putusan sebagaimana
ketentuan Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 dimaksud dilakukan paling lambat 14 (empat belas)
Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang hari setelah laporan diterima. Karena Panwaslu
Pemerintahan daerah, dimana pasal-pasal tersebut tidak diberikan hak memaksa untuk menghadirkan
ancaman pidananya paling singkat 15 (lima belas) pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran yang
hari dan paling lama 3 (tiga) tahun serta penjatuhan disangkakan untuk dimintai klarifikasi, maka
denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu seringkali kasus-kasus pelangaran Pemilukada
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu yang mengandung unsur pidana berlarut-larut
miliar rupiah) tergantung dari tindakan pelanggaran penanganannya, mengingat hanya pihak
yang dilakukan.14 penyidiklah yang mempunyai hak memaksa untuk
Secara teoritik apabila pelanggaran tersebut menghadirkan saksi.15 Padahal, ada beberapa
merupakan pelanggaran administratif, maka pelanggaran-pelangaran pidana Pemilukada
Panwaslu merekomendasikan kasus tersebut ke apabila ditindaklanjuti dan terbukti di pengadilan
KPU daerah, sedangkan untuk pelanggaran yang serta sudah memiliki kekuatan hukum mengikat,
mengandung unsur pidana, maka Panwaslu maka dapat membatalkan pasangan calon Kepala
merekomendasikan atau meneruskan kasus Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih.
tersebut ke penyidik kepolisian. Namun demikian,
terdapat kelemahan dalam penyelesaian atau 3. Pembatalan Pasangan Calon Kepala Daerah
pemberian sangsi administratif yang merupakan Terpilih
kewenangan KPU daerah tersebut, dimana Pasangan calon Kepala daerah dan Wakil
seringkali pemberian sangsi dilakukan ketika kepala daerah yang terpilih dalam pelaksanaan
tahapan sudah berjalan, sehingga sanksi tersebut Pemilukada secara langsung dimungkinkan secara
seolah-olah menjadi tidak bermakna dan tidak yuridis berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun
berimplikasi apapun. Hal ini akan sangat berbahaya, 2004, tentang pemerintahan daerah, dapat
apabila pelanggaran administratif tersebut dibatalkan sebagai pasangan calon kepala daerah
menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi oleh dan wakil kepala daerah terpilih. Ada 3 (tiga) hal
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala yang menyebabkan pasangan calon Kepala daerah
daerah, akan tetapi hal tersebut baru diketahui dan wakil kepala daerah terpilih dapat dikenai sanksi
setelah tahapan selesai, tentu saja hal ini akan pembatalan sebagai pasangan calon Kepala
rawan terjadinya gugatan hukum dikemudian hari, Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih.
terutama mempertanyakan keabsahan Pemilukada Pertama, Pasangan calon kepala daerah dan
apabila pasangan calon yang memenangkan atau Tim kampanyenya yang terbukti telah
Pemilukada tersebut justru yang tidak memenuhi melakukan “money politics”, dan proses pengenaan
14 Kemudian sejalan dengan keluarnya Undang-undang No. 12 tahun 2008, tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004, tentang
pemerintahan daerah, terdapat perubahan dalam ketentuan Pasal 115, dimana sebelumnya ancaman pidananya paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling
lama 3 (tiga) bulan menjadi paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama menjadi 12 (dua belas) bulan.
15 lihat lebih lanjut Pasal 110 dan Pasal 111 PP No. 6 tahun 2005, tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil
kepala daerah.

53
MMH, Jilid 43 No. 1 Januari 2014

sanksi pembatalan sebagai pasangan calon melalui Keberatan sebagaimana dimaksud hanya
DPRD, apabila kasus tersebut sudah memiliki berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang
kekuatan hukum tetap. Namun demikian, upaya mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
pembuktian telah terjadinya 'money politics' yang Tetapi, sejalan dengan lahirnya Undang-
dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah Undang No. 12 tahun 2008, tentang perubahan
maupun yang dilakukan oleh Tim kampanyenya kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004,
sangat sulit untuk dibuktikan, karena selain tentang Pemerintahan Daerah, maka penanganan
kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang No. sengketa hasil penghitungan suara pemilihan
32 tahun 2004 itu sendiri, hal ini juga disebabakan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh
oleh modus 'money politics' yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah
pasangan calon kepala daerah atau tim Konstitusi (MK). Kemudian, Mahkamah Konstitusi
kampanyenya sangat variatif, mulai dari pemberian mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi
sembako dan uang dengan embel-embel shodaqoh, Nomor : 15 tahun 2008, Tentang Pedoman
menyantuni anak yatim piatu, dll. Selain itu, sangat Beracara dalam Perselisihan Hasi Pemilihan Kepala
jarang orang yang telah menerima 'money politics' Daerah.
ini berani bersaksi di Pengadilan, sehingga akan Dalam sejarah penyelesaian sengketa hasil
menyulitkan proses pembuktian di pengadilan. Pemilukada yang ditangani oleh Mahkamah
Kedua, Pasangan calon kepala daerah yang Konstitusi ini, ada putusan yang sangat
terbukti telah menerima sumbangan atau bantuan kontroversial yang dikeluarkan oleh MK dalam
lain untuk kampanye yang tidak diperbolehkan oleh menangani sengketa hasil pemilukada Jawa Timur,
Undang-undang No. 32 tahun 2004. Sumbangan dimana melalui Putusan Nomor : 41/PHPU.D-
atau bantuan lain untuk kampanye yang dilarang VI/2008, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
adalah yang berasal dari; (i). negara asing, lembaga sebagian gugatan atas sengketa hasil Pemilihan
swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing Kepala daerah di Provinsi Jawa Timur yang diajukan
dan warga negara asing, (ii). penyumbang atau oleh Pasangan Khofifah Indar Parawansa –
pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya, (iii). Mudjiono (Pasangan KaJi). Putusan Mahkamah
pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pasangan calon Konstitusi ini tentu sangat mengejutkan banyak
yang menerima sumbangan sebagaimana pihak dikarenakan diluar kelaziman dan
dimaksud tidak dibenarkan menggunakan dana menimbulkan kontroversi, karena Mahkamah
tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPUD Konstitusi memerintahkan kepada Komisi Pemilihan
paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Umum Provinsi Jawa Timur untuk; (i). Melakukan
kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Umum Kepala
tersebut kepada kas daerah. Pasangan calon yang Daerah Putaran II di Kabupaten Bangkalan dan
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Kabupaten Sampang dalam waktu paling lambat 60
dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon (enam puluh) hari sejak putusan diucapkan, (ii).
oleh KPUD, yang diatur dalam Pasal 85 ayat (1), (2), Melakukan Penghitungan suara ulang Pemilihan
dan (3) Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Tetapi Umum Kepala Daerah Putaran II di Kabupaten
kelemahannya, KPU daerah seringkali tidak berani Pamekasan, dengan menghitung kembali secara
melakukan tindakan tegas atas pelanggaran berjenjang surat suara yang sudah dicoblos dalam
tersebut. waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
Ketiga, Terkait dengan sengketa hasil putusan diucapkan.
pemilihan kepala daerah. Pasal 106 ayat (1) Putusan Mahkamah konstitusi yang
Undang-Undang No. 32 tahun 2004, menyebutkan; memerintahkan untuk Melakukan Pemungutan
Apabila terdapat keberatan terhadap penetapan Suara Ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah
hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala Putaran II di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten
daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon Sampang sangat berlebihan dan janggal, bahkan
kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling M ahkam ah K onstitusi telah m elam paui
lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil kewenangannya. Kewenangan Mahkamah
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Konstitusi sebenarnya dibatasi hanya dalam

54
Eko Sabar Prihatin, Politik Hukum Otonomi Daerah tentang Pemilukada

menyelesaikan sengketa hasil perolehan suara menemukan kebenaran materiil.


pasangan calon saja, bukan menangani Seharusnya Mahkamah Konstitusi berkaca
pelanggaran terhadap proses Pelaksanaan pada pengalaman penyelesaikan sengketa hasil
Pemilukada, karena Undang-Undang No. 32 tahun pemilihan umum legislatif tahun 2004 lalu ---
2004, sudah memberikan atribusi kepada Panwaslu tepatnya di Donggala dan Sorong Irjabar, dimana
disemua tingkatan untuk menyelesaikan sengketa Mahkamah Konstitusi memenangkan permohonan
Pemilukada pada setiap tahapan (proses). Dengan sengketa hasil Pemilu yang didasarkan hanya pada
adanya putusan tersebut, maka Mahkamah pengakuan saksi-saksi dan Berita Acara
Konstitusi secara tidak langsung bukan hanya telah Rekapitulasi Suara saja, padahal rekap suara yang
mengabaikan eksistensi Panwaslu disemua dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut,
tingkatan tetapi juga tidak mempercayai sebuah tenyata merupakan rekapitulasi suara hasil
institusi yang secara atributif diberikan kewenangan manipulasi dan hal tersebut sudah diputuskan
oleh Undang-Undang untuk menyelesaikan bersalah oleh Pengadilan Negeri, bahkan oknum
pelanggaran-pelanggaran Pemilukada. KPUD yang telah melakukan manipulasi telah
Semangat dan jiwa dalam menegakkan diputus bersalah juga.
keadilan yang substantif (substantive justice) dan Dalam mewujudkan kebenaran materiil yang
keadilan prosedural (prosedural justice) yang berpijak pada penegakan keadilan yang substantif
hendak diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi (substantive justice) dan keadilan prosedural
dalam kasus ini kurang tepat, karena hal tersebut (prosedural justice) dengan cara memerintahkan
justru akan menimbulkan problem asas kepastian coblosan ulang tidak tepat, karena bukan hanya
hukum dan keadilan dimasyarakat. Karena ketika mengabaikan asas kepastian hukum, tetapi juga
hakim konstitusi melakukan rechtsvinding --- asas keadilan di masyarakat. Karena kepastian
terobosan hukum (istilah yang digunakan ketua MK) hukum obyek perselisihan Pemilukada, yaitu,
melalui putusannya yang menyandarkan pada apakah hanya sebatas sengketa hasil perolehan
ketentuan Pasal 18 ayat (4) jo. Pasal 22 E ayat (1) suara saja yang dapat ditangani oleh Mahkamah
UUD NRI 1945, yang mengharuskan Pemilihan Konstitusi, atau lebih luas lagi dimana MK dapat juga
Kepala daerah dilakukan secara demokratis, dan menyelesaikan seluruh penyimpangan yang terjadi
tidak melanggar asas-asas umum Pemilihan umum dalam proses dan tahapan Pemilukada. Jika
yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, demikian adanya, maka tentu Persidangan MK akan
dan adil. Maka seharusnya Mahkamah memberikan menjadi keranjang sampah terhadap berbagai
Putusan sela terlebih dahulu, untuk membuktikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
kebenaran substantif dengan cara membuka proses dan tahapan Pemilukada yang sangat
kembali kotak-kotak suara di TPS mana yang mungkin dapat berpengaruh secara signifikan atas
dianggap 'bermasalah' dan terungkap dalam hasil akhir. Maka sudah barang tentu, akan sangat
persidangan untuk kemudian dihitung kembali. Hal dimungkinkan munculnya gugatan baru lagi Ke
ini dilakukan bukan hanya untuk membuktikan Mahkamah Konstitusi dari Pasangan calon, entah
sejauh mana kebenaran keterangan saksi-saksi diajukan oleh pasangan calon yang mana, apabila
yang ada, tetapi juga untuk membuktikan kebenaran masih 'dianggap' terjadi pelanggaran terhadap
materiil yang 'disangkakan'. Karena sangat sulit proses coblosan ulang. Kemudian bagaimana
dinalar ketika hakim konstitusi yang telah dengan hakekat final putusan dari Mahkamah
memutuskan kasus tersebut hanya menyandarkan Konstitusi ?. Akankah ada gugatan jilid II ke MK, dan
pada alat bukti dan keterangan saksi-saksi sudah tentu saja akan ada putusan MK Jilid II juga dalam
begitu yakin telah terjadi kecurangan yang sengketa hasil Pemilukada tersebut.
sistematis, terstruktur dan massif, tanpa adanya
keinginan dari hakim untuk membuka ulang dan C. Simpulan
menghitung ulang Kotak suara pada TPS yang Sejatinya masyarakat belum merasakan
dipersoalkan. Karena hanya dengan cara membuka dampak positif dari pelaksanaan Pemilukada
Kotak suara dan menghitung ulang kartu suara, di langsung, tetapi justru masyarakat terjerembab
TPS-TPS yang dianggap 'bermasalah' akan pada kehidupan demokrasi yang menghalalkan

55
MMH, Jilid 43 No. 1 Januari 2014

segala cara, pragmatisme politik dan terseret pada Makna. Kedudukan, dan implikasi hukum
konflik politik yang seharusnya tidak perlu, hal ini Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam
disebabkan karena kecenderungan elit politik yang Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta:
bertarung dalam pemilukada ketika mereka Penerbit Konstitusi Press & Citra Media
mengalami kekalahan akan menyeret masyarakat Manan, Bagir, 2000, Teori dan Politik Konstitusi,
bawah pada pusaran konflik dan pengerahan Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
massa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Samuel P Tinggi Depdiknas.
Huntungton dengan teori politik 'air terjun' nya, Mashad, Dhurorudin dkk, 2005, Konflik Antar Elit
menyatakan; bahwa pada hakekatnya konflik politik Politik lokal dalam Pemilihan kepala daerah,
yang terjadi ditingkat masyarakat akar rumput Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
merupakan rembesan konflik ditingkat elit. Maka, Rahardjo, Satjipto. 2009. Negara Hukum yang
seharusnya dengan Pemilukada langsung Membahagiakan Rakyat. Yogyakarta:
pelembagaan konflik politik dalam perebutan Genta Publishing, cetakan II.
jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah Rosyada, Dede dkk, 2003, Pendidikan Kewargaan,
harus disalurkan melalui prosedur yang sudah Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
ditentukan oleh undang-undang, sehingga Masyarakat Madani, Jakarta: Penerbit
Pemilukada langsung menjadi kompetisi yang sehat Prenada Media.
dalam merebutkan jabatan publik di daerah. Untuk Syahuri, Taufiqurrahman, 2004, Hukum Konstitusi,
itu diperlukan kedewasaan elit yang bertarung untuk Proses dan Prosedur Perubahan UUD di
siap menang dan siap untuk menerima kekalahan. Indonesia 1945-2002, Jakarta: Penerbit
Dengan demikian politik hukum otonomi Ghalia Indonesia.
daerah dalam pemilukada berdasarkan Undang- Sodiki, Ahmad, 2009, Konstitusionalitas Pemilihan
Undang No. 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. Umum Model Masyarakat Yahukimo, dalam
12 Tahun 2008 yang memaknai ketentuan dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli
UUD NRI 1945 bahwa pemilukada dilaksanakan 2009, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan
secara demokratis menjadi dilaksanakan secara Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
langsung ternyata banyak menimbulkan dampak Syaukani, Imam, dkk, 2004, Dasar-dasar Politik
negatif. Hukum, Jakarta, Penerbit Raja Grafindo
Persada.
DAFTAR PUSTAKA Tricahyo, Ibnu, 2009. Reformasi Pemilu, menuju
pemisahan pemilu nasional dan lokal,
Amrullah, A. 2007. Politik Hukum Pidana Dalam Malang, Penerbit In-Trans Publishing,
Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, 2006,
Di Bidang Perbankan. Malang: BP Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi
Universitas Brawijaya RI, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-
Undang-undang, Jakarta: Penerbit Undang No. 12 tahun 2008, Tentang
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit
Mahkamah Konstitusi RI. Fokusmedia, Cetakan Mei 2008.
Astawa, I. G. 2008. Problematika Hukum Otonomi Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005,
Daerah di Indonesia. Bandung: Alumni. tentang Pemilihan, Pengesahan
Fadjar, A. Mukthie, 2002, Reformasi Konstitusi Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Dalam Masa Transisi Paradigmatik, dalam Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor : 2 juli 2009,
Independen, Jakarta: Penerbit Pustaka Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan
Sinar harapan. Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Gie, T. L. 1995, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 41/PHPU.D-
di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi VI/2008, tentang sengketa hasil Pemilihan
Kedua. Yogyakarta: Liberty. Kepala daerah di Provinsi Jawa Timur.
Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia,

56

Anda mungkin juga menyukai